"Mas, kamu itu sadar diri nggak, sih? Waktu aku menangkap basah kamu di rumah Ibu Mahika di acara ulang tahun Tantri, aku sudah memberi peringatan. Itu tidak main-main, tetapi kamu malah menikahi Dita tanpa sepengetahuanku, lalu berbohong tentang banyak hal. Kamu pikir aku sudah melupakan semuanya karena mau memberimu pinjaman dengan jaminan sertifikat?" "Dek, semua bukan kehendak mas–" "Bukan kehendakmu menikahinya, tetapi kenapa dia bisa hamil? Seharusnya kita tidak membahas masa lalu lagi karena aku pun sudah bahagia. Pantang bagiku memungut sesuatu yang sudah dibuang. Lebih baik kamu pulang, tidak usah menjenguk Alea karena anak itu sudah menganggapmu mati," pungkas Ulfa memotong pembicaraan Sano. Ulfa tidak menyangka bahwa Sano adalah lelaki pecundang. Harga diri dan rasa malu dia buang begitu saja. Bagaimana bisa dengan percaya diri meminta tolong pada wanita yang sudah dia khianati? Sungguh, Ulfa ingin menertawakan Sano yang selama ini bersikap angkuh seolah tidak membutuhkan
"Kenapa tutup mata?"Pertanyaan Kancana semakin menakuti Ulfa. Gadis itu ingin lari, tetapi takut jika saja Kancana marah dan malah membunuh Alea. Lagi pula, posisinya saat ini sedang terkunci."Buka matamu, Ulfa. Aku tidak akan memukulmu!" pintanya kemudian menyandarkan balok itu di dinding dekat pintu."Mbak Kancana ...."Kancana menuntun Ulfa untuk duduk di sofa, kemudian menyeret Sano sampai ke teras. Setelah itu, dia kembali masuk karena ada sesuatu yang hendak dia sampaikan.Sebelum itu, Kancana memberitahu Ulfa kalau tadi dia ingin menemui Cantika di toko, tetapi terusik oleh teriakan Ulfa. Meski tidak yakin, dia bergerak cepat mengambil balok yang tersimpan di samping toko, berlari mendekat, lalu memberanikan diri memukul Sano dengan membayangkan lelaki itu sebagai suaminya sendiri.Kancana paling tidak suka jika ada kekerasan dalam rumah tangga apalagi jika kejahatan itu dilakukan oleh mantan suami yang motifnya tidak jelas selain karena ingin memeras saja."Mbak, wajahmu ...
"Aku akan menggantinya, tapi bukan sekarang."Ulfa tersenyum simpul mendengar jawaban dari Dita yang semula terlihat angkuh. "Lalu kapan? Kapan kamu bisa menggantinya?""Bulan depan.""Bulan depan kalian harus bayar sejuta sama aku. Tidak mungkin melupakan utang tujuh puluh juta itu, kan? Aku bahkan tidak yakin kalau kalian sanggup buat bayar karena di rumah ini hanya bapak yang kerja, lalu mau ambil uang delapan juta dari mana lagi?" timpal Ulfa masih berusaha menahan diri."Mari ponselmu atau aku telepon polisi sekarang!" perintah Kancana lagi.Dita mendengus kesal. Dia memandang mereka berdua bergantian sambil terus merutuki diri dalam hati karena sudah mau terpancing. Andai saja dia tidak ikut campur, maka Dita bisa beralasan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa.Namun, nasi telah menjadi bubur. Semua masalah Sano dibebankan padanya karena sudah berani menantang. Ingin mengelak pun terlambat karena Kancana yang cerdik merekam percakapan mereka untuk mewanti-wanti masalah baru.Target
Sinar mentari menyilaukan mata yang memandang. Siapa sangka, sang bagaskara sebentar lagi sampai ke peraduan. Langit pun menampilkan senja yang sangat indah berwarna kemerahan.Tidak seperti Mahika yang menuju usia senja. Wajahnya tertekuk ibarat sebuah pakaian yang belum dirapikan. Berwajah murung untuk sesaat, tetapi menyunggingkan senyum ketika pintu nuansa cokelat terbuka lebar."Ibu boleh masuk?" tanyanya pada sosok wanita yang menggulung rambutnya dengan jedai alias jepitan badai berwarna merah muda. Dia baru saja selesai mengeringkan rambut."Tentu saja."Mahika tanpa rasa sungkan memasuki ruangan yang sangat bersih dan rapi itu. Tertata sebuah sofa kulit, di mana pada sudut ruangan terdapat hiasan bunga tulip berwarna kuning.Harum ruangan mampu menjernihkan pikiran, memperbaiki perasaan yang semula gundah gulana. Mahika kembali mengulum senyum tanpa balasan menatap wanita yang dahulu menjadi menantunya."Alea mana?""Lagi mandi, Bu. Ada apa ke sini? Sebentar lagi matahari ter
Sekitar pukul sembilan pagi, Mahika sudah kembali ke rumah mantan menantunya. Dia menghela napas berat karena merasa ragu. Tepat di depan toko tadi, wanita paruh baya itu bertemu dengan Kancana dan juga Jenni sehingga terlibat pembicaraan yang lumayan panjang.Mahika kesal pada mereka berdua karena mengaku telah memanas-manasi Ulfa agar menolak melakukan pertolongan pada Sano. Padahal lelaki yang menjadi mantan suaminya itu benar-benar berada di rumah sakit.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ulfa membuka pintu juga. Wanita yang terlihat seperti gadis itu mengajak mantan mertuanya duduk di ruang tamu. Wajah Mahika pucat pasi, garis hitam di bawah mata menandakan dia tidak tidur semalaman."Kenapa Ibu ke sini?"Mendengar pertanyaan Ulfa, Mahika tersentak. Apakah wanita itu sudah lupa ingatan sampai tidak lupa kalau dirinya lah yang memintanya untuk datang? Namun, demi uang dan juga kesehatan Sano, dia memaksakan senyuman."Ibu kan sudah bilang, Nak, kalau ibu mau pinjam uang kamu bu
Pukul sebelas siang lewat sepuluh menit, Ulfa sudah berada di ruangan tempat Sano dirawat. Anehnya, apa yang diceritakan oleh Mahika berbanding terbalik dengan kenyataan.Betul, bahwa Sano mengalami patah tulang pada bagian kakinya. Namun, tidak parah sampai harus dioperasi. Ulfa melirik sekilas pada Mahika yang menunduk dengan ekspresi sedih. Sebenarnya apa yang dipikirkan wanita tua itu?Sano membuka mata, dia terkejut melihat Ulfa yang berdiri di samping Dita tanpa membawa Alea mengingat dia masih terlalu kecil untuk berkunjung ke rumah sakit. Ulfa sendiri memperhatikan gips di kaki kanan Sano. "Ini serius apa boongan?""Serius lah, Nak Ulfa. Ibu kan sudah bilang kalau Sano itu abis kena musibah." Mahika yang menjawab."Katanya tadi pengen dioperasi, jadi butuh biaya banyak. Kalau cuma masang gips itu nggak perlu operasi. Ibu pikir aku nggak tahu hal ini?"Ulfa tersenyum simpul begitu melihat Mahika diam. Mereka menduga wanita itu adalah janda kudet alias kurang update, tidak tahu-
“Cinta itu tidak penting. Aku hanya memikirkan bagaimana hidup bahagia dalam gelimang harta. Meskipun dia tampan, tidak ada gunanya jika menghabiskan waktu di kursi roda.” Teriakan Dita menggema di seluruh ruangan.Sekarang adalah hari ke sepuluh Sano berada di rumah sepulang dari rumah sakit. Benar apa yang dikatakan oleh Dita bahwa lelaki yang dulu selalu berwajah angkuh di hadapan istri pertamanya berakhir di kursi roda dalam keadaan kaki berbalut gips.Dita masih penasaran kenapa Sano tidak mau membuka amplop yang diberikan Ulfa tempo hari. Meskipun tipis, tetap harus dibuka, jangan sampai isinya adalah cek berisi uang puluhan juta. Bukankah Ulfa mengatakan amplop itu bisa saja mengejutkan?“Apa yang kamu pikirkan, Dita? Kamu nggak mikirin anak kita? Usianya masih sangat kecil bahkan belum capai satu tahun. Dia butuh ibunya, butuh ayahnya. Kata dokter, sakitku ini hanya sementara, tinggal menunggu sembuh saja!” geram Sano dalam amarah yang tertahan.Wanita itu mengembuskan napas k
"Ce-cerai? Kamu mau cerai dari aku, Dit?"Dita mengangguk cepat. Dia sudah bosan hidup miskin apalagi orang tuanya menolak sang anak kembali jika masih bersama Sano. Saat itu memang setuju untuk menikah, tetapi melihat keadaan Sano sekeluarga membuat mereka muak.Menelan kesedihan. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Sano. Keadaan memaksanya menerima kenyataan, tetapi juga tidak mau mengikuti saran Dita untuk mengemis. Berbagai ujian dalam hidup berduyun-duyun menghampirinya bahkan juga berimbas kepada keluarga.Di saat seperti ini, Sano menyalahkan diri sendiri. Sibuk berandai, jika saja dulu dia setia, pasti kehidupannya tetap sama atau semakin baik serta bahagia. Kesalahan besar yang dia lakukan seperti tidak mendapat restu dari semesta.Sano ingat, semasa remaja dulu ketika mengikuti kajian subuh di masjid dekat rumah, ustadz mengatakan bahwa perzinahan dan kekayaan tidak akan pernah bersatu. Dalam artian, siapa saja yang berzina, perlahan hidup miskin karena hal tersebut merupakan