Part 60b Mega terdiam, hatinya terasa sakit mendengar reaksi Guntur. Perangai sang suami yang benar-benar berubah. Menjadi lebih pemarah, tak seperti saat mereka pacaran dulu. "Mas, aku kan hanya bertanya--" "Sudah cukup! Lebih baik kau bilang ke Saga. Jangan laporkan masalah itu ke polisi! Kamu tidak mau kan anak itu lahir tanpa seorang ayah di sisinya?!" ancam Guntur lagi membuat hati Mega makin sakit. "Dilaporkan ke polisi? Apa maksudnya, Mega?" Bu Siti bertanya heran. Guntur tak berniat menjawabnya sama sekali. Ia justru pergi begitu saja meninggalkan dua wanita itu dalam kebingungan. "Mega, apa yang terjadi dengan suamimu? Kenapa bawa-bawa Saga dan polisi?" tanya sang ibunda. Bu Siti memandang Mega dengan ekspresi bingung sekaligus khawatir. Tetiba Mega menangis histeris bersamaan perginya mobil Guntur. "Mega, kenapa kamu malah nangis begitu?"
Part 61Bu Siti memandang Damay dan Saga dengan tatapan kecewa. "Kalian beneran tidak bisa membantu kami?" tanyanya. Saga dan Damay saling pandang sejenak. Namun karena tak ingin berlama-lama, Mega langsung menarik tangan ibunya."Ayo, Bu, kita pulang saja! Percuma saja kita datang ke sini, mereka gak punya hati nurani!" ujarnya ketus. Mereka pergi meninggalkan Saga dan Damay yang masih terdiam di tempatnya."Mas, aku sebenarnya gak ingin bertengkar dengan mereka. Hubungan kemarin sudah mulai membaik, sekarang begini lagi. Entah kenapa Mega berkata seperti itu. Aku sangat sedih, Mas." Damay menghela napas dalam-dalam.Saga menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Gak usah khawatir ya. Kita akan mencoba yang terbaik, Sayang. Yang penting, kita tetap bersama dalam menghadapi ini."Damay mengangguk pelan. "Aku berangkat dulu ya, Sayang. Kamu jaga diri baik-baik.""Iya, Mas, kamu juga hati-hati di ja
Part 61bMega mengangguk, ia melajukan motornya lebih kencang biar cepat sampai di rumah. Seketika Mega dan Bu Siti shock melihat pemandangan di depannya. Mereka terkejut melihat rumah mereka yang terbakar hebat. Mega segera memarkirkan motornya dengan tergesa-gesa, sementara Bu Siti langsung berlari mendekati tetangga-tetangga yang sudah berusaha memadamkan api dengan ember-ember air.Lutut Bu Siti terasa lemas seketika melihat rumah tempat tinggal satu-satunya ludes dilalap api. Suara teriakan dan histeris para warga memenuhi gendang telinganya, mereka berlarian membawa ember berisi air berusaha memadamkan api."Tolong! Tolong! Ada yang bisa bantu padamkan api ini!" teriak Bu Siti dengan nada gemetar.Mega segera bergabung dengan tetangga-tetangga yang berusaha keras untuk mengendalikan kobaran api dengan apa yang mereka miliki. Dia merasa hancur melihat api yang melalap habis tempat yang selama ini mereka panggil sebagai rum
Part 62 Mega menatap kakak tirinya itu. "Mbak, kami tidak punya tempat tinggal lagi. Apakah kami boleh tinggal di sini untuk sementara waktu?" Bu Siti masih menangis. "Iya, Nak. Kami gak punya apapun lagi selain baju yang melekat di badan. Semuanya sudah hangus. Semuanya sudah hancur. Kami juga gak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Tolong kami, Nak." Damay terdiam sejenak. Hatinya dipenuhi rasa dilema. Bukan ia tak kasihan dengan ibu dan adik tirinya itu. Antara sisi kemanusiaan dan egonya tengah berperang dalam hati. Damay menghela napas dalam, ia pun sebenarnya tak tega dengan kondisi ibu dan Mega. "Nanti kita bicarakan dulu masalah ini sama Mas Saga ya, Bu." "Kenapa harus bicara dulu sih, Mbak? Kamu kayak gak punya pendirian aja! Padahal ini masalah genting loh!" celetuk Mega kemudian. Mendengar celetukan Mega, Damay merasa tertegun sejenak. Dia mengerti bahwa situasi mereka
Part 63 "Saya akan membantu kalian mencari tempat tinggal sementara. Asisten saya nanti yang akan mengantar kalian langsung. Dia akan segera datang ke mari. Kalian bisa bersiap setelah ini," ujar Saga tegas. "Mas--" "Tidak ada bantahan untuk masalah ini. Suka atau tidak, saya hanya bisa membantu seperti ini. Kalian tenang saja, uang sewa akan saya bayarkan selama kalian tinggal di sana." Semua terdiam seolah mati kutu mendengar ucapan tegas Saga. "Dan, insyaallah Damay, ibu dan Mega, saya sudah pikirkan akan membangun kembali rumah itu." Damay menoleh menatap suaminya dengan pandangan berkaca-kaca. "Benarkah, Mas?" tanyanya dengan hati bergetar. Saga meraih tangan istrinya dengan lembut. "Ya, bukankah itu rumah penuh kenangan masa kecilmu?" Damay mengangguk pelan. Ia merasa begitu terharu dengan ucapan sang suami. Saga melangkah ke dep
Part 62bIa merasa sedikit cemburu karena Guntur tak pernah lagi memperlakukannya dengan romantis dan manis seperti itu.Saga menatap Damay cukup lama, seolah bertanya temtang sesuatu."Ini yang ingin aku bicarakan padamu, Mas," ujar Damay memahami tatapan suaminya."Baiklah. Aku mengerti. Aku ke kamar dulu ya, mau mandi.""Iya, Mas, habis itu kita makan bersama ya, Mas.""Hmm ..."Saga mencium kepala sang istri kemudian berlalu begitu saja melewati Mega.Mega menatap kagum punggung kakak iparnya, hingga ia menghilang dari dapur."Waaah, Mbak, Mas Saga ternyata romantis banget ya! Jadi pengen! Ups maksudku, Mas Gun gak pernah bersikap manis seperti Mas Sa--""Mega, tolong siapkan piring dan sendoknya ya. Ini sayur soupnya sudah matang. Ada ayam goreng serta tempe. Ada sambal juga di meja." Damay memotong pembicaraan Mega sembari menuangkan sayur soup itu ke dalam mangkuk besar.Mega be
Part 63bHati Damay berdebar kencang mendengar kata-kata itu. Senyum manis merekah di bibirnya yang merona kebahagiaan. "Tentu saja, aku sangat siap, Mas. Hidup bersamamu, aku merasa istimewa. Aku sayang kamu," jawab Damay dengan penuh cinta."Aku juga sayang kamu, melebihi apapun."Cahaya lampu kamar memancarkan kehangatan seolah memeluk mereka dalam kedamaian, menciptakan momen yang tak terlupakan di antara dua jiwa yang saling mencintai."Mas, kenapa kamu tidak mengizinkan mereka tinggal di sini meski cuma untuk satu malam?" "Aku tidak ingin mereka menyakitimu, Sayang. Aku masih ingat betul saat di rumah itu kamu selalu dihina dan direndahkan, walaupun itu sudah berlalu, tapi itu kesan pertama saat melihat keluargamu takkan bisa aku lupa."Damay mengangguk perlahan, merasakan cinta dan perlindungan yang terpancar dari Saga. "Terima kasih, Mas, kau selalu melindungiku dengan begitu tulus."***Mega
Part 64Ponsel Saga berdering, sebuah panggilan dari ayahnya, Pak Biru Hartono."Hallo, Nak Saga. Maaf mengganggumu pagi buta." Terdengar suara Pak Biru di seberang telepon dengan nada bergetar."Iya, Yah. Ada apa?""Tolong datang kemari, Nak. Ayah butuh bantuanmu.""Ada apa, Yah?""Ayah tak bisa memberitahumu di telepon. Segera kesini ya, Nak. Ayah tunggu."Saga menatap istrinya sejenak, lalu berkata pelan. "Ya, baiklah. Aku akan datang, Yah."Saga menutup panggilan itu lalu kembali menatap istrinya yang tampak lemas."Sayang, aku harus pergi ke rumah ayah," ucap Saga, memotong keheningan yang tercipta di kamar mereka."Apakah Ayah baik-baik saja, Mas?"Saga menggeleng pelan. "Entahlah. Ayah tidak memberi tahu detailnya. Tapi sepertinya dia dalam masalah."Damay menggigit bibirnya, mencoba menahan kekhawatiran yang memuncak di dadanya. "Pasti kamu perginya lama ya, Mas?"
Sementara itu ...Di kantor, ponsel Saga kembali bergetar. Ia mengambilnya dan membaca pesan itu. Alisnya sedikit berkerut.Dia mengetik balasan dengan hati-hati.[Aidan, aku masih banyak pekerjaan. Nanti aku kabari lagi, ya.]Pesan terkirim. Tapi tak sampai lima menit, balasan dari Aidan masuk lagi.[Bro, nggak ada alasan untuk nggak luangin waktu buat sahabat lama. Lagian, aku sudah pesan meja di restoran favoritku. Aku janji, cuma makan santai kok. Kamu bisa bawa istri dan anak kamu. Aku penasaran lihat keluarga bahagiamu.]Saga menghela napas panjang. Ada sesuatu tentang Aidan yang selalu sulit ia tolak. Ia menutup matanya sejenak, lalu mengetik balasan.[Baiklah, aku akan datang. Tapi jangan buat kejutan aneh-aneh.]Balasan dari Aidan langsung muncul hanya beberapa detik kemudian.[Hahaha, tenang aja, Bro. Aku cuma mau ngobrol dan nostalgia. Nggak sabar ketemu kalian semua!][Kirim lokasi
"Maaf cari siapa ya?"Pria itu tersenyum lebar, senyuman yang tampaknya ingin mencairkan suasana. “Damay, kan?""Anda mengenal saya?"Pria itu tertawa. "Tentu saja. Bukankah kita pernah bertemu di Rumah Sakit Korea beberapa hari yang lalu? Nona yang mengembalikan dompet saya."Deg! Damay mulai mengingat insiden di RS kala itu. 'Jadi dia pria yang dompetnya jatuh? Kenapa penampilannya berbeda sekali?'Bukan hanya penampilan fisik tapi juga perangainya. Pria yang ada di hadapannya kini terlihat lebih ramah dan bersahabat, tak seperti waktu itu yang terlihat dingin dan kaku.'Lalu untuk apa dia datang ke sini dan kenapa bisa mengenalku?'"Hahaha, sepertinya nona kebingungan. Tentu saja saya tahu tentang Nona, karena Nona adalah istri sahabat saya. Kenalkan, saya Aidan," ucap lelaki itu seraya menyodorkan tangannya.Damay mengangguk, tapi tak membalas uluran tangannya. Ia hanya menangkupkan tangannya di depan dada. "Oh, maaf Mas Aidan. Tapi Mas Saga sudah berangkat ke kantor. Mungkin nan
Saga mengangguk. "Hmmm .... Jadi yang semalam telepon itu nomornya dia.""Oalah, terus?"Saga melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Katanya dia mau datang ke sini. Mungkin sore nanti. Dia ingin bertemu, tapi aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus?"Damay terdiam sejenak melihat suaminya yang tengah bingung. "Ya udah yuk, kita sarapan dulu! Makanannya udah siap lho, Mas pasti suka!" ajak Damay mengalihkan perhatiannya.Sagara mengangguk. Mereka menikmati makan bersama sebelum akhirnya Pak Tom memberi tahu agar Saga segera datang ke kantor karena ada meeting darurat."Ya, aku segera datang!" ujar Sagara di ujung telepon. Ia meletakkan ponselnya ke dalam saku lalu berpamitan dengan sang istri."Sayang, aku berangkat dulu ya!""Hmmm, iya mas, semoga pekerjaanmu lancar," ucap Damay sambil tersenyum manis.Saga langsung mengecup kening istrinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang. Jaga dir
“Aku tidak tahu, panggilan dari nomor asing.”"Abaikan saja.""Iya, Mas."Damay mendekat ke arah sang suami lalu menatap Rain yang sudah tertidur kembali di pelukan ayahnya."Dia sudah tidur lagi," ucap Saga sambil tersenyum.Damay tersenyum lalu mengecup pipi mungil Rain. "Hmmm .... cuma Rain aja nih yang dicium? Ayahnya enggak?"Damay menoleh menatap wajah sang suami, ia tertawa pelan. "Untuk ayahnya tidak perlu, kan udah sering!"Saga tersenyum lebar, senang melihat Damay kembali ceria. "Ah, jadi aku harus bersaing dengan baby Rain sekarang, ya?" gurau Saga sambil menggoda.Damay tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya pada Saga, memberikan kecupan hangat di pipinya. "Mas," Damay memulai lagi, suaranya sedikit lebih serius"Hmmm, kenapa Sayang?" Saga menatapnya dengan penuh perhatian.Saga menaruh kembali baby Rain dalam boks bayi, setelah Rain tertidur dengan tenang. "
Kenangan itu membekas di hati Saga. Sejak saat itu, Pak Jerry menjadi lebih dari sekadar pendamping; dia adalah teman, pengganti figur keluarga yang hilang. Tapi kini, saat nama Pak Jerry disebut dalam masalah besar perusahaan, kenangan itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Saga lebih dalam.***Sementara di tempat lain ...Pak Tom pulang ke markas sendirian, disambut oleh anak-anak pilihan. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu pulang juga. Pak, saya bawa oleh-oleh liburan buat Pak Tom, Pak Jerry, dan anak-anak," seru Lanang menghampirinya dengan senyum yang lebar. Anak-anak pilihan mengangguk dengan ceria, senyuman tulus terpancar dari binar matanya.Tapi tidak dengan Pak Tom yang ekspresi wajahnya terlihat muram. "Mana Pak Jerry? Kok belum muncul juga? Apa masih di mobil?" tanya Lanang kembali seraya tolah toleh ke belakang."Pak Jerry gak pulang.""Oh, masih ada tugas dari Mas Bos?"Pak Tom menggele
Damay mematung di tempatnya, memandang Saga dengan tatapan sedih, mencoba memahami ucapan suaminya. Tapi Saga tetap terdiam, hanya menunduk sambil memutar cangkir kopinya yang sudah dingin.Baby Rain bergerak sedikit, gumaman lembut suara bayi terdengar samar. Damay menoleh, tatapannya beralih ke sosok mungil itu sejenak, lalu kembali ke Saga. Ia meraih pundaknya perlahan, mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.“Mas,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Kenapa bilang Pak Jerry terlibat? Apa ada bukti?”Saga mengangkat wajahnya, mata merahnya bertemu dengan tatapan istrinya. Ia membuka mulut, namun tak ada kata-kata yang keluar. Hanya napas berat yang terdengar, mengisi ruang yang terasa semakin sempit.“Semua datanya mengarah ke dia,” gumamnya akhirnya, pelan, nyaris tak terdengar. Jari-jarinya mengusap wajahnya yang penuh kelelahan. “Aku nggak bisa mengerti… bagaimana bisa? Aku selalu percaya sama dia, Damay. Aku selalu melihat dia seba
Pak Jerry membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Tubuhnya sedikit gemetar, ia menatap Saga, Pak Tom serta Pak Riko bergantian, tatapan matanya tampak berkaca-kaca. “Saya… saya tidak tahu apa-apa, Pak. Seseorang pasti menyabotase saya.” Saga tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya tajam. Hening di ruangan itu begitu tegang, hingga detik jam dinding terdengar seperti pukulan palu. “Pak Riko,” ujar Saga akhirnya, tanpa melepaskan tatapannya dari Pak Jerry, “amankan semua akses Pak Jerry. Jangan biarkan dia menyentuh sistem apa pun sampai kita tahu kebenarannya. Dan Pak Jerry…” Dia mendekat, suaranya rendah tapi dingin. “Kalau Bapak benar-benar tidak bersalah, buktikan. Tapi kalau Bapak berbohong…” Saga berhenti sejenak, matanya menyipit. “Bapak tahu akibatnya.” Pak Jerry tertunduk. "Pak Bos, Anda tahu sendiri, saya sudah mengabdi pada Pak Bos dan perusahaan ini bukan satu tahun dua tahun, tapi lebih dari itu.
“Pak Saga, kami punya kabar baik dan buruk,” suara Pak Riko terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.“Apa itu?” “Kabar baiknya, kami berhasil melacak sebagian besar transaksi ilegal itu. Kami menemukan aliran dana mengarah ke sebuah akun di luar negeri. Tapi buruknya, ada indikasi bahwa pelaku masih memiliki akses ke beberapa sistem kami. Kami menduga mereka sedang menunggu momen berikutnya untuk menyerang.”Saga mengerutkan kening. “Sudahkah kalian memutus semua akses yang mencurigakan?”“Sudah, Pak, tapi pelaku ini sangat terampil. Mereka bisa menggunakan backdoor lain kapan saja. Kami juga mencurigai adanya aktivitas mencurigakan dari beberapa karyawan yang memiliki akses tinggi.”Saga terdiam sesaat. Curiga ini semakin menguatkan dugaan adanya orang dalam yang terlibat.“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan segera ke kantor. Pastikan semua data cadangan aman dan awasi aktivitas siapa pun yang mencurigakan. Jangan ambil risiko
Damay tersenyum tipis, matanya tak lepas dari wajah Saga. Dia tahu, meski suaminya mengatakan akan terus berjuang, ada sesuatu yang belum sepenuhnya lepas dari pikirannya. “Mas,” bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahu Saga, “kalau terlalu berat, Mas bisa ceritakan semuanya ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu ada untuk Mas.” Saga terdiam, tatapannya masih pada Baby Rain. Detik-detik berlalu tanpa jawaban, sampai akhirnya dia berbicara, pelan tapi tegas. “Di kantor tadi, kami diserang. Sistem keuangan kita diretas. Uang perusahaan hilang dalam hitungan menit, dan datanya sekarang dienkripsi. Mereka meminta tebusan.” Damay membeku. Tubuhnya kaku sesaat, tapi dia berusaha tetap tenang. “Berapa yang hilang, Mas?” Saga menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Dua puluh lima miliar,” jawabnya lirih. “Dan aku curiga ada orang dalam yang terlibat.” Damay menut