Nuri menarik nafas lega ketika mengakhiri panggilannya, setidaknya dia sudah punya jawaban nanti ketika Nanda kembali berulah meminta menemui bayi Bilqis.Sementara di tempat lain, Andri menarik napas kecewa ketika Nuri menolak menemaninya dan hanya akan menitipkan Nanda untuk menengok Bilqis bersamanya.***Sore hari setelah pulang dari kantornya, Nuri melihat mobil adit sudah parkir di depan pagar rumahnya. Nuri memarkirkan mobilnya di garasi kemudian berjalan kedepan dan melihat Adit sedang tertidur dibalik kemudinya. Nuri mengetuk-ngetuk kaca mobil Adit yang dibukanya lebar-lebar ketika tertidur di dalam mobilnya. Adit segera terbangun dan mengusap – usap matanya ketika mendengar kaca mobilnya diketuk.“Kenapa nggak masuk?” tanya Nuri.“Nggak ada kamu.”“Nggak perlu ada aku, Dit. Di dalam ada Bi Ina dan anak-anak. Kenapa kamu malah memilih menunggu dan ketiduran di mobil? Masuk yuk, kamu terlihat kelelahan.”“Silahkan duduk, Dit. Maaf, aku mandi dan ganti baju dulu ya,” ucap Nuri
“Apa yang dibicarakan Adit pada Kak Rizal?” tanya Nuri penasaran.Rizal menghela nafasnya. “Apa kamu sudah memikirkan matang-matang tentang hubungan kalian, Dek?”“Aku sudah memikirkannya matang-matang saat aku menerima lamarannya, Kak. Bukankan sudah pernah kukatakan pada kalian?”“Jangan menikah hanya karena terpaksa, Ri. Jangan menikah hanya karena sudah telanjur berjanji. Jangan menikah karena ingin menyenangkan orang lain. Kamu yang akan menjalaninya, kata orang menikah itu adalah ibadah terlama. Banyak hal yang akan kamu lakukan di dalamnya, maka jika sedikit saja hatimu goyah dengan pernikahanmu maka kamu tidak akan merasakan kebahagiaan,” ucap Andin menimpali.“Kenapa terpaksa, Ndin? Apa Adit mengatakan itu pada kalian? Entah mengapa aku merasa sejak pulang dari Jerman Adit berusaha menghindariku.”“Jangan berburuk sangka padanya, Dek. Dia lelaki yang baik, itulah kenapa ibu merestuinya ketika dia mengatakan akan meminangmu,” ucap Rizal.“Aku tidak berburuk sangka, Kak. Aku ha
“Iya, Nak. TPA dan Rumah Tahfidz yang ibu ceritakan tadi bahkan diberi nama “TPA Bilqis” dan “Rumah Tahfidz Bilqis”. Setiap hari anak – anak serta Ustadz dan Ustadazah yang mengajar disini mendoakan perkembangan bayi Bilqis. Bayi itu seolah menjadi pembawa keberuntungan bagi masyarakat disini. Bahkan sudah ada beberapa donatur yang ingin menyumbangkan hartanya di TPA dan Rumah Tahfidz Bilqis untuk beramal jariyah, namun ibu masih kewalahan mendatanya. Kata Nak Andri beliau akan mencari seorang admin untuk membantu ibu mengurus administrasi TPA.”“Kata Mas Andri? Mas Andri menelpon ibu?”“Iya, Nak. Bahkan pernah sekali kesini melihat pembangunan TPA dan meminta izin menginap di rumah ibu.”“Apa??? Mas Andri menginap di rumah ibu? Kenapa Ibu mengijinkan?”“Ibu pikir nggak ada salahnya, Nak. Nak Andri sudah kemalaman dan kecapean untuk balik dan menyetir mobil jadi memutuskan untuk menawarinya menginap di rumah.”“Terus Mas Andri….”“Dia tidur di kamarmu.” Bu Aisyah paham akan kemana ara
“Iya, Bu. Maafkan saya. Tapi saya juga nggak bisa membantah Pak Andri.”“Ya sudah, biarkan saja.”“Bu, apa boleh saya ngomong sesuatu?”“Ada apa, Bi? Ngomong aja.”“Terus terang saja, saya sangat merindukan suasana yang dulu di rumah ini?”“Maksud Bi Ina?”“Saya merindukan kehangatan keluarga Bu Nuri dan Pak Andri yang dulu, lengkap dengan Mas Aldy dan Non Nanda.”“Bi!!”“Maafkan saya, Bu. Mungkin saya yang terlalu berharap. Saya sangat merindukan suasana itu.” Mata Bi Ina berkaca-kaca. “Sekali lagi maafkan kelancangan saya, Bu.”“Nggak apa-apa, Bi. Aku paham keadaanmu, Bi Ina sudah membersamai keluarga kami selama belasan tahun dan kita sudah seperti keluarga. Aku mengerti bukan hanya padaku, tapi Bi Ina juga berbakti pada Mas Andri.”“Bukan itu, Bu. Saya hanya ingin melihat Bu Nuri dan Pak Andri bahagia seperti dulu, itu adalah tahun-tahun terbaik bagi saya selama bekerja disini.” Setetes bening menetes dari sudut mata Bi Ina.“Sudah ya, Bi. Jangan membahas hal ini.” Nuri menepuk le
“Assalamualaikum.” Nuri tak menanggapi candaan Adit dan segera menutup telponnya.Nuri terkejut ketika menyadari pintu kamarnya masih terbuka lebar, rupanya dia lupa menutupnya ketika masuk tadi karena penasaran ingin segera melihat ponselnya. Nuri melongok sekilas ke ruang tengah dan melihat disana sudah ada Andri menemani Aldy.‘Ah, apakah dia mendengar percakapanku dengan Adit tadi?’ Nuri menyadari suaranya ketika menelpon Adit tadi sedikit nyaring. Jika Andri sudah berada disana sejak tadi, bisa dipastikan lelaki itu bisa mencuri dengar pembicaraannya di telpon tadi. Nuri menghela nafas kasar dan menutup pelan pintu kamarnya."Mas janjian joging dengan Adit pagi ini?" Nuri memberanikan diri bertanya ketika Andri berpamitan pulang."Nggak, Dik. Hanya kebetulan saja," sahut Andri."Kebetulan? Rumah Adit jauh dari sini, Mas. Bagaimana mungkin hanya kebetulan joging di sekitar sini.""Aku nggak tau, Dik. Dia bahkan sudah ada didepan pagar ketika aku dan Aldy keluar hendak jogging tadi
“Ah aku suka wanita tegas sepertimu, Ri.”“Jangan mengalihkan pembicaraan, Dit!”Adit terkekeh pelan kemudian menghela nafasnya.Dia menatap dalam mata Nuri seolah mencari sesuatu di kedalaman mata wanita itu.Adit kembali menghela napasnya.“Beberapa hari di Jerman kemarin membuatku memikirkan semua yang telah terjadi dalam kehidupanku, dalam kehidupan kita. Bertemu kembali denganmu setelah belasan tahun adalah suatu anugerah tak terkira bagiku. Aku merasa berada di awan – awan ketika kembali bisa melihatmu, mendengar suaramu, bertemu dengan sosok yang kurindukan selama ini, sosok yang selalu diam dalam sudut hatiku dan tak pernah beranjak dari sana. Aku merasa semesta berpihak kepadaku saat mengetahui bahwa kamu sudah tidak memiliki pasangan saat akau menemukanmu, menemukan berlianku.” Adit menghentikan kalimatnya dan masih menatap dalam mata Nuri.Nuri diam menunggu Adit melanjutkan kalimatnya. Nuri membalas menatap mata Adit, mata yang selalu menatapnya dengan penuh kelembutan.“Se
“Tadi pagi saat aku joging dengan Andri dan Aldy, aku makin merasa sangat kecil dihadapannya. Sama sepertimu, aku melihat seluruh hati lelaki itu hanya terisi namamu. Tapi dia dengan berbesar hati mendoakanku, mendoakan hubungan kita yang nyata – nyata menyakitkan baginya. Bagi lelaki itu, kebahagiaanmu adalah yang utama. Itu yang mebuatku merasa kalah dihadapannya, aku masih sangat dikuasai ego dan nafsuku. Ego dan nafsu untuk memilikimu. Dan yang lebih membuatku salut adalah Aldy putramu, lelaki remaja itu terlihat jauh lebih dewasa dari umurnya. Aku tau dimata putramu dia sangat mendambakan kedua orang tuanya kembali bersama, terlebih Andri terlihat sangat dekat dengannya. Namun dengan berbesar hati Aldy berusaha menerimaku, menerima orang asing yang hanya menjanjikan kebahagian bagi ibunya tanpa tau apakah dia betul – betul mampu mewujudkannya.”Air mata Nuri berderai ketika mendengar nama Aldy, Nuri terisak perlahan. Semua tentang anak – anaknya selalu sensitif bagi Nuri. Wanita
Nuri termenung sendirian di dalam kamarnya memikirkan semua yang dikatakan Adit padanya. Danis Raditya, pria berhati lembut yang selalu berusaha membuatnya tersenyum. Dan memang benar Nuri selama ini selalu tersenyum jika ada Adit, pria itu punya sejuta cara untuk berusaha membuatnya bahagia. Namun benar apa yang dikatakan Adit tadi, Nuri tak mendapati Adit di dalam hatinya. Tidak ada perasaan apapun yang dirasakannya saat bersama Adit. Tidak ada getaran halus layaknya wanita yang sedang bertemu dengan kekasihnya. Hatinya kaku, membeku di hadapan lelaki dengan tatapan lembut itu. Ya Allah, bagaimana aku harus menghadapi ini? Kepada siapa aku harus bertanya? Mengapa belum kutemukan jawabannya dalam sujud – sujud malamku? Mengapa masih saja bayangan Andri yang hadir di pelupuk mataku? Bagaimana aku harus menghilangkannya? Bagaimana dengan anak – anakku? Bagaimana dengan bayi Bilqis yang dititipkan Rini padaku sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya? Beberapa hari berlalu setelah A