Saga sedang duduk menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. Meeting di zoom terus berlanjut meski waktu menunjukkan pukul tengah malam . Di ujung sana, terlihat wajah Rizal--salah satu orang kepercayaannya, yang terlihat khawatir. Dan Pak Tom dan Pak Jerry yang online zoom dari kamar sebelah.
"Pak Bos, maaf mengganggu waktu liburan Anda.""Bagaimana, Pak Rizal?""Ada kabar buruk. Ada masalah besar di kantor cabang Jakarta. Ada beberapa isu yang harus segera diselesaikan, dan saya gak bisa menanganinya sendirian.""Pak Bos, biar saya dan Pak Jerry saja yang pulang ke Indonesia. Pak Bos tetap di sini menikmati waktu liburan," ujar Pak Tom kemudian."Benar, Pak Bos. Saya rasa kami berdua bisa menangani langsung. Jadi kami harus segera kembali ke Indonesia. Kalau kami tidak segera pulang, situasinya bisa semakin buruk. Kami sudah coba delegasikan ke tim di sana, tapi seperti yang Pak Rizal bilang, mereka belum bisa menyelesaika"Kalau begitu di Namsan saja, Mas, biar gak terlalu jauh, kasihan Rain kan baru sembuh. Aku gak mau kalau jaraknya kejauhan nanti Rain bisa sakit lagi," sahut Damay."Bener nih?""Iya, Mas, asalkan bisa menikmati pemandangan bunga Sakura yang sedang bermekaran itu udah cukup, Mas. Pasti suasananya juga gak jauh berbeda, sangat indah."Saga tersenyum, terlihat puas dengan keputusan yang diambil. "Kalau begitu, kita atur saja hari ini ke Namsan, ya. Kondisikan Rain juga, biar dia bisa nikmati suasana.""Aku yakin dia pasti senang kok, apalagi dengan pemandangan bunga sakura itu," jawabnya, sambil menatap Rain yang sedang duduk di tempat tidur bersama beberapa mainannya. "Yaudah, kalau gitu, setelah sarapan kita siap-siap. Aku akan pastikan semuanya nyaman buat kamu dan juga Rain," jawab Saga dengan lembut.Usai bersiap-siap, mereka tiba di Namsan Park.Damay memeluk Rain erat di dadanya, menghirup aroma lembut bayi itu ya
Damay menerima bunga itu dan menggenggam tangan Saga, ia merasa terharu dengan perlakuan suaminya."Mas, aku juga bersyukur banget punya kamu. Kamu suami dan ayah terbaik," ucapnya pelan.Rain, seakan mengerti suasana hati orang tuanya, tersenyum lebar sambil mengeluarkan suara "he-he-he" yang menggemaskan. Keduanya tertawa melihat ekspresi bayi mereka."Rain setuju," kata Saga sambil mencubit lembut pipi anak mereka. "Dia tahu kalau kita harus saling mendukung, ya, Nak?"Mereka memutuskan untuk berjalan lagi, menikmati setiap sudut taman. Damay bersandar di lengan Saga, sementara Rain terlelap dalam gendongan Damay, sesekali menggerakkan tangan mungilnya, seolah sedang bermimpi indah. Kelopak sakura yang berguguran menghiasi perjalanan mereka, seperti adegan dari sebuah film romantis.Saat malam tiba, taman berubah menjadi lautan lampu warna-warni yang menerangi bunga-bunga sakura. Saga dan Damay duduk di bawah pohon besar, memandangi b
Setelah puas menikmati suasana tenang di tepi Sungai Han, Damay dan Saga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menuju Insadong, kawasan yang terkenal dengan seni tradisional Korea, pusat perbelanjaan unik, dan berbagai toko oleh-oleh. Sesampainya di sana, suasana langsung terasa berbeda. Jalanan yang dipenuhi oleh toko-toko dengan dekorasi tradisional yang khas, menjual segala macam barang mulai dari lukisan, keramik, hingga barang-barang kerajinan tangan Korea. Beberapa toko kecil juga menjual pakaian hanbok yang bisa disewa untuk berfoto. Di sudut-sudut jalan, ada seniman jalanan yang sedang melukis atau memainkan alat musik tradisional, menambah pesona kawasan ini.Damay dan Saga berjalan perlahan, menikmati setiap detik perjalanan mereka. "Aku suka sekali dengan suasana di sini, Mas," ujar Damay, sambil berhenti di depan sebuah toko yang menjual pernak-pernik tradisional Korea.“Kalau begitu, kita cari sesuatu untuk Rain, ya?” Saga te
"Sagara?" Saga terkejut dan langsung menoleh, wajahnya berubah seketika saat melihat siapa yang menyapanya. "Saga, kamu masih ingat aku kan?" Saga terdiam sejenak sambil memikirkan siapa wanita itu. "Hahaha, ya ampun, Saga, jadi kamu lupa ya? Aku Diana, kamu ingat?" “Diana?” kata Saga, suara sedikit tercengang. Diana, teman lama Saga yang sudah lama tak bertemu, berdiri di belakangnya dengan senyum lebar. Raut wajahnya menunjukkan kegembiraan, meski ada sedikit kejutan di mata Saga. “Wow, nggak nyangka bisa ketemu di sini!” Diana berkata dengan riang, kemudian melirik ke Damay yang sedang memandangnya dengan heran. Damay tersenyum ramah meski sedikit bingung. "Ini istri dan anakmu, Saga?" tanya perempuan itu. "Ya, benar." "Hahah, wah gak nyangka ya! Pria dingin yang sulit didekati ternyata sudah punya istri." Saga tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa canggung yang mulai muncul. "Iya, hidup memang penuh kejutan," jawabnya sambil melirik ke Damay Diana melirik ke arah
Perjalanan dengan pesawat terasa singkat, tapi pemandangan dari jendela sudah cukup membuat Damay terpesona. Langit biru berpadu dengan hamparan lautan dan hijau pegunungan yang memukau.Saat mereka tiba di Jeju, angin langsung menyambut dengan lembut, membawa aroma segar yang menenangkan. Saga sudah menyewa mobil kecil untuk menjelajahi pulau itu. Rain tertidur di car seat-nya di belakang, sementara Damay duduk di samping Saga, mengagumi pemandangan yang begitu indah.“Mas, Pulau Jeju ini cantik banget, ya?” ujar Damay sambil menopang dagu di tangannya.Saga tersenyum kecil, melirik Damay sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. “Iya, kayak kamu.”Damay memutar matanya, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Mas, kita udah nikah, loh. Nggak usah gombal terus.”“Justru karena udah nikah, aku wajib ngegombal tiap hari. Biar kamu nggak lari ke yang lain,” jawab Saga sambil tertawa kecil.Damay tertawa mendengar jawabannya, meskipun matanya tetap fokus pada pemandangan di luar jendela.
Malam harinya ...."Rain sudah tidur?" tanya Saga saat melihat Damay menghampirinya di balkon hotel. Ia tengah menikmati suasana malam yang mengagumkan.Angin laut yang cukup kencang tapi juga menenangkan. Serta lampu-lampu di sepanjang pantai mulai menyala, menciptakan cahaya lembut yang memantul di atas permukaan laut."Sudah, Mas," jawab Damay duduk di samping sang suami. Saga langsung merangkul Damay ke pelukannya.“Mas, aku jadi inget waktu kita pertama kali jalan-jalan bareng, kamu ajak aku mancing, terus bakar ikan, karena kemaleman jadi nginep di rumahmu. Dan sekarang, kita ada di sini, rasanya masih kayak mimpi,” ujar Damay dengan suara pelan, masih berada dalam pelukan Saga.Saga tersenyum, matanya menatap lembut wajah Damay. "Aku juga ingat. Tapi waktu itu aku nggak tahu kalau hari-hari berikutnya akan jadi semenyenangkan ini. Kamu bikin semuanya terasa lebih indah."Damay menoleh. “Aku juga nggak nyangka, setiap hari bersama kamu tuh selalu ada kejutan yang bikin aku makin
Saga menatap istrinya lekat, melihat Damay yang tengah bersiap-siap. Gamis warna mocca dan hijab coklat tua dengan corak bunga-bunga membalut tubuh rampingnya saat ini. Sementara Rain tengah asyik bermain sendiri di atas tempat tidur. Saga tersenyum melihat kelucuan bayinya yang begitu ceria sambil mengoceh riang. "Mas, aku udah siap!" ucap Damay. Saga menatap istrinya dengan penuh kagum. Damay terlihat begitu cantik elegan. Wajahnya terlihat bersinar, apalagi setelah mengoleskan liptint yang menambah kesan segar di bibirnya. Saga merasa beruntung bisa memiliki wanita sebaik dan secantik Damay. "Wow, kamu cantik banget, Sayang," kata Saga dengan senyuman semringah menggoda. "Tapi ada sesuatu di pipimu," tambah lelaki itu lagi. "Apa, Mas? Bedakku ketebelan ya?" Saga menggeleng sembari mendekat ke istrinya, mendadak sebuah kecupan lembut mendarat di pipinya. Damay tersenyum malu. "Dasar ternyata modus!" Saga tertawa lagi. Ia merapikan jaketnya dan mengambil gendongan ya
[Pak Bos, mohon maaf sebelumnya, mengganggu liburan Anda sekeluarga. Kami harap secepatnya Pak Bos bisa pulang, ada hal yang mendesak.]Damay mendongak melihat perubahan di wajah suaminya."Kenapa, Mas?""Hmmm, sepertinya ada masalah yang mendesak, kita gak bisa liburan lebih lama lagi, Sayang. Besok kita siap-siap pulang ya! Kamu gak keberatan kan?"Damay mengangguk. "Iya, Mas. Gak apa-apa kok lagi pula kita dah cukup lama di Korea. Pekerjaanmu membutuhkanmu, Mas."Saga langsung mengecup kening istrinta dengan lembut. "Terima kasih atas pengertianmu, Sayang."Hari itu juga Saga dan Damay bertolak kembali ke Seoul, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia. Mereka kembali ke hotel. "Sebelum kita benar-benar pulang. Nanti sore aku ingin mengajakmu jalan-jalan sebentar, anggap saja menikmati waktu terakhir kita di Korea."Damay mengangguk seraya tersenyum. "Boleh, Mas, emangnya mau jalan-jalan kemana?""Yang dekat saja, taman bunga. Kamu pasti bakalan suka.""Iya aku suka banget, Mas. Terim
Sementara itu ...Di kantor, ponsel Saga kembali bergetar. Ia mengambilnya dan membaca pesan itu. Alisnya sedikit berkerut.Dia mengetik balasan dengan hati-hati.[Aidan, aku masih banyak pekerjaan. Nanti aku kabari lagi, ya.]Pesan terkirim. Tapi tak sampai lima menit, balasan dari Aidan masuk lagi.[Bro, nggak ada alasan untuk nggak luangin waktu buat sahabat lama. Lagian, aku sudah pesan meja di restoran favoritku. Aku janji, cuma makan santai kok. Kamu bisa bawa istri dan anak kamu. Aku penasaran lihat keluarga bahagiamu.]Saga menghela napas panjang. Ada sesuatu tentang Aidan yang selalu sulit ia tolak. Ia menutup matanya sejenak, lalu mengetik balasan.[Baiklah, aku akan datang. Tapi jangan buat kejutan aneh-aneh.]Balasan dari Aidan langsung muncul hanya beberapa detik kemudian.[Hahaha, tenang aja, Bro. Aku cuma mau ngobrol dan nostalgia. Nggak sabar ketemu kalian semua!][Kirim lokasi
"Maaf cari siapa ya?"Pria itu tersenyum lebar, senyuman yang tampaknya ingin mencairkan suasana. “Damay, kan?""Anda mengenal saya?"Pria itu tertawa. "Tentu saja. Bukankah kita pernah bertemu di Rumah Sakit Korea beberapa hari yang lalu? Nona yang mengembalikan dompet saya."Deg! Damay mulai mengingat insiden di RS kala itu. 'Jadi dia pria yang dompetnya jatuh? Kenapa penampilannya berbeda sekali?'Bukan hanya penampilan fisik tapi juga perangainya. Pria yang ada di hadapannya kini terlihat lebih ramah dan bersahabat, tak seperti waktu itu yang terlihat dingin dan kaku.'Lalu untuk apa dia datang ke sini dan kenapa bisa mengenalku?'"Hahaha, sepertinya nona kebingungan. Tentu saja saya tahu tentang Nona, karena Nona adalah istri sahabat saya. Kenalkan, saya Aidan," ucap lelaki itu seraya menyodorkan tangannya.Damay mengangguk, tapi tak membalas uluran tangannya. Ia hanya menangkupkan tangannya di depan dada. "Oh, maaf Mas Aidan. Tapi Mas Saga sudah berangkat ke kantor. Mungkin nan
Saga mengangguk. "Hmmm .... Jadi yang semalam telepon itu nomornya dia.""Oalah, terus?"Saga melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Katanya dia mau datang ke sini. Mungkin sore nanti. Dia ingin bertemu, tapi aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus?"Damay terdiam sejenak melihat suaminya yang tengah bingung. "Ya udah yuk, kita sarapan dulu! Makanannya udah siap lho, Mas pasti suka!" ajak Damay mengalihkan perhatiannya.Sagara mengangguk. Mereka menikmati makan bersama sebelum akhirnya Pak Tom memberi tahu agar Saga segera datang ke kantor karena ada meeting darurat."Ya, aku segera datang!" ujar Sagara di ujung telepon. Ia meletakkan ponselnya ke dalam saku lalu berpamitan dengan sang istri."Sayang, aku berangkat dulu ya!""Hmmm, iya mas, semoga pekerjaanmu lancar," ucap Damay sambil tersenyum manis.Saga langsung mengecup kening istrinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang. Jaga dir
“Aku tidak tahu, panggilan dari nomor asing.”"Abaikan saja.""Iya, Mas."Damay mendekat ke arah sang suami lalu menatap Rain yang sudah tertidur kembali di pelukan ayahnya."Dia sudah tidur lagi," ucap Saga sambil tersenyum.Damay tersenyum lalu mengecup pipi mungil Rain. "Hmmm .... cuma Rain aja nih yang dicium? Ayahnya enggak?"Damay menoleh menatap wajah sang suami, ia tertawa pelan. "Untuk ayahnya tidak perlu, kan udah sering!"Saga tersenyum lebar, senang melihat Damay kembali ceria. "Ah, jadi aku harus bersaing dengan baby Rain sekarang, ya?" gurau Saga sambil menggoda.Damay tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya pada Saga, memberikan kecupan hangat di pipinya. "Mas," Damay memulai lagi, suaranya sedikit lebih serius"Hmmm, kenapa Sayang?" Saga menatapnya dengan penuh perhatian.Saga menaruh kembali baby Rain dalam boks bayi, setelah Rain tertidur dengan tenang. "
Kenangan itu membekas di hati Saga. Sejak saat itu, Pak Jerry menjadi lebih dari sekadar pendamping; dia adalah teman, pengganti figur keluarga yang hilang. Tapi kini, saat nama Pak Jerry disebut dalam masalah besar perusahaan, kenangan itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Saga lebih dalam.***Sementara di tempat lain ...Pak Tom pulang ke markas sendirian, disambut oleh anak-anak pilihan. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu pulang juga. Pak, saya bawa oleh-oleh liburan buat Pak Tom, Pak Jerry, dan anak-anak," seru Lanang menghampirinya dengan senyum yang lebar. Anak-anak pilihan mengangguk dengan ceria, senyuman tulus terpancar dari binar matanya.Tapi tidak dengan Pak Tom yang ekspresi wajahnya terlihat muram. "Mana Pak Jerry? Kok belum muncul juga? Apa masih di mobil?" tanya Lanang kembali seraya tolah toleh ke belakang."Pak Jerry gak pulang.""Oh, masih ada tugas dari Mas Bos?"Pak Tom menggele
Damay mematung di tempatnya, memandang Saga dengan tatapan sedih, mencoba memahami ucapan suaminya. Tapi Saga tetap terdiam, hanya menunduk sambil memutar cangkir kopinya yang sudah dingin.Baby Rain bergerak sedikit, gumaman lembut suara bayi terdengar samar. Damay menoleh, tatapannya beralih ke sosok mungil itu sejenak, lalu kembali ke Saga. Ia meraih pundaknya perlahan, mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.“Mas,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Kenapa bilang Pak Jerry terlibat? Apa ada bukti?”Saga mengangkat wajahnya, mata merahnya bertemu dengan tatapan istrinya. Ia membuka mulut, namun tak ada kata-kata yang keluar. Hanya napas berat yang terdengar, mengisi ruang yang terasa semakin sempit.“Semua datanya mengarah ke dia,” gumamnya akhirnya, pelan, nyaris tak terdengar. Jari-jarinya mengusap wajahnya yang penuh kelelahan. “Aku nggak bisa mengerti… bagaimana bisa? Aku selalu percaya sama dia, Damay. Aku selalu melihat dia seba
Pak Jerry membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Tubuhnya sedikit gemetar, ia menatap Saga, Pak Tom serta Pak Riko bergantian, tatapan matanya tampak berkaca-kaca. “Saya… saya tidak tahu apa-apa, Pak. Seseorang pasti menyabotase saya.” Saga tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya tajam. Hening di ruangan itu begitu tegang, hingga detik jam dinding terdengar seperti pukulan palu. “Pak Riko,” ujar Saga akhirnya, tanpa melepaskan tatapannya dari Pak Jerry, “amankan semua akses Pak Jerry. Jangan biarkan dia menyentuh sistem apa pun sampai kita tahu kebenarannya. Dan Pak Jerry…” Dia mendekat, suaranya rendah tapi dingin. “Kalau Bapak benar-benar tidak bersalah, buktikan. Tapi kalau Bapak berbohong…” Saga berhenti sejenak, matanya menyipit. “Bapak tahu akibatnya.” Pak Jerry tertunduk. "Pak Bos, Anda tahu sendiri, saya sudah mengabdi pada Pak Bos dan perusahaan ini bukan satu tahun dua tahun, tapi lebih dari itu.
“Pak Saga, kami punya kabar baik dan buruk,” suara Pak Riko terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.“Apa itu?” “Kabar baiknya, kami berhasil melacak sebagian besar transaksi ilegal itu. Kami menemukan aliran dana mengarah ke sebuah akun di luar negeri. Tapi buruknya, ada indikasi bahwa pelaku masih memiliki akses ke beberapa sistem kami. Kami menduga mereka sedang menunggu momen berikutnya untuk menyerang.”Saga mengerutkan kening. “Sudahkah kalian memutus semua akses yang mencurigakan?”“Sudah, Pak, tapi pelaku ini sangat terampil. Mereka bisa menggunakan backdoor lain kapan saja. Kami juga mencurigai adanya aktivitas mencurigakan dari beberapa karyawan yang memiliki akses tinggi.”Saga terdiam sesaat. Curiga ini semakin menguatkan dugaan adanya orang dalam yang terlibat.“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan segera ke kantor. Pastikan semua data cadangan aman dan awasi aktivitas siapa pun yang mencurigakan. Jangan ambil risiko
Damay tersenyum tipis, matanya tak lepas dari wajah Saga. Dia tahu, meski suaminya mengatakan akan terus berjuang, ada sesuatu yang belum sepenuhnya lepas dari pikirannya. “Mas,” bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahu Saga, “kalau terlalu berat, Mas bisa ceritakan semuanya ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu ada untuk Mas.” Saga terdiam, tatapannya masih pada Baby Rain. Detik-detik berlalu tanpa jawaban, sampai akhirnya dia berbicara, pelan tapi tegas. “Di kantor tadi, kami diserang. Sistem keuangan kita diretas. Uang perusahaan hilang dalam hitungan menit, dan datanya sekarang dienkripsi. Mereka meminta tebusan.” Damay membeku. Tubuhnya kaku sesaat, tapi dia berusaha tetap tenang. “Berapa yang hilang, Mas?” Saga menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Dua puluh lima miliar,” jawabnya lirih. “Dan aku curiga ada orang dalam yang terlibat.” Damay menut