“Tapi Nuri masih ingin sendiri dulu, Buk. Nuri belum memikirkan untuk menikah lagi”“Apa karena mantan suamimu, Nak?”Nuri hanya diam dan menarik nafasnya. Bu Aisyah pun ikut menarik nafas panjang.“Bukankan kamu dulu memilih berpisah darinya karena tak mau terus menerus berdosa karena hidup dengan ketidak ikhlasan? Dan kalian sudah membuat keputusan dan kesepakatan untuk berpisah. Ingatan Andri yang sekarang masih menganggapmu sebagai istrinya pastilah sangat menyakitkan bagi Rini, Nak. Jangan biarkan semua semakin berlarut-larut dan menyakiti kalian bertiga lebih dalam lagi. Ibu rasa, kau bisa menghindarinya dengan menerima lamaran Adit. Kecuali jika memang didalam hatimu masih menginginkannya. Tanyakan itu pada hatimu, Nak. Semua keputusan ada padamu, ibu hanya ingin melihatmu bahagia”Nuri tak menjawab, suasana hening menguasai mereka berdua beberapa saat.“Nuri akan memikirkannya, bu” jawab Nuri lirih memecah keheningan.“Kejarlah kebahagiaanmu, Nak. Ibu yakin anak-anakmu pun tid
“Terima kasih, Opa. Aldy hari minggu ini nggak ada kegiatan. Boleh deh kalau mau latihan badminton bareng Opa” jawab Aldy.Sedangkan Bu Safa terlihat meletakkan Nanda di pangkuannya kemudian bercanda dengan gadis kecil itu, terlihat gadis mungil itu terkekeh di pangkuan Bu Safa. Sementara Bu Aisyah terperangah mendengar percakapan antara Pak Wahyu dan Aldy yang terlihat sudah begitu akrab. Dia tak menyangka jika cucu-cucunya sudah seakrab ini dengan orangtua Adit. Rizal dan Andin pun ikut duduk di ruang tamu, sedangkan Aldy dan Nanda sudah berlalu ke kamarnya masing-masing setelah bercengkrama sebentar dengan Pak Wahyu dan Bu Safa.“Maaf, jika kedatangan kami kemari membuat kalian bingung, terutama Nak Nuri." Suara Pak Wahyu membuat semua yang ada di sana memperhatikan lelaki paruh baya itu. “Kami kemari dengan tujuan ingin melamar putri Bu Asiyah untuk menjadi pendamping putra kami.” lanjut pak Wahyu lagi.Nuri terkejut salah tingkah mendengar kalimat Pak Wahyu, sementara Bu Aisyah
“Ada apa, Honey?” tanya Adit lembut menatap wajah Nuri ketika mereka berdua memisahkan diri dan sudah berada di ruang tengah.“Kenapa tiba-tiba begini sih Dit. Aku bingung menghadapi situasi ini."“Ini bukan tiba-tiba, Ri. Aku sudah berkali-kali mengirim sinyal padamu, bahkan aku sudah 2 kali melamarmu pada Kak Rizal bahkan Bu Aisyah pun sudah memberiku restunya. Hanya kamu yang nggak peka, Ri”“Dit, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hanya akan membuatmu dan kedua orangtuamu kecewa." Suara Nuri terdengar lirih.“Kecewa bagaimana sih, Ri. Bapak dan ibu sangat berharap bisa menjadikanmu bagian dari keluarga kami. Dan kamu bisa liat sendiri, bahkan bapak dan ibu yang lebih antusias meminangmu. Aku menginginkanmu, Ri. Tak bisakah kau melihat keseriusanku.”“Tapi aku sudah menjelaskan padamu, Dit. Aku bukan wanita yang bisa memberikan keturunan padamu. Pak Wahyu dan Bu Safa pasti sangat ingin memperoleh keturunan darimu, dan aku tak akan bisa memenuhi itu."“Nggak, Ri. Bapak dan ibu
Nuri kembali memejamkan matanya, kemudian menatap mata Bu Asiyah sesaat. Nuri melihat binar harapan pada manik mata ibunya itu. Bu Aisyah hanya menginginkan kebahagiaannya, itu yang selalu dikatakannya pada Nuri. Dan Adit berjanji akan membahagiakannya jika Nuri mau menerimanya. Mungkin ini memang jalan dari-Nya? pikir Nuri. Nuri menghela nafasnya dalam-dalam.“Baiklah Pak ... Bu .... Saya akan memberi jawaban saya sekarang. Bismillahirrahmanirrahim, saya menerima lamaran ini.” Semua yang ada di sana terkesiap mendengar kalimat Nuri. “Alhamdulillah,” ucap mereka serentak.“Terima kasih nNk Nuri, terima kasih.” Bu Safa menghampiri Nuri dan merangkulnya. Sementara Adit terlihat berkaca-kaca mendengar Nuri menerima lamarannya, Pak Wahyu yang duduk di sampingnya merangkul dan menepuk-nepuk pundak putra kesayangannya itu. “Selamat ya, Nak,” kata Pak wahyu pada Adit yang hanya dibalas anggukan oleh Adit.***“Kamu lagi nggak demam kan, Ri” tanya Andin sambil meletakkan punggung tangannya
Nuri tak bisa memicingkan mata memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia baru saja menerima lamaran Adit di hadapan keluarga Adit dan keluarganya. Apakah keputusanku ini sudah benar? Kenapa aku jadi takut menghadapi hari esok? Apakah Adit memang jodoh yang ditakdirkan Allah untuk mejaganya? berbagai pertanyaan timbul dalam benaknya. Nuri tersentak kaget dari lamunannya ketika mendengar ponselnya berdering di atas nakas. Pesan dari Adit.[Selamat tidur, Bidadariku. Mimpi yang indah. Terima kasih telah menerimaku, aku ingin mempimpikanmu malam ini.]Nuri tak membalas pesan Adit. Dia bingung harus membalas apa, Nuri masih belum terbiasa dengan status mereka saat ini.Drrrttt… Drrttttt… ponselnya berdering.“Halo.”“Belum tidur? Kok pesanku nggak dibalas?”“Baru mau tidur, Dit. Suara ponselku membangunkanku.”“Baru mau tidur apa nggak bisa tidur? Jangan terlalu memikirkanku, biar aku saja yang memikirkanmu.”“Apaan sih, Dit. Kamu jadi kayak abege gini. Ingat umur Dit, aku malu diperlakuk
“Ibu punya kelainan jantung, tapi sudah beberapa tahun ini nggak pernah kambuh. Nggak tau deh tadi kenapa ibu tiba-tiba pingsan di rumah. Untung pas ada bapak yang nemanin di rumah.”Adit dan Nuri terus aja berbincang dengan berbisik-bisik.“Untuk sementara pasien harus dirawat inap dulu di sini, kami akan melakukan observasi pada pasien untuk mencari tau penyebab penyakitnya kambuh lagi,” kata dokter.“Baik, Dok,” sahut pak Wahyu.“Hubungi kami jika pasien mengalami sesak nafas atau keluhan lainnya. Dan biarkan pasien beristirahat, jangan terlalu banyak mengajaknya bicara dulu,” kata dokter dan kemudian pamit dari sana diikuti oleh perawat yang menemaninya.“Nuri kok ikut kemari? Siapa yang mengabarimu, Nak?” tanya bu Safa dengan suara lemah.“Adit yang mengabariku, Bu. Ibu istirahat dulu ya. Jangan banyak gerak dan banyak ngobrol dulu, kata dokter tadi ibu harus banyak istirahat” sahut Nuri sambil mengelus punggung tangan bu Safa.“Nuri betul, Bu. Istirahat saja dulu nggak usah men
Andri pun kembali buru-buru melangkah ke ruang UGD. Sementara Nuri masih terdiam bingung, ada keinginannya untuk ikut ke dalam dan menengok Rini namun kemudian dia memilih melangkah meninggalkan rumah sakit itu menuju parkiran mobilnya.Setelah mandi dan berganti pakaian, Nuri masih terus memikirkan keadaan Rini yang tadi dijelaskan oleh Andri padanya. Menurut perkiraan Nuri, usia kehamilan Rini saat ini sudah memasuki usia trimester ketiga, tapi mengapa dia masih mengalami muntah-muntah? Sedangkan menurut pengalamannya yang sudah dua kali mengandung dan melahirkan, dia hanya merasakan mual dan muntah di awal-awal usia kehamilannya. Berbagai pertanyaan terlintas di benak Nuri, ada penyesalan di hatinya kenapa tadi tidak memilih menyusul Andri dan melihat kondisi wanita itu. Nuri pun memutuskan menanyakan keadaan Rini pada Andri.[Assalamualaikum, Mas. Bagaimana keadaan Rini?]Pesan Nuri terkirim dan langsung terbaca oleh Andri ditandai dengan centang biru yang terlihat di layar ponsel
“Assalamualaikum.” Nuri masuk dan menyapa Rini dan Meli yang ada di sana.“Walaikumsalam,” sahut Rini dan Meli.“Hai mbak Nuri, kok tau Rini di sini?” tanya Rini dengan suara lemah.“Tau dari mas Andri, Rin.”“Pak Andri?”“Iya. Kemarin kebetulan aku ketemu mas Andri di sini. Gimana keadaanmu?”“Aku baik-baik saja, Mbak.”“Tidak, Rin. Kamu tidak sedang baik-baik saja. Lihat ini kakimu bengkak.”“Mmmm ... maaf, Mbak, waktu Mbak Nuri dulu hamil nggak bengkak gini kakinya? Aku pikir semua ibu hamil memang seperti ini. Aku mau nanya pada Bi Sum sedangkan beliau sendiri belum pernah menikah.”“Kamu nggak rutin memeriksakan kehamilanmu, Rin?”“Nggak, Mbak. Selama hamil cuma tiga kali aku memeriksakan kandungan.”“Ya Allah, Rin. Kenapa jadi teledor gitu. Mas Andri nggak cerewet nyuruh periksa tiap bulan?”Rini tampak diam dan melamun.Sepertinya aku salah ngomong, batin Nuri. Dia sudah mendengar pengakuan dari Andri jika lelaki itu tak pernah begitu peduli selama Rini mengandung.“Nggak, Mbak,