Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Aku menoleh ke belakang dengan kesal sebelum melanjutkan langkah menuju rumah, memasukkan anak kunci pada tempatnya kemudian mendorong pintu membuka. Aku terperangah mendapati rumah dalam keadaan bersih dan penuh dengan barang-barang dengan harum masih baru. Ada sofa, lemari, juga fotoku dan Om Redi pas ijab kabul ukuran besar. Saat aku menuju kamar, ranjang juga tampak baru. Aku sering ke sini dan tak pernah melihat barang-barang ini sebelumnya. Ayah sepertinya mempersiapkan semuanya sebelum kami menikah.
"Zain benar-benar!" Terdengar kesal suara Om Redi. Aku keluar kamar dan bersikap masa bodoh padanya karena kejadian barusan."Kau ngambek padaku?" Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya saat aku berpaling. Kutepis tangannya sambil terus pura-pura ngambek."Om gak boleh begitu lagi padaku. Itu keterlaluan, tau!"Ia nyengir kecil. "Baiklaaah," katanya sambil menjatuhkan diri di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan wajah cemberut."Dia benar-benar sahabat sekaligus mertua yang selalu buat hidupku tak tenang. Iiin, Zain." Ia mendesah."Itu karena ayah menyayangiku, Om."Ia mengusap-usap kepalaku dengan gemas. Menghadap ke arahku. "Tentulah aku tau, laah. Dia memperlakukanmu seperti gelas kaca.""Gak begitu juga. Ayah banyak aturan." Aku meralat."Itu karena ayah kau belajar dari pengalaman."Aku menunduk sedih saat teringat Ibu. Perempuan yang telah tega mencampakkan anaknya ini karena perbuatan ayah."Kenapa jadi muram wajah kau? Janganlah sedih. Kasihan anak kita ini." Terasa lembut tangan Om Redi di perutku. Aku memeluk lengannya lalu menyandarkan kepala di bahunya. Rasanya nyaman. Aku memejamkan mata sejenak."Aku sedih tiap mikirin aku anak yang gak diharapkan, Om. Harusnya aku benci ayah yang membuat ibu menderita, kenyataannya aku gak bisa membenci ayah karena ayah mengurusku dari kecil. Sementara ibu pergi jauh karena aku aib baginya.""Kau, ini. Ibu kau itu sebenarnya sayang kau. Seharusnya kau memaafkannya."Aku hanya menarik napas."Besok kutemani ke rumah ibu."Aku menggeleng tegas. "Gak mau, Om.""Kita harus ke sana. Dia mertuaku sekarang. Janganlah sedih." Diusap-usapnya kepalaku. Tangannya lalu menjawil pipiku."Kau cantik kalau senyum."Dadaku berdebar saat ia mendekatkan diri seperti hendak menciumku. Membuatku perlahan memejamkan mata karena malu."Ehemp!"Aku dan Om Redi sontak menoleh bersamaan. Ada ayah juga mama yang menggendong dedek berdiri di ambang pintu. Ganggu aja, siih. Aku merutuk dalam hati. Nggak tau apaa, kami ini pengantin baru?"Bagaimana? Kalian suka tidak pada isinya?" Ayah menatap sekeliling. Sementara mama masuk ke kamar."Tidak suka, ayah bisa membawanya pulang." Om Redi menyahut sambil tersenyum. Mungkin masih merasa aneh memanggil temannya sendiri dengan sebutan ayah."Sayang sekali aku tidak bisa membawanya, Red. Semua sudah dibayar kontan oleh mamanya Putri." Ayah duduk di sofa, lalu menepuk ruang kosong di sebelahnya menyuruh mama mendekat. Mama duduk di samping ayah dan memandangku."Put, mama titip adek, ya?" Ia menatap ke arah kamar."Emang babysitternya ke mana, Ma?" Niat hati mau sayang-sayangan, malah disuruh jagain adek. Pa-yah mamaku ini."Sedang libur, sakit." Ayah yang menyahut. Ia memandang Om Redi yang menatap keduanya curiga.Ayah mengulurkan tangan ke Om Redi. "Kunci perahu motormu. Aku mau ajak Cinta mutar-mutar."Mama tersenyum malu-malu saat Om Redi merogoh sakunya sambil menggelengkan kepala."Kalian ini seperti pengantin baru saja. Sudah kadaluarsa lah kalian ini. Tak boleh lama-lama kalian.""Tenang aja, Mas. Gak lama, kok. Eh, Redi." Mama tersenyum geli. "Putri, ASI Mama ada di dot dalam tas, ya?""Siap, Ma."Mama dan ayah pun segera melangkah keluar. Terlihat dari sini ayah mengulurkan tangan pada mama membantu naik ke perahu."Harusnya tadi aku ikut.""Kau ingin berputar-putar juga di Muara?" Tatapan Om Redi lekat ke wajahku.Aku mengangguk malu-malu."Besoklah aku ajak. Aku kembali ke rumah dulu untuk ambil baju juga perabot.""Kado-kado dari temanku, tolong bawakan juga ya, Om?""Tentu, laah." Ia beranjak bangkit. Aku menarik tangannya untuk kembali duduk di sampingku."Cium dulu kalau mau pergi. Om harus biasakan itu karena sekarang kita suami istri." Aku memperingatkannya dengan malu-malu."Hahaha. Aku sepertinya memang harus terbiasa dengan ini. Aku ini masih merasa aneh kau jadi biniku. Kau ini pantasnya jadi anakku," katanya spontan. Ia menabok mulutnya saat aku mendelik sebal.Cup. Satu kecupan mendarat di pipiku. "Baiklah, aku pergi dulu. Jaga adek kau itu dengan baik."Aku mengantarkannya sampai di depan pintu, setelah itu melihat-lihat sekitar, mengernyit saat melihat bilik kayu di sungai depan rumah. Apa ini untuk pipis? Aku bergidik sendiri membayangkan harus buang air besar dan kecil di sungai. Begitu pun dengan warga lainnya juga. Aku bergidik geli walau tahu air sungainya mengalir.Sekitar dua jam kemudian, perahu yang dinaiki ayah dan mama terlihat. Mereka saling melempar air dan tertawa bersama. Ya, ampun, seperti ABG kasmaran saja. Dan lihat tangan mamaku itu, menggenggam bunga segar warna-warni, membuatku cemburu saja."Kalian ini udah punya anak juga, kok pacaran terus, sih?" Sambutku saat keduanya mendekat dengan baju basah kuyup. Ayah melepas kemejanya lantas menjemurnya di rerumputan. Sementara mama masuk ke dalam, tak lama kemudian kembali ke sini sudah berganti baju."Mama pinjam ya, Put, bajumu?"Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai ke jilbab mini yang dikenakannya. "Itu bukan bajuku kenapa ijin?"Mama menggaruk kepala. "Kamu belum buka lemari? Ayahmu membelikanmu banyak baju.""Kamu juga kubelikan banyak baju, Cinta." Ayah merangkul bahunya. Lihatlah wajah mama yang merona malu. Benar-benar memuakkan aku melihat kelakuan mereka berdua."Yah, apa itu tempat untuk pipis?" Aku menunjuk ke arah bilik."Ya, untuk mandi juga." Ayah menyahut santai yang membuatku semakin bergidik."Bagaimana bisa mandi di situ?""Semua yang tinggal di sini juga mandi dan pipis di situ, Put. Buang air besar ada WC sendiri di belakang rumah."Iiih."Tenang sajalah, itu bersih lebih bersih dari kau." Timpal Om Redi, aku langsung melotot. Suamiku itu membawa dua kardus besar dan meletakkannya di depan rumah. Lalu ia kembali ke mobil dan membawa 8 ekor angsa masing-masing 4 ekor angsa di tangannya. Kepala angsa itu bergerak-gerak ke bawah dan sayapnya mengepak-ngepak seolah meminta Om Redi melepaskan kakinya yang terikat dan digenggam erat."Potong satu, In. Aku akan buat kayu bakar.""Sip, lah.""Kalau begitu aku mau buat bumbunya." Mama menawarkan diri."Kau jaga adek kau saja," kata Om Redi saat aku mengikutinya ke belakang rumah yang banyak ditumbuhi pepohonan besar. Semilir angin sejuk menerpa dari berbagai arah, membuat tempat ini begitu mendamaikan dan nyaman. Cericit burung di dahan-dahan menambah suasana kian menyenangkan saja.Lalu, kubayangkan suasana ini pas malam hari. Iiih. Ngeri."Kenapa kau? Tak kesambet setan kan, kau?" Ia memicingkan mata mengawasiku. Ia ini selalu ceplas-ceplos dari dulu."Ya gak, laah. Mana ada orang kesambet setan bisa diajak ngobrol. Om, apa gak bisa buat kamar mandi di dalam?"Om Redi mengikat masing-masing angsa dengan tali rapiah di kayu besar. Mungkin agar si angsa bisa mengenali tempat tinggal barunya."Kenapa? Tak berani kau malam-malam keluar?""Yaaa, berani. Tapi, kan, yaa masa kamar mandi di luar. Tolong buatin di dalam ya, Om?" Aku memelas."Gampang, laaah."Aku mengikuti Om Redi masuk ke dalam rumah. Lelakiku itu mengambil pisau di dalam kardus lantas keluar. Aku memilih menata barang-barang milikku ke dalam kamar, sesekali memperhatikan dedek yang terlihat pulas.Apa jika aku dan Om Redi punya bayi, hubungan kami akan manis seperti ayah dan Mama?Aku masih ingat jelas dulu Mama takut banget sama ayah, sering kulihat wajah mama memucat dan tubuhnya sedikit gemetar saat di dekat ayah, tapi sekarang lihatlah, mereka lengket seperti perangko. Mungkin karena ayah suka menggoda dan Om Redi gak.Aku menghela napas teringat perkataan ayah yang melarang kami tidur bersama dan Om Redi menyanggupinya. Bagaimana bisa punya anak kalau tak melakukannya?Aku terus membereskan semuanya sambil berpikir, saat tanganku menyentuh gaun berkilau-kilau hadiah dari temanku, aku tersenyum sendiri.Masa Om Redi nggak tergoda kalau aku pakai ini? Haha.Dia itu lelaki, ya kan? Pasti tergoda, laah.Aku tersenyum sendiri.Tepat setelah azan ashar, angsa bakar telah matang dipotong ukuran sedang. Harumnya menguar ke mana-mana. Aku ke halaman samping dengan menggendong dedek. Mama tengah menata piring ke meja yang sudah penuh oleh nampan-nampan berisi ayam bakar."Banyak banget, memang habis segini banyak, Ma?""Ayahmu sedang memanggil para tetangga." Mama menyahut sambil mengulurkan tangan ke arah dedek."Potong dua ekor tadi. Nenek dan bibimu sebentar lagi datang," ucap Mama lagi sambil memperhatikan wajahku. Aku mencoba bersikap biasa saja walau merasa tak nyaman.Tak lama, ayah kembali bersama 3 orang perempuan paruh baya dan tiga laki-laki. Yang dua aku tak asing. Tentu saja, mereka yang menggojlokiku di warung tadi. Aku memilih berkenalan dengan tetangga, mengatakan bahwa aku akan tinggal di sini.Deruman motor terdengar di halaman. Aku menuju keluar, menyambut nenek dengan tangan terentang dan senyum lebar. Sementara pada bibi, aku bertingkah cuek."Bagaimana, kamu senang tinggal di sini?""Senang, lah, kan tinggalnya sama lelaki tercin, taa."Di samping nenek, bibi tersenyum tak nyaman. Ia menggelengkan kepala lalu mengikutiku dan nenek menuju halaman samping tempat para tetangga juga ayah tengah mengobrol. Aku duduk di samping suamiku yang terus curi-curi pandang ke arah bibi. Sebegitu cintanya? Rasa panas merayap ke dadaku.Aku meraih piring. Setelah mengisinya dengan nasi dan angsa bakar, kuberikan pada Om Redi yang terus curi-curi pandang ke arah bibi. Bibi terlihat tak nyaman."Makan, Om."Om Redi tersentak, buru-buru ia mengangguk. Ayah memperhatikan Om Redi dan menggeleng pelan. Tatapannya kini tertuju pada dedek yang tengah menjilat-jilat paha angsa berlumur kecap karena ia belum memiliki gigi."Pada suaminya kok panggil Om. Panggil Mas. Atau, Kak," kata si lelaki bertubuh kurus. Apaan, sih. Sepertinya ia mau membuatku malu lagi, deh.Kami pun kompak makan. Sikap Om Redi yang sebentar-sebentar menatap bibi sungguh membuatku kesal bukan main. Aku ingin ini segera berakhir dan bibi pulang ke rumah.Tetapi selesai makan, bibi malah mengobrol dengan salah seorang ibu. Bibi memang mudah akrab. Aku memutuskan mandi di muara. Menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada orang sebelum menutup pintunya yang hanya dari karung dengan ujung diberi lubang lalu di masukkan ke paku yang terpacak di kayu sebagai dindingnya."Put," kata bibi begitu aku keluar dari bilik."Kamu kesal pada bibi?""Gak, kok. Aku gerah jadi mandi.""Baguslah. Jaga suamimu jangan sampai digondol orang." Bibi menepuk-nepuk bahuku dengan senyum geli. Ia membalikkan badan dan menghampiri ibu. Aku mengikuti langkahnya."Nenek pulang dulu," katanya sambil merogoh saku. Ia menggenggamkan beberapa lembar uang seratusan ribu padaku.Aku menoleh kanan-kiri lalu menerimanya. "Makasih, Nek."Bibi tertawa kecil. Ayah menghampiriku lalu ikut menggenggamkan uang ke tanganku. Aku dengan cepat memasukkannya ke saku celana."Ehem!" Om Redi berdeham di belakangku. Aku menoleh, menatapnya malu saat tatapannya tertuju ke tanganku yang masih berada dalam saku."Kau ini, In. Aku pun punya uang, lah."Ayah menanggapi perkataan suamiku dengan kibasan tangan. "Dia anakku sampai kapanpun. Kalau butuh apa-apa, bilang saja sama ayah." Ayah mengusap kepalaku, lalu mencium keningku penuh sayang.Om Redi bersungut-sungut. Lelaki itu mengulurkan tangan pada ayah dan ayah menjabatnya. Lalu ayah dan mama menuju mobilnya sementara bibi mengendarai motornya. Aku melambai-lambaikan tangan, dan tersenyum kecil saat bersitatap dengan suamiku. Tatapannya tertuju ke dadaku."Kenapa, Om?""Kau ini jangan pakai kaus lope-lope macam begitulah. Geli aku tu lihatnya. Macam anak temanku yang baru puber itu.""Iiih, apaan sih, Om!""Haha."Aku mendelik sebal.Ia kembali tertawa. "Lepaslah.""Siap aku lepas!" Aku melangkah cepat meninggalkannya. Dan lihatlah Om. Kamu akan terkagum-kagum nanti. Aku pun menuju kamar dan mengganti baju dengan gaun malam pas di tubuh ini, yang tampak berkilau-kilau tiap aku bergerak. Rambut sebahu sedikit bergelombang kusisir rapi dan membiarkannya terurai. Aku berdiri di depan cermin terus mengagumi diri sendiri. Cantik dan tampak menggoda, masa Om gak suka. Lelaki sejati pasti bakal kesemsem, laah.Aku menunggu dengan dada berdebar saat melihat handel pintu bergerak. Om Redi masuk, menatapku cukup lama dan akhirnya menjatuhkan tubuh ke ranjang. Aku tersentak kaget melihat tubuhnya kejang maka aku pun berlari mendekat, mengguncang tubuhnya dengan panik."Om, kenapa, Om? Kenapa, Om?! Om!"Om Redi membuka matanya sedikit lalu kembali menutupnya. Satu telapak tangannya menutupi matanya dan menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan."Silau aku ini Put. Siii-lau."Aku mencubit kuat perutnya. "Iiih apaan sih, Om!""Silau aku ini. Si-lau. Ganti, laah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah."Silau aku ini. Si-lau. Gantilaah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. "Om, apaan siiih!" Aku mencubit perutnya kuat. Ia akhirnya berhenti bertingkah konyol, tapi masih tetap menatap dengan jari-jari tangan yang direnggangkan. Ya percuma, kan? Tetap aja kelihatan. Dia kira lucu, apa? Aku mendengkus sebal."Janganlah berpakaian seperti itu, Put. Silau aku in-nii."Aku mengerutkan kening, heran sekali padanya. Hei, lelaki normal pasti harusnya seneng kan yaa lihat yang segar-segar? Pasti ada yang tak beres dengannya. Tapi tentu saja dia normal karena kami waktu itu melakukannya."Emang apa salahnya? Om kan udah jadi suami a-kuuu." Aku beringsut mendekat padanya, ia langsung menutup mata, membuatku mencubit perutnya berkali-kali. "Salah, laah. Aku ini normal, laah. Kau memancingku itu namanyaa."Aku yang mulanya kesal kini tersenyum penuh kemenangan. "Ya gak papa, dong. Kan udah sah, Om. Nggak dosa dapet pahal
Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu.Aku memutar otak. A-haaa, aku tersenyum saat ide cantik merasuk ke benak. Itu hal yang gampang ternyata. Aku bisa pinjam pengganjal perut yang waktu itu kupakai untuk drama kelulusan kakak kelas. Tapi itu ada di rumah Nina. Baiklah, nanti menghubunginya setelah di rumah."Aku takut, jangan-jangan perkembangan dia ini terganggu." Om Redi mengusap perutku.Aku melotot padanya. Ih, amit-amit, jangan sampai lah. Aku pun ikut mengusap perut, dan tersenyum geli teringat ini hanya anak hayalan. Jadi kenapa aku tiba-tiba kesal? Kutatap suamiku yang terlihat risau. Aku pun menggeleng."Ya gak lah, Om. Nanti juga besar sendiri." Aku kembali mengusap perut. "Ini hanya belum besar aja. Nanti juga besar.""Mungkin karena tubuh kau mungil kali." Ia memandangku.Aku mengangguk-angguk. "Ya mungkin kali, Om. Emp, antar aku ke rumah nenek ya, Om? Aku ada perlu dengan temanku.""Baiklah. Aku juga ada perlu deng
"Putri! Jaga bicaramu!"Aku mengangguk. Hubunganku dan bibi mulai berubah sejak ia memutuskan Om Redi. Dulu, Om Redi selalu curhat tentang hubungannya dan bibi. Om Redi terlihat sangat bahagia saat bibi menerima lamarannya. Tapi bibi membuang Om Redi demi mantan suami mama. Dan yang terjadi waktu itu, bibi menangis histeris setelah malam pertama. Entah apa yang terjadi. Yang kutahu dari mama, bibi ditalak tiga."Maafin aku ya, Bi." Aku mengulurkan tangan pada bibi yang segera disambutnya. Aku diajari oleh ayah agar tak sungkan meminta maaf jika merasa salah. Setelah itu, aku melangkah cepat menuju dapur. Aku makan sambil tangan kiri mengetik pesan.Udah sampai mana, Nin?Ini lagi di jalan. Bawel, deh. Oh ya, persiapkan diri Put. Aku datang gak sendiriJantungku berdetak kencang. Jangan-jangan, Nina datang bersama teman-teman sekelas, lagi. Hanya 7 orang yang tahu kalau aku menikah satu di antaranya adalah Nina. Namun, hanya Nina yang menghadiri pernikahan siriku. Ya, aku dan Om Redi m
Linda mengernyit memandang ke arah perginya Om Redi. "Lucu ya, Om ituu?"Aku hanya menggaruk kepala. Om Redi marah gak, yaa?Linda menatap jam di tangan kanannya. Gadis bertubuh langsing itu menepuk dahinya lalu berucap, "Aduh emakku bisa marah nih kalau dia pulang dari kebun aku belum beres-beres rumah. Pulang dulu ya, Put."Aku mengangguk, seharusnya dari tadi, kek. Begitu teman-teman pulang, kutelpon Om Redi, tapi dimatikan terus. Sepertinya ngambek deh Om Redi. Aku masuk ke dalam dan meminta bibi mengantarku ke rumah ayah dengan alasan nomer Om Redi tak bisa dihubungi. Bibi langsung menolak, namun nenek membujuk agar mengantarku. Untunglah, Om Redi ada di rumah ayah. Motornya terparkir di halaman. Aku melambaikan tangan pada bibi lantas menuju rumah. Kudengar kesal suara suamiku."Parah anak kau, In. Dia bilang aku ini siapa di depan teman-temannya? Katanya, aku ni teman ayahnya."Tuuh, kan, Om Redi beneran marah. Aku membuka pintu sedikit, Wajahnya tampak sangat kesal. Sementar
Angin sepoi-sepoi membelai tubuh menambah syahdu suasana. Om Redi mendekat lalu mendongakkan daguku. Ditatapnya aku tanpa kedip. Aku perlahan memejamkan mata saat ia kembali mendekat, mencium bibirku lembut. Sumpah rasanya, aku deg deg kan banget, juga sangat bahagia seperti terbang di awang-awang. Caranya mencium lebih pintar dari Rizal.Wajahku menghangat saat ciuman kami berakhir dan kami hanya bersitatap dalam diam."Apaan sih, Om!" kataku saat ia tiba-tiba tersenyum. Sebelah matanya mengerling jail."Tak." Ia menggeleng. Lalu kembali mengemudi menuju jalan pulang. Aku sedikit mencondongkan tubuh hingga telapak tanganku menyentuh dinginnya air keruh namun jernih ketika dipercikkan ke udara dan terus mengayun-ayunkan air ke udara. Ciuman barusan sungguh membuat suasana hatiku membaik."Kau ingin kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" Ia sepertinya juga terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu malu saat tatapan kami bertemu."Terserah Om aja.""Baiklah, kita mampir ke kebun j
"Kenapa, laah, a-yok." "Kan gak boleh Om, nanti pendarahan takutnya." Aku beralasan. Ini yang selalu ia katakan saat aku menggodanya."Kau ini, plin plan kali laah. Kemarin kau goda aku. Cinta bilang tadi, tak apa." Om Redi kembali mendekat mengikis jarak, membuatku jadi semakin ketakutan saja. Aku nyengir kecil. Dia mengungkit-ungkit aku menggodanya pula. Kulihat wajah suamiku tampak begitu memginginkannya, ini kesempatan aku beneran hamil anak nyata. Tapi gimana kalau ketahuan? A-duuh. Gak seharusnya tadi pakai pengganjal perut. Gimana, niih?"Yok.""Emmp, tapi gak usah dibuka ya, Om?" kataku akhirnya, menatapnya harap-harap cemas. Semoga saja ia setuju.Ia mengernyit memandangku. "Hahaha. Memang bisa? Aneh kau ini." Tangannya bergerak ke arah bajuku."Maksudku, baju aku gak usah dibuka, gi-tuu.""Bukalaah." Ia beringsut mendekat.Kedua tanganku terjulur lurus ke depan menghalanginya lebih dekat ke arahku. "Bentar. Aku ...." Putar otak. Putar otak."Aku kayaknya pengen pipis deh,
"Kenapa kau keluar darah?" Om Redi menatapku curiga. Tatapannya tertuju pada sprei tempat barusan kami memadu kasih.Jantungku berdetak kencang dan aku tiba-tiba menjadi sangat tegang. Bagaimana cara aku menjelaskannya? Jelas aku tak mungkin mengatakan padanya yang sebenarnya. Ia pasti akan sangat marah jika tahu aku masih perawan.Om Redi mengernyit heran saat tatapannya kembali tertuju pada darah di sprei. Kami baru saja menikah.Om Redi menatapku dengan wajah semakin curiga saja. Tatapannya padaku yang mulanya biasa saja kini berubah menakutkan. "Apa jangan-jangan, kau bohongi aku?!" Lelaki berbadan tegap ini mengikis jarak, masing-masing tangannya mendarat di pundakku. Ia menggeretakkan gigi dan terlihat sangat marah. Wajar, jika dia sangat marah. Aku mendapatkan lelaki seusia ayahku ini dengan cara curang. Aku mencintainya tapi dia hanya menganggapku anaknya. Maka kepada ayahku, aku bilang bahwa aku dan Om Redi telah tidur bersama saat Om Redi mabuk karena ditinggal bibi menikah
Sepanjang jalan aku sama sekali tak bisa tenang. Saat Om Redi menoleh, aku meringis memegangi perut, pura-pura sakit."Perutku sakit banget, nih, Om. Mending ke rumah mama aja." Karena mama tiriku juga bidan. Kalau periksa sama mama, tentu mama akan membantuku. Om Redi menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. Satu tangannya terangkat mengusap-usap kepalaku dengan gemas. Aku menepisnya dan dia tertawa kecil. "Kau ini aneh sekali. Rumah mama kau itu jauh. Di sana ada bidan. Dasar anak kecil."Aku melotot galak padanya. Aku udah jadi istrinya, bisa-bisanya ia masih mengataiku anak kecil. Tidak ingat apa kejadian tadi?Kupikir, ia tak akan memintaku 'tidur' dengannya karena yang ia cintai hanya bibi. Bibiku adalah cinta pertamanya. Namun, ternyata aku salah. Om Redi yang mengajak duluan, mengatakan bahwa kalau aku sudah jadi istrinya, yaa sebaiknya lakukan saja apa yang seharusnya dilakukan oleh suami istri. Malam sangat dingin, pula. Toh, aku sudah hamil anaknya, pula. Ya, sekalian s
"Kenapa, laah, a-yok." "Kan gak boleh Om, nanti pendarahan takutnya." Aku beralasan. Ini yang selalu ia katakan saat aku menggodanya."Kau ini, plin plan kali laah. Kemarin kau goda aku. Cinta bilang tadi, tak apa." Om Redi kembali mendekat mengikis jarak, membuatku jadi semakin ketakutan saja. Aku nyengir kecil. Dia mengungkit-ungkit aku menggodanya pula. Kulihat wajah suamiku tampak begitu memginginkannya, ini kesempatan aku beneran hamil anak nyata. Tapi gimana kalau ketahuan? A-duuh. Gak seharusnya tadi pakai pengganjal perut. Gimana, niih?"Yok.""Emmp, tapi gak usah dibuka ya, Om?" kataku akhirnya, menatapnya harap-harap cemas. Semoga saja ia setuju.Ia mengernyit memandangku. "Hahaha. Memang bisa? Aneh kau ini." Tangannya bergerak ke arah bajuku."Maksudku, baju aku gak usah dibuka, gi-tuu.""Bukalaah." Ia beringsut mendekat.Kedua tanganku terjulur lurus ke depan menghalanginya lebih dekat ke arahku. "Bentar. Aku ...." Putar otak. Putar otak."Aku kayaknya pengen pipis deh,
Angin sepoi-sepoi membelai tubuh menambah syahdu suasana. Om Redi mendekat lalu mendongakkan daguku. Ditatapnya aku tanpa kedip. Aku perlahan memejamkan mata saat ia kembali mendekat, mencium bibirku lembut. Sumpah rasanya, aku deg deg kan banget, juga sangat bahagia seperti terbang di awang-awang. Caranya mencium lebih pintar dari Rizal.Wajahku menghangat saat ciuman kami berakhir dan kami hanya bersitatap dalam diam."Apaan sih, Om!" kataku saat ia tiba-tiba tersenyum. Sebelah matanya mengerling jail."Tak." Ia menggeleng. Lalu kembali mengemudi menuju jalan pulang. Aku sedikit mencondongkan tubuh hingga telapak tanganku menyentuh dinginnya air keruh namun jernih ketika dipercikkan ke udara dan terus mengayun-ayunkan air ke udara. Ciuman barusan sungguh membuat suasana hatiku membaik."Kau ingin kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" Ia sepertinya juga terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu malu saat tatapan kami bertemu."Terserah Om aja.""Baiklah, kita mampir ke kebun j
Linda mengernyit memandang ke arah perginya Om Redi. "Lucu ya, Om ituu?"Aku hanya menggaruk kepala. Om Redi marah gak, yaa?Linda menatap jam di tangan kanannya. Gadis bertubuh langsing itu menepuk dahinya lalu berucap, "Aduh emakku bisa marah nih kalau dia pulang dari kebun aku belum beres-beres rumah. Pulang dulu ya, Put."Aku mengangguk, seharusnya dari tadi, kek. Begitu teman-teman pulang, kutelpon Om Redi, tapi dimatikan terus. Sepertinya ngambek deh Om Redi. Aku masuk ke dalam dan meminta bibi mengantarku ke rumah ayah dengan alasan nomer Om Redi tak bisa dihubungi. Bibi langsung menolak, namun nenek membujuk agar mengantarku. Untunglah, Om Redi ada di rumah ayah. Motornya terparkir di halaman. Aku melambaikan tangan pada bibi lantas menuju rumah. Kudengar kesal suara suamiku."Parah anak kau, In. Dia bilang aku ini siapa di depan teman-temannya? Katanya, aku ni teman ayahnya."Tuuh, kan, Om Redi beneran marah. Aku membuka pintu sedikit, Wajahnya tampak sangat kesal. Sementar
"Putri! Jaga bicaramu!"Aku mengangguk. Hubunganku dan bibi mulai berubah sejak ia memutuskan Om Redi. Dulu, Om Redi selalu curhat tentang hubungannya dan bibi. Om Redi terlihat sangat bahagia saat bibi menerima lamarannya. Tapi bibi membuang Om Redi demi mantan suami mama. Dan yang terjadi waktu itu, bibi menangis histeris setelah malam pertama. Entah apa yang terjadi. Yang kutahu dari mama, bibi ditalak tiga."Maafin aku ya, Bi." Aku mengulurkan tangan pada bibi yang segera disambutnya. Aku diajari oleh ayah agar tak sungkan meminta maaf jika merasa salah. Setelah itu, aku melangkah cepat menuju dapur. Aku makan sambil tangan kiri mengetik pesan.Udah sampai mana, Nin?Ini lagi di jalan. Bawel, deh. Oh ya, persiapkan diri Put. Aku datang gak sendiriJantungku berdetak kencang. Jangan-jangan, Nina datang bersama teman-teman sekelas, lagi. Hanya 7 orang yang tahu kalau aku menikah satu di antaranya adalah Nina. Namun, hanya Nina yang menghadiri pernikahan siriku. Ya, aku dan Om Redi m
Oh, iya juga, yaa? Kenapa aku tak memikirkannya, ya? A-duuh, kenapa ruwet sekali bohong ituu.Aku memutar otak. A-haaa, aku tersenyum saat ide cantik merasuk ke benak. Itu hal yang gampang ternyata. Aku bisa pinjam pengganjal perut yang waktu itu kupakai untuk drama kelulusan kakak kelas. Tapi itu ada di rumah Nina. Baiklah, nanti menghubunginya setelah di rumah."Aku takut, jangan-jangan perkembangan dia ini terganggu." Om Redi mengusap perutku.Aku melotot padanya. Ih, amit-amit, jangan sampai lah. Aku pun ikut mengusap perut, dan tersenyum geli teringat ini hanya anak hayalan. Jadi kenapa aku tiba-tiba kesal? Kutatap suamiku yang terlihat risau. Aku pun menggeleng."Ya gak lah, Om. Nanti juga besar sendiri." Aku kembali mengusap perut. "Ini hanya belum besar aja. Nanti juga besar.""Mungkin karena tubuh kau mungil kali." Ia memandangku.Aku mengangguk-angguk. "Ya mungkin kali, Om. Emp, antar aku ke rumah nenek ya, Om? Aku ada perlu dengan temanku.""Baiklah. Aku juga ada perlu deng
"Silau aku ini. Si-lau. Gantilaah." Ia masih menatapku dengan jari-jari yang direnggangkan lalu pura-pura kejang lagi. Ih nyebelin banget, sumpah. "Om, apaan siiih!" Aku mencubit perutnya kuat. Ia akhirnya berhenti bertingkah konyol, tapi masih tetap menatap dengan jari-jari tangan yang direnggangkan. Ya percuma, kan? Tetap aja kelihatan. Dia kira lucu, apa? Aku mendengkus sebal."Janganlah berpakaian seperti itu, Put. Silau aku in-nii."Aku mengerutkan kening, heran sekali padanya. Hei, lelaki normal pasti harusnya seneng kan yaa lihat yang segar-segar? Pasti ada yang tak beres dengannya. Tapi tentu saja dia normal karena kami waktu itu melakukannya."Emang apa salahnya? Om kan udah jadi suami a-kuuu." Aku beringsut mendekat padanya, ia langsung menutup mata, membuatku mencubit perutnya berkali-kali. "Salah, laah. Aku ini normal, laah. Kau memancingku itu namanyaa."Aku yang mulanya kesal kini tersenyum penuh kemenangan. "Ya gak papa, dong. Kan udah sah, Om. Nggak dosa dapet pahal
Lalu mereka tertawa bersamaan. Nyebelin. Nyebeliin! Aku menoleh ke belakang dengan kesal sebelum melanjutkan langkah menuju rumah, memasukkan anak kunci pada tempatnya kemudian mendorong pintu membuka. Aku terperangah mendapati rumah dalam keadaan bersih dan penuh dengan barang-barang dengan harum masih baru. Ada sofa, lemari, juga fotoku dan Om Redi pas ijab kabul ukuran besar. Saat aku menuju kamar, ranjang juga tampak baru. Aku sering ke sini dan tak pernah melihat barang-barang ini sebelumnya. Ayah sepertinya mempersiapkan semuanya sebelum kami menikah."Zain benar-benar!" Terdengar kesal suara Om Redi. Aku keluar kamar dan bersikap masa bodoh padanya karena kejadian barusan."Kau ngambek padaku?" Ia mendongakkan daguku, memaksa menatapnya saat aku berpaling. Kutepis tangannya sambil terus pura-pura ngambek."Om gak boleh begitu lagi padaku. Itu keterlaluan, tau!"Ia nyengir kecil. "Baiklaaah," katanya sambil menjatuhkan diri di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan wajah cemberut.
"Kenapa kau?" Ia menoleh sekilas saat aku kembali mengusap air mata."Gak papa, Om." Masa di gak tahu aku sedih? Atau pura-pura gak tau? Segitunya banget."Nanti aku akan langsung ke muara.""Iya, Om."Ia memandangku, dan kembali menatap jalanan yang rusak parah membuat tubuhku sesekali terlonjak-lonjak ke atas. Begitu sampai rumah Om Redi langsung mengganti bajunya, setelah itu mengeluarkan motor. Aku memperhatikan sekeliling yang begitu berantakan lalu tatapanku tertuju pada suamiku yang berjalan mendekat. Ia memakai topi dan kaca mata hitam menutupi matanya."Kau jangan lelah-lelah. Istirahat sajalah," katanya saat aku mengambil sapu."Aku hanya bersihin rumah. Berantakan banget."Ia mengibaskan tangan. "Tak perlu kau bersihkan, lah. Nanti kita ke muara, lihat rumah di sana.""Mau pindah ke sana, Om?" tanyaku penasaran.Ia menoyor kepalaku. Aku mendelik sebal padanya. Dulu sih gak papa ia bersikap begini. Tapi sekarang kan aku istrinya, seharusnya ia tak bersikap seolah aku anak t
"Ayok, kita ke dokter sekarang." Om Redi berdiri yang segera disusul ayah dengan antusias. Ayah ini ya ampun, ngebet banget. Padahal ia dulu marah-marh saat kuberi tahu anaknua ini hamil. Tanganku yang memegang sendok begitu dingin, aku menatap Mama dengan memohon. Tolong aku, Maa, pleasee.Mama menatapku jengkel. Ia akhirnya memandang suaminya lalu tatapannya pindah ke Om Redi yang menatapnya dengan heran karena mama tiba-tiba tertawa tampak dibuat-buat."Kenapa lah kau ini, Cin. Masih waras kan, kau?" Tangan Om Redi mendarat di kening mama dan ayah langsung melotot pada Om Redi."Dia mertuamu sekarang. Perbuatanmu tidak sopan," kata ayah protes. Tapi ia juga menatap Mama yang terus tertawa penuh keheranan."Apanya yang lucu? Kami sedang panik malah kamu tertawa." Ayah menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat jengkel."Yaa aku ngerasa lucu aja, Mas. Kan masih 3 bulan, yaaa belum keliatan lah jenis kelaminnya."Ayah memicingkan mata. "Siapa yang mau melihat jenis kelaminnya? Kita hanya