Aku dihina oleh mertuaku sebagai wanita tak berguna yang hanya menyusahkan saja. Mereka tak tahu kalau penghasilanku dari menulis, bisa membeli apa saja yang ku butuhkan.***"Main ke rumah Ibu juga kalau ada waktu, Wi, Ibu sangat kasihan sana kamu. Jangan terlalu mengurung diri di rumah, nanti kamu dianggap suamimu, bahwa kamu menyesal telah menendang dia dari rumah dan masih mengharapkan dia. Emang. kamu mau dianggap seperti itu, Wi?" tanya Bu Rohaya. Aku menggeleng.Ingin rasanya menjelaskan padanya kegiatan apa yang kulakukan selama beberapa hari ini, sehingga membuatku betah dalam rumah seperti ini. Tapi rasanya aku belum percaya diri untuk mengutarakannya. Selain masih pemula, aku juga takut dicibir oleh mereka. Aku akhirnya memberi alasan saja yang sekiranya masuk akal dan dapat dipercaya oleh Bu Rohaya."Iya, Bu, nanti aku main kalau ada waktu. Saat ini aku masih fokus mengurus bayiku dulu." ujarku sambil tersenyum."Ya sudah, Ibu pamit dulu. Kalau butuh apa- apa atau mau
Air mataku terus mengalir melewati pipi ketika aku menyantap nasi basi. Sebegitu menderitanya keadaanku, hingga untuk membeli beras pun aku sampai tak mampu. Sementara, disaat anakku menangis kencang karena kurang asi, ayahnya malah melakukan hal yang sangat... Dasar lelaki tak punya hati! *** Disaat aku sedang menulis cerita, bayi kecilku yang tertidur tiba- tiba bangun, membuka matanya dan tangan mungilnya mengucek berulang ulang dan dengan seketika ia pun menangis. Mungkin terkena jati jati mungilnya ke dalam anak matanya sehingga ia merasakan sakit lalu menangis. khawatir ia nanti menangis kencang, segera aku meletakan ponselku, dan mulai memberi asi. Awalnya dan a diam dan terlihat tenang, namun, mungkin karena asi yang kurang lancar ia pun mulai menangis dengan kencang. aku tahu, ia menangis karena tak mendapatkan afi yang cukup. Sembari membujuk bayiku, aku segera beranjak ke dapur, rasanya seperti orang gila, masuk ke dapur namun tak ada apa pun di sana. Tak kuat menden
Aku kira dia ingin main tangan padaku, tapi ternyata dugaanku keliru, dia malah menginjak beras di karung pemberian dari ibu RT."Ya ampun, Bu Kades! kenapa Ibu melakukan tindakan tak terpuji seperti itu? menginjak beras yang mau dimakan itu salah loh, Bu. Apa lagi pada jaman yang serba mahal seperti sekarang ini, untuk mendapatkan beras itu sangat susah...."***"Dari mana kamu?!" Tanya Ibu mertua ketika ia mensejajarkan langkah denganku. Aneh, memang benar dasar mertua laknat. Pada hal ia telah melewati ku sambil membuang ludah tadi, kenapa ia masih berbalik dan bertanya juga? Apa dia memang berniat mau cari gara- gara? Dengan hati yang mulai terpancing emosi, aku pun berusaha menjawab walau sekuat tenaga menahan amarah yang hendak melompat ke luar. "Dari rumah, Bu RT. Kenapa, Bu?" sahutku. "Ke rumah Bu RT? sambil pikul beras kayak gini? Hey, jangan bilang kamu baru pulang mengemis dari Bu RT. Benar, Kan? Kamu baru pulang minta beras dari orang itu, kan? Ayo ngaku! Karena s
"Ya Tuhan, siapa yang tega mengeluarkan pakaian aku dan anakku dari dalam rumah dan menghamburkan di teras seperti ini? Apa salahku ya, Tuhan, kenapa ada orang Yang tega sama aku seperti ini." ucapku sambil berderai air mata. Sesak rasanya dadaku melihat kenyataan pahit ini. Tega benar mereka padaku, apa mereka semua tak punya hati nurani? Sehingga bisa dengan gampang mengusirku tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Setidaknya kalau mereka memang berniat mau mengusir, dari semalam mereka harus sudah memberitahu ke padaku dulu, bilangin kalau ini bukan rumahmu, bukan tanah milik nenek moyangmu jadi silakan angkat kaki dari rumah ini atau bagaimana, biar aku bisa ambil ancang - ancang mempersiapkan diri untuk segera ke luar dari rumah mereka, supaya aku bisa memikirkan mau ke mana nantinya. Tapi, kini? Ya ampun, Jangankan pusing pusing mau cari tempat tinggal, aku saja sangat kelaparan karena cuma makan dua hari yang lalu. Sedangkan semalam, aku hanya makan sedikit nasi ba
"Dek, apa kamu masih belum bisa melayaniku? Sudah sebulan lebih loh, aku puasa. Aku sudah nggak tahan nih." tanya Mas Hearfy dengan pandangan mata yang penuh permohonan padaku.Aku jadi jengkel melihat sifatnya yang tak mengerti seperti itu. Ini bukan kali pertama ia meminta haknya sebagai seorang suami padaku. Entah terbuat dari apa hatinya sehingga ia bisa begitu tega meminta ku untuk melayaninya. Padahal aku baru habis sebulan yang lalu melahirkan anak pertama kami, buah cinta kami berdua. "Bagaimana, Dek? Apa kamu sudah bisa sekarang?" tanyanya lagi ketika melihat aku masih terdiam juga tidak menjawab pertanyaannya. "Maaf, Mas, aku rasanya masih belum bisa karena luka di bekas jahitanku masih belum terlalu sembuh betul." jawabku dengan suara yang sangat lirih. Sungguh aku merasa sangat sakit hati dengan sikapnya ini. Ya Tuhan, sebenarnya bukan permintaan itu -itu terus yang ingin kudengar dari mulut suamiku. Sebagai seorang Ibu baru yang baru habis melahirkan, aku sangat me
"Mau apa kamu mendekatiku, hah?! Apa kamu mau gampar aku, Mas, Jawab!" ku bentak Mas Hearfy ketika aku melihat ia maju mendekatiku. Mas Hearfy tak bicara, ia diam dan terus berjalan mendekat hingga tiba di sampingku. Sedang posisi badannya langsung menyerempet di lenganku. Kurang ajar! Emangnya dia pikir dia siapa? Berani dia memperlakukanku seenak jidatnya. Kulihat ia mengambil bayi dari tempat tidur padahal aku sedang membersihkan pub nya. "Cuma bersihin pub si kecil aja dibilang repot. Nih, yang model begini nih istri - istri jaman sekarang. Pegang hape berjam - jam saja betah. Eh, giliran melakukan pekerjaan rumah, mengurus bayi malah dibilang repot dan kecapekan." Mas Hearfy terus uring - iringan. Akan tetapi, tangannya juga kulihat dengan gesit membersihkan pub dan membasuh bayi ku pakai tisu basah. Setelah itu, ia kemudian melanjutkan dengan mengenakan pakaian bayi tanpa ada kendala atau rasa takut sepertiku. Aku jadi heran sendiri, kalau seandainya ia sangat lincah mengur
Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku. "Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku ngga
"Bagaimana, Mas? Apa kamu puas dengan pelayananku semalam? Aku tahu kamu puas karena kamu sudah lama dianggurin oleh istrimu itu." Sebuah chat masuk di ponselku. Aku heran, kok bisa ada kalimat seperti itu yang terkirim di ponselku? Apa ini sebuah Chat nyasar? tapi mana mungkin? tidak lama kemudian, muncul juga sebuah gambar, sepasang manusia tidak tahu malu sambil berpelukan mesra dengan pakaian yang tidak sopan. Lekas aku mematikan ponselku karena emosiku yang yang tak terbendung. Dan ketika aku menghidupkan kembali ponselku, sebuah foto profil dengan gambar yang sama terpampang jelas di beranda fbku. "Kejam kamu, Mas, kejam! Baru sehari kabur dari rumah, ternyata main mu sudah sejauh itu." ucapku dengan hati yang hancur. Sungguh hatiku hancur melihat gambar yang diunggah di akun suamiku di Facebook itu. Apa dia ingin membuat aku cemburu atau bagaimana hingga ia tega mengunggah gambar yang menunjukan kedekatan ia dengan kakak ipar. 'Ya, ampun, M