Memarkir mobil di halaman, Ulfa menghela napas setelah melihat Dokter Nafiadi dan Jenni turun lebih dulu. Mereka sudah menunggu di teras rumah, sementara aku masih sibuk menarik napas panjang karena sedikit grogi.Sepanjang jalan tadi dia tidak bisa menjawab apa pun pertanyaan Dokter Nafiadi. Untung saja ada Jenni. Sungguh, Ulfa malu ketika mengingat bahwa dirinya pernah meminta lelaki itu menjadi kekasih bohongan di depan Sano."Lama amat? Dokter sampai capek loh nungguin kamu!"Ulfa sedikit memanyunkan bibir. Dia bingung juga kenapa Klinik Liam masih buka di hari weekend. Ulfa tidak menyadari bahwa memang tenaga medis itu paling sedikit waktu liburnya.Di dalam ruang tamu, Dokter Nafiadi duduk di depan mereka berdua. Jenni tidak berhenti mengulum senyum membuat Ulfa harus mengernyitkan dahi. Dia berusaha menebak apa yang akan mereka sampaikan."Sebenarnya aku ke sini bukan tanpa alasan. Sebelumnya kamu harus tahu kalau aku dan si Perawat Terbaik sudah sangat akrab. Beberapa kali jug
"Iya, bener." Ulfa menjawab sambil menjatuhkan bokong di salah satu kursi mengikuti gerakan Fajar.Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu tersenyum tipis. Tiba-tiba di dalam hatinya menyebar luka yang teramat sakit. Fajar menghela napas berusaha menelan kesedihan serta rasa cemburu yang menggerogoti jiwa.Selang satu menit mereka diam tanpa suara, Jenni langsung masuk ke rumah untuk membersihkan diri karena merasa pegal tidur dalam keadaan duduk tadi malam demi menjaga pasien rawat inap."Dia mencintaimu."Gumaman Fajar mampu menciptakan sesak di dalam dada Ulfa. Bagaimana tidak, dia bisa melihat gurat kecemburuan di wajahnya. Sungguh, jika tidak punya masa lalu yang menyedihkan, mungkin saja Ulfa sudah lama membuka hati untuknya.Siapa pun yang mengenal Fajar pasti menilai dia lelaki baik dan penyayang. Kerap kali membantu teman jika berada dalam kesulitan. Entahlah, Ulfa tidak mengerti dengan perasaannya. Satu hal yang pasti, saat ini dia belum mau membuka hati untuk siapa pu
Dalam sepinya malam, angin berembus syahdu menembus celah ventilasi kamar. Cuaca di luar begitu dingin karena langit memang sedang mendung seolah mewakilkan perasaan Ulfa saat ini.Sejak kepergian Fajar tadi, dia mengunci diri di dalam kamar, mengabaikan panggilan Alea. Ulfa hanya berteriak ke luar, meminta Jenni mengurusnya terlebih dahulu.Bukan dia tidak lagi sayang kepada anak sematawayangnya, Ulfa hanya takut perasaannya yang sedang gundah berimbas pada Alea. Gadis kecil tak berdosa itu mudah menangis ketika mendapat bentakan.Perlahan, rinai hujan jatuh membasahi bumi. Ulfa memeluk lutut dalam balutan selimut tebal. Tidak ada penghangat ruangan, wanita itu menggigil kedinginan. Namun, tetap saja enggan beranjak mengambil jaket.Ponselnya berdering. Panggilan dari Jenni. Hingga tiga kali menyusul sebuah pesan suara. Rasa penasaran mengusik Ulfa, wanita itu lekas membuka dan mendengarkannya tepat di samping telinga."Mama baik-baik saja, kan? Alea rindu sama mama. Jangan tidur lar
Aktivitas Ulfa selalu sama bahkan setelah seratus hari berlalu setelah mematahkan hati Fajar. Lelaki itu tidak pernah datang walau sekadar menepati janji untuk menemui Alea.Ah, sebenarnya pernah datang dua kali, tetapi Kancana merahasiakannya dari Ulfa atas permintaan Fajar. Untung saja Alea juga tidak menceritakannya pada sang ibu.Novel ke dua sudah kelar, sekarang Ulfa sibuk melakukan riset untuk novel barunya yang akan diajukan rabu depan nanti. Dia memilih hari rabu untuk memulai sesuatu karena dipercaya sebagai hari turunnya cahaya.Sepanjang hari, Ulf menghabiskan waktunya mengurus toko, tepatnya membantu Kancana sekaligus menemani Alea sang putri kecilnya bermain. Sementara di malam hari ketiga gadis itu sudah terlelap di kamar Jenni, dia kembali ke meja kerja untuk melanjutkan bab karena desakan pembaca yang penasaran pada kelanjutan ceritanya.Tidak heran, jika Ulfa memiliki banyak penghasilan dari aplikasi menulis itu. Usahanya semakin berkembang pesat, bahkan tahun depan
Jenni berdecak kesal, kemudian menyemprotkan parfum di beberapa titik tertentu. Sebuah parfum yang merupakan hadiah dari seseorang, tepatnya sang rekan kerja idaman.Melangkah panjang, kini wanita mungil dengan tinggi badan 153 cm itu berdiri di depan pintu kamar adiknya. Dia mengetuk pintu bernuansa cokelat itu tiga kali."Kenapa, Kak?" tanya Ulfa datar setelah daun pintu setengah terbuka. Jelas sekali dia baru bangun dengan kedua mata menyerupai roti bakpau."Gimana jawaban kamu? Kalau misalkan iya, jumat besok Dokter Adi bisa langsung berangkat ke sini."Ulfa melirik jam yang menempel di lengan kirinya. Masih pukul tujuh delapan pagi, tetapi Jenni sudah menanyakan perihal lamaran lagi."Libur? Tumben belum berangkat.""Masuk siang. Udah, deh, jangan coba mengalihkan pembicaraan. Sekarang jawab, kamu mau menerima lamaran dari Dokter Adi, kan?"Ulfa membuka pintu kamarnya lebar, melangkah malas sambil menggulung rambutnya menuju dapur. Dia menuangkan segelas air putih, untuk kemudian
Jumat berkah seperti kata ustaz. Hari ini, Ulfa mulai menunaikan salat subuh karena tadi malam hatinya tersentuh oleh ceramah yang dilihat dalam aplikasi You-Tube. Dia takut meninggalkan kewajiban itu lagi.Sang ustaz mengatakan bahwa bisa jadi hidupmu yang berantakan itu disebabkan oleh ibadah yang tidak teratur pula. Kesenangan duniawi itu sifatnya sementara. Jika hidup bergelimang harta sementara dalam sehari-hari meremehkan salat, bisa jadi itu adalah istidraj.Ulfa menghela napas panjang. Dia sampai lupa kalau sekarang Dokter Nafiadi dan juga ibunya sedang menunggu jawaban. Jenni sendiri sibuk menata hidangan di meja, air mukanya begitu bahagia."Terkadang Allah menunda sesuatu yang indah untuk menjadikannya lebih indah," gumam Ulfa tanpa sengaja.Mereka bertiga yang duduk di ruang tamu langsung saling pandang. "Maksudnya ... kamu mau menunda?" Dokter Nafiadi yang bertanya.Ulfa langsung gelagapan. "Em, anu maksudnya iya. Lamaran Dokter Nafiadi diterima."Mereka bertiga mengucap
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc