"Rosa, jika ada sesuatu yang mengganjal katakan saja pada kami. Bukankah kami semua adalah keluarga?" ujarku yang membuat dia justru memandang tanpa kedip."Baik, Mbak." Suara itu terdengar berat. Namun, ah, mungkin saja aku terlalu sayang sama dia dan enggan ditinggalkan seperti ini. Kedekatan kami baru saja terjadi sekitar beberapa Minggu dan kini harus ada sebuah kisah tentang dirinya bersama calon pasangan."Mbak Lilik tumben kesini, ada apa gerangan?" tanyaku pada kakak ipar yang selalu menebar senyum itu mengalihkan pembicaraan.Semua berpamitan untuk kembali membersihkan toko karena jam dinding sudah menunjukkan ke arah lima sore. Memang di waktu seperti ini sudah selesai tugas kami, aku tidak mempekerjakan sampai malam. Ada waktu untuk istirahat juga supaya badan tidak terlalu lelah. Karena kesehatan adalah hal yang utama. Sehingga seringkali aku menanyakan kabar mereka berdua jika kami saling bertemu di toko. Kalau mereka bahagia dan senang maka saat melayani pelanggan pun
Mentari pagi mulai menghangat dan menyapa tatkala burung-burung berkicau riang di dahan pepohonan. Suasana sejuk pun seolah membawa ke alam indah yang penuh bunga-bunga bermekaran dan pelangi berwarna-warni. Sungguh sempurna.Seperti tak ada celah, kini semua berjalan baik dan lancar. Mbak Lilik dan Mas Bima pun bahagia dengan segala pencapaian yang telah dihasilkannya. Anak-anak juga menikmati dunianya di pondok pesantren.Empat tahun berlalu di sini aku mencapai puncak keberhasilan dengan dukungan dari kedua orang yang kucintai di tempat baru ini. Sepeda motor baru telah kudapatkan dari hasil jerih payah sendiri dan rencananya tahun depan aku ingin membeli hunian.Untuk hati, biarkan saja aku menikmati kesendirian ini dengan bekerja demi masa depan. Cita-cita yang telah aku ukir buat Ibu Fatimah dan Ayah semoga saja terkabul, meskipun itu ada campur tangan Mas Bima. Karena dia juga mau berbakti kepada Ayah begitu jawabannya saat sedikit demi sedikit rezeki aku kumpulkan."Aku juga a
"Ran, aku ini masih banyak salah sama kamu. Belum bisa membantu dalam segi apapun, tolong jangan meminta maaf terus, Mbak hanya ingin menebus kesalahan di masa lalu. Apapun yang kamu inginkan katakan saja!" ujarnya memohon."Sudah-sudah, kalian ini ada apa? Kita keluarga nggak usah saling beradu. Boleh, Ayah dan Bu Fatimah boleh kesini kapanpun dan kami akan menerima dengan senang hati." Mas Bima menengahi.Kami sampai lupa kalau ada seorang lelaki yang menjadi pemimpin di keluarga ini. Sorot mata yang teduh itu merangkul pundak kami berdua dan meletakkannya pada dada bidang itu. Mungkin juga ini salahku yang tidak berani berbicaralah dengan Mbak Lilik.Entahlah, aku keterlaluan menjadi pengecut sehingga masih ada jarak yang seolah membentang diantara aku dan Mbak Lilik. Padahal jauh di lubuk hatinya menganggapku sebagai adik kandung sendiri."Kapan mereka datang? Biar kami bisa mempersiapkan segalanya," tukas Mbak Lilik dengan menyeka air matanya yang masih tersisa."Dua hari lagi, n
"Rani!" teriak lelaki yang dulu pernah singgah dan bersemayam dalam hati ini.Aku nggak mau lagi terkecoh dengan cerita liciknya, lebih baik menghindar daripada terjerat lagi dalam kubangan kenangan yang telah lama aku buang. Toh, nggak akan ada untungnya buatku, dia masa lalu dan kenapa malah mencari celah untuk bisa kesini?Tak kuhiraukan juga suara panggilan dari Mas Bima dan Mbak Lilik. Sakit hati yang telah aku obati beberapa tahun ini akan bertambah jika duduk bersama mereka di depan. Segera aku menutup pintu kamar dan memeluk guling. Air mata yang tersimpan rapi akhirnya luruh juga. Kembali menganga lebar dan mengeluarkan tetesan demi tetesan darah. Aku benar-benar tak pernah berharap akan bertemu lagi dengan lelaki bernama Rendi tersebut.Ketukan pintu terdengar berulang kali dan menyebut namaku. Suara Mbak Lilik, aku tahu pasti mereka penasaran dengan apa yang aku lakukan karena tidak biasanya aku bersikap acuh seperti ini terhadap tamu."Ran!" panggil Mbak Lilik dengan ketu
"Apa jangan-jangan dia mau balikan lagi sama kamu? Eh, tapi dia sudah punya istri lagi, 'kan?" Pertanyaan Mas Bima membuatku tersentak.Balikan? Itu nggak mungkin, tapi kenapa dia malah menyusul dan mencariku sampai sini? Ada sesuatu yang memang terjadi padanya. Jam dinding sudah menunjukkan di angka sepuluh, berarti di rumah sana semau telah terlelap dalam tidur.Bermacam pertanyaan mulai bermunculan dan memenuhi otak ini. Penasaran pun seakan membelenggu diriku dan membuat kepala semakin sakit. Bagaimana bisa seseorang yang telah pergi meninggalkan hati yang selalu mengharapkan kedatangannya justru kini seolah mencari.Mas Bima berdiri mondar-mandir sambil bersedekap dada, pun demikian dengan Mbak Lilik, kening wanita yang duduk di depanku itu ssmaan memikirkan begitu keras apa yang terjadi saat ini."Mas, akan menjaga kamu dari lelaki gila itu, nggak akan aku biarkan dia menyentuh hatimu lagi. Namun, apakah kamu masih menyimpan rasa untuknya?" Pertanyaan bodoh macam apa yang ditan
"Setiap hari mereka bertengkar dan Mas Rendi akan selalu kesini, Mbak, hingga suatu hari istrinya juga kedua orang tuanya membuat keributan dengan menyebarkan berita kalau kita main guna-guna untuk memikat dia kembali, 'kan, nggak lucu," ketus Mita dengan suara beratnya.Aku tahu adikku itu pasti juga marah dengan fitnah keji tersebut. Karena pada dasarnya kami sekeluarga tidak pernah sekalipun mengharapkan Mas Rendi kembali lagi, jangankan kembali, menyapa saja kami sudah tak pernah sekalipun berpikir ke arah situ.Malam yang dingin seakan merayap dan menyelimuti hati ini, seiring dengan hari yang sudah gelap gulita, aku pun mengakhiri obrolan ini. Rasanya tak sabar menunggu kedatangan mereka semua di tempat ini."Ya, sudah, istirahat dulu besok biar segar karena perjalanan panjang. Jaga Sahira juga, kasihan dia! Salam buat Ayah dan ibu, hati-hati, Assalamualaikum," ucapku mengakhiri pembicaraan dalam saluran telepon.Itulah aku dan Mita, jika sudah membicarakan sesuatu maka akan lup
Aku masih sakit hati dengan perlakuan gila Mas Rendi dan istri barunya. Tak ingin lagi mengenal mereka, buat apa? Toh, kami sudah tak tidak ada lagi sesuatu yang mendekatkan. Safia sudah tenang di sana dan tidak akan menjadi alasan buat dia datang dan pergi sesukanya.Ayah dan keluarga dari kampung tiba hari ini, kebahagiaan ini pun menjadi obat lara ketika luka itu kembali menganga. Ku peluk mereka satu persatu demi sebuah rindu yang membelenggu diri ini. Tahu yang berganti membuat Ibu Fatimah begitu erat memelukku.Pemandangan yang menguras air mata. Pun demikian dengan Mbak Lilik, kakak iparku itu pun membaur bersama kami. Tidak ada jarak antara menantu dan mertua, apalagi dengan Mita. Kami semua bagaikan keluarga sempurna yang telah lama tak bersua."Mari, kita lanjutkan kange ini di rumah saja!" ajak Mas Bima yang dijawab anggukan oleh Yoga dan Ayah. Kedua lelaki yang berhasil membuat kami bahagia itu pun selalu mengembangkan senyumannya."Maaf, ya, nak, jika kami merepotkan. Kam
"Aku, aku … maafkan aku, Pak. Maaf," ucap Mas Rendi tergugu.Entah drama apa yang dimainkan oleh lelaki yang kini bersimpuh di depan Ayah itu. Air matanya berjatuhan membasahi pipi juga lantai rumah Mas Bima. Aku dan semua yang mendengar hanya bisa saling pandang melihat tingkah laku yang tak biasanya ini."Kamu sudah kami maafkan, tapi bukan berarti kami menerima kamu kembali lagi di keluarga ini. Bukannya kami sok pinter dan sok tahu akan perilaku yang kamu jalani. Hanya saja buat apa kamu kesini? Jawab jujur!" tegas Ayah dengan menghentakkan kakinya supaya tidak tersentuh oleh lelaki yang kini masih saja menangis itu.Lelaki yang masih saja bersimpuh itu tak berkutik, dia justru semakin menundukkan kepalanya. Dalam suasana hening seperti ini aku begitu muak melihat tingkah lucu dari mantan suamiku tersebut. Dulu saja saat dia di negeri orang lupa sama aku dan Safia. Mengirimkan uang sepeser pun tak pernah apalagi menelepon.Padahal putri kecil kami saat itu sangat rindu dan selalu