Tak lama, dokter datang untuk menghampiri mereka. "Anak Anda sudah lebih baik. Kami telah memberikan obat, dan demamnya mulai turun. Anda bisa menunggunya pulih di sini beberapa jam lagi untuk memastikan kondisinya stabil."
Damay dan Saga saling berpandangan, sebuah senyum lega akhirnya terukir di wajah mereka. "Terima kasih, Dok," ujar Saga dengan tulus.Mereka berdua duduk di samping Rain, memegang tangannya yang kecil."Rain, cepat sembuh ya, Sayang. Kami janji akan selalu ada untuk Rain," lirih Saga. Lelaki itu terlihat sangat menyayangi anaknya.Setelah beberapa jam di rumah sakit, Baby Rain mulai membaik. Ia sudah mulai bisa duduk dan tersenyum, meskipun masih tampak lesu, tapi ia sudah diperbolehkan pulang. Damay dan Saga memutuskan untuk kembali ke penginapan.Mereka berdiri di depan halaman Rumah Sakit sekaligus menunggu taksi."Duh, maaf Mas, tasku ketinggalan di dalam!" ucap Damay, ia menoleh ke belakang."LhoAidan, nama lelaki itu. Ia menatap jalanan yang terbentang di depan mobil dengan tatapan kosong. Pikiran-pikirannya melayang jauh, terfokus pada sosok Damay yang barusan ia temui. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terganggu, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi. Tapi, matanya yang cantik tak bisa hilang dari ingatannya. Mobil melaju lancar di malam yang semakin larut, meninggalkan area Rumah Sakit dan menuju ke arah pusat kota. Pengawalnya yang berada di kursi sopir tak banyak berbicara, menghormati suasana hening yang tiba-tiba menyelimuti mobil. "Tuan, maaf, kami tidak mendapatkan informasi apapun tentang gadis itu! Yang jelas, dia bukan penduduk asli, tapi datang dari Indonesia," kata pengawal yang duduk di samping Aidan setelah beberapa saat keheningan. Aidan mendengus, tidak terlalu terkesan dengan informasi yang diberikan. "Sudahlah lupakan saja." ujarnya, suaranya penuh ketidakpuasan.
Saga sedang duduk menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. Meeting di zoom terus berlanjut meski waktu menunjukkan pukul tengah malam . Di ujung sana, terlihat wajah Rizal--salah satu orang kepercayaannya, yang terlihat khawatir. Dan Pak Tom dan Pak Jerry yang online zoom dari kamar sebelah."Pak Bos, maaf mengganggu waktu liburan Anda.""Bagaimana, Pak Rizal?""Ada kabar buruk. Ada masalah besar di kantor cabang Jakarta. Ada beberapa isu yang harus segera diselesaikan, dan saya gak bisa menanganinya sendirian.""Pak Bos, biar saya dan Pak Jerry saja yang pulang ke Indonesia. Pak Bos tetap di sini menikmati waktu liburan," ujar Pak Tom kemudian."Benar, Pak Bos. Saya rasa kami berdua bisa menangani langsung. Jadi kami harus segera kembali ke Indonesia. Kalau kami tidak segera pulang, situasinya bisa semakin buruk. Kami sudah coba delegasikan ke tim di sana, tapi seperti yang Pak Rizal bilang, mereka belum bisa menyelesaika
"Kalau begitu di Namsan saja, Mas, biar gak terlalu jauh, kasihan Rain kan baru sembuh. Aku gak mau kalau jaraknya kejauhan nanti Rain bisa sakit lagi," sahut Damay."Bener nih?""Iya, Mas, asalkan bisa menikmati pemandangan bunga Sakura yang sedang bermekaran itu udah cukup, Mas. Pasti suasananya juga gak jauh berbeda, sangat indah."Saga tersenyum, terlihat puas dengan keputusan yang diambil. "Kalau begitu, kita atur saja hari ini ke Namsan, ya. Kondisikan Rain juga, biar dia bisa nikmati suasana.""Aku yakin dia pasti senang kok, apalagi dengan pemandangan bunga sakura itu," jawabnya, sambil menatap Rain yang sedang duduk di tempat tidur bersama beberapa mainannya. "Yaudah, kalau gitu, setelah sarapan kita siap-siap. Aku akan pastikan semuanya nyaman buat kamu dan juga Rain," jawab Saga dengan lembut.Usai bersiap-siap, mereka tiba di Namsan Park.Damay memeluk Rain erat di dadanya, menghirup aroma lembut bayi itu ya
Damay menerima bunga itu dan menggenggam tangan Saga, ia merasa terharu dengan perlakuan suaminya."Mas, aku juga bersyukur banget punya kamu. Kamu suami dan ayah terbaik," ucapnya pelan.Rain, seakan mengerti suasana hati orang tuanya, tersenyum lebar sambil mengeluarkan suara "he-he-he" yang menggemaskan. Keduanya tertawa melihat ekspresi bayi mereka."Rain setuju," kata Saga sambil mencubit lembut pipi anak mereka. "Dia tahu kalau kita harus saling mendukung, ya, Nak?"Mereka memutuskan untuk berjalan lagi, menikmati setiap sudut taman. Damay bersandar di lengan Saga, sementara Rain terlelap dalam gendongan Damay, sesekali menggerakkan tangan mungilnya, seolah sedang bermimpi indah. Kelopak sakura yang berguguran menghiasi perjalanan mereka, seperti adegan dari sebuah film romantis.Saat malam tiba, taman berubah menjadi lautan lampu warna-warni yang menerangi bunga-bunga sakura. Saga dan Damay duduk di bawah pohon besar, memandangi b
Setelah puas menikmati suasana tenang di tepi Sungai Han, Damay dan Saga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menuju Insadong, kawasan yang terkenal dengan seni tradisional Korea, pusat perbelanjaan unik, dan berbagai toko oleh-oleh. Sesampainya di sana, suasana langsung terasa berbeda. Jalanan yang dipenuhi oleh toko-toko dengan dekorasi tradisional yang khas, menjual segala macam barang mulai dari lukisan, keramik, hingga barang-barang kerajinan tangan Korea. Beberapa toko kecil juga menjual pakaian hanbok yang bisa disewa untuk berfoto. Di sudut-sudut jalan, ada seniman jalanan yang sedang melukis atau memainkan alat musik tradisional, menambah pesona kawasan ini.Damay dan Saga berjalan perlahan, menikmati setiap detik perjalanan mereka. "Aku suka sekali dengan suasana di sini, Mas," ujar Damay, sambil berhenti di depan sebuah toko yang menjual pernak-pernik tradisional Korea.“Kalau begitu, kita cari sesuatu untuk Rain, ya?” Saga te
"Sagara?" Saga terkejut dan langsung menoleh, wajahnya berubah seketika saat melihat siapa yang menyapanya. "Saga, kamu masih ingat aku kan?" Saga terdiam sejenak sambil memikirkan siapa wanita itu. "Hahaha, ya ampun, Saga, jadi kamu lupa ya? Aku Diana, kamu ingat?" “Diana?” kata Saga, suara sedikit tercengang. Diana, teman lama Saga yang sudah lama tak bertemu, berdiri di belakangnya dengan senyum lebar. Raut wajahnya menunjukkan kegembiraan, meski ada sedikit kejutan di mata Saga. “Wow, nggak nyangka bisa ketemu di sini!” Diana berkata dengan riang, kemudian melirik ke Damay yang sedang memandangnya dengan heran. Damay tersenyum ramah meski sedikit bingung. "Ini istri dan anakmu, Saga?" tanya perempuan itu. "Ya, benar." "Hahah, wah gak nyangka ya! Pria dingin yang sulit didekati ternyata sudah punya istri." Saga tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa canggung yang mulai muncul. "Iya, hidup memang penuh kejutan," jawabnya sambil melirik ke Damay Diana melirik ke arah
Perjalanan dengan pesawat terasa singkat, tapi pemandangan dari jendela sudah cukup membuat Damay terpesona. Langit biru berpadu dengan hamparan lautan dan hijau pegunungan yang memukau.Saat mereka tiba di Jeju, angin langsung menyambut dengan lembut, membawa aroma segar yang menenangkan. Saga sudah menyewa mobil kecil untuk menjelajahi pulau itu. Rain tertidur di car seat-nya di belakang, sementara Damay duduk di samping Saga, mengagumi pemandangan yang begitu indah.“Mas, Pulau Jeju ini cantik banget, ya?” ujar Damay sambil menopang dagu di tangannya.Saga tersenyum kecil, melirik Damay sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. “Iya, kayak kamu.”Damay memutar matanya, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Mas, kita udah nikah, loh. Nggak usah gombal terus.”“Justru karena udah nikah, aku wajib ngegombal tiap hari. Biar kamu nggak lari ke yang lain,” jawab Saga sambil tertawa kecil.Damay tertawa mendengar jawabannya, meskipun matanya tetap fokus pada pemandangan di luar jendela.
Malam harinya ...."Rain sudah tidur?" tanya Saga saat melihat Damay menghampirinya di balkon hotel. Ia tengah menikmati suasana malam yang mengagumkan.Angin laut yang cukup kencang tapi juga menenangkan. Serta lampu-lampu di sepanjang pantai mulai menyala, menciptakan cahaya lembut yang memantul di atas permukaan laut."Sudah, Mas," jawab Damay duduk di samping sang suami. Saga langsung merangkul Damay ke pelukannya.“Mas, aku jadi inget waktu kita pertama kali jalan-jalan bareng, kamu ajak aku mancing, terus bakar ikan, karena kemaleman jadi nginep di rumahmu. Dan sekarang, kita ada di sini, rasanya masih kayak mimpi,” ujar Damay dengan suara pelan, masih berada dalam pelukan Saga.Saga tersenyum, matanya menatap lembut wajah Damay. "Aku juga ingat. Tapi waktu itu aku nggak tahu kalau hari-hari berikutnya akan jadi semenyenangkan ini. Kamu bikin semuanya terasa lebih indah."Damay menoleh. “Aku juga nggak nyangka, setiap hari bersama kamu tuh selalu ada kejutan yang bikin aku makin
Setelah itu, aku duduk sebentar di bangku, perasaanku tetap hangat dari perhatian kamu. Kamu berdiri di depanku, matamu masih penuh dengan kasih sayang. Tanpa kata, kamu ambil botol air, lalu menyodorkannya padaku. "Minum dulu, jangan sampe dehidrasi," katamu sambil ngelirikku.Aku ambil botolnya, tapi mataku gak lepas dari kamu. Rasanya, setiap detik yang berlalu penuh makna. Kamu bukan cuma buat aku merasa nyaman, tapi kamu juga selalu bikin hari-hariku lebih berwarna."Kamu nggak pernah capek ngurusin aku, ya?" Aku bertanya, meskipun aku tahu jawabannya. Kamu cuma tersenyum lebar, senyuman yang paling aku sukai."Capek? Gak ada yang lebih menyenangkan selain ngurusin kamu. Kamu bikin aku bahagia, Mas," jawabmu, suara kamu serak, tapi tetap penuh rasa sayang."Terima kasih, Sayang, udah selalu ada," aku bisikin pelan.Kamu balas dengan tatapan lembut, senyum tipis. "Aku akan selalu ada, Mas. Ayo kita saling berjanji."
POV SAGA Matahari sore mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit. Angin sepoi-sepoi mengayun dedaunan di taman, sementara langkah kita beriringan di sepanjang jalur setapak. Aku menggenggam tanganmu erat, sesekali melirik wajahmu yang tampak begitu ceria. "Kamu mau es krim?" tanyaku tiba-tiba. Mata kamu berbinar. "Mau!" jawabmu semangat. Aku terkekeh, lalu menarikmu menuju kios es krim di sudut taman. "Kamu mau rasa apa?" Kamu berpikir sebentar sebelum menjawab, "Coklat dan vanila aja, biar manis dan lembut seperti aku, Mas." Aku tertawa kecil dan memesankan es krim pilihanmu, sementara aku sendiri memilih rasa stroberi. Setelah menerima es krim, aku menyodorkannya padamu. "Ini buat kesayangan aku." Kamu mengambilnya dengan senyuman lebar, lalu menjilat es krim itu dengan wajah puas. "Hmm, enak banget!" Aku menatapmu sambil tersenyum. "Tapi masih ada ya
Malam itu, di rumah, Saga duduk di ruang keluarga bersama Damay. Rasa cemas tentang masa depan perusahaan masih menghantuinya. Damay duduk di sampingnya, memegang tangannya, berusaha memberikan kenyamanan. "Mas, kenapa?" "Tidak apa-apa, aku hanya berpikir bagaimana dengan nasib masa depan perusahaan, terlebih Ayah sudah menyerahkan semuanya padaku." "Jangan khawatir, Mas. Mas sudah melakukan yang terbaik," kata Damay lembut. Saga hanya menghela napas. Damay menatapnya dengan penuh pengertian. "Mas, kamu sudah berusaha, dan sekarang waktunya untuk bergerak maju. Ayah sudah membantu banyak, dan kamu akan mampu mengelola perusahaan itu dengan baik." Saga tersenyum tipis, berusaha menerima kenyataan yang ada. "Aku akan berusaha lebih keras lagi, Damay. Aku tidak ingin semua pengorbanan sia-sia." Keesokan harinya, Saga kembali ke kantor dengan semangat baru, siap menghadapi tantangan
Setelah keputusan pengadilan yang menghukum Aidan, Saga dan Damay akhirnya bisa bernapas lega. Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Saga harus menghadapi kenyataan baru yang lebih berat: perusahaannya, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun, berada di ambang kebangkrutan.Perusahaan yang dulu begitu megah kini mengalami kerugian besar akibat beberapa investasi yang gagal, manipulasi laporan dari dalam ditambah dengan pengaruh dari masalah yang menimpa Aidan. Saga tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa banyak keputusan buruk yang terlanjur diambil, dan kini semuanya berujung pada masalah keuangan yang tak bisa dihindari.Saga duduk termenung di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar komputer yang menampilkan laporan keuangan perusahaan. Kerugian yang terus menggunung dan semakin parah membuat hatinya terasa berat. Segala usaha yang dilakukan untuk membalikkan keadaan seolah sia-sia. Kini, kebangkrutan di ambang pintu, dan ia tahu
"Diana?" kata Saga dengan nada terkejut, mencoba menguasai emosinya.Diana berdiri di depannya, tanpa kata-kata lebih dulu. Wajahnya terlihat pucat, dan kedua tangannya gemetar saat ia meletakkan sebuah surat di atas meja Saga.“Aku tahu kamu pasti sudah tahu tentang Aidan,” kata Diana pelan, suara tergetar. “Tapi aku mohon, Saga, bebaskan dia. Aku sedang hamil anaknya. Aku tak ingin anak ini tumbuh tanpa seorang ayah.Saga terkejut, tapi ia segera menutupi rasa terkejutnya. Saga menatap Diana dengan tatapan kosong. Dia terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Diana. Wajahnya berubah, tidak bisa menyembunyikan perasaan marah dan kecewa.“Aidan sudah membuat segalanya berantakan, Diana,” kata Saga, suaranya tegas. “Dia tak hanya menyusahkan dirimu, tapi juga aku dan keluarga kami. Kenapa kamu tidak melihat apa yang dia lakukan?”Diana menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, aku tahu dia telah m
"Kamu pikir kamu bisa mengancamku begitu saja dan aku akan diam? Tidak, Aidan. Kalau kau ingin menantangku, aku akan buat kamu menyesal.""Hahaha! Tapi ingatlah ini Saga, sampai kapanpun aku tidak akan menyerah!" ucap Aidan setengah berteriak.Dengan wajah yang penuh amarah, Saga berbalik dan meninggalkan ruang interogasi.Di luar ruangan, Pak Tom menunggu, melihat bosnya dengan tatapan serius."Bagaimana, Mas Bos?" tanya Pak Tom, suara penuh kekhawatiran."Aku tak percaya dia melakukan ini. Tapi aku tak akan biarkan dia merusak apa yang sudah kumiliki."Pak Tom mengangguk. "Kami akan terus mengawasi perkembangannya, Bos."Dengan tatapan tajam, Saga melangkah keluar dari kantor polisi.*** Hari itu, Damay dan Saga akhirnya mendapatkan kabar baik. Setelah menunggu dengan penuh kecemasan, dokter akhirnya datang dengan senyum yang membawa harapan."Pak Saga, Bu Damay, kami sudah memeriksa kondisi
Saga berdiri di belakangnya, menatap Damay dengan penuh kasih. "Kita sudah melalui banyak hal, Sayang. Tapi kita kuat. Kita akan melindungi Rain, apapun yang terjadi."Damay menoleh, menatap suaminya dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu."Saga merangkulnya dari belakang, menguatkan Damay. "Aku selalu di sini, Sayang. Kita sudah melalui masa-masa sulit, tapi kita tidak akan pernah terpisah. Kita akan membangun masa depan yang lebih baik."Damay mengangguk, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. Di tengah segala kekacauan yang mereka hadapi, mereka masih bisa menemukan kedamaian bersama, di sisi anak mereka yang tercinta.Dengan pelukan itu, Damay merasa aman. Meskipun dunia di luar sana penuh ancaman, di sini, dalam pelukan suaminya, semuanya terasa baik-baik saja.Tak berapa lama Baby Rain terbangun dan menangis dengan suara nyaring. Tanpa berpikir panjang, Da
Saga merebahkan tubuhnya di tempat tidur hotel seraya menghela napas panjang. Damay menatapnya merasa iba karena sang suami terlihat sangat kelelahan usai hari yang begitu kacau terlewati. “Mas capek banget ya?” “Iya, Sayang. Tapi tidak apa-apa, asalkan kamu dan Rain selamat, aku sudah lega.” Damay mendekat kea rah sang suami lalu memijat lengannya pelan. Saga terpaksa membuka mata. “Sayang, jangan seperti ini, kamu juga harus istirahat. Kamu kan sudah mengalami hal yang buruk.” “Tidak apa-apa, Mas, aku sudah jauh lebih baik setelah istirahat beberapa jam di sini.” Saga memiringkan tubuhnya menatap Damay. “Aku kangen anak kita, Mas.” “Hmm … aku paham perasaanmu. Kamu yang sabar ya, di sana juga Pak Tom sedang mengurus masalah. Dia juga butuh istirahat. Jadi mala mini kita istirahat dulu di sini ya! Besok baru bisa pulang.” Damay mengangguk. Mau tak mau ia menuruti
Namun, hal itu tidak pernah menghalangi niatnya. Bagi Aidan, apapun bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aidan menjawab panggilan dari Diana."Halo, Mas Aidan... Kamu di mana?" suara Diana terdengar cemas, namun Aidan hanya mendengus kecil, tidak tertarik."Aku sibuk. Jangan ganggu aku lagi," jawabnya dingin."Tunggu, Mas Aidan! Hari ini kamu pulang kan? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini sangat penting!""Hmmm ...." sahutnya lalu menutup panggilan itu tanpa memberikan kesempatan bagi Diana untuk berbicara lebih banyak.Aidan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, sebelum berangkat, ia menyempatkan diri untuk menyeduh kopi, seraya menyalakan televisi. Karena penerbangannya masih 1 jam lagi.Ia duduk matanya terfokus pada layar televisi yang menampilkan berita terkini.Berita tersebut mengabarkan tentang penggerebekan besar-besaran di Bandara Juanda, di mana beberapa ana