"Lebih baik kita ke rumah mama aja, Om. Mungkin, alat Bu bidan rusak," kataku sambil mengusap keringat di dahi. Tegangnya. Sampai jantungku mau melompat keluar saja.
Om Redi mengangguk padaku. Tapi, ia menatap Bu bidan lagi seperti ingin memastikan. Sungguh sikap Om Redi membuatku takut bukan kepalang. Walau aku telah menunjukkan pada suamiku ini alat kehamilan milik temanku yang kuakui sebagai milikku, tetap saja saat ini aku was-was. Takut Om Redi akan mempercayai ucapan Bu Bidan dan kembali ragu pada istrinya ini."Ayo, Om. Tempat mama sekarang," kataku cepat saat melihat bu bidan hendak membuka mulut. Lalu, aku menarik tangan suamiku. Om Redi merogoh saku dan meletakkan selembar uang seratus ribu di meja. Bu bidan berseru agar mengambil uang kembalian, tapi aku terus menarik tangan Om Redi untuk pergi dari tempat mengerikan ini, takut kalau Bu bidan akan meyakinkan bahwa aku memang gak hamil."Kita periksa di rumah mamaku aja. Pasti alat Bu bidan rusak. Yakin, deh, pasti rusak." Aku melangkah pelan-pelan karena rasa nyeri di Miss V. Dan Om Redi memandangiku terlihat khawatir. "Sakit?"Aku mengangguk, beneran sakit. Bukan karena keguguran tapi sakit setelah malam pertama. Om Redi akhirnya menggendongku dengan kedua tangannya dan aku tersenyum memperhatikan wajahnya. Tatapannya tajam seolah menembus jantungku. Suamiku ini sungguh amat menawan, sumpah. Om Redi menurunkanku di mobil dan ia mengemudi cepat, sesakali menoleh memandangku dan bertanya dengan wajah khawatir."Apa sangat sakit?"Aku meringis sebagai jawabannya. Begitu mobil tiba di halaman rumah, Om Redi keluar dan ia menggendongku menuju rumah yang terbuka lebar. Om Redi melangkah cepat ke arah pintu yang sedikit membuka dan mendorongnya. Kulihat ayah yang tengah berciuman dengan mama tersentak kaget. Keduanya langsung menatap ke arah kami dengan senyum malu-malu. Aku jadi gak enak hati sama mama tiriku itu. "Dia pendarahan," kata Om Redi, meletakkanku di sofa dengan hati-hati. Ayah menatapnya tajam, lalu memandangku terlihat begitu cemas."Dia pendarahan setelah kami ... kau tau, laaah," kata Om Redi sambil mengibaskan tangan.Ayah terlihat kesal padanya. "Seharusnya kamu bisa menahannya saat anakku sedang hamil. Putri, apa sakit? Walau ayah belum memaafkan perbuatanmu, tapi ayah menyayangi cucu ayah ini." Ayah menggeser kursi mendekat, tangannya kini mengusap perutku perlahan. Tatapannya terpantik pada sedikit darah di dasterku.Aku melihat mama tampak akan tersenyum. Aku melotot pada mama memberinya tatapan memperingatkan. Awas saja kalau sampai mama bilang pada ayah kalau aku itu gak hamil."Seharusnya mereka tidak hubungan dulu jika kandungan Putri lemah. Bukan begitu, Cin?"Mama menatapku lalu berkata dengan ragu-ragu."Iya, seharusnya kalian tidak berhubungan badan. Baiklah. Mama akan periksa. Mas, bisa bawa istrimu ke kamarnya?"Ayah tertawa kecil, ia menggelengkan kepala dan menatap Mama yang sudah setengah berdiri."Bagaimana mungkin kamu memanggil menantu kita, Mas, Cinta? Dia menantumu sekarang."Mama nyengir kecil. Kulihat ayah menonjok pelan lengan atas Om Redi. Om Redi balas menonjok juga dengan pelan. Lalu ayah dan Om Redi tertawa bersama."Ayo, Mas, eh, Redi." Mama tertawa kecil. "Aku benar-benar ngerasa aneh memanggilmu tanpa embel-embel Mas.""Mama jangan seperti i-tuuu, laah. Aku kan menantu ma-ma," kata Om Redi dengan suara dibuat-buat manja yang membuat Ayah dan Mama tertawa kompak. Om Redi lalu menggendongku ke kamar. Mama mengecek tekanan darahku setelah itu mengusap perutku dengan gel."Apa kamdungan Putri baik-baik saja?"Mama mengangguk. Aku bersyukur sekali mama mau membantuku ikut berbohong. Padahal dulu, ia pernah kusuruh untuk mengatakan pada Om Redi bahwa aku hamil agar Om Redi segera menikahiku, tapi mama menolak. Malah menasehati agar aku memikirkan masak-masak mau menjalin hubungan dengan Om Redi karena usia kami terpaut jauh. Terlebih, Om Redi sahabat baik ayah. Aku mengatakan pada mama bahwa aku sudah terlanjur kesemsem berat pada Om Redi. "Biarkan Putri istirahat. Aku akan memberinya obat." Lalu, mama keluar kamar. Ia kembali lagi membawa gelas dengan beberapa butir obat di telapak tangannya. Aku menatap Mama protes saat ia mengulurkan gelas berikut obat padaku. Mama kan tahu aku gak hamil. Masa aku minum obat hamil? Ya ampun. Om Redi melangkah menuju pintu kamar, lalu ia membalikkan badan memperhatikanku. Mau tak mau, aku minum obat yang disodorkan mama."Kamu tidak bisa terus-terusan berbohong," kata Mama lirih saat Om Redi menutup pintu dari luar. Aku memandang mama. Ini udah terlanjur. Gak mungkin aku tiba-tiba bilang pada Om Redi bahwa aku gak hamil, ia bisa sangat marah. Om Redi itu kalau malah sangat mengerikan, sumpah."Ini udah terlanjur, Ma. Apa boleh buat," sahutku, memperhatikan mama yang duduk di bibir ranjang. Ia mengenakan jilbab mini, membuatku ingin tersenyum karena tiba-tiba ingat beberapa kali ayah memaksa mama memakai jilbab."Sekali kamu bohong, akibatnya akan menyusahkan dirimu sendiri, Put.""Asal mama tetap tutup mulut dan gak ngasih tau ayah maupun Om Redi, maka akan aman aja." Aku bersikukuh.Mama menjitak kepalaku. "Suamimu pasti akan bertanya-tanya jika sebulan atau dua bulan kemudian, perutmu akan segitu-gitu aja."Mataku membulat saat menyadari ucapan mama benar. A-duuh, bagaimana i-niii ....Setelah terdiam cukup lama dengan jantung berdetak kencang akibat takut ketahuan, aku tersenyum sendiri. "Aku akan hamil anak Om Redi, Ma!" kataku antusias. Mama menggelengkan kepala sambil tertawa kecil."Kamu bilang hamil tiga bulan, kan? Kalau kamu segera hamil, berarti saat usia 6 bulan kandungan aslimu, itu saatnya kamu melahirkan hamil pura-puramu."Aku memijit kening, terdiam bingung.Mama lagi-lagi tertawa sendiri. Aku akhirnya mendelik kesal padanya. "Lebih baik kamu jujur aja. Jujur itu lebih baik, gak buat kamu tertekan. Mama pun mengalaminya dulu."Mana mungkin aku jujur? Om Redi pasti akan sangat marah. "Mama bisa bilang bahwa anakku lahir prematur.""Putri, kamu tidak bisa melahirkan diusia 6 bulan dengan sengaja, itu berbaha. Lebih baik, kamu jujur saja.""Nggak, Ma. Om Redi akan marah kalau aku jujur."Mama mendecak. Ia mengibaskan tangan dengan jengkel. "Terserah kamu sajalah. Mama hanya memberi saran." Lalu, mama melangkah keluar. Cukup lama, aku memikirkan perkataan mama. Jujur? Itu gak mungkin. Mending aku hamil saja. Masalah melahirkannya kaaan ....Seperti ada lampu menyala di kepalaku saat tiba-tiba ide melintas di benak. Ya ampun, kenapa gak terpikirkan? Kan, ada orang yang hamil lewat bulan. Ah, senangnya menemukan ide. Aku bisa tidur dengan tenang sekarang. Aku pun memejamkan mata. Namun tak lama kemudian, aku terjaga saat samar-samar mendengar perkataan suamiku dan Ayah dari ruang tamu. "Pokoknya, kamu jangan berhubungan dulu dengan putriku!" Itu suara ayah. Tegas seperti biasa."Kalau berhubungan?" tanya Om Redi. Aku beranjak bangun dan melangkah menuju ruang tamu. Om Redi menggeser duduknya saat aku mendekat.Mama menggaruk rambut. Ia memandangku dan menghela napas. "Emp, yaa bisa pendarahan lagi kalau kalian berhubungan. Tapi kalau melakukannya dengan pelan, mungkin gak apa-apa."Ayah menatap Mama dengan kening berkerut. "Tidak apa-apa bagaimana maksudmu? Putri habis pendarahan, jadi sebaiknya jangan campur dulu minimal 3 bulan." Putus ayah.Aku menatap ayah tak percaya. Mama menggaruk rambut, sementara suamiku mengangguk patuh. Tidak hubungan selama tiga bulan? What? Itu berarti kalau akhirnya kami kembali hubungan suami istri setelah tiga bulan dan aku hamil, maka saat kandungan pura-puraku udah umur 6 bulan, aku baru hamil sebulan, gitu? Aku menatap ayah dan menggeleng tegas. "Mana bisa, Yah? Kami pengantin baru. Masa gak boleh hubungan? Aneh banget ayah ini!" kataku dengan nada tinggi. Ayah dan Om Redi tertegun memandangku sementara mama menahan tawa. Bahu mama berguncang dan ia mengerling padaku. Asem, pasti ayah dan Om Redi mengira, aku cewek genit. Iiih. "Kenapa? Aku membuat kau kecanduan? Tenang, sayang, kita akan melakukannya pelan-pelan." Om Redi mengusap-usap kepalaku dan ayah melotot padanya."Redi, kamu harus dengarkan aku, oke? Atau kamu bisa saja kehilangan anakmu dan aku kehilangan cucuku!" Ayah terlihat sangat marah, jakunnya sampai bergerak naik turun begitu. Om Redi menepuk bahu ayah dan tertawa kecil. "Kau ini, In. Apa-apa selalu kau ambil hati. Tenanglah. Aku takkan melakukannya sampai kandungannya umur 9 bulan. Janji! Sudah lega kau, sekarang, In?"Aku menatap Om Redi tak percaya. Whaaat? Saat usiaku sembilan bulan? Itu berarti ....Aku memijit kepala yang tiba-tiba berdenyut pusing. Aku tak bisa berpikir. Aku tak bisa berpikir.Aku memijit kepala yang tiba-tiba berdenyut pusing. Aku tak bisa berpikir. Aku tak bisa berpikir. Yaa coba bayangkan saja, masa gak hubungan sampai melahirkan? Lalu aku, melahirkan hamil pura-pura bagaimana?Aku meremas-remas tangan karena bingung. Saat melihat Mama tersenyum-senyum, aku menyentak napas kesal, lalu melotot padanya. Mama tiriku ini, akhir-akhir ini senang sekali menggodaku. Ternyata, sikapku tak luput dari perhatian ayah. Ayah berlama-lama memandangku, lalu berganti ke Om Redi."Kamu benar-benar harus menepati janjimu." Om Redi mengangguk, ia meletakan tangan di dahi."Siap, ayah mertua!"Ayah mendelik padanya, dan keduanya tertawa bersamaan."Kamu harus jaga putriku dengan baik. Kamu tahu sendiri aku sangat menyayanginya.""Siap, ayah mertua.""Sayang sama aku juga kan, Mas?" Mama menimpali. Yang langsung dijawab ayah dengan merangkulnya."Auu, malu. Lebih baik kita pulang sekarang, Put." Om Redi berdiri. Ayah melepas tangannya dari pundak mama."Menginap saja di si
"Ayok, kita ke dokter sekarang." Om Redi berdiri yang segera disusul ayah dengan antusias. Ayah ini ya ampun, ngebet banget. Padahal ia dulu marah-marh saat kuberi tahu anaknua ini hamil. Tanganku yang memegang sendok begitu dingin, aku menatap Mama dengan memohon. Tolong aku, Maa, pleasee.Mama menatapku jengkel. Ia akhirnya memandang suaminya lalu tatapannya pindah ke Om Redi yang menatapnya dengan heran karena mama tiba-tiba tertawa tampak dibuat-buat."Kenapa lah kau ini, Cin. Masih waras kan, kau?" Tangan Om Redi mendarat di kening mama dan ayah langsung melotot pada Om Redi."Dia mertuamu sekarang. Perbuatanmu tidak sopan," kata ayah protes. Tapi ia juga menatap Mama yang terus tertawa penuh keheranan."Apanya yang lucu? Kami sedang panik malah kamu tertawa." Ayah menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat jengkel."Yaa aku ngerasa lucu aja, Mas. Kan masih 3 bulan, yaaa belum keliatan lah jenis kelaminnya."Ayah memicingkan mata. "Siapa yang mau melihat jenis kelaminnya? Kita hanya
"Kenapa kau?" Ia menoleh sekilas saat aku kembali mengusap air mata."Gak papa, Om." Masa di gak tahu aku sedih? Atau pura-pura gak tau? Segitunya banget."Nanti aku akan langsung ke muara.""Iya, Om."Ia memandangku, dan kembali menatap jalanan yang rusak parah membuat tubuhku sesekali terlonjak-lonjak ke atas. Begitu sampai rumah Om Redi langsung mengganti bajunya, setelah itu mengeluarkan motor. Aku memperhatikan sekeliling yang begitu berantakan lalu tatapanku tertuju pada suamiku yang berjalan mendekat. Ia memakai topi dan kaca mata hitam menutupi matanya."Kau jangan lelah-lelah. Istirahat sajalah," katanya saat aku mengambil sapu."Aku hanya bersihin rumah. Berantakan banget."Ia mengibaskan tangan. "Tak perlu kau bersihkan, lah. Nanti kita ke muara, lihat rumah di sana.""Mau pindah ke sana, Om?" tanyaku penasaran.Ia menoyor kepalaku. Aku mendelik sebal padanya. Dulu sih gak papa ia bersikap begini. Tapi sekarang kan aku istrinya, seharusnya ia tak bersikap seolah aku anak t
Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Aku menoleh ke belakang dengan kesal sebelum melanjutkan langkah menuju rumah, memasukkan anak kunci pada tempatnya kemudian mendorong pintu membuka. Aku terperangah mendapati rumah dalam keadaan bersih dan penuh dengan barang-barang dengan harum masih baru. Ada sofa, lemari, juga fotoku dan Om Redi pas ijab kabul ukuran besar. Saat aku menuju kamar, ranjang juga tampak baru. Aku sering ke sini dan tak pernah melihat barang-barang ini sebelumnya. Ayah sepertinya mempersiapkan semuanya sebelum kami menikah."Zain benar-benar!" Terdengar kesal suara Om Redi. Aku keluar kamar dan bersikap masa bodoh padanya karena kejadian barusan."Kau ngambek padaku?" Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya saat aku berpaling. Kutepis tangannya sambil terus pura-pura ngambek."Om gak boleh begitu lagi padaku. Itu keterlaluan, tau!"Ia nyengir kecil. "Baiklaaah," katanya sambil menjatuhkan diri di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan wajah cemberut.
"Silau aku ini. Si-lau. Gantilaah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. "Om, apaan siiih!" Aku mencubit perutnya kuat. Ia akhirnya berhenti bertingkah konyol, tapi masih tetap menatap dengan jari-jari tangan yang direnggangkan. Ya percuma, kan? Tetap aja kelihatan. Dia kira lucu, apa? Aku mendengkus sebal."Janganlah berpakaian seperti itu, Put. Silau aku in-nii."Aku mengerutkan kening, heran sekali padanya. Hei, lelaki normal pasti harusnya seneng kan yaa lihat yang segar-segar? Pasti ada yang tak beres dengannya. Tapi tentu saja dia normal karena kami waktu itu melakukannya."Emang apa salahnya? Om kan udah jadi suami a-kuuu." Aku beringsut mendekat padanya, ia langsung menutup mata, membuatku mencubit perutnya berkali-kali. "Salah, laah. Aku ini normal, laah. Kau memancingku itu namanyaa."Aku yang mulanya kesal kini tersenyum penuh kemenangan. "Ya gak papa, dong. Kan udah sah, Om. Nggak dosa dapet pahal
Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu.Aku memutar otak. A-haaa, aku tersenyum saat ide cantik merasuk ke benak. Itu hal yang gampang ternyata. Aku bisa pinjam pengganjal perut yang waktu itu kupakai untuk drama kelulusan kakak kelas. Tapi itu ada di rumah Nina. Baiklah, nanti menghubunginya setelah di rumah."Aku takut, jangan-jangan perkembangan dia ini terganggu." Om Redi mengusap perutku.Aku melotot padanya. Ih, amit-amit, jangan sampai lah. Aku pun ikut mengusap perut, dan tersenyum geli teringat ini hanya anak hayalan. Jadi kenapa aku tiba-tiba kesal? Kutatap suamiku yang terlihat risau. Aku pun menggeleng."Ya gak lah, Om. Nanti juga besar sendiri." Aku kembali mengusap perut. "Ini hanya belum besar aja. Nanti juga besar.""Mungkin karena tubuh kau mungil kali." Ia memandangku.Aku mengangguk-angguk. "Ya mungkin kali, Om. Emp, antar aku ke rumah nenek ya, Om? Aku ada perlu dengan temanku.""Baiklah. Aku juga ada perlu deng
"Putri! Jaga bicaramu!"Aku mengangguk. Hubunganku dan bibi mulai berubah sejak ia memutuskan Om Redi. Dulu, Om Redi selalu curhat tentang hubungannya dan bibi. Om Redi terlihat sangat bahagia saat bibi menerima lamarannya. Tapi bibi membuang Om Redi demi mantan suami mama. Dan yang terjadi waktu itu, bibi menangis histeris setelah malam pertama. Entah apa yang terjadi. Yang kutahu dari mama, bibi ditalak tiga."Maafin aku ya, Bi." Aku mengulurkan tangan pada bibi yang segera disambutnya. Aku diajari oleh ayah agar tak sungkan meminta maaf jika merasa salah. Setelah itu, aku melangkah cepat menuju dapur. Aku makan sambil tangan kiri mengetik pesan.Udah sampai mana, Nin?Ini lagi di jalan. Bawel, deh. Oh ya, persiapkan diri Put. Aku datang gak sendiriJantungku berdetak kencang. Jangan-jangan, Nina datang bersama teman-teman sekelas, lagi. Hanya 7 orang yang tahu kalau aku menikah satu di antaranya adalah Nina. Namun, hanya Nina yang menghadiri pernikahan siriku. Ya, aku dan Om Redi m
Linda mengernyit memandang ke arah perginya Om Redi. "Lucu ya, Om ituu?"Aku hanya menggaruk kepala. Om Redi marah gak, yaa?Linda menatap jam di tangan kanannya. Gadis bertubuh langsing itu menepuk dahinya lalu berucap, "Aduh emakku bisa marah nih kalau dia pulang dari kebun aku belum beres-beres rumah. Pulang dulu ya, Put."Aku mengangguk, seharusnya dari tadi, kek. Begitu teman-teman pulang, kutelpon Om Redi, tapi dimatikan terus. Sepertinya ngambek deh Om Redi. Aku masuk ke dalam dan meminta bibi mengantarku ke rumah ayah dengan alasan nomer Om Redi tak bisa dihubungi. Bibi langsung menolak, namun nenek membujuk agar mengantarku. Untunglah, Om Redi ada di rumah ayah. Motornya terparkir di halaman. Aku melambaikan tangan pada bibi lantas menuju rumah. Kudengar kesal suara suamiku."Parah anak kau, In. Dia bilang aku ini siapa di depan teman-temannya? Katanya, aku ni teman ayahnya."Tuuh, kan, Om Redi beneran marah. Aku membuka pintu sedikit, Wajahnya tampak sangat kesal. Sementar
"Kenapa, laah, a-yok." "Kan gak boleh Om, nanti pendarahan takutnya." Aku beralasan. Ini yang selalu ia katakan saat aku menggodanya."Kau ini, plin plan kali laah. Kemarin kau goda aku. Cinta bilang tadi, tak apa." Om Redi kembali mendekat mengikis jarak, membuatku jadi semakin ketakutan saja. Aku nyengir kecil. Dia mengungkit-ungkit aku menggodanya pula. Kulihat wajah suamiku tampak begitu memginginkannya, ini kesempatan aku beneran hamil anak nyata. Tapi gimana kalau ketahuan? A-duuh. Gak seharusnya tadi pakai pengganjal perut. Gimana, niih?"Yok.""Emmp, tapi gak usah dibuka ya, Om?" kataku akhirnya, menatapnya harap-harap cemas. Semoga saja ia setuju.Ia mengernyit memandangku. "Hahaha. Memang bisa? Aneh kau ini." Tangannya bergerak ke arah bajuku."Maksudku, baju aku gak usah dibuka, gi-tuu.""Bukalaah." Ia beringsut mendekat.Kedua tanganku terjulur lurus ke depan menghalanginya lebih dekat ke arahku. "Bentar. Aku ...." Putar otak. Putar otak."Aku kayaknya pengen pipis deh,
Angin sepoi-sepoi membelai tubuh menambah syahdu suasana. Om Redi mendekat lalu mendongakkan daguku. Ditatapnya aku tanpa kedip. Aku perlahan memejamkan mata saat ia kembali mendekat, mencium bibirku lembut. Sumpah rasanya, aku deg deg kan banget, juga sangat bahagia seperti terbang di awang-awang. Caranya mencium lebih pintar dari Rizal.Wajahku menghangat saat ciuman kami berakhir dan kami hanya bersitatap dalam diam."Apaan sih, Om!" kataku saat ia tiba-tiba tersenyum. Sebelah matanya mengerling jail."Tak." Ia menggeleng. Lalu kembali mengemudi menuju jalan pulang. Aku sedikit mencondongkan tubuh hingga telapak tanganku menyentuh dinginnya air keruh namun jernih ketika dipercikkan ke udara dan terus mengayun-ayunkan air ke udara. Ciuman barusan sungguh membuat suasana hatiku membaik."Kau ingin kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" Ia sepertinya juga terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu malu saat tatapan kami bertemu."Terserah Om aja.""Baiklah, kita mampir ke kebun j
Linda mengernyit memandang ke arah perginya Om Redi. "Lucu ya, Om ituu?"Aku hanya menggaruk kepala. Om Redi marah gak, yaa?Linda menatap jam di tangan kanannya. Gadis bertubuh langsing itu menepuk dahinya lalu berucap, "Aduh emakku bisa marah nih kalau dia pulang dari kebun aku belum beres-beres rumah. Pulang dulu ya, Put."Aku mengangguk, seharusnya dari tadi, kek. Begitu teman-teman pulang, kutelpon Om Redi, tapi dimatikan terus. Sepertinya ngambek deh Om Redi. Aku masuk ke dalam dan meminta bibi mengantarku ke rumah ayah dengan alasan nomer Om Redi tak bisa dihubungi. Bibi langsung menolak, namun nenek membujuk agar mengantarku. Untunglah, Om Redi ada di rumah ayah. Motornya terparkir di halaman. Aku melambaikan tangan pada bibi lantas menuju rumah. Kudengar kesal suara suamiku."Parah anak kau, In. Dia bilang aku ini siapa di depan teman-temannya? Katanya, aku ni teman ayahnya."Tuuh, kan, Om Redi beneran marah. Aku membuka pintu sedikit, Wajahnya tampak sangat kesal. Sementar
"Putri! Jaga bicaramu!"Aku mengangguk. Hubunganku dan bibi mulai berubah sejak ia memutuskan Om Redi. Dulu, Om Redi selalu curhat tentang hubungannya dan bibi. Om Redi terlihat sangat bahagia saat bibi menerima lamarannya. Tapi bibi membuang Om Redi demi mantan suami mama. Dan yang terjadi waktu itu, bibi menangis histeris setelah malam pertama. Entah apa yang terjadi. Yang kutahu dari mama, bibi ditalak tiga."Maafin aku ya, Bi." Aku mengulurkan tangan pada bibi yang segera disambutnya. Aku diajari oleh ayah agar tak sungkan meminta maaf jika merasa salah. Setelah itu, aku melangkah cepat menuju dapur. Aku makan sambil tangan kiri mengetik pesan.Udah sampai mana, Nin?Ini lagi di jalan. Bawel, deh. Oh ya, persiapkan diri Put. Aku datang gak sendiriJantungku berdetak kencang. Jangan-jangan, Nina datang bersama teman-teman sekelas, lagi. Hanya 7 orang yang tahu kalau aku menikah satu di antaranya adalah Nina. Namun, hanya Nina yang menghadiri pernikahan siriku. Ya, aku dan Om Redi m
Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu.Aku memutar otak. A-haaa, aku tersenyum saat ide cantik merasuk ke benak. Itu hal yang gampang ternyata. Aku bisa pinjam pengganjal perut yang waktu itu kupakai untuk drama kelulusan kakak kelas. Tapi itu ada di rumah Nina. Baiklah, nanti menghubunginya setelah di rumah."Aku takut, jangan-jangan perkembangan dia ini terganggu." Om Redi mengusap perutku.Aku melotot padanya. Ih, amit-amit, jangan sampai lah. Aku pun ikut mengusap perut, dan tersenyum geli teringat ini hanya anak hayalan. Jadi kenapa aku tiba-tiba kesal? Kutatap suamiku yang terlihat risau. Aku pun menggeleng."Ya gak lah, Om. Nanti juga besar sendiri." Aku kembali mengusap perut. "Ini hanya belum besar aja. Nanti juga besar.""Mungkin karena tubuh kau mungil kali." Ia memandangku.Aku mengangguk-angguk. "Ya mungkin kali, Om. Emp, antar aku ke rumah nenek ya, Om? Aku ada perlu dengan temanku.""Baiklah. Aku juga ada perlu deng
"Silau aku ini. Si-lau. Gantilaah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. "Om, apaan siiih!" Aku mencubit perutnya kuat. Ia akhirnya berhenti bertingkah konyol, tapi masih tetap menatap dengan jari-jari tangan yang direnggangkan. Ya percuma, kan? Tetap aja kelihatan. Dia kira lucu, apa? Aku mendengkus sebal."Janganlah berpakaian seperti itu, Put. Silau aku in-nii."Aku mengerutkan kening, heran sekali padanya. Hei, lelaki normal pasti harusnya seneng kan yaa lihat yang segar-segar? Pasti ada yang tak beres dengannya. Tapi tentu saja dia normal karena kami waktu itu melakukannya."Emang apa salahnya? Om kan udah jadi suami a-kuuu." Aku beringsut mendekat padanya, ia langsung menutup mata, membuatku mencubit perutnya berkali-kali. "Salah, laah. Aku ini normal, laah. Kau memancingku itu namanyaa."Aku yang mulanya kesal kini tersenyum penuh kemenangan. "Ya gak papa, dong. Kan udah sah, Om. Nggak dosa dapet pahal
Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Aku menoleh ke belakang dengan kesal sebelum melanjutkan langkah menuju rumah, memasukkan anak kunci pada tempatnya kemudian mendorong pintu membuka. Aku terperangah mendapati rumah dalam keadaan bersih dan penuh dengan barang-barang dengan harum masih baru. Ada sofa, lemari, juga fotoku dan Om Redi pas ijab kabul ukuran besar. Saat aku menuju kamar, ranjang juga tampak baru. Aku sering ke sini dan tak pernah melihat barang-barang ini sebelumnya. Ayah sepertinya mempersiapkan semuanya sebelum kami menikah."Zain benar-benar!" Terdengar kesal suara Om Redi. Aku keluar kamar dan bersikap masa bodoh padanya karena kejadian barusan."Kau ngambek padaku?" Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya saat aku berpaling. Kutepis tangannya sambil terus pura-pura ngambek."Om gak boleh begitu lagi padaku. Itu keterlaluan, tau!"Ia nyengir kecil. "Baiklaaah," katanya sambil menjatuhkan diri di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan wajah cemberut.
"Kenapa kau?" Ia menoleh sekilas saat aku kembali mengusap air mata."Gak papa, Om." Masa di gak tahu aku sedih? Atau pura-pura gak tau? Segitunya banget."Nanti aku akan langsung ke muara.""Iya, Om."Ia memandangku, dan kembali menatap jalanan yang rusak parah membuat tubuhku sesekali terlonjak-lonjak ke atas. Begitu sampai rumah Om Redi langsung mengganti bajunya, setelah itu mengeluarkan motor. Aku memperhatikan sekeliling yang begitu berantakan lalu tatapanku tertuju pada suamiku yang berjalan mendekat. Ia memakai topi dan kaca mata hitam menutupi matanya."Kau jangan lelah-lelah. Istirahat sajalah," katanya saat aku mengambil sapu."Aku hanya bersihin rumah. Berantakan banget."Ia mengibaskan tangan. "Tak perlu kau bersihkan, lah. Nanti kita ke muara, lihat rumah di sana.""Mau pindah ke sana, Om?" tanyaku penasaran.Ia menoyor kepalaku. Aku mendelik sebal padanya. Dulu sih gak papa ia bersikap begini. Tapi sekarang kan aku istrinya, seharusnya ia tak bersikap seolah aku anak t
"Ayok, kita ke dokter sekarang." Om Redi berdiri yang segera disusul ayah dengan antusias. Ayah ini ya ampun, ngebet banget. Padahal ia dulu marah-marh saat kuberi tahu anaknua ini hamil. Tanganku yang memegang sendok begitu dingin, aku menatap Mama dengan memohon. Tolong aku, Maa, pleasee.Mama menatapku jengkel. Ia akhirnya memandang suaminya lalu tatapannya pindah ke Om Redi yang menatapnya dengan heran karena mama tiba-tiba tertawa tampak dibuat-buat."Kenapa lah kau ini, Cin. Masih waras kan, kau?" Tangan Om Redi mendarat di kening mama dan ayah langsung melotot pada Om Redi."Dia mertuamu sekarang. Perbuatanmu tidak sopan," kata ayah protes. Tapi ia juga menatap Mama yang terus tertawa penuh keheranan."Apanya yang lucu? Kami sedang panik malah kamu tertawa." Ayah menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat jengkel."Yaa aku ngerasa lucu aja, Mas. Kan masih 3 bulan, yaaa belum keliatan lah jenis kelaminnya."Ayah memicingkan mata. "Siapa yang mau melihat jenis kelaminnya? Kita hanya