Malam harinya ...."Rain sudah tidur?" tanya Saga saat melihat Damay menghampirinya di balkon hotel. Ia tengah menikmati suasana malam yang mengagumkan.Angin laut yang cukup kencang tapi juga menenangkan. Serta lampu-lampu di sepanjang pantai mulai menyala, menciptakan cahaya lembut yang memantul di atas permukaan laut."Sudah, Mas," jawab Damay duduk di samping sang suami. Saga langsung merangkul Damay ke pelukannya.“Mas, aku jadi inget waktu kita pertama kali jalan-jalan bareng, kamu ajak aku mancing, terus bakar ikan, karena kemaleman jadi nginep di rumahmu. Dan sekarang, kita ada di sini, rasanya masih kayak mimpi,” ujar Damay dengan suara pelan, masih berada dalam pelukan Saga.Saga tersenyum, matanya menatap lembut wajah Damay. "Aku juga ingat. Tapi waktu itu aku nggak tahu kalau hari-hari berikutnya akan jadi semenyenangkan ini. Kamu bikin semuanya terasa lebih indah."Damay menoleh. “Aku juga nggak nyangka, setiap hari bersama kamu tuh selalu ada kejutan yang bikin aku makin
Saga menatap istrinya lekat, melihat Damay yang tengah bersiap-siap. Gamis warna mocca dan hijab coklat tua dengan corak bunga-bunga membalut tubuh rampingnya saat ini. Sementara Rain tengah asyik bermain sendiri di atas tempat tidur. Saga tersenyum melihat kelucuan bayinya yang begitu ceria sambil mengoceh riang. "Mas, aku udah siap!" ucap Damay. Saga menatap istrinya dengan penuh kagum. Damay terlihat begitu cantik elegan. Wajahnya terlihat bersinar, apalagi setelah mengoleskan liptint yang menambah kesan segar di bibirnya. Saga merasa beruntung bisa memiliki wanita sebaik dan secantik Damay. "Wow, kamu cantik banget, Sayang," kata Saga dengan senyuman semringah menggoda. "Tapi ada sesuatu di pipimu," tambah lelaki itu lagi. "Apa, Mas? Bedakku ketebelan ya?" Saga menggeleng sembari mendekat ke istrinya, mendadak sebuah kecupan lembut mendarat di pipinya. Damay tersenyum malu. "Dasar ternyata modus!" Saga tertawa lagi. Ia merapikan jaketnya dan mengambil gendongan ya
[Pak Bos, mohon maaf sebelumnya, mengganggu liburan Anda sekeluarga. Kami harap secepatnya Pak Bos bisa pulang, ada hal yang mendesak.]Damay mendongak melihat perubahan di wajah suaminya."Kenapa, Mas?""Hmmm, sepertinya ada masalah yang mendesak, kita gak bisa liburan lebih lama lagi, Sayang. Besok kita siap-siap pulang ya! Kamu gak keberatan kan?"Damay mengangguk. "Iya, Mas. Gak apa-apa kok lagi pula kita dah cukup lama di Korea. Pekerjaanmu membutuhkanmu, Mas."Saga langsung mengecup kening istrinta dengan lembut. "Terima kasih atas pengertianmu, Sayang."Hari itu juga Saga dan Damay bertolak kembali ke Seoul, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia. Mereka kembali ke hotel. "Sebelum kita benar-benar pulang. Nanti sore aku ingin mengajakmu jalan-jalan sebentar, anggap saja menikmati waktu terakhir kita di Korea."Damay mengangguk seraya tersenyum. "Boleh, Mas, emangnya mau jalan-jalan kemana?""Yang dekat saja, taman bunga. Kamu pasti bakalan suka.""Iya aku suka banget, Mas. Terim
Setelah mendarat di Jakarta, Saga dan Damay langsung menuju ke rumah. Damay menidurkan Baby Rain dan beres-beres barang bawaannya.Saga tersenyum, memandang keluarga kecilnya. "Sayang, kalau capek istirahat saja.""Tapi ini berantakan, Mas.""Tidak apa-apa berantakan sedikit. Barang-barang ini gak bakalan nangis kok.""Ih dasar nggemesin."Saga tertawa sejenak. "Sayang, aku mau langsung berangkat ke kantor, kamu gak apa-apa 'kan kalau ditinggal dulu?"Damay mengangguk pelan meski raut wajahnya tampak kecewa."Maaf ya, aku harus menyelesaikan masalah kantor ini agar keluarga kita tetap bahagia."Damay mendukung. "Iya, Mas. Kita akan menghadapi bersama, Mas. Mas yang semangat ya kerjanya.""Pasti sayangku."Tanpa menunggu lama, Saga kembali ke kantor meski badan terlihat lelah, tapi ia harus segera menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Ia meninggalkan Damay dan Baby Rain dengan senyuman ti
Saga langsung tertegun. Serangan cyber? Saat situasi perusahaan sudah cukup genting, kini muncul ancaman baru. Tanpa membuang waktu, dia bergegas menuju ruang tim IT, di mana suasana terlihat kacau. Para staf sibuk di depan layar komputer mereka, berusaha menganalisis sumber serangan. "Laporkan situasinya!" perintah Saga dengan tegas. Kepala tim IT, Pak Riko, menjelaskan dengan wajah tegang, "Pak, serangan ini sangat canggih. Mereka berhasil menembus firewall kami dan mengakses data keuangan perusahaan. Beberapa transfer besar dilakukan secara ilegal ke rekening asing. Kami sedang mencoba melacak IP address penyerang, tapi mereka menggunakan teknik masking yang sangat rumit." Saga mengerutkan kening, merasa amarah bercampur dengan kecemasan. "Berapa besar kerugian yang sudah terjadi?" Pak Riko melirik layar komputernya. "Sekitar 25 miliar rupiah telah ditransfer ke rekening yang belum teridentifikasi
Damay berlutut di sampingnya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Mas, kita pasti bisa melewati ini. Lihat Baby Rain.” Dia menunjuk bayi mereka yang tertidur nyenyak. “Dia percaya sama kita. Aku percaya sama Mas. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Jangan pikirkan semua ini sendirian.”Saga mengangguk perlahan, tapi dadanya terasa berat. Dia tahu kata-kata Damay benar, tapi tidak mudah baginya untuk melupakan segala yang mengisi pikirannya sejak tadi pagi. Di kantor, suara Pak Tom dan laporan yang penuh angka masih bergema di kepalanya. Wajah para manajer yang tampak putus asa terus menghantui, seperti bayangan yang enggan pergi. “Aku hanya nggak mau mengecewakan kalian. Aku ingin kamu dan Baby Rain hidup bahagia. Tanpa beban, tanpa masalah seperti ini," katanya lirih.Damay tersenyum tipis, meski matanya tampak berkaca-kaca. “Kita bahagia, Mas. Bukan karena semuanya sempurna, tapi karena kita punya satu sama lain. Mas nggak perlu menanggun
Damay tersenyum tipis, matanya tak lepas dari wajah Saga. Dia tahu, meski suaminya mengatakan akan terus berjuang, ada sesuatu yang belum sepenuhnya lepas dari pikirannya. “Mas,” bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahu Saga, “kalau terlalu berat, Mas bisa ceritakan semuanya ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu ada untuk Mas.” Saga terdiam, tatapannya masih pada Baby Rain. Detik-detik berlalu tanpa jawaban, sampai akhirnya dia berbicara, pelan tapi tegas. “Di kantor tadi, kami diserang. Sistem keuangan kita diretas. Uang perusahaan hilang dalam hitungan menit, dan datanya sekarang dienkripsi. Mereka meminta tebusan.” Damay membeku. Tubuhnya kaku sesaat, tapi dia berusaha tetap tenang. “Berapa yang hilang, Mas?” Saga menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Dua puluh lima miliar,” jawabnya lirih. “Dan aku curiga ada orang dalam yang terlibat.” Damay menut
“Pak Saga, kami punya kabar baik dan buruk,” suara Pak Riko terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.“Apa itu?” “Kabar baiknya, kami berhasil melacak sebagian besar transaksi ilegal itu. Kami menemukan aliran dana mengarah ke sebuah akun di luar negeri. Tapi buruknya, ada indikasi bahwa pelaku masih memiliki akses ke beberapa sistem kami. Kami menduga mereka sedang menunggu momen berikutnya untuk menyerang.”Saga mengerutkan kening. “Sudahkah kalian memutus semua akses yang mencurigakan?”“Sudah, Pak, tapi pelaku ini sangat terampil. Mereka bisa menggunakan backdoor lain kapan saja. Kami juga mencurigai adanya aktivitas mencurigakan dari beberapa karyawan yang memiliki akses tinggi.”Saga terdiam sesaat. Curiga ini semakin menguatkan dugaan adanya orang dalam yang terlibat.“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan segera ke kantor. Pastikan semua data cadangan aman dan awasi aktivitas siapa pun yang mencurigakan. Jangan ambil risiko
Saga mengangguk. "Hmmm .... Jadi yang semalam telepon itu nomornya dia.""Oalah, terus?"Saga melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Katanya dia mau datang ke sini. Mungkin sore nanti. Dia ingin bertemu, tapi aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus?"Damay terdiam sejenak melihat suaminya yang tengah bingung. "Ya udah yuk, kita sarapan dulu! Makanannya udah siap lho, Mas pasti suka!" ajak Damay mengalihkan perhatiannya.Sagara mengangguk. Mereka menikmati makan bersama sebelum akhirnya Pak Tom memberi tahu agar Saga segera datang ke kantor karena ada meeting darurat."Ya, aku segera datang!" ujar Sagara di ujung telepon. Ia meletakkan ponselnya ke dalam saku lalu berpamitan dengan sang istri."Sayang, aku berangkat dulu ya!""Hmmm, iya mas, semoga pekerjaanmu lancar," ucap Damay sambil tersenyum manis.Saga langsung mengecup kening istrinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang. Jaga dir
“Aku tidak tahu, panggilan dari nomor asing.”"Abaikan saja.""Iya, Mas."Damay mendekat ke arah sang suami lalu menatap Rain yang sudah tertidur kembali di pelukan ayahnya."Dia sudah tidur lagi," ucap Saga sambil tersenyum.Damay tersenyum lalu mengecup pipi mungil Rain. "Hmmm .... cuma Rain aja nih yang dicium? Ayahnya enggak?"Damay menoleh menatap wajah sang suami, ia tertawa pelan. "Untuk ayahnya tidak perlu, kan udah sering!"Saga tersenyum lebar, senang melihat Damay kembali ceria. "Ah, jadi aku harus bersaing dengan baby Rain sekarang, ya?" gurau Saga sambil menggoda.Damay tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya pada Saga, memberikan kecupan hangat di pipinya. "Mas," Damay memulai lagi, suaranya sedikit lebih serius"Hmmm, kenapa Sayang?" Saga menatapnya dengan penuh perhatian.Saga menaruh kembali baby Rain dalam boks bayi, setelah Rain tertidur dengan tenang. "
Kenangan itu membekas di hati Saga. Sejak saat itu, Pak Jerry menjadi lebih dari sekadar pendamping; dia adalah teman, pengganti figur keluarga yang hilang. Tapi kini, saat nama Pak Jerry disebut dalam masalah besar perusahaan, kenangan itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Saga lebih dalam.***Sementara di tempat lain ...Pak Tom pulang ke markas sendirian, disambut oleh anak-anak pilihan. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu pulang juga. Pak, saya bawa oleh-oleh liburan buat Pak Tom, Pak Jerry, dan anak-anak," seru Lanang menghampirinya dengan senyum yang lebar. Anak-anak pilihan mengangguk dengan ceria, senyuman tulus terpancar dari binar matanya.Tapi tidak dengan Pak Tom yang ekspresi wajahnya terlihat muram. "Mana Pak Jerry? Kok belum muncul juga? Apa masih di mobil?" tanya Lanang kembali seraya tolah toleh ke belakang."Pak Jerry gak pulang.""Oh, masih ada tugas dari Mas Bos?"Pak Tom menggele
Damay mematung di tempatnya, memandang Saga dengan tatapan sedih, mencoba memahami ucapan suaminya. Tapi Saga tetap terdiam, hanya menunduk sambil memutar cangkir kopinya yang sudah dingin.Baby Rain bergerak sedikit, gumaman lembut suara bayi terdengar samar. Damay menoleh, tatapannya beralih ke sosok mungil itu sejenak, lalu kembali ke Saga. Ia meraih pundaknya perlahan, mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.“Mas,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Kenapa bilang Pak Jerry terlibat? Apa ada bukti?”Saga mengangkat wajahnya, mata merahnya bertemu dengan tatapan istrinya. Ia membuka mulut, namun tak ada kata-kata yang keluar. Hanya napas berat yang terdengar, mengisi ruang yang terasa semakin sempit.“Semua datanya mengarah ke dia,” gumamnya akhirnya, pelan, nyaris tak terdengar. Jari-jarinya mengusap wajahnya yang penuh kelelahan. “Aku nggak bisa mengerti… bagaimana bisa? Aku selalu percaya sama dia, Damay. Aku selalu melihat dia seba
Pak Jerry membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Tubuhnya sedikit gemetar, ia menatap Saga, Pak Tom serta Pak Riko bergantian, tatapan matanya tampak berkaca-kaca. “Saya… saya tidak tahu apa-apa, Pak. Seseorang pasti menyabotase saya.” Saga tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya tajam. Hening di ruangan itu begitu tegang, hingga detik jam dinding terdengar seperti pukulan palu. “Pak Riko,” ujar Saga akhirnya, tanpa melepaskan tatapannya dari Pak Jerry, “amankan semua akses Pak Jerry. Jangan biarkan dia menyentuh sistem apa pun sampai kita tahu kebenarannya. Dan Pak Jerry…” Dia mendekat, suaranya rendah tapi dingin. “Kalau Bapak benar-benar tidak bersalah, buktikan. Tapi kalau Bapak berbohong…” Saga berhenti sejenak, matanya menyipit. “Bapak tahu akibatnya.” Pak Jerry tertunduk. "Pak Bos, Anda tahu sendiri, saya sudah mengabdi pada Pak Bos dan perusahaan ini bukan satu tahun dua tahun, tapi lebih dari itu.
“Pak Saga, kami punya kabar baik dan buruk,” suara Pak Riko terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.“Apa itu?” “Kabar baiknya, kami berhasil melacak sebagian besar transaksi ilegal itu. Kami menemukan aliran dana mengarah ke sebuah akun di luar negeri. Tapi buruknya, ada indikasi bahwa pelaku masih memiliki akses ke beberapa sistem kami. Kami menduga mereka sedang menunggu momen berikutnya untuk menyerang.”Saga mengerutkan kening. “Sudahkah kalian memutus semua akses yang mencurigakan?”“Sudah, Pak, tapi pelaku ini sangat terampil. Mereka bisa menggunakan backdoor lain kapan saja. Kami juga mencurigai adanya aktivitas mencurigakan dari beberapa karyawan yang memiliki akses tinggi.”Saga terdiam sesaat. Curiga ini semakin menguatkan dugaan adanya orang dalam yang terlibat.“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan segera ke kantor. Pastikan semua data cadangan aman dan awasi aktivitas siapa pun yang mencurigakan. Jangan ambil risiko
Damay tersenyum tipis, matanya tak lepas dari wajah Saga. Dia tahu, meski suaminya mengatakan akan terus berjuang, ada sesuatu yang belum sepenuhnya lepas dari pikirannya. “Mas,” bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahu Saga, “kalau terlalu berat, Mas bisa ceritakan semuanya ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu ada untuk Mas.” Saga terdiam, tatapannya masih pada Baby Rain. Detik-detik berlalu tanpa jawaban, sampai akhirnya dia berbicara, pelan tapi tegas. “Di kantor tadi, kami diserang. Sistem keuangan kita diretas. Uang perusahaan hilang dalam hitungan menit, dan datanya sekarang dienkripsi. Mereka meminta tebusan.” Damay membeku. Tubuhnya kaku sesaat, tapi dia berusaha tetap tenang. “Berapa yang hilang, Mas?” Saga menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Dua puluh lima miliar,” jawabnya lirih. “Dan aku curiga ada orang dalam yang terlibat.” Damay menut
Damay berlutut di sampingnya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Mas, kita pasti bisa melewati ini. Lihat Baby Rain.” Dia menunjuk bayi mereka yang tertidur nyenyak. “Dia percaya sama kita. Aku percaya sama Mas. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Jangan pikirkan semua ini sendirian.”Saga mengangguk perlahan, tapi dadanya terasa berat. Dia tahu kata-kata Damay benar, tapi tidak mudah baginya untuk melupakan segala yang mengisi pikirannya sejak tadi pagi. Di kantor, suara Pak Tom dan laporan yang penuh angka masih bergema di kepalanya. Wajah para manajer yang tampak putus asa terus menghantui, seperti bayangan yang enggan pergi. “Aku hanya nggak mau mengecewakan kalian. Aku ingin kamu dan Baby Rain hidup bahagia. Tanpa beban, tanpa masalah seperti ini," katanya lirih.Damay tersenyum tipis, meski matanya tampak berkaca-kaca. “Kita bahagia, Mas. Bukan karena semuanya sempurna, tapi karena kita punya satu sama lain. Mas nggak perlu menanggun
Saga langsung tertegun. Serangan cyber? Saat situasi perusahaan sudah cukup genting, kini muncul ancaman baru. Tanpa membuang waktu, dia bergegas menuju ruang tim IT, di mana suasana terlihat kacau. Para staf sibuk di depan layar komputer mereka, berusaha menganalisis sumber serangan. "Laporkan situasinya!" perintah Saga dengan tegas. Kepala tim IT, Pak Riko, menjelaskan dengan wajah tegang, "Pak, serangan ini sangat canggih. Mereka berhasil menembus firewall kami dan mengakses data keuangan perusahaan. Beberapa transfer besar dilakukan secara ilegal ke rekening asing. Kami sedang mencoba melacak IP address penyerang, tapi mereka menggunakan teknik masking yang sangat rumit." Saga mengerutkan kening, merasa amarah bercampur dengan kecemasan. "Berapa besar kerugian yang sudah terjadi?" Pak Riko melirik layar komputernya. "Sekitar 25 miliar rupiah telah ditransfer ke rekening yang belum teridentifikasi