“Apa aku pernah membohongimu?”Adit menggaruk – garuk kepalanya. “Nggak, Ri. Maksudku pada kejadian tadi pagi, seandainya kamu jelasin pada saaat menolak ajakanku mengantar ibu karena kamu sudah lebih dulu janjian dengan Andri. Aku nggak akan merasa kecewa seperti ini.”“Merasa kecewa? Untuk apa kamu kecewa? Kamu nggak mengerti aku, Dit.”“Aku hanya ingin selalu tau kamu kemana dan dengan siapa.”Nuri menatap kesal pada Adit. “Tapi aku nggak punya kewajiban untuk menjelaskan semua aktivitasku padamu.” “Aku akan membuatmu memiliki kewajiban itu. Aku ingin mempercepat pernikahan kita.”Nuri kaget mendengar kalimat Adit, dia menatap tajam mata Adit yang juga dibalas tatapan tajam dari Adit padanya. Beberapa saat mereka berdua saling menatap dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.“Apa kamu merasa dengan mempercepat pernikahan, nggak akan ada masalah seperti ini lagi?” tanya Nuri lirih.“Ya, paling tidak aku tidak akan tertekan dengan perasaaan cemburuku padanya”“Bukan pernikahan y
“Adit!” seru Bu Safa protes ketika mendengar nada tinggi dari ucapan Adit barusan.“Maafkan aku,” ucap Adit sambil duduk di sofa. “Nuri, aku cuma butuh kamu ijin padaku jika ingin bersamanya untuk urusan anak-anak kalian. Aku nggak akan mempermasalahkannya jika saja aku tau dari awal. Nggak akan sesakit ini yang tiba-tiba melihatmu bersamanya lengkap dengan kehangatan bersama anak-anak.” Adit kembali menatap sendu mata Nuri.“Nuri belum punya kewajiban meminta ijin padamu untuk itu, Nak. Adit pun harus mengerti itu,” kata Bu Sofi sambil menepuk-nepuk lengan putranya.Mereka bertiga terdiam sesaaat.“Itulah sebabnya Adit ingin segera menikahinya, Bu. Agar kedepannya Nuri punya kewajiban meminta ijin padaku jika ingin menemuinya,” jawab Adit tegas.“Baiklah, Dit. Aku setuju untuk mempercepat pernikahan kita. Kuaharap tidak ada lagi kejadian seperti ini nantinya. Aku berjanji akan berusaha menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku jika kejadian tadi menyakitimu, aku tak punya maksud se
“Aku akan segera menikah dalam waktu dekat ini.”Andri terpaku, sedangkan Nuri terdiam tak meneruskan kalimatnya. Hening kembali tercipta.“Maaf, aku merasa perlu menyampaikan ini padamu, Mas. Aku menghargaimu sebagai ayah dari anak-anak,” lanjut Nuri.“Oh … iya … ehm … selamat.” Andri terlihat seperti orang kebingungan.“Ya udah, Mas. Sepertinya anak – anak sudah menunggu, selamat bersenang-senang.” “Eh, iya. Mas pergi dulu.” Andri masih terlihat seperti kebingungan dan kehilangan kata – kata.“Hati – hati, Mas,” jawab Nuri mengangguk.*Andri hanya terlihat seperti orang yang sedang kebingungan ketika dia dan anak – anaknya tiba di taman hiburan kota. Bi Ina dengan sigap mengikuti kemana Nanda pergi, sehingga Andri tidak perlu direpotkan menjaga gadis kecilnya itu. Sedangkan Aldy memilih kegiatan memancing di wahana pemancingan yang juga ada disana. Andri pun menyusul Aldy dan duduk di samping putranya yang sedang berkonsentrasi memegang gagang pancingan.“Papa nggak ikut mancing?”
Beberapa hari ini Nuri terlihat kewalahan membujuk Nanda yang sering uring - uringan. Aldy sendiri sudah pulang dari rumah Andri karena kegiatan sekolahnya sudah aktif kembali."Pokok Nanda mau ketemu adik Bilqis, Ma," ucap Nanda dengan suara khas anak balita."Iya, Nak. Nanti kalau adik Bilqis nya sudah sehat Nanda boleh ketemu. Sekarang Nanda makan dulu ya," bujuk Nuri."Nanda nggak mau makan. Nanda nggak lapar. Nanda mau ketemu adik bayi," suara cadel Nanda mulai gemetar menahan tangisnya."Tapi adik bayinya masih di rumah sakit, Sayang.""Nanda mau nengokin kesana seperti waktu itu, Ma."Nuri terdiam sesaat memikirkan permintaan gadis mungil dengan tatapan mata tajam mirip papanya itu."Ya sudah, nanti mama tanyakan papa dulu ya. Sekarang Nanda harus makan dulu, biar nanti kalau ketemu adik bayi Nanda nya kuat. Siapa tau adik Bilqis nya minta digendong kakak Nanda," bujuk Nuri."Iya, Ma. Nanda mau makan yang banyak biar bisa gendong adik Bilqis," ucap gadis kecil itu dengan mata y
Nuri menarik nafas lega ketika mengakhiri panggilannya, setidaknya dia sudah punya jawaban nanti ketika Nanda kembali berulah meminta menemui bayi Bilqis.Sementara di tempat lain, Andri menarik napas kecewa ketika Nuri menolak menemaninya dan hanya akan menitipkan Nanda untuk menengok Bilqis bersamanya.***Sore hari setelah pulang dari kantornya, Nuri melihat mobil adit sudah parkir di depan pagar rumahnya. Nuri memarkirkan mobilnya di garasi kemudian berjalan kedepan dan melihat Adit sedang tertidur dibalik kemudinya. Nuri mengetuk-ngetuk kaca mobil Adit yang dibukanya lebar-lebar ketika tertidur di dalam mobilnya. Adit segera terbangun dan mengusap – usap matanya ketika mendengar kaca mobilnya diketuk.“Kenapa nggak masuk?” tanya Nuri.“Nggak ada kamu.”“Nggak perlu ada aku, Dit. Di dalam ada Bi Ina dan anak-anak. Kenapa kamu malah memilih menunggu dan ketiduran di mobil? Masuk yuk, kamu terlihat kelelahan.”“Silahkan duduk, Dit. Maaf, aku mandi dan ganti baju dulu ya,” ucap Nuri
“Apa yang dibicarakan Adit pada Kak Rizal?” tanya Nuri penasaran.Rizal menghela nafasnya. “Apa kamu sudah memikirkan matang-matang tentang hubungan kalian, Dek?”“Aku sudah memikirkannya matang-matang saat aku menerima lamarannya, Kak. Bukankan sudah pernah kukatakan pada kalian?”“Jangan menikah hanya karena terpaksa, Ri. Jangan menikah hanya karena sudah telanjur berjanji. Jangan menikah karena ingin menyenangkan orang lain. Kamu yang akan menjalaninya, kata orang menikah itu adalah ibadah terlama. Banyak hal yang akan kamu lakukan di dalamnya, maka jika sedikit saja hatimu goyah dengan pernikahanmu maka kamu tidak akan merasakan kebahagiaan,” ucap Andin menimpali.“Kenapa terpaksa, Ndin? Apa Adit mengatakan itu pada kalian? Entah mengapa aku merasa sejak pulang dari Jerman Adit berusaha menghindariku.”“Jangan berburuk sangka padanya, Dek. Dia lelaki yang baik, itulah kenapa ibu merestuinya ketika dia mengatakan akan meminangmu,” ucap Rizal.“Aku tidak berburuk sangka, Kak. Aku ha
“Iya, Nak. TPA dan Rumah Tahfidz yang ibu ceritakan tadi bahkan diberi nama “TPA Bilqis” dan “Rumah Tahfidz Bilqis”. Setiap hari anak – anak serta Ustadz dan Ustadazah yang mengajar disini mendoakan perkembangan bayi Bilqis. Bayi itu seolah menjadi pembawa keberuntungan bagi masyarakat disini. Bahkan sudah ada beberapa donatur yang ingin menyumbangkan hartanya di TPA dan Rumah Tahfidz Bilqis untuk beramal jariyah, namun ibu masih kewalahan mendatanya. Kata Nak Andri beliau akan mencari seorang admin untuk membantu ibu mengurus administrasi TPA.”“Kata Mas Andri? Mas Andri menelpon ibu?”“Iya, Nak. Bahkan pernah sekali kesini melihat pembangunan TPA dan meminta izin menginap di rumah ibu.”“Apa??? Mas Andri menginap di rumah ibu? Kenapa Ibu mengijinkan?”“Ibu pikir nggak ada salahnya, Nak. Nak Andri sudah kemalaman dan kecapean untuk balik dan menyetir mobil jadi memutuskan untuk menawarinya menginap di rumah.”“Terus Mas Andri….”“Dia tidur di kamarmu.” Bu Aisyah paham akan kemana ara
“Iya, Bu. Maafkan saya. Tapi saya juga nggak bisa membantah Pak Andri.”“Ya sudah, biarkan saja.”“Bu, apa boleh saya ngomong sesuatu?”“Ada apa, Bi? Ngomong aja.”“Terus terang saja, saya sangat merindukan suasana yang dulu di rumah ini?”“Maksud Bi Ina?”“Saya merindukan kehangatan keluarga Bu Nuri dan Pak Andri yang dulu, lengkap dengan Mas Aldy dan Non Nanda.”“Bi!!”“Maafkan saya, Bu. Mungkin saya yang terlalu berharap. Saya sangat merindukan suasana itu.” Mata Bi Ina berkaca-kaca. “Sekali lagi maafkan kelancangan saya, Bu.”“Nggak apa-apa, Bi. Aku paham keadaanmu, Bi Ina sudah membersamai keluarga kami selama belasan tahun dan kita sudah seperti keluarga. Aku mengerti bukan hanya padaku, tapi Bi Ina juga berbakti pada Mas Andri.”“Bukan itu, Bu. Saya hanya ingin melihat Bu Nuri dan Pak Andri bahagia seperti dulu, itu adalah tahun-tahun terbaik bagi saya selama bekerja disini.” Setetes bening menetes dari sudut mata Bi Ina.“Sudah ya, Bi. Jangan membahas hal ini.” Nuri menepuk le