"Ini kenapa berantakan gini, Mbak?" tanya Fara yang baru saja masuk menyusulku dan Hanan. "Ini pasti kelakuan Mas Hilman dan Anita. Mereka masih mencoba untuk bisa nguasain rumah ini dengan cara nyari sertifikat rumah. Untungnya Mbak sudah amankan duluan," jawabku sambil merapikan kembali kamar itu. Memunguti baju-baju yang berserakan dan merapikannya. "Astaghfirullah. Mereka memang nekad, ya. Kalau mau kawin tinggal kawin aja padahal," timpal Fara yang juga membantuku membereskan kamar. Hanan juga merapikan laci-laci yang terbuka dan barang-barang yang jatuh dari meja rias. "Aku lumayan tahu Anita sejak lama. Ya, sejak bersahabat dengan Bang Hilman. Dan dari pengamatanku, dia itu tipe yang ambisius. Kalau menginginkan sesuatu, harus dapat bagaimanapun caranya," tutur Hanan."Ih, ngeri, ya, berurusan dengan orang model gitu." Fara menggidikan bahunya. "Ya, begitulah. Makanya dari dulu aku sempat ragu, saat tahu Zara menerima pinangan Bang Hilman. Karena aku takut hal ini akan ter
Mata Ilham semakin berbinar saat melihat kolam renang lengkap dengan perosotan berbagai bentuk di area tersebut. "Turun sekarang, Ham?" tanya Hanan pada Ilham yang memang sudah dipakaikan pakaian untuk renang dari rumah. "Iya, Om," jawab Ilham antusias. "Aku di sini saja, ya, lihatin," tuturku. "Ya, gak seru. Ayo dong Mbak, ikut renang. Biar Fara ada teman," paksa Fara. "Kamu aja. Mbak tungguin sini," timpalku. "Udah, Far. Gak perlu dipaksa. Zara emang anti air sejak dulu. Mungkin takut cantiknya ilang," ujar Hanan yang sudah mulai memasuki kolam. Hanan memang tau persis, kalau aku tidak suka berenang. Jangankan suka, bisa aja enggak. Kalaupun masuk kolam renang, hanya akan diam mematung. Tanpa berani ke tengah atau bermain-main di dalamnya. Gagal membujukku, akhirnya Fara turun menyusul Hanan dan Ilham. Dengan menggunakan ban, Ilham nampak antusias saat diajari berenang oleh Om-nya itu. Senyum kebahagiaan tak pernah luntur dari bibir mungilnya. Hingga kebahagiaan itu terasa b
Meski Hanan mencoba menahannya, tetap saja Ilham bisa lepas dari pangkuannya. Dia berlari menuju kolam di mana Mas Hilman berada. Aku, Hanan, dan Fara hanya bisa mengikutinya tanpa bisa mencegahnya. "Ayah ....!" Ilham berteriak hingga Mas Hilman langsung menoleh ke arah Ilham yang berdiri di pinggir kolam."Ilham." Mas Hilman nampak keheranan melihat keberadaan putranya itu. Wajahnya langsung menunjukkan raut semacam bersalah ataupun kikuk. Meski akhirnya, senyum tipis tersungging dari bibirnya. Mas Hilman mendekat, lalu berdiri di dekat Ilham. "Ilham sama siapa ke sini?" tanya Mas Hilman. "Sama Bunda sama Om Hanan," jawab Ilham sambil menunjuk ke arahku yang berdiri dengan jarak tak lebih dari satu meter. Mas Hilman menoleh, raut wajahnya datar tanpa senyuman. Aku pun langsung memalingkan wajah. Tak ingin bertatapan lebih lama lagi. "Ilham berenang bareng ayah, yuk. Bareng Kak Nisya juga," ajak Mas Hilman. Ilham menggeleng. "Tapi Ilham sudah berenang. Sama Om Hanan sama Tante F
"Mas Ryan?" sapaku saat melihat Ryan sedang ada di belakang. "Sama siapa?" tanyaku memperhatikan sisi kiri dan kanannya."Sendiri aja. Maklum, belum punya kenalan daerah sini," jawabnya. "Kalau gitu, gabung sini aja. Kebetulan kita lagi makan siang," tawarku sambil tersenyum. "Memang boleh, ya? Apa ... yang lain gak keberatan?" Mas Ryan nampak ragu. Aku menatap Fara. Ia pun mengangguk. Sementara Hanan, datar tanpa ekspresi. "Tentu saja tidak. Orang kita tetanggaan," jawabku. "Oke, kalau gitu. Aku gabung, ya," timpalnya sambil menarik kursi dan mendudukinya. "Hai Ilham. Masih ingat sama Om?" Mas Ryan menatap Ilham yang masih menikmati es krimnya. "Om yang anterin Ilham sama Bunda ke rumah nenek, kan?" tebak Ilham. "Ya, benar. Om juga, kan, rumahnya di depan rumah nenek Ilham," jawab Mas Ryan. "Oh, iya. Ilham suka lihat," timpal Ilham. "Oh, iya, Mas, kenalkan ini Fara, adikku," tuturku sambil memegang lengan Fara. Mereka pun saling bersalaman sambil mengatakan nama masing-masi
Aku mendadak tak enak pada Mas Ryan setelah mengatakan hal demikian. Hingga suasana sempat terasa sedikit canggung. "Gak masalah. Lagipula, aku sudah ikhlas, kok. Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Tuhan untukku," jawabnya sambil tersenyum. "Benar, Mas. Sebagai seorang manusia, kita hanya perlu menjalani peran sebaik-baiknya. Untuk hasilnya, serahkan sepenuhnya pada yang di atas," timpalku. Keasikan berbincang, akhirnya aku dan Mas Ryan sampai di area play ground anak. Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari keberadaan Ilham bersama Tante dan Om-nya. "Itu Ilham!" tunjuk Mas Ryan pada arena permainan tembak-tembakan. "Oh, iya," timpalku sambil berjalan hendak menghampiri Ilham. Nampak ia sedang fokus bermain tembak-tembakan diajari oleh Hanan. Sementara Fara sedang fokus mengambil boneka kecil dari permainan yang dijepit. Sayangnya, boneka beruang berwarna pink itu keburu terjatuh sebelum akhirnya sampai ke lubang."Arrggghh ....!" Fara pun menjerit kesal. "Coba lagi," tit
"Gak enak kenapa. Orang di sini sudah pada kenal Nak Hanan semua." Ibu menimpali sambil terkekeh. "Hehe. Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Saya senang banget bisa bertemu dengan orang-orang yang menganggap saya seperti keluarga sendiri," balas Hanan. "Melihat ibu dan bapak, saya selalu teringat pada ibu dan bapak saya yang sudah gak ada," lanjut Hanan dengan raut wajah berubah sendu. "Nak Hanan gak usah sedih. Anggap saja ibu sama bapak seperti ibu dan bapak Nak Hanan sendiri. Gak perlu sungkan." Ibu mengusap punggung Hanan lembut. "Ini adik atau kakakku ketemu gede, ya, Bu?" godaku agar Hanan tak bersedih lagi. "Ish ... kamu ini. Orang lagi sedih malah digangguin!" Ibu menepuk lenganku pelan. "Saya gak apa-apa, kok, Bu. Cuma terharu," timpal Hanan sambil tersenyum tipis."Udah, gak perlu sedih lagi. Entar aku masakin makanan kesukaan kamu," kataku pada Hanan. "Memangnya masih ingat?" Dia malah bertanya. "Tumis kangkung sama perkedel, kan?" tebakku. "Aku tuh masih ingat banget, wakt
Tak ingin lagi melihat hal yang membuat hatiku porak poranda, aku pun memilih meletakkan ponsel itu ke tempatnya semula. Aku segera mengusap kedua mata yang mulai berair. Ingin menepati janjiku pada diri sendiri, kalau aku tak ingin menangisi lagi tentang apapun yang berkaitan dengan Mas Hilman. Tawa riang Ilham dari teras depan membuat pikiranku teralihkan. Aku pun bangkit untuk menghampirinya. Nampak ia sedang asik bermain mobil-mobilan yang dinaiki ditemani ibu yang sedang selonjoran di teras. Mengetahui kedatanganku, ibu menoleh. Kemudian tersenyum tulus. "Sudah selesai beres-beresnya?" tanya ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Duduk sini. Enak anginnya seger," pinta ibu. Aku melangkah. Menuruti perintah ibu dan duduk di sebelahnya. "Bu," kataku membuat ibu menoleh. "Mas Hilman dan Anita sudah menikah." "Apa? Kok bisa? Bukannya kalian belum resmi berpisah?" timpal ibu terlihat kaget. "Entahlah, Bu. Aku juga gak tau. Mungkin saking ngebetnya makanya menghalalkan s
"Bunda ....!" Tiba-tiba Ilham berlari ke arahku dan langsung memeluk tubuhku. "Katanya mau beli sepeda?" tanya Ilham dengan bibir mengerucut. "Sekarang kan sudah sore, Sayang. Besok lagi, ya?" jawabku sambil tersenyum dan membelai pucuk kepalanya. "Ilham mau sepeda?" tanya Hanan sambil menatap keponakannya itu. Ilham mengangguk antusias. "Nanti beli sama Om, ya!" timpalnya. "Kapan, Om?" Ilham bertanya dengan penuh pengharapan. "Ehmm ... gimana kalau besok sore? Sekarang udah mau magrib. Tokonya pasti sudah pada tutup," jawab Hanan."Asik .... Janji, ya, Om!" Hanan mengulurkan jari kelingkingnya pada Hanan. "Janji!" Hanan pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan senyum merekah. "Makasih, Om!" ucap Ilham sambil mengecup pipi Hanan."Sama-sama jagoan!" timpal Hanan sambil mengacak pelan rambut Ilham. Hatiku menghangat sekaligus terenyuh melihat kedekatan dan keakraban mereka berdua. Keberadaan Hanan, benar-benar mampu menjadi sosok ayahnya yang kian hari kian tak ada kabar. Bahk
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u