"Kalo lagi ada masalah coba dibicarain baik-baik, Non," kata Mira sambil memotong daging sapi yang baru diambil dari kulkas. "Kamu sekarang udah nikah, ya meskipun saya tau kalo pernikahan ini bukan keinginan kamu," lanjut Mira menoleh pada Viana yang senantiasa diam aejak tadi. "Tapi, kamu juga harus nerima pernikahan ini, Non! Umur kamu masih remaja, tapi status kamu udah jadi istri orang. Ubah pola pikir kamu, belajar bersikap dewasa karena kamu punya tanggung jawab sebagai seorang istri." Mira menghampiri Viana. Menyentuh kedua bahu gadis itu yang masih membisu. "Saya tau kamu gak suka sama pernikahan ini, tapi kamu coba kamu mikirnya gini. Setiap keputusan yang kamu ambil, setiap hal yang kamu pilih meskipun itu atas dasar paksaan pasti ada hikmahnya. Ke depan kita gak tau kalo nanti kamu sama Tuan muda Sagara bakal jadi pasangan yang bahagia!" Mira masih terus berbicara panjang lebar. Memberi nasihat pada Viana yang dalam satu bulan ini jauh darinya. Menjalani kehidupan bar
"Bagus! Lo cewek tapi jam segini baru balik!" Sagara menyambut kedatangan Viana dengan tatapan tajam. Lelaki itu menunjukan sebuah ponsel. Memberitahu bahwa saat ini pukul 09.25 malam kota Swinden."Terus apa urusannya sama lo?" balas Viana memasuki apartement. Dengan tangan yang memegang sebuah paper bag berisi rendang.Mira memaksa Viana membawakan rendang untuk Sagara. Karena, Mira bilang Sagara pasti belum makan. Viana sejujurnya tidak peduli dengan lelaki yang berstatus sebagai suaminya. Tapi, Viana hanya menuruti Mira saja. Tidak ada maksud apa-apa pada Sagara."Lo tanya kaya gitu? Otak lo ada di mana sih anjing?" sentak Sagara mulai terpancing emosi.Dia sebagai suami tidak pernah merasa dihargai oleh Viana. Sagara merasa Viana hanya mementingkan diri sendiri. Sagara tidak menyukai sikap Viana yang egois itu. "Gue males ribut sama lo!" Viana meletakan kasar paper bag di tangannya. "Ini makanan buat lo!" Setelah menyerahkan rendang titipan Mira pada Sagara. Lalu, dia melangka
"Bel udah bunyi dari tadi! Tapi, kalian malah asik ngerokok di sini!" ujar Ravin datang bersama kedua temannya. Sebagai ketua Osis, Ravin mendapatkan tugas patroli keliling sekolah. Untuk memastikan tidak ada murid yang bolos di saat jam pelajaran. Pagi ini Ravin mendapatkan titah dari Bu Ajeng, selalu guru BK. Menyuruh dirinya untuk menyeret keempat murid berandal yang menjadi langganan BK. Selain Viana dan ketiga sahabatnya. Sagara, Satya, Danish, dan Kenzo. Mereka jarang sekali mengikuti jam pelajaran sekolah. "Hai, babu!" sapa Kenzo dengan wajah songong. "Sini gabung sama kita!" Danish mengeluarkan satu batang rokok. Dan mengulurkan pada Ravin. Berniat baik memberikan satu batang rokok pada ketua Osis. "Jangan! Ntar dia mati gara-gara rokok kita yang disalahin!" Kenzo mengambil rokok di tangan Danish. Lalu me.asukannya pada kantong seragamnya. "Dia murid teladan mana mungkin doyan rokok!" lanjut Kenzo sambil terkekeh penuh ejekan. "Anak Mami ternyata!" Danish ikut terke
"Sialan!" Ravin mengerang kesakitan saat Sagara memukul rahangnya. Dia tersungkur di lantai kotor. Sambil menyentuh sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Maksud lo apa?" sentak Ravin tak terima dengan sikap Sagara.Yang tanpa aba-aba memukulnya.Sagara maju menarik kerah seragam Ravin. Mencengkeramnya dengan kuat. Dia paling tidak suka ada yang menghina geng Verdon. Apalagi menyuruh geng Verdon untuk bubar. Mereka siapa berani mengatur dirinya untuk membubarkan geng Verdon. Yang sudah dia buat dengan susah payah. "Lo gak usah repot-repot urusin hidup orang! Apalagi nyuruh-nyuruh gue buat bubarin geng Verdon!" ucap Sagara dengan nada tajam."Lo urusin aja pacar kesayangannya lo!" lanjut Sagara membuat Ravin terkejut."Viana maksud lo?" tanya Ravin cepat sambil mencoba melepaskan. Cengkeraman tangan Sagara pada kerah seragamnya. "Kenapa lo bawa-bawa pacar gue?" sentak Ravin saat Sagara hanya diam saja.Sagara tersenyum bengis dengan tatapan penuh kebencian pada Ravin."Lo mikir ga
"Maksud lo apa?" sentak Viana dengan wajah kesal. Tidak lupa tatapan sinis gadis itu saat menatap Sagara. "Lo ngerasa kan kalo lo trouble maker?" Sagara tersenyum mengejek pada Viana. Wajah Viana semakin memerah kesal. Jika tidak ada guru di sini dia inginsekali menampar wajah songong Sagara. Memberikan jejak kelima jari pada wajah Sagara. "Kalo gue trouble maker, lo nya apa? Ngaca dong! Lo sama gue gak beda jauh, ya!" sentak Viana yang sudah tersulut emosi. Padahal dia datang ke ruang BK dengan begitu gembira. Tempat favorite di mana dirinya akan mendapatkan surat panggilan dari orang tua. Yang mengharuskan Arthur datang ke sekolahnya. Viana dengan ribuan cara gila untuk mendapatkan perhatian Arthur. Dia begitu mendamba kasih sayang Arthur. "Kerjaan gue cuma bolos, ngerokok, sama tawuran. Kalo lo? Bahkan ngerundung murid yang gak bersalah!" Sagara membalas tatapan Viana tak kalah tajam. "Masalahnya sama lo apa? Gue aja gak pernah ikut campur urusan lo! Mau lo tawuran kek, bol
"Coba kalian pikirin gimana perasaan orang tua kalian kalo tau anaknya engga lulus sekolah? Pasti kecewa kan? Mereka udah banting tulang buat biayain sekolah kalian. Tapi, kalian engga menghargai usaha mereka! Kaliam di sekolah malah suka ngelanggar peraturan sekolah. Tawuran, ngerokok, bolos, sama nindas orang. Orang tua kalian pasti kecewa!" Bu Ajeng mulai mengeluarkan kata-kata mutiaranya.Saat ini jam menunjukan pukul 10.30. Di saat murid lain sedang belajar di sekolah. Mereka malah terpenjara di ruang BK. Mendengarkan ceramah panjang lebar dari Bu Ajeng. Guru yang menjadi musuh para murid nakal."Jadi, saya minta tolong ubah sikap kalian! Tolong patuhi peraturan sekolah! Kalian udah kelas 12, fokus belajar buat ujian nanti. Bukan malah santai-santai kaya gini!" Bu Ajeng hany ingin membuat mereka mentaati peraturan sekolah. Merubah keburukan mereka. Tapi, sepertinya itu adalah hal sulit bagi mereka.Atau justru mereka yang tidak ingin berubah? Jika seperti itu sangatlah susah. Kar
"Bagus, aku juga gak pernah minta Papa buat peduli!" Sagara membalas dengan malas. Viana yang mendengarkan pertengkaran keduanya sejak tadi. Tampak cengo dibuatnya. Disaat dirinya selalu mengharapkan Arthur datang ke sekolah untuk memenuhi surat panggilan. Meskipun selama dirinya 3 tahun sekolah di SMA Galaksi. Elvano yang selalu datang ke sekolah Viana menggantikan Arthur. "Papa bakal telpon Pak Bagas buat dateng ke sekolah kamu besok!" Daniel muli mengeluarkan ponselnya untuk mengubungi Pak Bagas."Sok!" Sagara menyahut sambil fokus memainkan game online pada ponsel mahalnya. Sedangkan Sagara saat Daniel siap datang ke sekolah. Sagara justru meminta Pak Bagas untuk menggantikan Daniel. Dia memang tidak tahu siapa Pak Bagas itu. Tapi, dia bisa menduga jika Pak Bagas mungkin anak buah Daniel. Viana sungguh dibuat bingung dengan Sagara. Mereka memiliki banyak perbedaan jika Viana telisik lebih jauh.Dari mulai keluarga Sagara. Lelaki itu memiliki seorang Ibu yang begitu perhatian. B
"Makasih, Pa!" Viana menjawab dengan sedikot terbata. Daniel mengangguk dengan senyuman. Daniel sudah menganggap Viana seperti anaknya sendiri. Dia sejak dulu menginginkan anak perempuan. Sayangnya Tuhan memberikan dirinya anak laki-laki. Sehingga kehadiran Viana saat ini menjadi menantunya membuat Daniel senang. Dan menyayangi Viana seperti anak kandungnya sendiri. "Papa pulang dulu, ya, Viana! Kamu langsung tidur besok sekolah!" Setelah mengatakan itu. Daniel melangkah menuju pintu apartement untuk keluar.Daniel hanya berpamitan pada Viana saja. Tidak dengan Sagara yang kini menatapnya tak percaya. Di sini Sagara yang anaknya. Kenapa jadi berbalik seperti dirinya yang menantunya, Viana yang anak kandungnya? Sagara melirik Viana yang justru terdiam membeku di tempat. Kenapa lagi nih sih cewek sinting? Ada saja gebrakannya membuat Sagara bingung. Sikap Viana kadang berubah-ubah membuat dirinya pusing. "Lo kenapa?" Sagara tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya."Apanya yang
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di
"Gara, apa yang terjadi sama Viana?" Saat pertama kali Sagara membuka pintu apartemennya. Dikejutkan oleh kehadiran Arthur dan juga Alisha yang bangkit dari sofa. Tidak perlu bertanya bagaimana keduanya bisa masuk ke dalam apartemen dirinya dan juga Viana. Viana yang berada di gendongan Sagara memberontak pelan. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Sagara. Dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sagara. "Viana, diculik oleh Agatha, Pa." Sagara melangkah semakin dalam memasuki apartemen. Dia menurunkan Viana yang dalam gendongannya pada sofa panjang. Sagara menatap wajah Viana yang mendusel pada dada bidangnya, gadis itu tampak menolak untuk turun dari gendongannya. Terlalu nyaman atau karena apa? "Turun dulu, Vi. Aku mau ambil minum buat kamu." Sagara berbisik lembut pada telinga sang istri. Dia menurunkan Viana dari gendongannya pada sofa di depannya. Kali ini, sang gadis menurut turun dari gendongannya. Namun, wajahnya justru menghadap ke arah lain dengan
"Viana!" Viana mengangkat wajahnya yang sejak tadi saat mendengar teriakan Sagara dari luar. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya, Viana ingin segera menemui Sagara— suaminya. "Gara, aku di sini!" Suara Viana terdengar serak, dia berjalan tertatih melangkah keluar menemui Sagara. Viana tidak melirik sama sekali pada Ravin yang berada di dekatnya. Ravin terdiam saat melihat Viana berjalan melewatinya begitu saja. Dia menolehkan wajahnya menatap pada pintu kayu yang sudah berayap di mana kini Sagara muncul. "Viana!" Sagara berlari mendekati Viana dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Lelaki itu segera menarik sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk Viana dengan erat, dia lagi dan lagi gagal menjaga Viana. Dia tidak menyangka akan terjadi hal buruk pada Viana, bukannya tadi gadis itu berada di kediaman keluarga Rajendra? Itu yang membuat Sagara bersikap tenang saat menemui Kinan tadi di apartemennya. Dia mengira Viana aman-aman saja bersama Arthur. Sayangnya,
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b
"Lo iblis, Agatha! Gue salah apa sama lo?" Viana memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan dia sedikit memburam, tapi Viana berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Lo yang buat Ravin nggak mau tanggung jawab sama gue!" Agatha menatap penuh dendam pada Viana. Itu alasan dirinya yang mengajak Viana untuk bertemu agar rencana yang dia susun dilakukan lebih mudah. Agatha sangat menginginkan kehancuran Viana, dia ingin Viana merasakan apa yang terjadi padanya saat ini. Masa depannya hancur karena dia hamil di luar nikah, dia harus menjadi Ibu muda di saat perempuan seumuran dengannya masih menikmati masa-masa SMA. Hal yang memperparah keadaannya saat ini, Ravin menolak bertanggung jawab setelah membuat dirinya hamil. "Lo nyalahin gue?" Viana menatap tak percaya pada Agatha. "Gue nggak ada urusan sama Ravin dan lo, Agatha! Kenapa Lo jadi nyalahin gue?" "Jelas salah lo, Viana! Kalo lo nggak pernah muncul di kehidupan Ravin, mungkin dari dulu gue udah bahagia
"Mau Ravin tanggung jawab sama lo atau nggak itu bukan urusan gue!" Viana melipatkan kedua tangannya di depan dada. Gadis itu justru tersenyum lebar seakan memuas pada Agatha yang kini mencak-mencak di depannya. Viana tahu bahwa dirinya jahat saat bahagia mendengar Ravin yang tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya pada Agatha. Mengakibatkan perempuan itu hamil di usianya yang masih sangat muda. Namun, rasa sakit hati dan kebenciannya yang kini tersemat pada dadanya pada Agatha dan juga mantan kekasihnya itu membuat Viana merasa bahagia di atas penderitaan Agatha. Viana menyalahkan Agatha yang menjadi penyebab utama hubungannya dengan Ravin kandas. Pasalnya, Viana sangat yakin apabila Agatha tidak menggoda Ravin terlebih dahulu mereka tidak akan menjalin sebuah hubungan perselingkuhan di belakang Viana. Namun, bukan karena dia menyalahkan Agatha, Ravin tidak salah sama sekali, ya. Ravin juga salah, karena pria itu yang dengan mudahnya terpancing oleh godaan perempuan muraha