Beranda / Romansa / SULTAN DESA / 07. Akal Bulus

Share

07. Akal Bulus

Penulis: Namira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan."

Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat."

"Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita."

"Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?"

"Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jangan bicarakan perempuan lain di depanku, kecuali aku tidak sanggup lagi melayani."

Abi memeluk tubuh istrinya yang seksi dan masih kencang itu. "Nonton televisi sambil begini kan enak."

"Anak sulung kita ternyata pintar ngaji ya, Abi," puji Umi sambil pinggulnya bergerak naik turun. "Alunan suaranya merdu, menyejukkan hati, tajwid dan makhraj pas, padahal cuma berguru sama ustadz kampung semasa kecil."

"Wisnu bagaimana?"

"Dia persis ayahnya di masa muda. Kerjanya tiap hari main perempuan. Makanya aku benci sama kamu."

"Benci sampai keluar anak dua."

"Sebelum nikah."

"Setelah nikah?"

"Ini jawabannya." Umi bergerak turun sampai kandas lalu pinggulnya bergoyang memutar untuk menambah kenikmatan. "Enak tidak?"

"Enak sekali. Tapi aku tidak tahu apa maksudnya."

"Maksudnya ini." Pinggul Umi bergoyang lebih heboh. "Sudah paham sekarang jawaban aku?"

"Belum."

"Bodo amat."

"Sekali lagi, aku pasti paham maksudnya."

Umi bergerak memilin dari atas ke bawah secara perlahan, kemudian kembali ke atas. "Bagaimana?"

"Nikmat sekali."

"Paham tidak?!"

"Jelas paham."

"Apa?"

"Aku sayang kamu sampai memutih rambutku."

"Aku juga."

"Umi belajar di mana?"

"Aku ikut senam zumba di kampung sebelah sebelum instrukturnya diganti sama Kartika." Umi semakin bersemangat bergerak naik turun. "Aku bangga Gilang tidak seperti anak tetangga. Bisa ngaji sedikit saja update status supaya dibilang pandai mengaji dan dapat pujian dari orang-orang."

"Riya itu namanya. Tidak dapat pahala. Anak kita tidak pernah posting seperti itu kan, Umi?"

"Makanya follow dong mereka. Biar Abi tahu apa yang mereka lakukan di medsos, sekalian mengawasi. Jangan sampai kejadian kayak tetangga kita itu, tahu-tahu rumah didatangi polisi tanpa mereka tahu duduk perkaranya. Eh, tidak tahunya anak sulung terjerat kasus ujaran kebencian. Memangnya Abi malu atau bagaimana jadi followers anak sendiri?"

"Ngomong panjang lebar tapi tidak menjawab pertanyaan.,"

"Oh iya, apa pertanyaannya? Saking nikmatnya aku sampai lupa."

"Saking banyaknya menjelekkan tetangga."

Gilang tidak pernah posting kegiatan ibadah di medsos. Banyaknya update kegiatan di perkebunan sekalian promosi. Tidak sedikit mahasiswa yang memiliki orang tua pedagang besar minta dikirim dengan omset yang lumayan. Semua itu dia lakukan untuk menyenangkan hati orang tua.

Untuk menyenangkan hati orang tua pula Gilang mengaji keras-keras di mushalla rumah. Dia tidak butuh pujian orang lain. Tak ada untungnya. Kepercayaan orang tua sangat penting untuk memuluskan rencananya. Hari ini dia ada acara tahun baru dengan anak kampung. Tentu tidak mudah mendapatkan ijin setelah apa yang terjadi kemarin.

"Mau ke mana pagi-pagi sudah rapi?" Kecurigaan ibunya menyambut Gilang di ruang keluarga. "Pergi sama si Rarasapi ya?"

"Ikut tour sama anak kampung ini."

"Bawa mobil sendiri?"

"Kalau bawa mobil sendiri bukan ikut tour namanya, karnaval."

"Pacarmu yang brengsek itu ikut juga?"

"Katanya suruh melupakan. Umi sebut-sebut terus, jadi susah aku lupanya."

Abi mendinginkan situasi yang mulai memanas. "Aku tahu acara itu. Kegiatan tahunan karang taruna. Tujuannya untuk menjalin kebersamaan di antara pemuda kampung. Bagus itu. Kamu perlu berbaur dengan mereka."

"Jangan main kasih ijin saja. Abi sudah lupa kejadian kemarin? Alasannya menghadiri tabligh akbar. Nyatanya pacaran di kafe."

Gilang membela diri. "Sehabis tabligh akbar, Umi. Perut aku lapar, ya cari tempat makan."

"Memangnya di tempat tabligh akbar tidak ada yang jualan?"

"Katanya suruh jaga nama baik keluarga. Masa sultan jajan di gerobak dorong?"

"Siapa ketua panitianya?"

"Karlina. Anak kepala desa.

"Minta nomornya."

"Tidak punya. Abi pasti punya."

Ayahnya tentu punya nomor kontak Karlina. Gadis itu adalah ketua karang taruna desa ini dan beliau donatur tetap. Sejak dipegang olehnya, kegiatan anak muda jadi maju. Gilang bersyukur ada Abi di ruangan itu. Jadi ijin tidak dipersulit. Dia bisa mengantongi paspor untuk keluar rumah secara resmi.

Gilang bertemu dengan Wisnu di ruang depan. Adiknya lagi mondar-mandir dengan gelisah.

"Selamat berjuang, dek," ledek Gilang. "Nanti siang ada janji kan sama pacar?"

Wisnu menatap tak percaya. "Kakak dapat ijin keluar?"

"Kalau tidak dapat ijin, mana berani aku pergi? Nanti ada apa-apa di perjalanan. Kualat. Maka itu pintar mengaji."

Kakaknya ini pandai sekali memanfaatkan kelemahan orang tua. Bila perlu menangis tersedu-sedu membaca ayat suci supaya mendapat aplaus. Agama jadi alat kepentingan pribadi.

 

Tinggal Wisnu pusing tujuh keliling. Pacar di kota menunggu jawaban tentang week end ke Anyer. Dia tahu kendaraan Wisnu disita oleh ibunya. Dia akan pergi bersama temannya kalau acara itu batal. Dasar tidak setia. Bukan berdoa agar Umi mendapat hidayah, malah mengeluarkan ancaman.

Pada saat tertimpa musibah begini Wisnu baru ingat betapa pentingnya bergaul dengan anak tetangga. Gampang pinjam kendaraan kalau mereka akrab. Toh mobil itu tidak dipakai karena berangkat tour.

Sebenarnya Wisnu bukan tidak ingin kumpul sama anak kampung, entah hidupnya terlalu metropolis atau mereka lambat mengikuti perkembangan, setiap kali mencoba berbaur seolah ada jarak membentang. Dibilang kampungan, mereka kenal sabu-sabu, putau, minuman keras. Barangkali jarak itu muncul karena mereka baru bisa meniru sisi hitam kota sementara pola pikir tertinggal di kampung.

Wisnu tahu di mana ibunya menyimpan kunci kendaraan. Dia tak berani mengambil. Urusan bisa runyam. Ayahnya pasti turun tangan. Beliau paling benci sama pencuri.

Satu-satunya cara Wisnu berusaha mengambil hati Umi. Dia membersihkan benda-benda kesayangan ibunya yang terpajang di ruang koleksi. Kebanyakan suvenir dari Eropa, hanya sedikit dari Timur Tengah. Pegawai yang khusus merawat barang antik itu sampai bengong dibuatnya.

"Jangan kira aku akan berubah pendirian," kata Umi melihat anak bungsunya yang mendadak rajin itu. "Biar kamu cuci genteng sekalipun, tidak bisa mencuci kesalahanmu."

"Aku tulus kok ingin bantu Pak Erling. Kasihan sudah tua disuruh mengurus benda antik sebanyak ini."

"Tulus apa akal bulus?"

Wisnu menjawab dengan santai. "Kapan Umi berhenti mencurigai niat baik anak?"

"Ada syaratnya kalau ingin motor dan mobil kembali."

Wisnu berlagak tidak berminat, padahal semangat hidupnya muncul kembali. "Apa itu?"

"Jawab dengan jujur pertanyaan Umi."

"Okay."

"Pacar kakakmu ikut tour tidak?"

"Rara maksudnya?"

"Ada yang lain?"

"Umi kan sudah menyuruh si kakak melupakan? Umi gaje."

"Jawab saja pertanyaan Umi!"

"Aku bukan panitia."

"Jawab yang benar!"

Wisnu memandang bingung. "Umi bagaimana sih? Aku sudah menjawab jujur bukan panitia."

"Kamu kan punya kuping!"

"Kupingku cuma untuk mendengar suara kebenaran."

"Gaya!"

Ibunya pergi dengan kesal. Wisnu membiarkan saja karena sebentar lagi pasti kembali untuk menginterogasi. Dia penasaran kalau belum mendapatkan informasi. Abi muncul dan heran melihat Wisnu membersihkan barang antik.

"Erling cuti?"

"Ada di lemari belakang."

"Tumben-tumbenan rajin."

"Bosan jalan-jalan terus. Sesekali tukar nasib jadi pegawai rumah. Ternyata repot juga."

"Biarkan saja Erling yang kerjakan. Kamu antarkan faktur tagihan ke swalayan dan minimarket di kota kabupaten. Orang yang biasa bertugas sakit."

"Sultan masa jadi kurir?"

"Aku suruh manajer rumah kalau kamu tidak bersedia. Tidak sembarang orang boleh mengantar faktur."

"Pakai mobil Abi?"

Ayahnya memandang tak berkedip. "Motor tiga mobil empat, apa belum cukup?"

"Disita Umi gara-gara skandal kemarin."

"Kuncinya ada di lemari kamar."

Mata Wisnu bersinar. "Boleh diambil, Abi?"

"Kamu jalan kaki ke kota kabupaten?"

Wisnu segera pergi meninggalkan ruang koleksi. Cairan khusus dan kain pembersih ditinggal begitu saja di meja.

Bab terkait

  • SULTAN DESA   08. Satu Janji

    Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "

  • SULTAN DESA   09. Bukan Priyayi

    Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu

  • SULTAN DESA   10. Mie Keramat

    Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A

  • SULTAN DESA   11. Yang Terindah

    Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang

  • SULTAN DESA   12. Jadi Tamu

    Abah membanting vas bunga ke lantai dengan jengkel. Kebiasaan pulang pagi dan kebutuhan batin jadi pemicu pertengkaran itu. "Aku tidak minta banyak darimu," geram Abah. "Aku cuma minta dilayani." "Setiap hari kamu minta dilayani," kata Ambu tak kalah sengitnya. "Jangan samakan aku dengan janda langgananmu yang bisa dipakai kapan kamu butuh." "Tugasmu selaku istri untuk memenuhi kebutuhanku." "Lalu tugasmu selaku suami untuk berjudi dan mabuk-mabukan?" "Kurang ajar!" Abah menampar wajah istrinya dengan marah. "Berani kamu melawan suami!" Ambu memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan berurai air mata. "Sering sekali kamu berbuat kasar pada istrimu. Bodohnya aku selalu memaafkan. Aku cuma minta jangan minggu ini, aku lagi datang bulan. Apa itu sebuah kesalahan besar sehingga kamu pantas berbuat begitu?" Kartika yang sudah terlanjur membuka pintu kamar hanya diam terpaku dengan air mata menggenang. Dia tidak sampai hati mel

  • SULTAN DESA   13. Ultimatum

    Gilang memandang dengan sengit. "Apa maksud Umi menjodohkan aku dengan anak kepala desa itu? Karlina masih SMA, Umi. Dia cocoknya dengan Wisnu." Gilang baru pulang dari mesjid selesai shalat Dhuhur. Dia belum sempat ganti pakaian ketika Umi memintanya duduk untuk mendengarkan keputusan itu. Tentu saja dia kalang kabut. "Jadi kamu ingin perempuan yang lebih tua?" sambar Umi tak kalah kerasnya. "Baik! Kamu akan Umi jodohkan dengan janda beranak satu tetangga kita! Dia jauh lebih baik buat kamu!" Gilang menatap bingung. "Ada apa sebenarnya? Mengapa Umi tiba-tiba saja ingin mencarikan calon istri buat aku?" "Tanya pada dirimu sendiri! Kamu pikir Umi tidak tahu kamu masih pacaran dengan gadis benalu itu? Bilangnya sudah putus! Nyatanya kamu masih jalan bareng!" Ibunya sudah kehabisan akal untuk melarang hubungan mereka. Ancaman saja tidak cukup. Tidak mempan. Dia harus mengambil keputusan tegas. "Aku tidak bisa menikah dengan Karlina.

  • SULTAN DESA   14. Orang Ketiga

    Pertunangan itu tidak menjadi beban bagi Gilang. Dia bahkan sudah berniat minta uang tambahan untuk mengajak Karlina jalan-jalan dengan alasan ingin mengenal lebih jauh. Padahal uang itu akan ditabung untuk bekal masa depan. Dia sudah merencanakan pemberontakan setelah lulus kuliah nanti. Jika orang tuanya tidak menerima Rara sebagai menantu, maka dia akan pergi. Gilang berencana menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kerja sambilan. Barangkali di perusahaan orang tua mereka ada lowongan kerja part time. Hal ini untuk berjaga-jaga seandainya Abi dan Umi mengetahui bahwa perjodohan ini ternyata dijadikan modus untuk memberontak disaat yang tepat. Jadi Gilang sudah punya pegangan kalau diusir dari rumah. Dia tidak mau mengandalkan Rara. Di mana harga dirinya sebagai kepala rumah tangga kalau mencari nafkah saja tidak mampu? Lebih baik hidup sendiri daripada jadi beban istri. Betapapun cintanya dia kepada Rara. Justru Abah yang jadi beban pikirannya.

  • SULTAN DESA   15. Pemuda Idaman

    Bradley bukan pemuda biasa. Di usia yang semuda itu dia sudah menggenggam kehidupan yang gemilang. Mungkin mesti dicapai puluhan tahun oleh orang kebanyakan. Itupun masih tergantung faktor keberuntungan. Semua itu tak lepas dari andil orang tua. Mereka menyuguhkan semua fasilitas yang dibutuhkan, puteranya tinggal menjalankan tanpa perlu susah payah berjuang, atau keliling kantor menjual diploma Oxford. Tapi apa bedanya? Wajahnya sangat tampan. Putih bercahaya. Perpaduan Birmingham dan Solo. Wajah yang tak pernah tahu arti debu. Tubuhnya ideal. Bukan peminum, atau pemakai narkoba. Pemuda idaman setiap orang tua untuk berlomba mengambil sebagai menantu. Yang biasa hanya sifatnya. Tidak beda dengan pemuda kebanyakan. Kalau sudah tergila-gila pada seorang gadis, moncong senjata pun diterjang! Dia sudah jatuh cinta pada Rara sejak pertama kali melihat fotonya di rumah istri muda Om Sastro. Lalu timbul niat untuk meminangnya. Kebetulan dia sedang mencari c

Bab terbaru

  • SULTAN DESA   102. Perempuan Sundel

    Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke

  • SULTAN DESA   101. Kenyataan Baru

    Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara

  • SULTAN DESA   100. Dunia Memang Iblis

    Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me

  • SULTAN DESA   99. Elegi Kehidupan

    Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn

  • SULTAN DESA   98. Menuai Badai

    Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob

  • SULTAN DESA   97. Batas Waktu

    Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala

  • SULTAN DESA   96. Jangan Kau Berikan

    Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende

  • SULTAN DESA   95. Keteguhan Cinta

    Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in

  • SULTAN DESA   94. Telat Pulang

    Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa

DMCA.com Protection Status