"Loh, kata siapa? Fajar itu kalau bercanda emang suka rada-rada. Namanya orang kalau sudah akrab kan pasti sering bercanda. Kakak inget si Diqi orang Pinrang itu, kan? Teman sekolah aku waktu SMA, dia juga sering bercanda katanya pengen ngelamar. Padahal kita tuh nggak ada rasa," jelas Ulfa terpaksa menyebut teman sekolahnya dulu untuk menepis rasa curiga dalam benak Jenni. Dia jadi teringat dengan temannya yang paling somplak itu. Memiliki kulit putih bersih dan sedikit kurus. Namun, ketika melihat fotonya di sosial media tiga bulan lalu, dia sudah berubah menjadi gemuk. Katanya efek sering tersakiti. Diqi lah yang melarang Ulfa menikah dengan Sano dulu dengan alasan tampangnya mencurigakan. Namun, Ulfa memilih untuk tidak mendengarkannya, menuduh Diqi cemburu, lalu memblokir kontaknya hingga saat ini. "Tapi aku bukan Diqi teman SMA kamu, Fa. Aku Fajar. Bahkan dua huruf belakang namamu sama dengan dua huruf depan namaku. Kurasa kita jodoh. Lihat Alea, dia dekat sama aku. Sulit menc
"Loh, kenapa dengan ibu? Dita yang punya anak, terus nggak mau nyusuin kenapa malah ibu yang disalahin?" protes Mahika tidak terima.Setelah Adnan kembali terlelap, Sano langsung berdiri menatap lekat pada ibunya. "Ibu yang selalu menghasut aku untuk melanjutkan hubungan dengan Dita saat aku ingin mengakhirinya sebelum ketahuan sama Ulfa. Ibu yang selalu menghina Ulfa sampai aku kepikiran buat cari wanita lain. Ibu memaksa aku menikahi Dita diam-diam. Ibu juga yang meminta aku menuruti kemauan Dita untuk menyerahkan uang sesuai nominal yang dia minta untuk memborong hampir semua barang yang tidak penting itu. Bahkan ibu juga meminta uang sama aku entah buat apa, bukannya bantuin biar cukup lagi malah menambah masalah. Ibu pikir aku nggak pusing?!" geram Sano dengan suara pelan, tetapi tegas penuh amarah karena Adnan baru saja terlelap."Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, Sano. Makanya ibu setuju kalau kamu menikah sama Dita."Mendengar itu, Sano merasa ingin muntah saja. Dia bert
"Mas, kamu itu sadar diri nggak, sih? Waktu aku menangkap basah kamu di rumah Ibu Mahika di acara ulang tahun Tantri, aku sudah memberi peringatan. Itu tidak main-main, tetapi kamu malah menikahi Dita tanpa sepengetahuanku, lalu berbohong tentang banyak hal. Kamu pikir aku sudah melupakan semuanya karena mau memberimu pinjaman dengan jaminan sertifikat?" "Dek, semua bukan kehendak mas–" "Bukan kehendakmu menikahinya, tetapi kenapa dia bisa hamil? Seharusnya kita tidak membahas masa lalu lagi karena aku pun sudah bahagia. Pantang bagiku memungut sesuatu yang sudah dibuang. Lebih baik kamu pulang, tidak usah menjenguk Alea karena anak itu sudah menganggapmu mati," pungkas Ulfa memotong pembicaraan Sano. Ulfa tidak menyangka bahwa Sano adalah lelaki pecundang. Harga diri dan rasa malu dia buang begitu saja. Bagaimana bisa dengan percaya diri meminta tolong pada wanita yang sudah dia khianati? Sungguh, Ulfa ingin menertawakan Sano yang selama ini bersikap angkuh seolah tidak membutuhkan
"Kenapa tutup mata?"Pertanyaan Kancana semakin menakuti Ulfa. Gadis itu ingin lari, tetapi takut jika saja Kancana marah dan malah membunuh Alea. Lagi pula, posisinya saat ini sedang terkunci."Buka matamu, Ulfa. Aku tidak akan memukulmu!" pintanya kemudian menyandarkan balok itu di dinding dekat pintu."Mbak Kancana ...."Kancana menuntun Ulfa untuk duduk di sofa, kemudian menyeret Sano sampai ke teras. Setelah itu, dia kembali masuk karena ada sesuatu yang hendak dia sampaikan.Sebelum itu, Kancana memberitahu Ulfa kalau tadi dia ingin menemui Cantika di toko, tetapi terusik oleh teriakan Ulfa. Meski tidak yakin, dia bergerak cepat mengambil balok yang tersimpan di samping toko, berlari mendekat, lalu memberanikan diri memukul Sano dengan membayangkan lelaki itu sebagai suaminya sendiri.Kancana paling tidak suka jika ada kekerasan dalam rumah tangga apalagi jika kejahatan itu dilakukan oleh mantan suami yang motifnya tidak jelas selain karena ingin memeras saja."Mbak, wajahmu ...
"Aku akan menggantinya, tapi bukan sekarang."Ulfa tersenyum simpul mendengar jawaban dari Dita yang semula terlihat angkuh. "Lalu kapan? Kapan kamu bisa menggantinya?""Bulan depan.""Bulan depan kalian harus bayar sejuta sama aku. Tidak mungkin melupakan utang tujuh puluh juta itu, kan? Aku bahkan tidak yakin kalau kalian sanggup buat bayar karena di rumah ini hanya bapak yang kerja, lalu mau ambil uang delapan juta dari mana lagi?" timpal Ulfa masih berusaha menahan diri."Mari ponselmu atau aku telepon polisi sekarang!" perintah Kancana lagi.Dita mendengus kesal. Dia memandang mereka berdua bergantian sambil terus merutuki diri dalam hati karena sudah mau terpancing. Andai saja dia tidak ikut campur, maka Dita bisa beralasan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.Namun, nasi telah menjadi bubur. Semua masalah Sano dibebankan padanya karena sudah berani menantang. Ingin mengelak pun terlambat karena Kancana yang cerdik merekam percakapan mereka untuk mewanti-wanti masalah baru.Target
Sinar mentari menyilaukan mata yang memandang. Siapa sangka, sang bagaskara sebentar lagi sampai ke peraduan. Langit pun menampilkan senja yang sangat indah berwarna kemerahan.Tidak seperti Mahika yang menuju usia senja. Wajahnya tertekuk ibarat sebuah pakaian yang belum dirapikan. Berwajah murung untuk sesaat, tetapi menyunggingkan senyum ketika pintu nuansa cokelat terbuka lebar."Ibu boleh masuk?" tanyanya pada sosok wanita yang menggulung rambutnya dengan jedai alias jepitan badai berwarna merah muda. Dia baru saja selesai mengeringkan rambut."Tentu saja."Mahika tanpa rasa sungkan memasuki ruangan yang sangat bersih dan rapi itu. Tertata sebuah sofa kulit, di mana pada sudut ruangan terdapat hiasan bunga tulip berwarna kuning.Harum ruangan mampu menjernihkan pikiran, memperbaiki perasaan yang semula gundah gulana. Mahika kembali mengulum senyum tanpa balasan menatap wanita yang dahulu menjadi menantunya."Alea mana?""Lagi mandi, Bu. Ada apa ke sini? Sebentar lagi matahari ter
Sekitar pukul sembilan pagi, Mahika sudah kembali ke rumah mantan menantunya. Dia menghela napas berat karena merasa ragu. Tepat di depan toko tadi, wanita paruh baya itu bertemu dengan Kancana dan juga Jenni sehingga terlibat pembicaraan yang lumayan panjang.Mahika kesal pada mereka berdua karena mengaku telah memanas-manasi Ulfa agar menolak melakukan pertolongan pada Sano. Padahal lelaki yang menjadi mantan suaminya itu benar-benar berada di rumah sakit.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ulfa membuka pintu juga. Wanita yang terlihat seperti gadis itu mengajak mantan mertuanya duduk di ruang tamu. Wajah Mahika pucat pasi, garis hitam di bawah mata menandakan dia tidak tidur semalaman."Kenapa Ibu ke sini?"Mendengar pertanyaan Ulfa, Mahika tersentak. Apakah wanita itu sudah lupa ingatan sampai tidak lupa kalau dirinya lah yang memintanya untuk datang? Namun, demi uang dan juga kesehatan Sano, dia memaksakan senyuman."Ibu kan sudah bilang, Nak, kalau ibu mau pinjam uang kamu bu
Pukul sebelas siang lewat sepuluh menit, Ulfa sudah berada di ruangan tempat Sano dirawat. Anehnya, apa yang diceritakan oleh Mahika berbanding terbalik dengan kenyataan.Betul, bahwa Sano mengalami patah tulang pada bagian kakinya. Namun, tidak parah sampai harus dioperasi. Ulfa melirik sekilas pada Mahika yang menunduk dengan ekspresi sedih. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita tua itu?Sano membuka mata, dia terkejut melihat Ulfa yang berdiri di samping Dita tanpa membawa Alea mengingat dia masih terlalu kecil untuk berkunjung ke rumah sakit. Ulfa sendiri memperhatikan gips di kaki kanan Sano. "Ini serius apa boongan?""Serius lah, Nak Ulfa. Ibu kan sudah bilang kalau Sano itu abis kena musibah." Mahika yang menjawab."Katanya tadi pengen dioperasi, jadi butuh biaya banyak. Kalau cuma masang gips itu nggak perlu operasi. Ibu pikir aku nggak tahu hal ini?"Ulfa tersenyum simpul begitu melihat Mahika diam. Mereka menduga wanita itu adalah janda kudet alias kurang update, tidak tahu-
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa