Baru saja aku akan meletakkan ponselku saat layarnya kembali menyala. Pesan dari Mas Hilman kembali masuk dan langsung aku buka.[Baiklah. Kita bicarakan semuanya nanti saat ketemu. Yang penting sekarang, kita harus ketemu secepat mungkin. Katakan saja kamu mau ketemuan di mana?][Nanti sore aku mau ke daerah kota untuk beli sepeda Ilham. Kita ketemu di taman kota saja. Jam setengah lima sore.] balasku. [Baiklah. Aku tunggu kamu di sana.]Aku memilih untuk tak membalasnya. Langsung saja aku letakkan kembali ponsel itu di tempat semula. Badan yang terasa lengket karena tak hentinya beraktivitas dari pagi, membuatku buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Apalagi hari juga sudah hampir masuk waktu duhur. ***Waktu yang dinanti pun tiba. Setelah melaksanakan solat asar, aku dan Ilham sudah bersiap. Duduk di teras depan menunggu Hanan keluar dari kamarnya. "Bu, sepertinya aku pulangnya telat. Ada urusan sebentar," tuturku pada ibu yang juga ikut duduk di dekat cucunya itu. "Mau ke man
Mobil yang baru saja melaju kini langsung berhenti saat Hanan tiba-tiba menginjak remnya. Aku langsung menoleh dan menatapnya. "Ketemu Bang Hilman?" tanya Hanan seolah ragu dengan apa yang dikatakan. Aku mengangguk. "Dia mau ketemu Ilham katanya. Ada perlu juga sama aku.""Kan bisa datang langsung ke rumah. Rumah ibu bapakmu masih di tempat yang sama. Belum pindah. Kenapa harus ketemu di luar." Hanan terdengar menggerutu meski ia kembali melajukan mobilnya. "Aku sudah bilang gitu, tapi dia gak mau," jawabku. "Gak apa-apa lah. Daripada berdebat, mending ikutin aja kemauannya. Lagian, aku juga kan ada perlu sama dia. Mau minta dia buru-buru urus perceraian kami."Hanan tak lagi menanggapi. Dia mengemudikan mobilnya dalam diam. Raut wajahnya terlihat kesal. Meski begitu, mobilnya tetep melaju ke arah taman kota. Bahkan hampir sampai karena jarak dari toko sepeda memang lumayan dekat. "Mau ikut turun?" tanyaku saat mobil sudah menepi tepat di samping taman kota. "Enggak. Aku di sini
POV HananAku melirik jam berwarna hitam yang bertengger di pergelangan tangan. Sudah hampir setengah jam Zara pergi, tapi belum ada tanda-tanda dia akan segera kembali. Entah apa yang sedang dia dan Bang Hilman bicarakan. Bahkan, Ilham yang duduk di sampingku pun sudah terlihat gelisah. Padahal, aku sudah memberinya tontonan anak di hp milikku. "Om, kok, Bunda lama, ya?" tutur Ilham dengan wajah sedikit merengut. "Ilham bosan?" tanyaku sambil menatap sepasang mata beningnya.Anak berambut hitam pekat itu mengangguk pelan. Tangannya lalu mengulurkan ponsel yang masih memutar video film kartun kesukaannya. "Kalau gitu, kita turun, ya. Sambil nyari es krim," tawarku padanya. "Mau, Om!" timpalnya dengan mata berbinar. Aku pun mengajak Ilham turun. Menuntun tangan kecilnya menyusuri pinggiran taman kota sambil mengedarkan pandangan mencari-cari keberadaan tukang es krim. Angin sore yang berhembus menerpa wajahku menghadirkan rasa sejuk dan segar. Namun, tidak sampai ke dalam hatiku
"Bunda .... Ayah ....!" Ilham langsung berlari saat melihat kedua orang tuanya. "Hai, Sayang!" Zara menyambut kedatangan Ilham dengan memeluk putranya itu. Bang Hilman pun langsung berdiri dari duduknya dan mendekati Ilham. "Ayah!" Ilham berganti memeluk Bang Hilman. Jujur saja, pemandangan seperti ini selalu membuat hatiku tertusuk. Kenapa harus ada seorang ayah atau ibu yang egois dan mengabaikan perasaan anaknya demi kesenangan dirinya sendiri? Padahal bagi seorang anak, keberadaan orang tua yang lengkap di sisinya, sudah cukup membuat hidupnya terasa sempurna dan bahagia. Bagaimana tidak, aku merasakan kehilangan kedua orang tuaku di saat usiaku masih begitu kecil. Di saat aku masih sangat membutuhkan kasih sayang keduanya. Dan tak jarang, aku begitu sering merindukan belaian keduanya.Aku memalingkan pandangan. Mengusir rasa nelangsa yang tiba-tiba menyusup di hati. Dalam hati aku berjanji, tak akan membiarkan Ilham merasakan apa yang kurasakan. Jika dia kekurangan kasih sayan
Aku menatap Hanan dengan sepasang mata yang menyipit. Entah aku yang salah dengar atau Hanan yang salah bicara. "Emh ... maksud aku, gak salah aku punya teman sebaik dirimu." Hanan meralat ucapannya. Namun, entah kenapa raut wajahnya nampak gugup dan gelagapan. "Oh, iya. Kita berhenti dulu sebentar di depan, ya. Ada ayam bakar yang enak banget." Hanan kembali bersuara. Entah untuk mengalihkan pembicaraan atau memang sudah berniat sebelumnya."Sebentar lagi magrib, Han. Langsung pulang aja," timpalku saat melihat jam sudah pukul setengah enam. "Gak enak sama ibu. Aku udah janji. Lagian bentar doang. Paling cuma sepuluh menit," balas Hanan. Aku tak lagi menanggapi, karena mobil terlanjur menepi tepat di depan kedai ayam bakar yang dimaksud Hanan. "Mau ikut turun?" tanyanya sambil membuka sabuk pengaman.Aku menggeleng. "Nunggu di sini saja." Hanan mengangguk pelan lalu turun dari mobil. Tubuh jangkungnya melangkah masuk ke dalam kedai tersebut. Sementara aku dan Ilham menunggu di
"Aku juga langsung masuk, ya, Mas. Udah mau adzan," tuturku pada Mas Ryan. "Oh, iya, silakan. Aku juga mau langsung pulang," timpalnya. "Mari, assalamu'alaikum," lanjutnya sambil berjalan menuruni teras rumah. "Wa'alaikum salam," jawabku. Aku langsung masuk seiring Mas Ryan yang juga meninggalkan halaman rumahku. Terdengar suara sedikit riuh dari arah dapur. Aku pun langsung berjalan ke sana. "Kak Hanan ini tau aja makanan kesukaanku," tutur Fara dengan senyum centilnya. Sepasang matanya berbinar menatap sekotak ayam bakar yang sudah terhidang di meja makan. "Kalau kamu, sih, makanan apa aja juga doyan," timpalku sambil tersenyum lebar. "Ish, Mbak ini. Gak gitu juga kali." Fara mendelik. Membuat senyumku semakin lebar. "Alhamdulillah. Udah adzan. Pada solat dulu, ya," titah ibu pada kami semua. "Nak Hanan, pulang dari mesjid langsung ke sini, ya. Kita makan sama-sama," lanjut ibu pada Hanan. "Siap, Bu," timpal laki-laki dengan hidung mancung itu. "Pak, ke mesjid bareng, ya," l
Aku masih memandangi layar ponsel yang kini pendar cahayanya sudah padam. Pikiranku kembali melayang ke kejadian kemarin sore saat bertemu dengan Mas Hilman. "Aku akan memberikan uang itu kalau hubungan kita sudah jelas, Mas," tuturku kemarin sore. "Apa maksud kamu, Ra? Jangan bilang kamu akan memberikan uang itu kalau kita sudah resmi bercerai?" Mas Hilman nampak kesal. "Iya. Memang begitu," timpalku. "Ra, kalau harus nunggu hubungan kita berpisah dulu, kelamaan dong. Justru aku butuhnya sekarang." Mas Hilman nampak makin kesal. "Kenapa kamu gak minta tolong Anita? Bukannya dia juga punya uang, ya? Dia pasti gak akan keberatan dong ngeluarin sedikit uangnya untuk sahabat yang sekarang sudah menjadi suaminya. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Anita itu bahkan sanggup untuk yang kedua demi bisa hidup bersamamu. Masa baru suruh bayarin bekas pernikahan kalian aja gak mau. Gimana ke depannya?" Aku tersenyum miring."Aku cuma ... cuma ngerasa bertanggung jawab untuk membayar k
"Eh, itu, Bu. Justru Zara juga bingung harus bikin usaha apa nantinya. Secara Zara sudah gak punya suami yang menafkahi hidup Zara dan Ilham," jawabku. Fara nampak menghembuskan napas lega. Padahal apa yang baru saja aku katakan, memang benar-benar ungkapan hatiku sendiri. "Jangan ragu sama rezeki dari Alloh. Selama kita berusaha, pasti akan ada jalannya. Rezeki itu bukan dari suami, bos, ataupun majikan. Tapi dari Gusti Alloh," tutur ibu. Aku mengangguk. Dalam hati ikut meyakini, apa yang dikatakan ibu memang benar. Meski terkadang, sebagai manusia biasa, aku merasa khawatir akan masa depan. Ketakutan dan kekhawatiran itu selalu saja ada. "Assalamu'alaikum."Suara salam dari arah depan membuat percakapan kami terhenti. Lekas aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat dibuka, ternyata Rima bersama putrinya. "Eh, ada Kak Ria. Salam dulu sama Tante, dong!" Aku mengulurkan tangan seraya mencium pipi anak perempuan yang rambutnya dikepang tersebut. "Iya. Aku habis jemput Ria dari s
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u