Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan.
Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja.
"Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi."
"Masa tiap malam?"
"Tablighnya tiap malam."
"Minggu ini cuma tiga."
"Di desa sebelah."
"Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?"
"Kan bawa mobil."
Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya!
Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadang jadi informan di kampung mana ada acara keagamaan. Kapan dia mau diperalat seenaknya seperti itu?
"Biarkan saja," kata suaminya seakan membela mereka. Dia sedang menonton wayang golek di televisi daerah sambil duduk bersandar di tempat tidur. "Hitung-hitung pembekalan mental sebelum kembali belajar."
"Mereka mencurigakan."
"Mencurigakan bagaimana?"
"Rasanya kok aneh. Tak bosan-bosannya mendengarkan siraman rohani tiap malam. Padahal ustadznya itu-itu juga. Temanya itu-itu juga."
"Dan jamaahnya itu-itu juga. Seperti wayang golek ini, dalangnya itu-itu juga, ceritanya itu-itu juga. Nyatanya aku tetap suka. Apanya yang aneh?"
"Wisnu loh, Abi. Sejak kapan mau pergi sama kakaknya? Menghadiri tabligh lagi. Biasanya lihat undangan pengajian remaja saja pura-pura buta huruf."
"Mereka akur curiga. Berantem salah. Mau kamu apa?"
"Abi jangan terlalu percaya sama mereka. Semakin banyak dikasih kepercayaan semakin banyak kesempatan untuk berkhianat."
"Kulihat mereka wajar-wajar saja."
"Apa Abi anggap wajar-wajar saja kalau Gilang diam-diam menjalin hubungan sama anaknya si Marwan?"
"Kenapa memangnya?"
"Pakai tanya lagi! Abi tahu gadis macam apa dia!"
"Aku lihat Rara orangnya baik, ramah, sopan."
"Memang itu senjata gadis matre!"
"Apa itu matre?"
"Makanya sekali-sekali nonton sinetron! Jangan nonton wayang golek melulu! Gadis matre saja tidak tahu!"
"Yang tahu bisanya cuma menjelek-jelekkan orang."
"Nyatanya begitu kok."
"Jablai."
"Enak saja bilang aku jablai! Abi sendiri kurang perhatian! Siang sibuk di perkebunan! Malam nonton wayang golek! Kapan waktunya untuk aku? Malam ini ada jadwal pura-pura lupa!"
Abi menoleh sekilas. Heran. "Apa lagi ngomel-ngomel? Itu ada iklan benih ikan air tawar, namanya jabang lais, disingkat jablai."
"Aku kira...." Wajah Umi meranum.
"Menurut sinetron jablai itu apa?"
Umi sedikit tersipu. "Tahu."
"Jadi jablai itu artinya tahu? Tahu apa?"
"Ke mana-mana deh."
"Kamu sendiri yang bilang, kok ke mana-mana? Jablai itu artinya apa sebenarnya?"
"Jablai itu artinya malam ini bukan jadwal nonton wayang golek."
Abi tersenyum seolah baru ingat. "Oh, iya. Tidak apa sambil nonton wayang golek."
Abi meraih tubuh yang masih kencang itu ke dalam pangkuannya. Umi duduk memunggungi. Dia elus kepala kura-kura sampai bangun, kemudian diarahkan ke mangkok pecah.
"Jadi Abi setuju punya calon menantu si Rara?" tanya Umi sambil pinggulnya bergerak naik turun.
"Kamu ini bagaimana? Anakmu ini ingin jadi sarjana, malah sudah siap berangkat untuk ambil S2 di Netherland. Biarkan dia menyelesaikan kuliahnya dulu."
Barangkali suaminya benar. Terlalu dini bicara soal itu. Padahal belum tentu demikian. Siapa tahu Gilang sudah punya calon di Bandung yang akan diperkenalkan nanti saat wisuda.
"Enak sekali, Abi," desah istrinya sambil mengatupkan mata.
"Jelas enak punya anak berpikiran maju."
"Maksudnya bukan soal anak kita, soal di terowongan bekas keluar anak kita. Maka itu matikan wayang golek biar nyambung!"
Umi mulai berkeringat. Pinggulnya bergerak semakin lincah. Setiap masalah yang dihadapi pasti mereda kalau diselesaikan dengan kemesraan.
Umi sudah hampir melupakan masalah itu kalau seorang buruh perkebunan tidak kelepasan omong. Saat itu dia sedang mengontrol mereka panen apel merah.
"Barangkali sebentar lagi ya, Nyonya?" cetus nyi Imas. "Tidak sangka besanan sama orang kampung juga."
Umi bengong sekejap. "Besanan? Siapa yang mau nikah? Anakmu yang baru lulus SD itu?"
"Nyonya suka pura-pura."
"Jangan membuatku bingung, Imas."
"Jadi Nyonya betul-betul tidak tahu?"
"Soal apa?"
"Ah, lupakan saja."
"Kalau kamu suruh lupakan, maka aku juga akan minta mandor untuk melupakan upahmu hari ini."
Tentu saja Umi cuma main-main. Gertak sambal. Tapi nyi Imas sudah demikian takutnya. Jika gajinya tak dibayar, makan apa anaknya sore ini? Dia seorang janda!
"Belakangan ini tuan muda dan non Rara makin lengket saja," kata nyi Imas takut-takut. "Tetangga saya sering melihat mereka nongkrong di kafe."
Hampir melompat ke luar bola mata Umi. Jadi kecurigaannya benar? Gilang dan adiknya bersekongkol? Kurang ajar!
"Masih sekolah sudah pandai berbohong!" Wisnu adalah orang yang pertama kena semprot ibunya. "Bagaimana kalau sudah jadi orang? Mau mengibuli masyarakat?!"
Celaka, keluh Wisnu dalam hati. Siapa pula yang membocorkan konspirasi ini? Usil amat sama urusan orang!
"Dikasih kepercayaan bukan tanggung jawab! Malah dijadikan kesempatan!"
"Tahu tidak bisa dipercaya," sahut Wisnu kecut. "Dikasih tugas juga."
"Jadi janji kamu hari itu cuma karena kepingin mobil baru? Baik! Besok semua mobilmu Umi jual! Motor juga!"
"Jangan! Umi tega lihat aku gelantungan naik angkot ke sekolah?"
"Diantar jemput sama sopir!"
"Sopir kita cuma tiga, sopir buat belanja dapur dan sopir Abi sama Umi. Rutinitas mereka terganggu kalau dikasih kerja tambahan."
"Ambil sopir baru!"
"Kejam."
"Kamu juga kejam sama Umi!"
"Aku sayang sama Umi."
"Kalau begitu kenapa kamu berani berbohong sama Umi? Bilangnya mengawal kakakmu ke tabligh! Tidak tahunya malah mengantar ke kafe! Acara sendiri-sendiri! Kamu pasti ke diskotik sama pacarmu!"
"Sesekali boleh dong, Umi?"
"Dua minggu berturut-turut kamu bilang sesekali?" belalak Umi geram. "Adik dan kakak sama saja! Brengsek semua! Mana kuncinya?"
"Kunci apa?"
"Mobil sama motor!"
"Buat apa?"
"Pokoknya sini!"
Terpaksa Wisnu mengeluarkan kunci motor dari saku celana dan langsung dirampas oleh ibunya.
"Yang lain mana?"
"Di kamar."
"Ambil!" perintah Umi bengis. "Cepetan!"
Kiamat. Dengan lesu Wisnu bangkit dari sofa. Alamat ribut sama pacar. Besok mereka janjian ke Anyer.
Pacarnya sudah sering dibohongi. Sekalinya benar tidak ada acara dengan gang motor dan selingkuhan, ada masalah dengan ibunya. Pasti pacarnya tidak percaya kalau semua kendaraannya disita.
Wisnu sedang mendorong motor sport dari halaman saat Gilang muncul. Dia baru pulang dari rumah Rara membicarakan acara tahun baruan.
Gilang meledek. "Mogok? Motor oplosan kali."
"Cepetan kabur! Sindikat kita terbongkar!"
"Maksudnya?"
Wisnu tidak sempat menjawab, sang ratu murka sudah keburu muncul dari dalam rumah.
"Ke mari kamu!" Suara Umi terdengar mengguntur.
"Selamat berjuang, Kak," bisik Wisnu separuh meledek.
Gilang tenang-tenang saja menghampiri. Dia sudah siap menanggung risikonya. Kapan-kapan persekongkolan mereka pasti terbongkar.
"Kamu ingin membuat malu keluarga kita!" bentak Umi sengit. "Berapa kali Umi bilang! Jangan bergaul dengan gadis perusak itu!"
"Hubungan aku biasa-biasa saja," sahut Gilang tenang. "Tak pernah berbuat macam-macam."
"Tapi sudah jadi macam-macam bagi penduduk! Jadi gunjingan! Mau ditaruh di mana muka Umi?"
"Orang bisanya cuma membumbui."
"Kamu sudah berani membohongi orang tua! Tidak mustahil kamu juga berani melakukan perbuatan tercela lainnya!"
"Aku bisa jaga diri."
"Tapi tidak bisa menjaga cintamu dari rayuan busuk gadis itu! Buka mata lebar-lebar! Orang bodoh saja bisa membedakan!"
"Rara tidak seperti anggapan banyak orang." Gilang menarik nafas lambat-lambat. Kalau ibunya melarang hubungan mereka dengan alasan yang dapat diterima, detik ini juga dia meninggalkan Rara. Umi tidak adil menghakimi gadis itu karena keburukan ayahnya. "Karena lingkungan masih awam, maka kelihatan beda."
"Orang bisa dilihat dari bibitnya!"
"Siapa tahu mereka cuma iri."
"Iri?" Mata Umi melebar. "Apa yang membuat mereka pantas iri?"
"Tidak semua orang bisa jadi miliarder."
"Kalau jadi orang kaya dengan cara begitu, semua orang bisa! Apa susahnya menggaet laki-laki yang lupa umur?"
"Tidak semua orang bisa loh, Umi."
"Pakai saja susuk yang banyak!"
"Biar pakai susuk."
"Yang jelas bukan karena cinta!"
"Umi juga menikah bukan karena cinta. Lalu lahirlah anak seperti ini."
Umi tersinggung. "Berani kamu samakan Umi dengan si Kartika! Bedebah betul!"
"Bukan itu maksudnya."
"Terus apa?!" geram Umi marah. "Si Kartika menikah karena ingin jadi orang kaya! Bukan ingin jadi ibu rumah tangga seperti aku!"
"Dia menikah karena paksaan orang tua."
"Apa bedanya? Akhirnya menikmati juga! Hidup foya-foya! Dulu berapa kali mencoba bunuh diri! Bolak-balik ke rumah pacarnya minta perlindungan! Gadis selugu itu saja demikian drastis perubahannya! Apalagi si Rarasapi yang pergaulannya sangat liar!"
"Jangan hukum Rara karena dosa keluarganya, Umi," tegur Gilang sabar. "Lihatlah kepribadian Rara sendiri, itu yang membuat Umi jadi orang bijaksana."
Diam-diam ibunya jadi curiga. Jangan-jangan Gilang kena guna-guna. Dulu dia penurut. Tak pernah membantah orang tua, apalagi menceramahi. Tapi setelah bergaul dengan gadis itu, tiba-tiba saja jadi seorang pemberontak!
"Abi harus menegur Gilang," kata Umi kepada suaminya. "Sekali-sekali kasih pelajaran."
"Kan sudah dari dosen-dosennya." Abi menguap jemu. Dia baru pulang dari perkebunan. Keringat pun belum kering kena siraman udara dingin kamar tidur. Tapi sudah disuguhi omongan macam-macam. "Pelajaran apa lagi?"
"Maksudnya hukum!"
"Kenapa tidak sama kamu saja?"
"Sama aku berani membangkang."
"Karena terlalu sering marah. Apapun kalau terlalu tidak baik."
"Wajar kan? Orang tua mana yang ingin anaknya terjerumus? Punya menantu bejat?"
"Anak milenial tidak butuh nasehat. Butuh teladan. Figur."
"Kok jadi menceramahi Umi?"
"Sudahlah, aku mau istirahat. Kalau cuma soal hubungan anak kita sama anaknya Pak Marwan, simpan saja buat kapan-kapan. Bosan."
Abi menghabiskan minuman di meja dan bangkit dari sofa, pergi ke tempat tidur.
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A
Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang
Abah membanting vas bunga ke lantai dengan jengkel. Kebiasaan pulang pagi dan kebutuhan batin jadi pemicu pertengkaran itu. "Aku tidak minta banyak darimu," geram Abah. "Aku cuma minta dilayani." "Setiap hari kamu minta dilayani," kata Ambu tak kalah sengitnya. "Jangan samakan aku dengan janda langgananmu yang bisa dipakai kapan kamu butuh." "Tugasmu selaku istri untuk memenuhi kebutuhanku." "Lalu tugasmu selaku suami untuk berjudi dan mabuk-mabukan?" "Kurang ajar!" Abah menampar wajah istrinya dengan marah. "Berani kamu melawan suami!" Ambu memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan berurai air mata. "Sering sekali kamu berbuat kasar pada istrimu. Bodohnya aku selalu memaafkan. Aku cuma minta jangan minggu ini, aku lagi datang bulan. Apa itu sebuah kesalahan besar sehingga kamu pantas berbuat begitu?" Kartika yang sudah terlanjur membuka pintu kamar hanya diam terpaku dengan air mata menggenang. Dia tidak sampai hati mel
Gilang memandang dengan sengit. "Apa maksud Umi menjodohkan aku dengan anak kepala desa itu? Karlina masih SMA, Umi. Dia cocoknya dengan Wisnu." Gilang baru pulang dari mesjid selesai shalat Dhuhur. Dia belum sempat ganti pakaian ketika Umi memintanya duduk untuk mendengarkan keputusan itu. Tentu saja dia kalang kabut. "Jadi kamu ingin perempuan yang lebih tua?" sambar Umi tak kalah kerasnya. "Baik! Kamu akan Umi jodohkan dengan janda beranak satu tetangga kita! Dia jauh lebih baik buat kamu!" Gilang menatap bingung. "Ada apa sebenarnya? Mengapa Umi tiba-tiba saja ingin mencarikan calon istri buat aku?" "Tanya pada dirimu sendiri! Kamu pikir Umi tidak tahu kamu masih pacaran dengan gadis benalu itu? Bilangnya sudah putus! Nyatanya kamu masih jalan bareng!" Ibunya sudah kehabisan akal untuk melarang hubungan mereka. Ancaman saja tidak cukup. Tidak mempan. Dia harus mengambil keputusan tegas. "Aku tidak bisa menikah dengan Karlina.
Pertunangan itu tidak menjadi beban bagi Gilang. Dia bahkan sudah berniat minta uang tambahan untuk mengajak Karlina jalan-jalan dengan alasan ingin mengenal lebih jauh. Padahal uang itu akan ditabung untuk bekal masa depan. Dia sudah merencanakan pemberontakan setelah lulus kuliah nanti. Jika orang tuanya tidak menerima Rara sebagai menantu, maka dia akan pergi. Gilang berencana menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kerja sambilan. Barangkali di perusahaan orang tua mereka ada lowongan kerja part time. Hal ini untuk berjaga-jaga seandainya Abi dan Umi mengetahui bahwa perjodohan ini ternyata dijadikan modus untuk memberontak disaat yang tepat. Jadi Gilang sudah punya pegangan kalau diusir dari rumah. Dia tidak mau mengandalkan Rara. Di mana harga dirinya sebagai kepala rumah tangga kalau mencari nafkah saja tidak mampu? Lebih baik hidup sendiri daripada jadi beban istri. Betapapun cintanya dia kepada Rara. Justru Abah yang jadi beban pikirannya.
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa