Ambigu sekali sih Dean :))
“Kau bersyukur rumah itu terbakar. Kau tidak ingin aku mendekati Mary, tidak ingin aku berhubungan lagi dengan mereka.” Ash mengulang setiap kata yang didengarnya hari itu.“Kau sengaja membakar tempat itu bukan? Kau bersyukur tidak ada lagi yang bisa mencari tahu tentang diriku, maupun ibuku! Kau akan mengelak pernah mengatakan ini?” Ash tadi sudah goyah, saat mendengar bantahan ayahnya yang amat meyakinkan itu. Tapi setelah memorinya mengulang lagi luka yang dideritanya hari itu, Ash tidak bisa menghapus tuduhannya begitu saja. Faktanya, Dean memang lega dan gembira rumah itu terbakar.Dean menghempaskan tubuhnya kembali ke atas sofa lalu menutup wajahnya. “Kau mendengar rupanya.” Dean tentulah tidak bermaksud mengatakan itu selain untuk Brad.“Ya! Aku mendengar semuanya! Aku mendengar kebusukanmu hari itu!” Ash sampai merasa mual lagi, ingatannya terlalu jelas.“Aku tidak akan mengelak, memang aku gembira saat mendengar berita itu. Tapi hanya sampai di sana.” Dean tampak meremas
Mae membuka mata, dan seketika ingin marah. Ia belum ingin bangun—kepalanya masih sakit, tapi suara getaran dari ponselnya sangat mengganggu.Mae meraba sekitar tubuhnya, karena tidak tahu ponselnya dimana, tapi yang tersentuh adalah rambut.Mae memekik dan langsung duduk. Ia lupa kalau ada kemungkinan makhluk hidup di sampingnya.“Mary? Ada apa?” Ash ikut terbangun dan menggosok matanya yang amat merah. Ia baru sampai ke apartemennya itu saat fajar hampir terbit tadi.“Ada—Ha… apa ini?”Ash terkekeh, karena Mae tiba-tiba saja menghambur dan memeluknya dengan brutal, sampai membuatnya kembali terbaring.“Kau ada… masih ada…” Mae bergumam, sambil terus mengeratkan pelukannya. Kembali meresapi semua hangat yang dirindukannya itu.“Jangan katakan kau lupa semua apa yang terjadi malam kemarin.” Ash sudah meraup tubuh Mae, dan menyelipkan jari di antara rambutnya.“Tidak. Tapi rasanya seperti mimpi. Aku mengira sedang bermimpi. Tapi kau ada, berarti bukan mimpi.” Mae bergumam, sambil menar
“Iya! Astaga!” Ash mengumpat setelah itu.“Aku sedang menyelamatkan nyawamu di sini! Aku sudah menipu beberapa orang dan meminta agar mengantar logistik yang tidak perlu hanya untukmu. Jangan mengumpat padaku! ” Ian mengumpat juga dengan tegang, sebelum memutuskan panggilan.Ia sedang memastikan Ash kembali tepat waktu, dan memang harus ada penerbangan ekstra agar Ash bisa kembali ke Andorra tanpa dicurigai. Ian yang mengatur, memakai nama Ash tentu. Aman seharusnya, tapi tetap Ash harus hati-hati agar tidak bertemu dengan orang yang dikenalnya selama di Andover.“Temanmu itu ramah sekali.” Mae yang ada di samping Ash tertawa pelan mendengar semua umpatan itu. Mereka duduk di ruang depan, tidak jauh dari pintu.“Memang, aku harus ‘ramah’ juga agar bisa mengendalikannya.” Ash menepuk sepatu yang baru saja dipakainya, memastikan sudah terikat kencang, sebelum berdiri.Mae ikut berdiri juga. “Ini saatnya.”“Benar.” Ash mengusap pipi Mae dengan senyum pahit.“Aku tidak ingin terdengar kura
“Nenek sihir itu kalah juga akhirnya.” Daisy dengan puas tertawa, sampai suaranya menggema di ruang toko yang memang masih kosong itu.“Jangan menyeramkan begitu!” sergah Mae, tapi sambil tertawa juga. Hanya lebih sopan. Suara tawa Daisy tadi terlalu mirip tawa jahat ala antagonis yang berhasil membunuh lawannya.“Kau tidak marah aku mengatakannya pada Ash?” tanya Daisy sambil berpaling memandang sekitar.Mae dengan tanggap mencari kursi dan mendekatkannya pada Daisy. Ia belum bisa berdiri terlalu lama.“Sebenarnya ingin, tapi hasilnya instan sekali, jadi aku tidak akan membuat keributan.” Mae menunduk dan menekan hidung Daisy yang tersenyum bandel.Mae tentu bisa menebak dari mana Ash mengetahui masalahnya dengan Rowena. “Aku juga tidak akan mengatakannya kalau Rowena tidak keterlaluan.” Daisy mencibir.“Dia…” Mae tidak ingin menyebutnya amat jahat karena paham apa alasannya. “Yang penting toko ini sudah kembali padaku.” Mae akan bisa tersenyum padanya Rowena saat mereka bertemu lag
Carol tidak ingin pengacara itu salah paham dan melapor pada Monroe. Urusannya bisa menjadi panjang—dan menakutkan. Keadaannya tidak boleh menjadi lebih buruk lagi. Carol sudah mengiba, menyembah dan merendahkan diri, sampai rela bersopan-santun pada Monroe dan Stewart, karena hanya mereka tempatnya meminta tolong saat ini.Ketenangan dan kesombongan Carol yang dulu masih bisa dipertahankan saat menghadapi Mae, sudah lama tidak terlihat, karena semakin nyata nasibnya akan terbenam dalam lumpur setelah ini.“Siapa yang dimaksudkan olehnya?” tanya Stewart. Ingin tahu siapa yang dibahas Faraday.“Eh? Itu… tidak ada.” Carol menggeleng. Mulai panik, dan memeras otak agar Stewart tidak bertanya lebih lanjut.“Kau jangan…”“Tidak ada. Sungguh.” Carol menghindar.Stewart memandangnya, menimbang, akhirnya mengangguk, menyimpan pesan itu tanpa bertanya lagi.“Mr. Stewart, mmm…Apa Anda sudah menyampaikan pesan saya pada Sir Monroe?” tanya Carol. Ia menagih sedikit janji.“Sudah, dan katanya aku
“Jangan. Sebelah sini saja. Maaf.”Mae mengarahkan orang yang sedang menggeser mixer besar dengan penuh penyesalan, karena ini sudah dua kali ia berubah pikiran. Mixer itu berat.“Ada lagi, Mrs. Cooper?”Mereka masih bisa tersenyum ramah tapi, sepertinya paham kalau Mae sedang dalam fase penuh tekanan.Hari-H pembukaan toko itu adalah lima hari lagi, tentu kesibukan Mae semakin memuncak. Ia merasa sudah menyiapkan semuanya, tapi ternyata ada saja detail yang sepertinya terlupa atau salah. Mae kemarin harus mengembalikan semua flyer ke percetakan, karena mereka salah mencetak nama kue. Kalau satu Mae masih bisa maklum, tapi ada tiga nama kue yang salah. Meski sudah diperbaiki, hal ini menggerus rasa percaya diri Mae. Merasa kalau nama kue pilihannya mungkin terlalu sulit dicerna.Butuh bujukan Daisy—dan Ash melalui telepon—untuk mencegah Mae merombak semua menunya. Ini akan memakan lebih banyak waktu.“Aku rasa cukup. Terima kasih.” Mae mengangguk sambil menarik napas panjang.Lega kar
Begitu pula Mae. Ash tidak mengatakan apapun, karena cukup sulit dihubungi beberapa hari terakhir, dan Mae pun terlalu sibuk.“CEPAT BERANGKAT!” Poppy kembali berseru, karena tahu Mae kebingungan harus melakukan apa.Daisy menepuk punggung Mae agar ia bergerak.“Ash pulang… aku…” “Pergi. Aku bisa pulang sendiri naik taksi.” Daisy menepuk dadanya. Ia memang sudah terbiasa bepergian sendiri sekarang.“Oke.” Mae menyambar mantel dan keluar.“Tunggu! Rapikan dulu—” Daisy ingin mengingatkan kalau Mae masih memakai apron dan rambutnya masih tertutup kain agar tidak kotor, tapi Mae sudah menyetop taksi begitu melangkah keluar. Ia akan naik kereta saja. Mae tidak yakin ia bisa menyetir sejauh sampai Andover dengan tenang saat ini.“Kenapa tidak ada yang memberitahuku?!” Mae menyalurkan amarah pada Poppy setelah menyebutkan tujuannya pada sopir taksi.“Karena ada pengumuman resmi dari—ah, kau bukan istri Ash! Kau tidak akan mendapatkannya!” Poppy terdengar mengutuk kebodohannya.Mae tentu saja
Pemandangan yang sangat jauh dari normal terlihat. Ash yang jarang tersenyum dan lebih sering datar, tiba-tiba saja mekar seperti musim semi.Tangan yang biasanya tidak segan menampar, menyambut dengan lembut, merengkuh penuh kasih. Belum lagi senyumnya yang hangat. Tentu saja Ash tidak pernah tersenyum seperti itu di hadapan siapapun yang ada di sana.Pelukan Ash dan Mae itu sederhana, sama seperti sambutan keluarga yang lain yang tentu banyak memeluk dan mencium karena rindu—tapi masalahnya yang melakukan adalah Ash.Ash yang tidak pernah terlihat dekat dengan siapapun, bahkan tidak pernah mengundang keluarganya saat ada sambutan seperti itu—sampai orang-orang mengira ia sebatang kara.Ash yang tidak pernah terlihat selembut itu. Fakta ini yang paling mencengangkan, dan mengundang perhatian. Belum lagi fakta kalau sejak tadi Mae sempat menjadi pusat beberapa tentara lajang—dan mungkin yang tidak lagi lajang—sebelum Ash memanggil.Karena terlambat, Mae memang sempat kebingungan. Ia da