Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar.
"Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi."
Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?"
"Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape."
"Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti."
Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?"
"Pakai kimono."
Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda."
Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap.
A
Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang
Abah membanting vas bunga ke lantai dengan jengkel. Kebiasaan pulang pagi dan kebutuhan batin jadi pemicu pertengkaran itu. "Aku tidak minta banyak darimu," geram Abah. "Aku cuma minta dilayani." "Setiap hari kamu minta dilayani," kata Ambu tak kalah sengitnya. "Jangan samakan aku dengan janda langgananmu yang bisa dipakai kapan kamu butuh." "Tugasmu selaku istri untuk memenuhi kebutuhanku." "Lalu tugasmu selaku suami untuk berjudi dan mabuk-mabukan?" "Kurang ajar!" Abah menampar wajah istrinya dengan marah. "Berani kamu melawan suami!" Ambu memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan berurai air mata. "Sering sekali kamu berbuat kasar pada istrimu. Bodohnya aku selalu memaafkan. Aku cuma minta jangan minggu ini, aku lagi datang bulan. Apa itu sebuah kesalahan besar sehingga kamu pantas berbuat begitu?" Kartika yang sudah terlanjur membuka pintu kamar hanya diam terpaku dengan air mata menggenang. Dia tidak sampai hati mel
Gilang memandang dengan sengit. "Apa maksud Umi menjodohkan aku dengan anak kepala desa itu? Karlina masih SMA, Umi. Dia cocoknya dengan Wisnu." Gilang baru pulang dari mesjid selesai shalat Dhuhur. Dia belum sempat ganti pakaian ketika Umi memintanya duduk untuk mendengarkan keputusan itu. Tentu saja dia kalang kabut. "Jadi kamu ingin perempuan yang lebih tua?" sambar Umi tak kalah kerasnya. "Baik! Kamu akan Umi jodohkan dengan janda beranak satu tetangga kita! Dia jauh lebih baik buat kamu!" Gilang menatap bingung. "Ada apa sebenarnya? Mengapa Umi tiba-tiba saja ingin mencarikan calon istri buat aku?" "Tanya pada dirimu sendiri! Kamu pikir Umi tidak tahu kamu masih pacaran dengan gadis benalu itu? Bilangnya sudah putus! Nyatanya kamu masih jalan bareng!" Ibunya sudah kehabisan akal untuk melarang hubungan mereka. Ancaman saja tidak cukup. Tidak mempan. Dia harus mengambil keputusan tegas. "Aku tidak bisa menikah dengan Karlina.
Pertunangan itu tidak menjadi beban bagi Gilang. Dia bahkan sudah berniat minta uang tambahan untuk mengajak Karlina jalan-jalan dengan alasan ingin mengenal lebih jauh. Padahal uang itu akan ditabung untuk bekal masa depan. Dia sudah merencanakan pemberontakan setelah lulus kuliah nanti. Jika orang tuanya tidak menerima Rara sebagai menantu, maka dia akan pergi. Gilang berencana menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kerja sambilan. Barangkali di perusahaan orang tua mereka ada lowongan kerja part time. Hal ini untuk berjaga-jaga seandainya Abi dan Umi mengetahui bahwa perjodohan ini ternyata dijadikan modus untuk memberontak disaat yang tepat. Jadi Gilang sudah punya pegangan kalau diusir dari rumah. Dia tidak mau mengandalkan Rara. Di mana harga dirinya sebagai kepala rumah tangga kalau mencari nafkah saja tidak mampu? Lebih baik hidup sendiri daripada jadi beban istri. Betapapun cintanya dia kepada Rara. Justru Abah yang jadi beban pikirannya.
Bradley bukan pemuda biasa. Di usia yang semuda itu dia sudah menggenggam kehidupan yang gemilang. Mungkin mesti dicapai puluhan tahun oleh orang kebanyakan. Itupun masih tergantung faktor keberuntungan. Semua itu tak lepas dari andil orang tua. Mereka menyuguhkan semua fasilitas yang dibutuhkan, puteranya tinggal menjalankan tanpa perlu susah payah berjuang, atau keliling kantor menjual diploma Oxford. Tapi apa bedanya? Wajahnya sangat tampan. Putih bercahaya. Perpaduan Birmingham dan Solo. Wajah yang tak pernah tahu arti debu. Tubuhnya ideal. Bukan peminum, atau pemakai narkoba. Pemuda idaman setiap orang tua untuk berlomba mengambil sebagai menantu. Yang biasa hanya sifatnya. Tidak beda dengan pemuda kebanyakan. Kalau sudah tergila-gila pada seorang gadis, moncong senjata pun diterjang! Dia sudah jatuh cinta pada Rara sejak pertama kali melihat fotonya di rumah istri muda Om Sastro. Lalu timbul niat untuk meminangnya. Kebetulan dia sedang mencari c
Gilang mempunyai kewajiban baru sejak perjodohan itu. Malam Minggu harus pulang bagaimanapun sibuknya. Jika tidak, handphone sepanjang malam bunyi dan berujung dengan kemarahan ibunya. "Perhatikan calon istrimu," tegur Umi setiap kali Gilang beralasan tidak bisa datang. "Dia hanya ada waktu malam Minggu untuk bertemu denganmu. Hari-hari biasa sibuk sekolah." Karlina sekolah di kota kabupaten yang predikatnya lebih baik dari SMA di kecamatan. Berangkat habis Shubuh dan pulang hampir Maghrib. Malam hari tinggal sisa-sisa lelahnya. Umi tidak tahu kalau malam Minggu adalah malam terburuk baginya. Waktu yang seharusnya dimanfaatkan baik-baik untuk refreshing malah terbuang percuma, mengantar Karlina pergi untuk bertemu dengan Robby, pacarnya. Malam Minggu ini Gilang ada janji dengan teman senior, Tarlita. Gadis itu tahu kalau diundang ke apartemen berarti pacarnya lagi tidak bisa dipakai. Dia sendiri sering
Karlina adalah perempuan paling liar yang pernah dikenal Gilang. Di balik kelembutan wajahnya tersimpan gelora yang ganas. Tabir ini menjadi rahasia mereka berdua. Sehari-harinya Karlina begitu menjaga image. Dia tidak pernah bertegur sapa secara berlebihan dengan lawan jenis. Kehormatan sebagai puteri orang nomor satu di desa ini benar-benar dijaga. Karlina adalah gambaran kepribadian Gilang secara utuh. Gadis itu hanya cocok untuk melanglang di kehidupan bebas. Dia khawatir jika suatu saat keadaan memaksa mereka untuk menikah. "Bagaimana pestanya semalam?" tanya Umi sambil berjalan masuk ke kamar anaknya. "Umi kebiasaan kalau masuk tidak mengetuk pintu," tegur Gilang halus. "Untung aku sudah pakai baju. Kalau telanjang, aku kan malu." Gilang sedang berdandan depan cermin berukir. Rara kirim chat hari ini tidak masuk kerja karena tidak ada job. Mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk berkencan. Mereka belum pernah jalan berdua di
Bergaul dengan Luki tidak ada manfaat untuk perkara maksiat sekalipun. Masukannya selalu bertentangan dalam setiap persoalan. Barangkali karena cara pandang mereka yang berbeda dalam mengarungi kehidupan bebas. Gilang berhubungan intim karena kebutuhan, sedangkan temannya itu karena bangga dapat menunggangi perempuan manapun. Untung mereka tidak satu gedung apartemen. Jadi kuping tidak bising. "Kemana kamu?" tanya Luki melihat Gilang meninggalkan bangku taman apartemen. "Ceramahmu tidak bermutu, bikin bete." "Butuh sepeda baru nggak? Di SMA adikku ada cewek macan habis." Gilang berhenti dan menoleh. "Mantan kamu? Mendingan aku terima undangan istri pemilik apartemen." "Justru itu aku tidak mampu menjadikan cewek itu jadi sepedaku. Makanya aku serahkan ke kamu. Buktikan kalau kamu pejuang kelamin nomor wahid di kota ini. Malam nanti ada party dance di acara ultah adikku. Dia datang." Gilang tidak tertarik. "Hari ini aku pulang."
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa