Aku kira dia ingin main tangan padaku, tapi ternyata dugaanku keliru, dia malah menginjak beras di karung pemberian dari ibu RT."Ya ampun, Bu Kades! kenapa Ibu melakukan tindakan tak terpuji seperti itu? menginjak beras yang mau dimakan itu salah loh, Bu. Apa lagi pada jaman yang serba mahal seperti sekarang ini, untuk mendapatkan beras itu sangat susah...."***"Dari mana kamu?!" Tanya Ibu mertua ketika ia mensejajarkan langkah denganku. Aneh, memang benar dasar mertua laknat. Pada hal ia telah melewati ku sambil membuang ludah tadi, kenapa ia masih berbalik dan bertanya juga? Apa dia memang berniat mau cari gara- gara? Dengan hati yang mulai terpancing emosi, aku pun berusaha menjawab walau sekuat tenaga menahan amarah yang hendak melompat ke luar. "Dari rumah, Bu RT. Kenapa, Bu?" sahutku. "Ke rumah Bu RT? sambil pikul beras kayak gini? Hey, jangan bilang kamu baru pulang mengemis dari Bu RT. Benar, Kan? Kamu baru pulang minta beras dari orang itu, kan? Ayo ngaku! Karena s
"Ya Tuhan, siapa yang tega mengeluarkan pakaian aku dan anakku dari dalam rumah dan menghamburkan di teras seperti ini? Apa salahku ya, Tuhan, kenapa ada orang Yang tega sama aku seperti ini." ucapku sambil berderai air mata. Sesak rasanya dadaku melihat kenyataan pahit ini. Tega benar mereka padaku, apa mereka semua tak punya hati nurani? Sehingga bisa dengan gampang mengusirku tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Setidaknya kalau mereka memang berniat mau mengusir, dari semalam mereka harus sudah memberitahu ke padaku dulu, bilangin kalau ini bukan rumahmu, bukan tanah milik nenek moyangmu jadi silakan angkat kaki dari rumah ini atau bagaimana, biar aku bisa ambil ancang - ancang mempersiapkan diri untuk segera ke luar dari rumah mereka, supaya aku bisa memikirkan mau ke mana nantinya. Tapi, kini? Ya ampun, Jangankan pusing pusing mau cari tempat tinggal, aku saja sangat kelaparan karena cuma makan dua hari yang lalu. Sedangkan semalam, aku hanya makan sedikit nasi ba
"Dek, apa kamu masih belum bisa melayaniku? Sudah sebulan lebih loh, aku puasa. Aku sudah nggak tahan nih." tanya Mas Hearfy dengan pandangan mata yang penuh permohonan padaku.Aku jadi jengkel melihat sifatnya yang tak mengerti seperti itu. Ini bukan kali pertama ia meminta haknya sebagai seorang suami padaku. Entah terbuat dari apa hatinya sehingga ia bisa begitu tega meminta ku untuk melayaninya. Padahal aku baru habis sebulan yang lalu melahirkan anak pertama kami, buah cinta kami berdua. "Bagaimana, Dek? Apa kamu sudah bisa sekarang?" tanyanya lagi ketika melihat aku masih terdiam juga tidak menjawab pertanyaannya. "Maaf, Mas, aku rasanya masih belum bisa karena luka di bekas jahitanku masih belum terlalu sembuh betul." jawabku dengan suara yang sangat lirih. Sungguh aku merasa sangat sakit hati dengan sikapnya ini. Ya Tuhan, sebenarnya bukan permintaan itu -itu terus yang ingin kudengar dari mulut suamiku. Sebagai seorang Ibu baru yang baru habis melahirkan, aku sangat me
"Mau apa kamu mendekatiku, hah?! Apa kamu mau gampar aku, Mas, Jawab!" ku bentak Mas Hearfy ketika aku melihat ia maju mendekatiku. Mas Hearfy tak bicara, ia diam dan terus berjalan mendekat hingga tiba di sampingku. Sedang posisi badannya langsung menyerempet di lenganku. Kurang ajar! Emangnya dia pikir dia siapa? Berani dia memperlakukanku seenak jidatnya. Kulihat ia mengambil bayi dari tempat tidur padahal aku sedang membersihkan pub nya. "Cuma bersihin pub si kecil aja dibilang repot. Nih, yang model begini nih istri - istri jaman sekarang. Pegang hape berjam - jam saja betah. Eh, giliran melakukan pekerjaan rumah, mengurus bayi malah dibilang repot dan kecapekan." Mas Hearfy terus uring - iringan. Akan tetapi, tangannya juga kulihat dengan gesit membersihkan pub dan membasuh bayi ku pakai tisu basah. Setelah itu, ia kemudian melanjutkan dengan mengenakan pakaian bayi tanpa ada kendala atau rasa takut sepertiku. Aku jadi heran sendiri, kalau seandainya ia sangat lincah mengur
Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku. "Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku ngga
"Bagaimana, Mas? Apa kamu puas dengan pelayananku semalam? Aku tahu kamu puas karena kamu sudah lama dianggurin oleh istrimu itu." Sebuah chat masuk di ponselku. Aku heran, kok bisa ada kalimat seperti itu yang terkirim di ponselku? Apa ini sebuah Chat nyasar? tapi mana mungkin? tidak lama kemudian, muncul juga sebuah gambar, sepasang manusia tidak tahu malu sambil berpelukan mesra dengan pakaian yang tidak sopan. Lekas aku mematikan ponselku karena emosiku yang yang tak terbendung. Dan ketika aku menghidupkan kembali ponselku, sebuah foto profil dengan gambar yang sama terpampang jelas di beranda fbku. "Kejam kamu, Mas, kejam! Baru sehari kabur dari rumah, ternyata main mu sudah sejauh itu." ucapku dengan hati yang hancur. Sungguh hatiku hancur melihat gambar yang diunggah di akun suamiku di Facebook itu. Apa dia ingin membuat aku cemburu atau bagaimana hingga ia tega mengunggah gambar yang menunjukan kedekatan ia dengan kakak ipar. 'Ya, ampun, M
Aneh sekali suamiku ini. Berani beraninya dia bilang itu hanya salah paham saja. Seandainya kalau aku tak mendengar sendiri pembicaraan mereka mungkin saja aku langsung percaya pada wajahnya yang munafik itu. "Sudah, Dek, kamu hanya salah paham saja. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Maafkan aku ya, Dek, telah membuat kamu marah seperti ini." ucap Mas Hearfy dengan suara yang sangat lembut. Emang dia pikir aku tuli hingga tidak mendengar semua pembicaraan mereka tadi? huh dasar lelaki munafik! Baiklah, aku akan ikuti permainanmu yang licik ini. Aku akan lihat sendiri sampai di mana kamu bisa membohongiku. "Iya, Nak Dewi, suamimu memang benar tuh, kamu hanya salah paham saja. Mana ada kami berani berbicara jelek tentang kamu. Kamu kan menantu terbaik yang sudah memberikan Ibu seorang cucu." Timpal Ibu mertua dengan tersenyum padaku. Senyum yang dibuat- buat kurasa karena hatinya yang tidak menyukaiku. "Betul, Dek Dewi. Maaf, Mbak juga merasa bersal
"Cepat, Mas, yang kencang dong biar agak enak. Iya, Mas, gitu dong, ah, ini baru enak." terdengar suara Mbak Sandra yang mendesah desah dari arah dapur. Menjijikan. Mereka lagi buat apa sih di sana? Gegas aku mengintip di celah pintu yang terbuka yang mungkin sengaja tidak di tutup okeh mereka. Ya Ampun! Keduanya sedang... *** "Maaf, Dik Dewi, boleh kah malam ini saya nginap di sini? Saya Jenuh di rumah sendirian." tanya Mbak Sandra padaku saat kami berdua duduk di teras. Heran aku, bisa - bisanya dia bilang di rumah cuma sendiri, pada hal kan dia saat ini tinggal bersama dengan kedua mertuaku. Karena terlalu emosi dengan sikapnya yang suka berbohong, aku pun segera menegurnya. "Kok bisa sendiri, Mbak, terus Ibu mertua ke mana? Apa mereka Nggak ada di rumah?" Wajahnya Mbak Sandra seketika memerah, ketahuan kan kalau dia mau berbohong padaku. Dasar wanita ikat buluh! "Ada sih, Dek, tapi mereka sering ngobrol sendiri, sedang aku nya di kamar se