Sinar mentari menyilaukan mata yang memandang. Siapa sangka, sang bagaskara sebentar lagi sampai ke peraduan. Langit pun menampilkan senja yang sangat indah berwarna kemerahan.Tidak seperti Mahika yang menuju usia senja. Wajahnya tertekuk ibarat sebuah pakaian yang belum dirapikan. Berwajah murung untuk sesaat, tetapi menyunggingkan senyum ketika pintu nuansa cokelat terbuka lebar."Ibu boleh masuk?" tanyanya pada sosok wanita yang menggulung rambutnya dengan jedai alias jepitan badai berwarna merah muda. Dia baru saja selesai mengeringkan rambut."Tentu saja."Mahika tanpa rasa sungkan memasuki ruangan yang sangat bersih dan rapi itu. Tertata sebuah sofa kulit, di mana pada sudut ruangan terdapat hiasan bunga tulip berwarna kuning.Harum ruangan mampu menjernihkan pikiran, memperbaiki perasaan yang semula gundah gulana. Mahika kembali mengulum senyum tanpa balasan menatap wanita yang dahulu menjadi menantunya."Alea mana?""Lagi mandi, Bu. Ada apa ke sini? Sebentar lagi matahari ter
Sekitar pukul sembilan pagi, Mahika sudah kembali ke rumah mantan menantunya. Dia menghela napas berat karena merasa ragu. Tepat di depan toko tadi, wanita paruh baya itu bertemu dengan Kancana dan juga Jenni sehingga terlibat pembicaraan yang lumayan panjang.Mahika kesal pada mereka berdua karena mengaku telah memanas-manasi Ulfa agar menolak melakukan pertolongan pada Sano. Padahal lelaki yang menjadi mantan suaminya itu benar-benar berada di rumah sakit.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ulfa membuka pintu juga. Wanita yang terlihat seperti gadis itu mengajak mantan mertuanya duduk di ruang tamu. Wajah Mahika pucat pasi, garis hitam di bawah mata menandakan dia tidak tidur semalaman."Kenapa Ibu ke sini?"Mendengar pertanyaan Ulfa, Mahika tersentak. Apakah wanita itu sudah lupa ingatan sampai tidak lupa kalau dirinya lah yang memintanya untuk datang? Namun, demi uang dan juga kesehatan Sano, dia memaksakan senyuman."Ibu kan sudah bilang, Nak, kalau ibu mau pinjam uang kamu bu
Pukul sebelas siang lewat sepuluh menit, Ulfa sudah berada di ruangan tempat Sano dirawat. Anehnya, apa yang diceritakan oleh Mahika berbanding terbalik dengan kenyataan.Betul, bahwa Sano mengalami patah tulang pada bagian kakinya. Namun, tidak parah sampai harus dioperasi. Ulfa melirik sekilas pada Mahika yang menunduk dengan ekspresi sedih. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita tua itu?Sano membuka mata, dia terkejut melihat Ulfa yang berdiri di samping Dita tanpa membawa Alea mengingat dia masih terlalu kecil untuk berkunjung ke rumah sakit. Ulfa sendiri memperhatikan gips di kaki kanan Sano. "Ini serius apa boongan?""Serius lah, Nak Ulfa. Ibu kan sudah bilang kalau Sano itu abis kena musibah." Mahika yang menjawab."Katanya tadi pengen dioperasi, jadi butuh biaya banyak. Kalau cuma masang gips itu nggak perlu operasi. Ibu pikir aku nggak tahu hal ini?"Ulfa tersenyum simpul begitu melihat Mahika diam. Mereka menduga wanita itu adalah janda kudet alias kurang update, tidak tahu-
“Cinta itu tidak penting. Aku hanya memikirkan bagaimana hidup bahagia dalam gelimang harta. Meskipun dia tampan, tidak ada gunanya jika menghabiskan waktu di kursi roda.” Teriakan Dita menggema di seluruh ruangan.Sekarang adalah hari ke sepuluh Sano berada di rumah sepulang dari rumah sakit. Benar apa yang dikatakan oleh Dita bahwa lelaki yang dulu selalu berwajah angkuh di hadapan istri pertamanya berakhir di kursi roda dalam keadaan kaki berbalut gips.Dita masih penasaran kenapa Sano tidak mau membuka amplop yang diberikan Ulfa tempo hari. Meskipun tipis, tetap harus dibuka, jangan sampai isinya adalah cek berisi uang puluhan juta. Bukankah Ulfa mengatakan amplop itu bisa saja mengejutkan?“Apa yang kamu pikirkan, Dita? Kamu nggak mikirin anak kita? Usianya masih sangat kecil bahkan belum capai satu tahun. Dia butuh ibunya, butuh ayahnya. Kata dokter, sakitku ini hanya sementara, tinggal menunggu sembuh saja!” geram Sano dalam amarah yang tertahan.Wanita itu mengembuskan napas k
"Ce-cerai? Kamu mau cerai dari aku, Dit?"Dita mengangguk cepat. Dia sudah bosan hidup miskin apalagi orang tuanya menolak sang anak kembali jika masih bersama Sano. Saat itu memang setuju untuk menikah, tetapi melihat keadaan Sano sekeluarga membuat mereka muak.Menelan kesedihan. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Sano. Keadaan memaksanya menerima kenyataan, tetapi juga tidak mau mengikuti saran Dita untuk mengemis. Berbagai ujian dalam hidup berduyun-duyun menghampirinya bahkan juga berimbas kepada keluarga.Di saat seperti ini, Sano menyalahkan diri sendiri. Sibuk berandai, jika saja dulu dia setia, pasti kehidupannya tetap sama atau semakin baik serta bahagia. Kesalahan besar yang dia lakukan seperti tidak mendapat restu dari semesta.Sano ingat, semasa remaja dulu ketika mengikuti kajian subuh di masjid dekat rumah, ustadz mengatakan bahwa perzinahan dan kekayaan tidak akan pernah bersatu. Dalam artian, siapa saja yang berzina, perlahan hidup miskin karena hal tersebut merupakan
"Maksud kamu apa nggak mau pisah sama aku, Mas, hah?!" teriak Dita menyusul ke luar kamar.Ternyata Sano masih selamat karena ditolong oleh Tantri yang kebetulan mendengar pertengkaran mereka. Jika saja gadis itu acuh tak acuh, sudah tentu Sano terjungkal atau mungkin malah menabrak Adnan.Mahika yang melihat Dita keluar kamar langsung menggendong Adnan masuk ke kamarnya dan mengunci dari dalam khawatir wanita itu kesetanan dan membunuh anak sendiri."Kamu mau hidup enak setelah pisah dariku sementara aku harus berjuang melewati semua ujian ini. Apa kamu lupa kalau kesalahan dilakukan bersama, maka tanggungjawab pun harus bersama juga? Masih syukur kemarin aku nikahin kamu daripada malu perut buncit sebelum menikah.""Oh, jadi si Cacat ini mulai berani melawan aku. Baiklah, aku akan menggugat ke pengadilan. Pantas saja Ulfa nggak tahan jadi istri kamu, begonya bukan main!" cebik Dita semakin kesal saja."Silakan menggugat kalau kamu punya uang. Dasar tidak tahu malu. Udah bikin susah
Tantri seketika gelagapan. Sebenarnya gadis itu pernah mengalami masalah besar dalam percintaannya. Ya, seorang cinta pertama yang sampai bulan lalu bertahta di dalam hati meskipun sudah jadi mantan.Saat itu Tantri ditinggal menikah oleh kekasihnya demi wanita lain atas perjodohan dari keluarga. Hatinya terluka, dia berusaha bangkit dari keterpurukan. Namun, ketika luka sudah bisa dia terima, lelaki itu kembali padanya dengan alasan tidak tahan dengan pernikahan yang tidak dilandaskan cinta."Jawab, Tantri. Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Kembali Fajar mendesak, memudarkan lamunan gadis itu dari kenangan di masa lalu.Air matanya seketika menggenang ketika perih merajai hati. Terdengar helaan napas panjang. Ada dentuman rindu di dalam dada yang terpaksa ditepikan. Bayangan lelaki itu hadir di depan mata, melambai seakan menyanyikan lagu romansa.Tantri buru-buru menyalakan kipas angin ketika tubuhnya basah oleh keringat dingin. Embusan angin menembus kulit, gadis itu sedikit me
Mahika kembali meraung bagai orang kesetanan. Air matanya mengalir begitu deras, sementara kedua tangan melempar apa saja yang bisa dia gapai. Suara ribut tentu saja bisa memancing rasa penasaran para tetangga, jadi Sano berusaha menguasai diri, meminta Fajar untuk menenangkan sang ibu terlebih dahulu."Lalu kamu gimana?""Aku akan ke luar mencari angin segar. Paling di depan pintu doang. Tolong tenangin ibu, ya!" pinta Sano dengan tatapan memohon.Meskipun mereka jahat pada Ulfa, tetapi selalu baik pada Fajar sejak lelaki itu kecil. Dia masih punya nurani sehingga kaki panjangnya melangkah cepat memeluk Mahika. "Tenang, Tan. Kalau kayak gini, kita nggak bakal menemukan siapa yang sudah mengambil perhiasannya!""Siapa yang mencurinya, Fajar? Apa itu kamu? Katakan!" teriak Mahika masih setengah sadar. Dia terus meronta agar lepas dari pelukan Fajar, tetapi tidak cukup kuat sampai dia pasrah saja."Bukan. Tidak mungkin aku mencurinya. Aku baru ingat tentang perhiasan itu waktu Tante bah