Home / Romansa / SUAMIKU CEO BUTA / Bab 5 Ani dipenjara

Share

Bab 5 Ani dipenjara

5

TANDA *** MOHON UNTUK SET OTAK PERPINDAHAN POV.

Aku langkahkan kakiku seperti Raksasa. Kesal sekali aku dibuatnya pada kemarin malam. Padahal aku masih ingin disentuh.

"Mengapa kau berjalan seperti itu," tanya Rhoma.

"Hoh Hah."

"Kau ini Raksasa atau apa?" tanya Rhoma semakin kesal.

"Huu haaa huu haa."

"Ku pukul ya kau Ani!! Macam badak saja," cetus Rhoma.

"Kau mau memukulku? Heyy!" bentakku.

"Lalu mengapa kau berbicara seperti hewan?" tanya Rhoma.

"Huhh."

"Heleh..Lagi lagi." Rhoma hanya menggelengkan kepalanya.

"Nih sarapannya!" ketus ku.

"Ani anu ... aku," kata Rhoma tertahan

Langsung kusambar "Apa? Ona anu apa lagi? Hah?"

"Aku tidak mau makan sendiri! Temani aku!" Sangat teduh dia bicara seperti itu

Aku mengendur hatiku menghangat bagai disiram air teh.

Aku duduk di sampingnya.

"Masak apa Ani?" tanyanya.

"Hanya Lele goreng sama sambel terasi," ucapku.

"Pantas saja ada bau aneh, suapi aku pakai tangan. Aku sudah rapi, aku tidak mau bau terasi. Suapi pakai tangan," tutur Rhoma.

"Tidak usah berulang kali memerintahku. Aku sudah paham," jawabku

 Aku menyuapinya dengan tangan. Nasi, lele, sambal, serta lalapan masuk kedalam mulutnya. Satu suap, dua suap, tiga suap, suapan keempat.

"Aaaaa ... kenapa jariku kau gigit Rhoma dodol," jeritku.

Rhoma datar saja, dengan berkata. "Aku tidak sengaja."

Aku juga menggigitnya, sebagai balasan yang setimpal, enak saja!

"Awww ... Kau ini rabies atau apa? Sakit sekali. Sudah aku tidak mau sarapan!" teriak Rhoma.

"Rasakan itu!" pekikku.

"Lagi pula sudah habis ,dasar!"bentakku lagi.

Aku dan Rhoma berjalan ke arah pintu dengan memegang jari masing-masing.

Merasakan sakit yang sama, entah mengapa aku sangat ingin berada terus bersamanya.

Rhoma menyodorkan tangannya ke muka Ani.

"Ada apa?" tanyaku dengan geram, karena jariku dia gigit, sangat kesal sekali aku dibuatnya.

"Salim lah!"

"Hah? Ini perintah atau apa?" tanyaku heran.

"Kemarin kau menarik tanganku bukannya ingin salim denganku?" tanya Rhoma menyimpulkan.

"Iya ...."

Tangannya kuraih lalu salim, setelah itu ku jilat punggung tangannya.

"Iyuuuh ... kenapa kau jilat semua tanganku!" sembur Rhoma, dengan mengusap-usap tangannya ke tembok.

"Aku hanya menjilatnya sedikit, mengapa kau histeris?" ucapku merasa tak bersalah.

"Tidak ada yang menjilat tanganku seperti itu, aish sudahlah," ucapnya kesal.

"Sedikit apa? Kau menjilatnya sampai jari dan kukuku!" tambahnya dengan teriak.

"Halah, pergi sana, dasar menyebalkan!" jeritku.

"Wanita rabies dasar kau! Awas kalau kau keluar lagi! teriaknya di depan wajahku.

"Yaa ... tukang cemburu," desisku.

"Aku tidak cemburu, hanya saja itu memalukan buatku," ucapnya dengan canggung wajah tertahan.

***

"Pastikan Ani tidak menemui kang bubur naik haji itu lagi," perintahku pada Hanggara.

"Baik Tuan," ucap Hanggara.

Aku ada pertemuan nanti malam di hotel dengan client. Membahas perubahan sistem pada hotel kami. Aku ingin kalangan rakyat biasa juga bisa menikmati hotel ini.

Namun aku perlu sokongan dari mereka untuk membantu membuat kepercayaan masyarakat pada hotel kami. Rosmayah lah juru marketing kami, dia ketua divisi. 

Aku mengajaknya, agar dia paham apa yang akan dikerjakan.

***

"Pak, nyari martabak telor yuk," ajakku pada pak sopir.

"Siap laksanakan Nyonya Ani."

Wah jalanan ini penuh sesak pedagang makanan, aku pun ingin ikut wisata kuliner seperti orang-orang. Berhubung aku orang kaya, akan kubeli semua yang ada disini. Kalo gak habis gimana? Yaa kasih ke pengawal Rhoma aja. Pintar 'kan aku hwahaha!

Martabak telor, cilok, cimol, cilor, cilung, es doger, crepes, donat kentang, salad buah, seblak, ceker iblis, ceker kribo dan uuhh masih banyak lagi.

Tiba-tiba 

Ting..

[Senangnya bermalam dengan Rhoma]

Ada foto Rhoma sedang dinner dengan Rosmaya tetanggaku. Dia mengirim dengan nomor Rhoma.

"Pak dimana ini?" Aku menunjukan gawaiku pada sopir.

"Itu di hotel milik tuan," ucap sopirku.

"Cuss kesana," perintahku.

Berani-beraninya dia menyentuh Rhomaku.

Aku tidak tahan, dadaku panas seperti kebakar. Dasar wanita jahanam, lewati dulu kekuatanku.

Hotel bergaya eropa klasik, kokoh berdiri tegak dengan kesibukannya.

Mataku menyusuri setiap ruangan, dan detail di hotel ini.

Huh menyerah, lebih baik aku tanya pada resepsionis.

"Tuan Rhoma dimana?" tanyaku pada wanita cantik yang menjadi resepsionist.

"Dia di ruang rapat," jawabnya.

Aku langsung menyuruh pak sopir memanduku.

 

Brakk!

Jelas saja mereka berdua sedang berselancar dengan riangnya. Tidak ada siapa pun disini, hanya mereka berdua. 

"Sedang apa kalian?" teriakku marah.

"ANI ...." Rhoma meraba meja lalu berjalan kearahku, namun lagi-lagi kakinya kesandung kaki meja dan menubruk tubuh Rosmayah. 

"Aaahhh apa yang kau lakukan Rhoma" jeritku dengan histeris bernada kecemburuan.

"Lepaskan aku Rosmayah!" Hardik Rhoma.

"Lepaskan dia aaawww," geramku pada Rosmayah. Dia memeluk Rhoma dodolku.

Kujambak rambutnya, dia hendak mencium bibir Rhoma.

Kami berdua jambak-jambakan, hiya hiya.

Siapa yang menang? Jelas aku lah, pendekar dari kampung Rawa.

"Hentikan kalian berdua!" teriak Rhoma sangat keras.

Aku menghentikan pergelutan unfaedah ini, dengan akhir kutonjok bibirnya Rosmayah sampai jedir. Dia berlari menangis.

"Dasar kau laki-laki murahan, bisa-bisanya kau welcome saat mau dicium Rosmayah," geramku.

"Aku mana tahu, hey kami ini sedang membahas bisnis. Bisa-bisanya kau melabrak kami. Kau anggap pelakor Rosmayah? Dasar tidak tahu diri! Wanita bodoh mana yang gelud dengan karyawan suaminya saat jam kerja," ucap Rhoma membentak dengan sedikit berteriak.

"Tidak tahu diri? ...," tanyaku

"Aku sangat membencimu Rhoma, aku sungguh benci," ucapku dihadapannya, meski dia buta, dia bisa merasakan aku dekat dengannya.

Mendadak Ani lesu, dia melorot sampai dasar.   Harga diri Ani terlukai. Dia mengira harusnya dirinyalah yang marah karena telah di mainkan. Dengan langkah gontai Ani berjalan keluar.

***

Hanggara yang didepan pintu, mendapati Ani meneteskan bulir beningnya. 

"Nyo ...," sapa Hanggara tertahan.

Hanggara meringsak masuk kedalam ruang rapat. 

"Ada apa tuan, tadi Nyonya Ani menangis dan berjalan dengan tatapan kosong," jelas Hanggara.

"Iyakah?" tanyaku.

Sial, salah paham lagi. Mengapa mulutku ini seperti pisau?

"Saya akan menyelesaikan sisanya. Anda pulang saja Tuan," kata Hanggara.

"Baiklah, selesaikan dengan baik," ucapku dengan gelisah setengah mati.

Cepat-cepat aku langkahkan kaki masuk apartemen. 

Brakk!

Aku mendorong pintu sangat berlebihan hingga menabrak tembok.

"Ani, hey Ani, Ani ...," teriakku agar dia dengar aku sudah pulang

Sepi, senyap, sunyi, angker, seram hilih.

Dimana dia?

[Pak, Nyonya Ani kemana ya?]" Aku bertanya pada sopir.

[Nyonya sudah pulang, saya yang mengantarnya masuk ke Apartemen,] jawab sopir itu di seberang sana.

Aku langsung menutup teleponnya, tapi dia tidak ada disini.

Aku menyesal telah memarahinya. Mengapa aku tidak menjelaskan kesalah pahaman ini.

[Hanggara, cepat kau cari Ani kerumah orang tuanya atau di kang bubur itu,] perintahku lewat telepon.

[baik Tuan.]

Selesai mandi, aku menuju dapur. Ani sudah menyiapkan makan malam berupa telur dadar dan tahu goreng.

Dia sempat memasak untukku.

Biasanya kami berebutan lauk, sekarang aku bisa puas makan sendiri.

[Nyonya tidak ada dimana pun Tuan. Bagaimana ini Tuan?] tanya Hanggara.

[Diamlah, aku juga tidak tahu!] jawabku dengan kesal. Karena dia tidak bisa mencari Ani.

Dimana kau Ani?

Aku sendirian di apartemen ini. Dia selalu bilang benci padaku. Namun kali ini dia seperti serius mengatakan itu.

Lupakanlah, dia akan pulang jika capek.

Pagi hari, sudah tertata sarapan nasi goreng. Dan juga sudah ada piring.

Bagaimana bisa?

Ani yang menyiapkan?

Aku tidak mendengarnya sama sekali.

Aku suruh Hanggara mencari Ani sampai ketemu. 

Resah sekali hatiku hanya karena satu wanita aneh seperti Ani, tapi aku mencintainya.

Aku balik lagi ke apartemen, ada aroma wangi di sekitar kamar mandi. Ada yang habis mandi. Ini sabun Ani, dia mandi? Tapi tidak ada tanda-tanda lagi. Juga sudah ada makanan di meja. 

Aku sedih dia bersembunyi, ini sudah seminggu. Hatiku tak tahan, lebih baik aku berolahraga. 

"Duh baju olahraga ku ada dilemari bawah. Semoga langsung ketemu bajunya," ucapku sendiri. Seperti orang gila aku bicara pada diri sendiri.

Kubuka lemari, aku mencari dan meraba baju bahan jersey. Bukan ini, bukan itu juga yang ini bukan. 

Aku meraba paling bawah, ah aku menemukan tapi itu training.

Nb: Maklum kawan, lemari tingginya dua meter dan lebarnya empat meter.

Sentuh, sentuh, sentuh, sentuh, raba, raba, raba.

Eh mengapa rasanya lain, ini lemari kan?

Aku kembali menyentuhnya dan meraba. Aku berpikir keras. Kira-kira apa yang kusentuh, aku mencoba mengingat.

Ah, itu dada Ani. Jadi kau bersembunyi disini selama ini. Dasar wanita aneh, mana ada wanita yang sembunyi di lemari seperti dia bahkan selama seminggu. Aha, akan ku kerjai dia.

"Duh bajuku dimana ya dududuu ...."

Sentuh, sentuh, sentuh, squish, squish, squish.

Raba, raba, raba.

Aku menggerayangi seluruh tubuhnya, terutama yang sekal itu.

Dia tidak bersuara, biasanya dia akan ngomel jika ku sentuh sembarangan.

 Squish, squis, squish.

Langsung saja kuangkat, kubopong seperti bayi menuju kamar.

Dia masih diam.

Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dia juga masih diam. 

Apakah dia mati?

" Ani Ani bangunlah, apa kau mati karena mencium bom molotovmu sendiro saat di lemari?" jeritku sembari squish yang tadi kupegang.

PLAKK..

Ani memukul kepalaku.

"Dasar bodoh, aku masih hidup. Mana mungkin kentut ku membunuh pemiliknya. Dasar kau, tukang raba! Lepaskan tangamu itu!" hardiknya berulang kali.

"Bommu itu diam-diam mematikan, aromanya bisa membunuh orang secara perlahan. Apa kau tidak tahu itu?" ucapku mendekat ke wajahnya. Dia malah mendorong wajahku sampai aku terjengkang.

"Aaa ... menyebalkan!" teriak Ani.

"Ani, jadi selama ini kau sembunyi di situ?"

"Iya memangnya kenapa? ... resek!" desis Ani.

"Kenapa resek?" tanyaku heran.

"Seminggu kau baru bisa menemukan aku." Suaranya terdengar kesal.

"Hey ... kau tahu aku ini buta. Kenapa kau bersembunyi? Sembunyi atau tidak, aku tetap tidak bisa melihatmu! Dasar bodoh!" geramku.

"Huuwaaa ... kau sungguh menyebalkan, aku membencimu." Dia berlari kemana lagi?

"Hey Ani ... jangan pergi, aku ada hadiah untukmu," kataku agar dia tidak marah lagi.

"Apa itu?" tanya Ani, sepertinya dia penasaran.

"Buka dong?"

Pasti Ani terpaku akan hadiah yang kuberi. Dia sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Aku heran kenapa dia tidak bicara? Aku mengernyitkan dahi, kenapa Ani diam saja? Apa dia tidak senang.

"Kenapa kau diam? Bagus 'kan? Pakailah sekarang Ani," perintahku padanya.

"Aa--pa pakai sekarang? Apa kau yakin?" ucap Ani terbata, kenapa dia tampak ragu?

"Iya," ucapku.

Aku disuruh menunggu, padahal itu hanya set perhiasaan. Aku menyuruh Hanggara membelikan hadiah untuk Ani sebagai permintaan maaf menyesalku.

"Aku sudah memakainya Rhoma," kata Ani, suaranya terdengar malu.

"Apa kau suka?" tanyaku penasaran.

"Aku belum pernah memakai ini sebelumnya." Tampaknya Ani benar-benar ling lung.

"Bicara apa kau? Aku sudah memberikan perhiasan banyak. Sepertinya juga kau memakai itu setiap hari," seruku dengan mulut maju.

Sepertinya Ani bingung, itu 'kan hanya perhiasan saja.

"Ini bukan perhisaan!" ketusnya.

"Lalu?"

"Ini lingerie warna pink, dasar kau mesum!" bentak Ani dengan suara menggelegar.

"Hah? Mana mungkin? Waahh kau sungguh menodai mataku!" seruku dengan menutup mata.

"Rhoma bangsat, kau itu buta!" hardiknya.

"Rasakan ini," tambahnya dengan menarik kepalaku.

Wajahku ditenggelamkan di tempat sekal itu. Dan tanganku dipaksa Ani mengerayangi tubuhnya dan menyentuh lingerienya.

Rhoma melenguh.

"Eumm eummm lepaskan aku Ani. Kau bisa membunuhku karena kehabisan nafas!" bentakku.

"Sudah tahu, apa yang kau hadiahi? Hah?" Ani terdengar kesal sekali.

"Hanggaraaaaaa siiaaalaaaaan," teriakku panjang.

***

Diujung sana Hanggara tertawa puas, mengerjai Tuannya.

***

Aku Anita

Wanita cantik, tinggi semampai, body bohay blaem blaem uhhh siapa yang tidak bisa mencintaiku.

Rhoma dia lelaki tampan, keren, gagah juga blasteran. Dia idamanku tapi sayang dia buta karena kecelakaan. Mana bisa aku menikahi orang buta seperti dia. Tapi sepertinya tidak mengapa jika aku merebutnya kembali. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Bingung lebih bingung, mengapa dia menikahi gadis kampungan seperti Ani. Halah Ani bukan levelku, aku bisa menghempaskannya dalam sekejap.

Tunggu tanggal mainnya, hwahaha.

"Mendingan gak usah jadi mainlah Mbak," ucap Author.

"Apa sih Thor, pokoknya masukin aku! Aku juga ingin masuk cerita" Anita mengomel.

"Duh, si Rhoma ama si Ani aja berantem terus, ditambahin ada elu. Gue puyeng nulisnya, tidaaakkk," teriak Author.

***

Ani meniup kuping Rhoma yang masih tidur.

Rhoma menutupnya dengan tangan, tapi Ani tidak kehabisan akal. Dia meniup leher Rhoma dengan sexy. 

"Ani ... bisa tidak, kau diam saat kita tidur, mengganggu saja kerjaanmu."

"Ini sudah pagi Rhoma, apa kau tidak ke kantor?"

"Tidak, aku ingin berbulan madu denganmu," ucap Rhoma.

"wah betul? Jadi lingerie itu memang kau siapkan untuk bulan madu kita," tanya Ani senang.

"Dasar Koplak, mesum saja otakmu!"

"Aku ingin hamil. Kau harus lebih giat lagi," rengek Ani manja.

"Bagaimana kalau sekarang"

"Awwww," teriak Ani.

***

Aku sudah memasukkan keperluan Rhoma juga keperluanku. Aku sungguh senang, apalagi Rhoma menempurku tadi pagi.

"Huwaa," teriakku ketika ingat tadi pagi.

"Hey wanita aneh, mengapa kau berteriak," ucap Rhoma.

"Bukan apa-apa," ucapku sambil memasukkan koper ke mobil sedangkan Rhoma mengangkat tas kecilnya. 

"Dasar aneh," ketus Rhoma.

Kepalaku menyender ke bahunya.

"Berat sekali kepalamu Ani, duduklah dengan benar," desis Rhoma sambil membenarkan duduknya dan wajahnya mengahadap padaku. Bibirnya berair, aku sungguh ingin mengecupnya.

Dia diam saja dan tidak terjaga, ini saatnya.

"Muachh." Aku menciumnya dengan suara.

"Aniii ...," ucapnya seram.

Aku berbisik kepadanya, mulutku kuletakan dekat telinganya.

"Sungguh manis," ucapku mendesah sambil menjilat daun telinganya Rhoma. 

Rhoma mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Aku sungguh gugup dibuat olehnya. Bagaimana tidak wajah tampan itu sangat dekat sekali sampai bulu hidungnya terlihat.

"Mengapa kau menatapku seperti itu? Ini sangat memalukan," ucapku, kini pipiku bersemu jingga. 

Akhirnya dia menjauh dan tidur di dalam mobil.

Ke Bali, kita akan ke Bali.

"setelah ini aku akan mengoperasi mataku Ani," tutur Rhoma.

"...." Aku diam saja.

Kami menuju penginapan yang pemandangannya langsung ke arah laut.

Mataku menagkap Anita the gang. Parah sekali, apa dia mengikuti kami.

"Ani, ajak aku jalan-jalan ke tepi pantai," cetus Rhoma.

"Baiklah, yuk," ucapku dengan menggandeng tangannya.

Kami berdua menikamati pantai biru, deburan ombak, turis, panas terik dan Rhoma yang mencengkram erat tanganku.

Senyum tersimpul diwajahnya. 

"Ani," ucap Rhoma teduh.

"Ya Rhoma?"

" Apa kau senang?" tanya Rhoma.

"Senang sekali," kataku.

Aku suruh Rhoma duduk diam di payung pantai. Aku berlari membeli minuman. Baru sebentar ku tinggal. Anita the gang sudah berkerumun disitu.

"Rhoma ...," sapa Anita pada Rhoma.

"Hey Ani, suaminya kok ditinggal sih, nanti aku culik loh," sindir Anita.

"Anita Anita wanita gesrek. Kau kira Rhoma akan doyan denganmu? Huh mimpi. Ayo Rhoma kita balik," ajakku, tangan Rhoma kupegang erat.

"Anita dia benar. Aku hanya mencintai Ani," ucap Rhoma yang membuatku tersipu, halah.

"Huuuu," sorakku ke arah Anita.

***

Ani bergelayut manja pada Rhoma.

"Berjalanlah dengan benar. Jangan kaya monyet," tutur Rhoma.

"Kau mengataiku kaya monyet?" Ani sangat kesal.

"Aku hanya bilang kaya, mengapa kau marah?"

"Sudahlah, malas aku!" ketus Ani.

Ani berjalan menjauhi Rhoma dengan tetap mengawasi Rhoma, kalau-kalau kesandung lagi.

Mereka seperti anak kecil, bentar-bentar marahan, bentar-bentar baikan. Hubungan yang seperti ini yang anti pelakor dan akan langgeng.

Ani bergelut dalam pikirannya. Jika Rhoma operasi mata akankah dia masih menerima Ani. Ani pendek tidak tinggi seperti Anita, juga tidak bohay seperti Rosmayah. Dan pasti mereka akan mepet terus pada Rhoma.

"Aaaaahhhhh bikin stres aja," teriak Ani manja.

"Heh, ditempat ramai seperti ini pun kau masih bisa berteriak, tidak tahu malu. Apa yang kau lihat? Apa ada yang menarik? Ceritakan padaku!"

"Dari semua yang ada disini, yang menarik cuma dirimu dan hanya dirimu yang penuh pesona! Paham kau!"

Rhoma tersipu malu, dan Ani menggandeng Rhoma dengan paksa dan berjalan cepat sampai sandalnya Rhoma lepas.

"Hey wanita aneh, sandalku lepas! Mengapa harus berjalan secepat ini?" tanya Rhoma.

"Hadeh, dasar kau menjepit sandal saja tidak becus! Kau ini sungguh berdosa! Kau dilihat oleh turis dan mereka bisik-bisik. Betapa pendeknya celananya mu itu. Dasar aneh!" hardik Ani.

"Pendek apanya? Cuma 3cm diatas lutut," bela Rhoma.

"Itu tetap saja pendek, dan itu aurat! Harusnya kau pakai celana training saja. Membuat malu saja, dasar menyebalkan!" teriak Ani dengan letupan emosi.

"Kau ini sungguh tidak bisa mengerem mulutmu itu! Ini ditempat ramai," ketus Rhoma dengan kesal di hatinya.

"Sudahlah, ayo ke villa! Harusnya aku yang marah, malah kau yang ngomel padaku!" hardik Rhoma lagi. 

"Aku tidak suka mereka semua melihatmu, huh,"tutur Ani.

"Apa kau sedang cemburu?" tanya Rhoma selidik.

"Tidak ada ceritanya, aku mencemburui. Aku ini Ani , yang harusnya cemburu mereka." Dengan sombongnya Ani berkata seperti itu.

"Narsis," ucap Rhoma kesal.

***

Baru kali ini mengajak wanita jalan tapi dia malah mengomeli terus. Aku rasa dia sudah mencintaiku, mana ada wanita yang bisa menolak pesonaku.

Aku sedang duduk diteras merasakan hembusan angin dari selesa laut.

Ani, entahlah mengapa dia didalam. 

"Awwww Rhomaaaa." Ada apa lagi dengan dia, tidak habis-habisnya dia berteriak.

Aku masuk kedalam dengan meraba. Biasanya aku tidak meraba karena sudah hapal tempatnya. Berhubung ini tempat baru, jalanku seperti 02.

"Ada apa lagi?"

"Huhuhuhu pinggangku sakit Rhoma, aku tidak  bisa berjalan tegak," rengeknya.

"Jalanku seperti Mak'e Soimah, horang kayah," ucapnya lagi.

 

Apa yang dia katakan? Itu berarti bokongnya kebelakang?

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku penasaran. Ada saja kelakuannya yang bikin mumet.

"Aku mengangkat koper, lalu ...." Ani diam tertahan tidak melanjutkan.

Langsung kusambar. "Siapa yang menyuruhmu mengangkat koper? Memangnya kau ini super women? Kalo begini siapa yang susah? Aku lagi!"

"Mengapa kau mengomeliku? Aku sedang sakit. Rabalah aku Rhoma, eh maksutku pijat pinggangku," rengeknya minta dipijat, dasar!

Aku sangat kesal, sungguh merepotkan.

Akhirnya aku memijat pinggangnya. Karena kasihan padanya, tapi dia sungguh mengkhianati ketulusanku ini.

"Kebawah sedikit Rhoma," tuturnya seolah menuntun.

Aku pun menurutinya.

"Uwaaa sakit sekali, agak kebawah lagi Rhoma." Aku tetap menurutinya.

Lembut dan empuk?

"Apa kau tidak berbusana?" tanyaku.

"Aku sedang memakai lingeriemu," ucapnya enteng.

"Heh, siang bolong seperti ini kau malah memakai lingerie. Apa kau sudah tidak waras?" tanyaku dengan bentakkan.

"Biarkan saja, mengapa kau sewot!!" seru Ani penuh emosi.

"Itu, belum kau cuci 'kan dari semalam?" 

"Enak saja kau bicara, lingerienya ada lima," kata Ani dengan suara riangnya.

"Apa? Dasar kau Hanggaaraaaa ...," ucapku berteriak seperti lolongan kucing garong mau ... mau ... mau ....

***

"Ada apa bos?" tanya sopir.

"Seketika aku merinding, kau dengar tidak? ada suara kucing garong. Hiii" ucap Hanggara.

Pengawal pun ikut merinding, ada apa gerangan. Mereka pun tak tahu.

***

Kami kembali dari bulan madu. Bulan madunya rusak, Ani ngomel sepanjang perjalanan.

Aku hanya mendengarnya dan sesekali menjadi korban pukulan manja dari Ani.

Dia yang merusak, aku yang disalahkan. Padahal aku hanya diam. 

"Rusak sudah semuanya huhuhu harusnya kita bikin anak disana" ucapnya tanpa malu sedikit pun. Padahal masih ada sopir.

"Kenapa juga aku harus sakit pinggang? Ini semua gara-gara lingerie aneh ini huaaaaaa," ucapnya sembari menangis.

Kubiarkan dia nyerocos tak karuan. Hingga akhirnya dia tertidur di pangkuanku.

Aku pun ikut tertidur.

"Sudah sampai Jakarta Tuan," ucap sopir.

"Baik, cepatlah. Aku sangat lelah sekali."

Ani menggeliat tapi dia masih tetap tidur. Tidak usah neko-neko Ani, aku tetap mencintaimu. Tidak usah khawatir tentang wanita yang ada disekitarku, mereka semua tidak akan ada yang bisa menggantikanmu dihatiku.

Percayalah.

Ini sudah sampai tapi Ani belum juga bangun.

"Hey, tukang tidur bangunlah." Aku membangunkannya.

"Uwa apa udah sampai?"

"Sudah," jawabku.

Aku merasakan sesuatu yang basah di celana pendekku.

"Apa ini basah?"

"Itu air liurku," ucap Ani tanpa rasa bersalah.

"Hiii iyeekkk dasar jorok. Kau kira aku ini penampungan air liur mu, iyuuhh" ucapku sambil berekspresi jijik dan kakiku kurenggangkan.

"Heh, aku menampung lendirmu, tapi aku baik-baik saja. Tidak sepertimu, menyebalkan!"bentak Ani

Ani meninggalkanku yang sedang mematung di mobil.

Ani naik ke apartemen sendirian.

"Apa yang dia katakan? Apakah lendir itu sama dengan liur. Dasar wanita bodoh," ucapku sendiri.

Aku pun berjalan seperti cangcorang, liurnya menempel di pahaku.

Aish jorok sekali.

Aku mendengar dia bernyanyi di dalam kamar mandi, lama sekali dia mandi. Aku keburu geli dengan liurnya.

Lebih baik aku terabas masuk.

"Huwaaa Rhomaaa, kau mesum!" seru Ani.

"Diam kau! Aku ingin membersihkan air liurmu ini. Dasar wanita jorok," bentakku dengan mencoba mengambil air atau shower atau apalah.

"Aku akan membersihkannya untukmu." Ani menawarkan diri.

Aku membiarkan Ani membersihkannya. 

"kau harus copot celanamu itu, kalo begini gak akan bersih. Mandi sekalian," tuturnya. Perasaanku tidak enak akan hal ini.

"Tidak mau! Jangan lepas baju dan celana ku Aniii." 

Sesuatu yang lembut menabrak dadaku, dia menempel padaku. Wangi sabun menyeruak kedalam hidung membuat rilexs.

Dia memandikanku dengan banyak sabun hingga busanya tebal. Sambil menyanyikan lagu sempurna dari Andra n The Backbone, dia menggosok seluruh tubuhku.

Dia kembali menempel padaku kali ini dia dipunggungku. 

"Hentikan yang kau lakukan ituuuu Aniiiii," histerisku.

"Aku hanya menyentuh itu, mengapa kau euforia," ucap Ani enteng tanpa beban, dia tidak merasakan sebagai aku.

"Euforia matamu!" Hardikku.

"Hish sana kau, mandilah sendiri," ucap Ani kesal.

Dia melemparkan showernya sampai mengenai jempol kakiku dan meninggalkan aku sendiri.

"Aduh ... awas kau ya Ani."

***

Ting ....

Tong ....

Siapa lagi sih, mau istirahat ada aja!

Aku membuka pintu, ternyata ada polisi dan Rosmayah. 

"Apa Anda yang bernama Ani?"

"Iya Pak!"

"Ikut kami ke kantor atas kasus penganiayaan pada Nona Rosmayah"

"Bawa aja Pak, mampus kau Ani, membusuklah di penjara," ketus Rosmayah.

"Ada apa ini?" bentak Rhoma.

"Pak Rhoma, istri anda kami bawa atas kasus penganiayaan Nona Rosmayah," tutur polisi itu.

"Oh ... bawa aja pak!" ucap Rhoma.

Aku mematung membiru, mendengar Rhoma. Dia tidak menginginkanku. Baiklah aku akan mengurus sendiri, tidak akan meminta bantuannya.

Aku diam tanpa kata, malam ini aku akan tidur di penjara. Maafkan aku Ibu, maafkan aku Ayah.

Aku menatap Rhoma namun tidak ada wajah keberatan dari dia. Aku menunduk malu karena banyak orang di parkiran.

***

Mampus kau Ani, baik-baiklah dipenjara. Aku akan menemani suamimu. Tidak usah khawatir, kupastikan dia tidak akan kesepian. 

 "Tuan Rhoma, saya buatkan makan malam ya," ucapku.

"Tidak usah!" ketus Rhoma.

Jebreett!

Dia menutup pintu Dengan kasar.

"Makannya Mbak jangan kegatelan deh, nanti tak bikin mati loh kamu dicerita ini,"ucap Author.

"Gimana sih Thor, kok dimatiin. Kamu itu udah updatenya lama, mau mangkas peran orang seenaknnya," bentak Rosmayah.

Tiiiitttttt. "Matilah kau untuk sesaat."

*** 

Ani bersedih hati, dia sendirian di penjara. Namun besok dia akan dipindah ke lapas. Disana akan ada banyak orang. Dia hanya memikirkan Rhoma. Bagaimana dengan makannya? Nanti kalau kesandung lagi gimana? Dia bisa tidur tidak,  jika tidak ada aku.

***

Diujung sana, Rhoma sedang menikmati kasurnya yang luas.

"Ini sangat menyenangkan," ucapku sendirian.

Aku ingin minum, biasanya Ani yang mengambilkan.

"Aduh ...."

Saat kedapur, aku kesandung kaki meja lagi.

"Sungguh melegakan. Tidak ada yang berteriak lagi," ucap Rhoma.

"Kita lihat saja. Berapa lama kau akan bertahan tanpa Ani," ucap Author sinis.

"Pergilah kau Thor. Jangan menulis yang mesum tentang diriku. Updatemu itu lama sekali," cetus Rhoma.

"Aku 'kan lagi kehabisan inspirasi, jangan menghujatku dong. Lihat saja nanti, apa yang akan kutulis tentangmu."

 bersambung...

see you šŸ‘‡šŸ‘‡šŸ‘‡

jangan lupa šŸ‘šŸ‘šŸ‘

untuk menghargai penulis.

Author di fase writer's block dan stuck ide šŸ˜­

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status