Home / Romansa / SULTAN DESA / 03. Kecewa

Share

03. Kecewa

Author: Namira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!"

"Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...."

Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku."

Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera.

Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan."

"Aku sembuhkan dengan kenikmatan."

"Nikmat bagimu sengsara bagiku!"

Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?"

Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya.

Ambu berontak ketika dipaksa untuk berbaring. Tenaga suaminya besar sekali sehingga usahanya sia-sia. Abah berhasil menindihnya.

"Kamu sudah gila," geram Ambu marah. "Bagaimana kalau anakmu melihat?"

"Dia sudah dewasa."

Saat itu Kartika muncul dari ruang dalam dan balik lagi begitu melihat adegan itu. Wajahnya tampak mendung.

"Kamu suami brengsek," omel Ambu. "Setiap hari pulang pagi dan minta dilayani. Janda langganan tidak sanggup memuaskanmu?"

"Aku tidak jajan di luar kalau kamu sanggup melayani."

"Kamu maniak! Siapa pikirmu yang sanggup bercinta berjam-jam setiap hari di usia sepertiku?"

"Aku minta kau layani."

"Kau mau membunuhku?" sergah Ambu sengit. "Aku berteriak kalau kau memaksa."

"Berteriak saja."

Abah memaksa untuk masuk. Pinggul istrinya bergerak menolak. Dia meringis kesakitan karena tangannya ditekan dengan keras ke lengan sofa.

"Bunuh saja aku sekalian," geram Ambu marah.

Abah menampar wajahnya cukup keras. "Kau ingin aku masuk penjara? Aku sudah bilang tidak suka istri bermulut lancang. Apa kau tuli?"

Abah menghisap puting payudara dengan kasar sehingga istrinya menjerit kesakitan. Wanita itu terpaksa membuka kaki lebar-lebar karena tidak tahan mendapat siksaan dan membiarkan kemaluan suaminya menghunjam sangat dalam sampai di dasar lubuk. 

Bel rumah berbunyi. Abah tak peduli. Dia mencangkul dengan sangat bernafsu.

Ambu berusaha menahan pinggang suaminya. "Aku mohon hentikan. Ada tamu."

"Persetan," sergah Abah. "Jujur saja kamu ketagihan dengan ukuranku yang besar."

Abah bergerak naik turun dengan cepat. Gairahnya semakin bergelora melihat istrinya sangat kepayahan. Dia tidak pernah kewalahan begini sebelum alat vitalnya dimodifikasi. Bel berbunyi lagi.

"Aku mohon jangan permalukan istrimu," pinta Ambu memelas. "Kamu buka pintu karena si Mimin akan segera menuju ke ruangan ini. Aku masih ada rasa malu untuk dilihat asisten rumah dalam keadaan begini."

Abah jadi jengkel. Dia segera melepaskan tindihan dan merapikan pakaian, kemudian berjalan ke pintu depan sambil memaki, "Tamu kurang ajar. Mengganggu kesenangan orang saja."

Wajah kesal Abah serentak berubah ceria saat tahu siapa tamu yang datang. Matanya berbinar melihat kotak cerutu dan martabak telor favoritnya.

"Wah, Raranya tidak ada," senyum pria separuh baya itu lebar. "Tapi masuk saja. Tak apa ngobrol sama Abah."

Sekilas Gilang melihat Ambu merapikan pakaian dan beranjak pergi. Dia rupanya datang bukan di waktu yang tepat. Matanya yang berpengalaman dapat menangkap kalau mereka lagi bercinta di sofa.

"Pergi sama siapa?" tanya Gilang sambil menyerahkan bingkisan yang dibawanya. Dia sudah buru-buru berangkat dari rumah. Siang ini ingin mengajak Rara lunch di kafe. Ternyata kalah cepat. Kalau gadis itu sudah pergi, jangan harap pulang sebelum matahari tergelincir.

"Sendiri."

Ada perasaan lega di hati Gilang. Entah kenapa. Barangkali karena teman Rara kadal semua. Apalagi anak juragan sapi itu. Cuma traktir lobster minta macam-macam. Tidak mau rugi. Maka itu Rara memblokir namanya dari daftar kontak. Anak bandar buah yang bawa duren montong satu pick up saja tidak berani main paksa. Dia sudah bangga bisa makan malam bersama gadis secantik Rara.

"Ke mana?"

"Jakarta. Mana lagi?"

Gilang menatap heran. "Ada pemotretan? Katanya break satu bulan?"

"Piknik sama teman kuliah. Memangnya tidak ngomong sama nak Gilang?"

Kalau bilang buat apa bertanya, gerutu Gilang dalam hati. Dia tahu Rara merasa tak perlu pamit. Gadis itu meninggalkan laki-laki seperti meninggalkan baju kotor di keranjang pakaian. Tak ada beban. Dia sebenarnya tersinggung, tapi Rara bukan pacarnya. Jadi apa haknya untuk tersinggung?

"Berapa hari?"

"Satu minggu."

Lama betul, pikir Gilang tanpa gairah. Pasti pergi ke tempat yang jauh. Pantai mana yang dituju? Bali atau Lombok?

Abah tersenyum seakan tahu isi pikirannya. "Sebentar kok, nak Gilang. Minggu depan bertemu lagi."

Biarpun cuma satu minggu, Gilang tidak sabar menanti. Dia merasa seolah satu abad lamanya. Belum pernah hatinya begini galau ditinggal pergi seorang gadis. Padahal Rara bukan siapa-siapa.

Mula-mula dikiranya karena rasa kesepian. Bosan jalan-jalan sendiri. Ketika batas waktu yang ditunggu-tunggu tiba Rara belum pulang juga, Gilang bukan cuma tidak sabar.

"Bel saja," saran ayah gadis itu. "Kalau sama Abah, pasti tidak diangkat."

Padahal tidak mau rugi. Untuk kepentingan sendiri saja pinjam sama teman Rara. Kalau mereka pelit, berarti ijin tidak keluar. Apalagi ini keperluan orang lain. Jadi yang bersangkutan wajib keluar modal. Enak saja dibantu. Lagi pula, apalah artinya pulsa belasan ribu bagi anak miliarder itu.

Masalahnya Gilang jaga gengsi. Nanti dulu kalau ngebel. Bisa-bisa Rara besar kepala. Bertambah satu pengagumnya.

Kalau sekarang Gilang bolak-balik ke rumahnya, semata-mata karena tradisi di kampung belaka. Laki-laki yang harus bertamu. Perempuan akan kehilangan martabatnya kalau sering berkunjung ke rumah laki-laki. Lagi pula, Rara tidak mungkin datang ke rumahnya, tidak disiram air got saja sudah bagus. Di Bandung mana pernah Gilang mendatangi rumah perempuan.

"Siapa tahu sudah berada di pondokan," kata Abah. "Belum sempat pulang."

Boleh jadi. Rara masih lelah untuk pulang ke rumah. Tapi boleh jadi pula masih berada di lokasi wisata. Dan membayangkan bagaimana romantisnya kehidupan di sana, ada selarik perasaan tak enak di dadanya.

Gilang seharusnya gembira Rara berkumpul bersama teman sekampus, yang salah seorang pemudanya mungkin pacar tetapnya, sehingga tertutup pintu untuk jatuh cinta. Tapi kenapa hatinya justru merasa ... cemburu?

Sejak semula Gilang tidak yakin dengan hatinya. Dia hapal siapa dirinya. Gadis itu terlalu menarik untuk menjadi bagian dari masa lalu. Terlalu mempesona untuk dibiarkan berlalu dari hidupnya. 

Atau Rara marah dengan kejadian di tepi telaga itu? Dia tidak ingin pulang ke desa dan bertemu dengannya?

"Brengsek," maki Rara saat berebahan di rumput hijau diam-diam Gilang mencium bibirnya. "Jangan samakan aku dengan gadis-gadismu."

"Laki-laki lain minta ijin kalau mencium kamu?"

"Mereka tidak kurang ajar seperti kamu!"

"Aku tak percaya pacar-pacar kamu belum pernah menyentuh bibirmu."

"Aku tidak minta kamu percaya! Tapi aku tahu kalau pacarku mau mencium aku!"

"Nah, karena aku bukan pacarmu, jadi kamu tak perlu tahu."

Rara diam cemberut. Di mata Gilang justru kelihatan makin menggoda. Dia tahu gadis itu tidak marah. Tapi tidak pula menikmati ciumannya. Ciuman laki-laki tak bedanya lipstik yang tiap hari menempel di bibirnya.

Keesokan harinya Gilang berusaha menahan diri untuk tidak pergi ke rumah Rara. Kelihatan sekali kalau dia mengharapkan kepulangan gadis itu. Di mana harga dirinya?

Sepanjang hari Gilang berada di perkebunan sampai ayahnya heran. Dia belum pernah serajin itu belajar tentang pemeliharaan tanaman, padahal cuma ingin menghalau keresahan hatinya.

Gilang baru datang lagi ke rumah Rara ketika mendapat kabar dari Surya kalau gadis itu sudah pulang dari liburannya. Dia sebenarnya malas pergi tapi keinginan hatinya sulit dibendung.

"Rencananya satu minggu," jelas Rara. "Teman-teman minta tambah. Sebagai panitia, aku oke saja asal mereka bayar ekstra."

Ada seleret kecewa menyapu dada Gilang. Sepuluh hari mereka tidak bertemu, tapi sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa rindunya.

Gilang tahu seperti apa laki-laki di matanya. Tak ada yang istimewa. Setiap laki-laki bisa pergi bersamanya dan bisa ditinggal pergi seenaknya. Saat dia diperlakukan sama, ada sakit hati yang tak mau hilang di dadanya.

"Teman-temanku sangat betah di Bali," kata Rara. "Banyak pemandangan yang tidak sepantasnya dipandang."

"Kalau cuma kepingin lihat pemandangan seperti itu, tak perlu ke Bali," sahut Gilang hambar. Semangat yang menggebu-gebu untuk berjumpa dengan gadis itu langsung mencair dengan sendirinya. "Di internet juga banyak."

Rara seolah tidak curiga dengan perubahan di wajahnya. Dia terlampau asyik dengan pengalaman liburannya. "Teman-temanku sempat tertipu dengan taman kupu-kupu di Tabanan. Mereka kira tempat kupu-kupu kertas dan kupu-kupu malam."

"Tolong bukukan saja ceritanya," potong Gilang dingin. "Nanti aku baca."

"Kamu tidak kepingin dengar ceritaku?"

"Kepanjangan."

"Ceritaku tidak menarik ya?"

Gilang diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan kemunculan anak bandar duren di ambang pintu membuat nafasnya lega.

"Ke mana?" tegur Rara melihat Gilang bangkit.

"Belum tidur siang."

"Bentar." Rara tidak tahu kalau Gilang hanya pura-pura menguap. "Ada oleh-oleh buat kamu."

Rara pergi ke kamarnya. Ketika kembali lagi ke ruang tamu, Gilang sudah tak ada di tempatnya. Sinar mata gadis itu berubah layu.

"Kok aku ditinggal pergi?" tegur anak bandar duren melihat Rara berjalan ke ruang dalam.

"Aku panggil Abah buat menemani kamu."

"Aku ingin ketemu kamu, bukan Abah."

"Kamu bawa duren, kan?"

"Satu pick up."

"Yang suka duren itu Abah sama si Mimin. Aku sudah bilang tidak suka duren dan tidak suka kamu bawa duren. Jadi lebih baik kamu ketemu Abah atau si Mimin. Tidak ketemu aku lagi."

Pemuda itu bengong.

Related chapters

  • SULTAN DESA   04. Dawai Cinta

    Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran. "Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu." "Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!" "Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan." "Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi. "Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget." "Biarin." "Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?" "Sotoy." "Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini." "Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!" "Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang

  • SULTAN DESA   05. Bilur Rindu

    "Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya

  • SULTAN DESA   06. Sindikat Terbongkar

    Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan

  • SULTAN DESA   07. Akal Bulus

    "Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang

  • SULTAN DESA   08. Satu Janji

    Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "

  • SULTAN DESA   09. Bukan Priyayi

    Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu

  • SULTAN DESA   10. Mie Keramat

    Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A

  • SULTAN DESA   11. Yang Terindah

    Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang

Latest chapter

  • SULTAN DESA   102. Perempuan Sundel

    Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke

  • SULTAN DESA   101. Kenyataan Baru

    Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara

  • SULTAN DESA   100. Dunia Memang Iblis

    Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me

  • SULTAN DESA   99. Elegi Kehidupan

    Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn

  • SULTAN DESA   98. Menuai Badai

    Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob

  • SULTAN DESA   97. Batas Waktu

    Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala

  • SULTAN DESA   96. Jangan Kau Berikan

    Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende

  • SULTAN DESA   95. Keteguhan Cinta

    Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in

  • SULTAN DESA   94. Telat Pulang

    Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa

DMCA.com Protection Status