Affandra tersenyum lebar matanya penuh harapan. "Apa akhirnya kau akan putus?"Ia segera meraih kedua tangan Zora. Dan ada sesuatu yang aneh disana. Ia melihat cincin yang baru ia lihat selama ini. Dan seketika wajahnya muram. Dan langsung menatap wanita yang masih diam disana memperhatikan ekspresinya."Aku akan segera menikah." Kalimat itu keluar dari mulutnya tapi seolah olah hatinya juga tidak nyaman mengatakannya."Pergilah mencari wanita yang tulus mencintaimu, untuk apa melakukan hal sia-sia untuk menunggu? Aku akan tetap bersama pilihan hatiku."Affandra masih mematung dan pandangan kembali jatuh pada cincin yang dikenakan Zora. Masih meraih kedua tangan Zora dan memutar-mutar cincin itu dengan seksama, ia juga ingin memberikan hal seperti ini.Affandra hampir tidak mengerti apa yang sedang ia rasakan, ia mencoba untuk tersenyum sambil terus memutar cincin di jari manis Zora. "Aku tidak masalah, aku hanya ingin berada di sekitarmu
Di kediaman Tuan Hermanto, Affandra turun dari kamarnya untuk ikut sarapan bersama keluarganya, kebetulan Kinan, kakak laki-lakinya juga kali ini hadir setelah kepulangannya dari San Fransisco dalam mengurus bisnis. Kinan orang pertama yang melihatnya. "Eh kamu dirumah Ndra?"Kedua orang tua Affandra juga menengok untuk melihat putranya yang kini juga semakin sulit di temui. Wajahnya tersenyum tipis tapi terlihat muram. "Kenapa Lo balik? Ribut sama Zora?" Ledek Kinan."Gak mau bahas." Affandra segera duduk, dan mengambil piring serta menuangkan sajian yang ada kedalam piringnya."Halal, ngejar cewek segitunya amat, udah kaya sinetron aja ngejar-ngejar cinta pertama. Iya gak pah?" Menggoda adiknya adalah favoritnya dari dulu sampai sekarang."Mending lah daripada gunta ganti pacar mulu, ampe pusing papa gak inget mereka semua." Kali ini Tuan Herman membela Affandra."Aku kan setia kaya papa." "Halah wanita itu sama aja Ndra. Kalo
Sejak malam itu, Zora sudah tidak pernah melihat kedatangan Affandra lagi ke tempat kos nya. Ia menghela nafas dan mengingat kembali apa yang terjadi malam itu."Mungkin sudah yang terbaik begini," walaupun Zora tau, ini tidak akan mengubah apapun."Aku sudah membuat janji pada sekertaris ayahmu, untuk bertemu besok siang.""Benarkah?" Degup jantung Zora tiba-tiba menjadi lebih cepat. "Kau yakin?""Kau tidak yakin?" Julian melempar senyum sambil mengendarai mobilnya.Zora masih mematung melihat ke arah kekasihnya menunggu jawaban."Aku harus mencoba untuk tau hasilnya. Aku tidak akan kesana dengan tangan kosong. Aku akan coba menjadi layak di hadapannya. Tenanglah." Julian meremas lembut tangan kekasihnya yang masih tidak percaya hari ini datang juga.Seketika Zora merasa bangga. Apa lagi yang perlu di ragukan? Pria ini bukan cuma baik hati. Tapi juga seorang gentle man. "Aku akan selalu berdoa untukmu."Tuan Arnold segera mendapat kabar keh
"Ayo kita pergi saja." Tuan Faisal lebih tidak terima dengan penghinaan ini."Kau tau, hanya perlu kau pergi untuk membuat Affandra masuk dalam kehidupan Zora. Pikirkanlah baik-baik. Aku akan melepaskan Zora, bila kau setuju untuk aku menarik semua uang itu."Seketika Tuan Faisal ambruk sambil meremas jantungnya."Ayah..ayahh.." Perasaannya sangat hancur, lebih hancur karna ayahnya perlu mendengarkan hal ini."Ada apa dengannya?" Tuan Arnold segera meminta supirnya untuk menyiapkan mobil dan memerintahkan anak buahnya untuk membantu."Tidak perlu aku akan membawa ayahku sendiri." Julian bersikeras untuk membawa ayahnya sendiri dengan mobilnya segera. Ia bergegas mengambil mobil. Dengan ayahnya yang sudah di bopong oleh dua pria besar. Dan membawanya langsung ke rumah sakit."Maafkan aku yah.." ia mengebut dengan cepat. Dan tim medis segera membawanya ke ruang UGD untuk mendapat pertolongan pertama. "Untung saja masih ada cukup w
Julian menemani ayahnya yang belum sadar dengan nafas yang tersenggal. Ingin rasanya marah dan membalas dendam. Hari ini ia mengawali hari dengan optimis, merasa cukup pantas untuk bisa menikahi Zora dengan semua kerja kerasnya. Betapa bodohnya masuk dalam perangkap Rubah Tua yang membuat ayahnya hampir saja mati. Tentu itu harga yang tidak sebanding.Ia tidak bisa menepati janjinya untuk bersama Zora kali ini. Atau perusahaan keluarganya akan segera hancur. Ia meremas pelipis yang sedari tadi tegang. Bagaimanapun sebuah penghinaan berjalan di atas uang orang kaya itu. Tapi ini sangat berat."Aku kira ini adalah kesempatanku. Kenapa ternyata aku sangat bodoh." Julian frustasi mengacak-acak rambutnya.Keluarganya segera datang dengan cemas. Bahkan kali ini Antony membawa Dania. Tapi Julian sudah tidak memikirkan apapun."Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi?"Antony menyambarnya dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya pusing dan memil
"Kamu tuh gak tau malu ya, dateng cuma buat nangis begitu. Harusnya kamu menjauh aja dari Julian, daripada kamu bawa sial.""Ssstt.. jangan ngomong gitu Dania. Zora udah seperti putri ibu sendiri." Ibu Amina masih memeluk dan membelai rambut wanita yang kini masih menangis dalam pelukannya.Mengangkat wajahnya, ia bertanya. "Apa artinya aku harus nyerah Bu?" Tatap nanar Zora pada Ibu Amina.Ibu Amina hanya bisa menghela nafas, "Kamu yang harus bicarakan sama Julian. Ibu berdoa yang terbaik untuk kalian.""Maaf karna aku semua ini terjadi." Zora tidak bisa berhenti menyesal. Melihat Tuan Faisal yang kini terbaring dengan lemah dibantu tabung oksigen untuk bernafas. Ia pun pamit untuk mencari Julian. Dan langsung di ia kan oleh Ibu Amina. Zora melihat ponsel Julian tergeletak begitu saja di atas meja. Dan mulai mencarinya ke segala sisi dari Rumah Sakit.Tergopoh-gopoh, hari sudah mulai malam dan ia masih mencari sosok pria yang m
Sangat kesal melihat pria itu kini tidak menggubrisnya sama sekali. Diam mematung dengan mata kosong lurus kedepan seperti tidak mendengar atau sadar akan kehadirannya. Zora menghentakkan kaki dan pergi dari tempat itu.Beginikah akhir hubungan yang mereka perjuangkan? Betapa sia-sia. Zora berlari keluar dari Rumah Sakit. Terus berlari dengan panas dalam hatinya hingga tiba di sebuah taman dengan air mancur.Ia duduk dengan lemah, merasa kesal dan marah dalam hatinya. Ia sudah menangis sepanjang sore dan terdiam di kursi taman, sudah tidak lagi bisa menangis.Menyenderkan kepalanya, ia mengatur nafas untuk mencerna semua yang terjadi kali ini. Tapi hanya ada amarah dan kecewa. Ribuan kata masih ingin diucapkan, untuk Papanya, untuk Julian. Tapi kini ia hanya termenung tidak bisa mengeluarkan apapun walau isi kepalanya benar-benar berputar ingin memaki.Malam mulai berangin. Zora hanya memakai selapis pakaian, hanya kemeja kerja. Dan ia bahkan belu
Julian segera kembali dengan pakaian Sintya, dan menyuruh Zora bergegas untuk ganti pakaian."Cepatlah, aku tidak ingin kau mati kedinginan. Itu akan membuatku sedih." Julian memohon yang di balas anggukan singkat.Setelah berganti pakaian, walau semua baju dalamnya basah, ia tidak punya pilihan. Dan baju kering membuatnya sedikit hangat."Aku akan mengantarmu.""Apa kita benar-benar berpisah? Sungguh?"Julian hanya bisa menghela nafas lemah, "Ayo sambil bicara di mobil."Zora terus memandang punggung yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Kenapa tiba-tiba bisa seberubah ini?Di dalam mobil akhirnya Zora hanya diam. Merasakan kecanggungan yang sebelumnya tidak pernah terjadi separah ini. Mereka masih saling mencintai."Aku tidak bisa berjuang lagi untukmu." Kata-kata itu keluar dengan tulus. Menggetarkan hati Zora dan seketika membuatnya meneteskan air mata."Apa yang sebenarnya terjadi?" Zora masih menatap l
Affandra sangat bangga dan mengelus punggung tangannya lembut sambil mereka sering bertatapan penuh arti."Om Tante, aku pinjem Zora sebentar boleh?" Izin Affandra yang disambut baik kedua orang tua Zora.Affandra menggandeng tangan Zora untuk ikut bersamanya, ini hal yang baru ia lakukan lagi setelah sekian lama. Zora terus menatap tangannya yang di genggam orang yang selalu ia pikirkan setahun ini. Yang ia ingat terakhir kali memeluk tangannya saat ia demam malam itu. Dan kini genggaman itu kembali memberikan rasa aman.Affandra membawanya ke halaman tengah Villa mewah itu, dengan lampu-lampu redup, wajahnya bersinar."Aku sudah bilang untuk membuka blok di ponselmu." Kini Affandra cemberut."Aku sudah lama membukanya. Itu kamuu!""Mana ponselmu?" Affandra tak percaya karna ia masih tidak bisa menghubunginya.Ia membuka semua file block WhatsApp dan panggilan biasa. Ternyata ia masih menjadi daftar hitam dalam setingan ponsel. "Lihat?"Zora hanya tertawa, "Maaf, aku lupa soal yang i
Ia pulang dengan perasaan lega. Sepanjang jalan ia terus tersenyum. Sampai Tuan Arnold merasa heran. "Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada putri kita."Nyonya Anita langsung menoleh untuk melihat Zora yang tersipu malu. "Apa kau bertemu Affandra?"Zora mengangguk pelan dan tak ingin membahasnya, ia sangat malu. Sesampai di villa ia langsung masuk ke kamar dan menjadi gila. Sangat senang hingga tertawa sendiri. Tapi ponselnya belum juga berdering ia menunggu sampai malam dan tidak juga berdering. Menunggu membuatnya kecewa.Malam ini mereka makan malam di rumah, menunggu Affandra menghubunginya benar-benar membuatnya kesal. Jadi ia berhenti untuk menunggu dan pergi makan malam.Tepat saat makanan di hidangkan, bel berbunyi, ada seseorang yang datang, jadi Nyonya Anita membukanya."Halo Affandra." Sambut Nyonya Anita senang. Zora sudah duduk di meja makan mendengar nama itu disebut ia memejamkan mata dan seketika malu sekali.Tuan Arnold melihat expresi Zora yang berubah menjadi kep
Kenapa? Kenapa dia selalu melakukan ini? Bukankah pria itu kali ini datang, seperti keinginannya sebelumnya?Affandra masih mematung disana menatap punggung Zora yang menjauh.'ini adalah kesempatanmu bicara, setidaknya minta maaf atas perbuatannya yang sudah menyia-nyiakannya. Kau tidak boleh marah Zora, bila ia akhirnya bahagia dengan orang lain, harusnya kau ikut bahagian untuknya.' batin dirinya pada hatinya sendiri. Menghentikan langkah kakinya dan membuatnya menoleh ke belakang. Pria itu masih disana, menatap pantulan langit di lautan dan terpaku diam.Zora kembali berjalan menuju padanya, hingga pria itu sadar, Zora sudah ada di sisinya dan menoleh tanpa expresi."Aku sudah membuat banyak kesalahan kan?"Tanya Zora padanya.Affandra hanya meliriknya sekali, tidak ingin menjelaskan apapun. "Harusnya, aku ikut bahagia bila kau sudah menemukan hatimu untuk orang lain, karna ini kesalahanku sendiri," Zora menatapnya yang masih mendengarkan dengan tatapan lurus menatap horison."Ak
Ia segera membuang pandangan dari pria itu, bodoh sekali, apa dia melihatnya menangis? Itu sangat memalukan. Walau sudah mengakui perasaannya, di hadapan Affandra ia tidak ingin membuatnya besar kepala, ia tidak mau terlihat sedang merindukannya.Tapi sampai acara selesai, Affandra tidak sama sekali mengunjunginya. Ini adalah hal yang harus ia bayar, Zora melihat Affandra sedang mengobrol dan hendak menyapanya lebih dulu. Baru saja ia melangkah beberapa langkah, seorang anak umur 3 tahun berlari padanya, "Daddy, Daddy.." dengan sigap ia menggendong pria kecil tampan di pelukannya, mengecup pipi dan memberikannya sesuatu di tangannya. Seorang wanita cantik segera muncul juga menghampirinya, dan tertawa bersama, Zora mengenalnya, dia Amanda, salah satu putri dari teman ayahnya yang juga kaya raya, kabarnya ia Janda, dan akan segera menikah.Amanda mengobrol dengannya dengan lembut membersihkan sisa kue yang di makan putranya di jas milik Affandra dengan perhatian.Zora hanya merasa ten
Sering kali, ia mulai ingat, bagaimana Affandra adalah salah satu orang yang membuatnya menjalani hari-hari ini dengan baik. Bagaimana ia telah membimbing Zora menjadi lebih baik dalam memandang kehidupan yang sepenuhnya ia tidak mengerti. Entah dimana ia kali ini.Akhirnya Zora kembali ke Forte Grup, dengan sambutan semua orang. Rahasia Zora di Gavin Tect lalu terbongkar dan membuat gempar karyawan mereka, ternyata selama ini, orang yang sudah mereka tindas adalah putri seorang konglomerat."Gak mungkin. Gak mungkin." Nadya dari divisi keuangan Gavin Tect tidak percaya saat mendengar kabar itu. Wajahnya pucat apa dia sudah membuat kesalahan? Tapi Zora sama sekali tidak pernah mengungkit mereka , Zora yang semula selalu digosipkan hal-hal miring, untuk kali ini ia menerima banyak pujian. Ia sesekali berkunjung ke Gavin Tect yang menjadi salah satu perusahaan sahabat dalam berinovasi, semua orang dengan sopan memuji dan menyanjung.Kesuksesannya kali ini lebih dari kesuksesannya sebelu
Zora pulang dengan lesu, ini baru pukul 2 siang, tapi dia sangat butuh tidur, jadi begitu sampai dirumah ia langsung melempar diri ke tempat tidur dan memejamkan mata hingga magrib menjelang."Non, udah magrib, non" Bi Ima dengan lembut membangunkannya. Zora berbalik menggaruk wajahnya dan matanya masih rapat seolah lengket. "Non ayo solat dulu, terus makan malem sama tuan dan nyonya di bawah."Zora hanya mengangguk angguk tapi ia terlelap lagi. Kamar ini seolah punya daya magis yang selalu membuatnya nyaman.15 menit kemudian, Bi Ima kembali naik untuk membangunkannya lagi. Jadi dengan susah payah ia bangun dengan mata lengket. Bergegas mandi, solat magrib dan turun untuk makan malam.Hidangan rumahan yang lama tidak ia nikmati, jadi setiap pulang kerumah selalu merindukan masakan ibunya. Zora terlihat sangat menikmati hidangan yang membuat ibunya terus lebih sehat, Nyonya Anita juga jadi lebih mensyukuri kehadiran putrinya yang hilang hampir 2 tahun ini."Kau sudah kembali ke rumah
Yash mengawali hari yang baik, cuaca cukup cerah walau agak berangin memasuki bulan November, sarapan sesuatu yang lezat dan merasa hari ini harus ia lewati dengan baik.Dengan semangat paginya, ia menyapa beberapa karyawan dengan senyum hangat.Sampai ia masuk di ruangannya sendiri, melihat sekertarisnya sangat jelek dengan kantong mata di wajahnya yang lebih suram lagi bila terus di pandang."Apa ada sesuatu yang salah denganmu?" Bertanya heran dengan kecewa.Zora menatapnya bingung. Dan bertanya, "Apa terlihat ada yang salah?""Bercermin lah lihat seberapa buruk itu." Yash berdecak sambil memperhatikannya. "Pergi berdandan sana! Aku memulai hari yang sempurna, jadi jangan rusak dengan semua masalah di wajahmu. Sana!" Lalu melengos pergi menuju kantornya.Zora langsung melihat cermin, dan melihat riasannya baik-baik saja. Apa kurang tebal? Jadi dia bergegas ke kamar mandi untuk memperbaiki riasannya. Kantung mata memang terliha
Nyonya Anita tidak percaya ia menutup mulutnya yang terbuka karna terkejut. "Ada apa? Pasti Zora sangat menyinggungnya, anak ini benar-benar keras kepala!" Ada sedikit kemarahan yang tidak bisa disembunyikan diwajahnya. "Yang aku tau mereka sangat dekat Kak Dona, bahkan Affandra sangat sabar menunggu Zora. Kami bahkan makan malam bersama dan mereka sangat dekat."Dona berdeham, memperbaiki suaranya. "Aku benar-benar tidak mengerti, tapi beberapa hari ini tempramennya sangat buruk. Dia selalu diam. Mungkin kau bisa bicara pada Zora, tantang apa yang sebenarnya terjadi?"Anita mengangguk setuju. "Aku akan bicara padanya.""Sebenarnya, hari ini juga Affandra akan berpamitan untuk kembali ke San Fransisco bersama Kinan.""Bahkan ia memutuskan untuk pergi?" Anita sangat sedih mendengar kabar ini."Aku sangat tau bagaimana Affandra mencintai putrimu, walau sebenarnya aku sempat tidak rela mendengar kabar Zora yang selalu menolaknya." Dona menat
Akhirnya Nyonya Anita pun sudah mulai pulih dari sakitnya, dan dipersilakan untuk pulang. Direktur Fernando yang melayaninya sendiri."Tetap jaga kesehatan dan makanlah lebih banyak sayuran Nyonya." Ramahnya pada Nyonya Anita sambil mengantarnya ke lobi rumah sakit.Kali ini, Zora juga menemani ibunya untuk pulang dan sudah meletakan semua barang-barangnya dirumah."Zora ikut mama pulang kan?" Di dalam mobil, Nyonya Anita menyentuh punggung tangan putrinya lembut seraya memohon dan tersenyum."Aku sudah pindah dari kemarin, jadi aku akan menjaga mama mulai sekarang." Zora berkata lembut membalas senyum ibunya.Nyonya Anita menghela nafas. "Kenapa Affandra gak keliatan ya?""Mungkin sibuk mah, udah gak usah mikirin dia." Zora tersenyum pahit.Hari sudah siang, Tuan Arnold tidak bisa menjemput kali ini karna meeting penting dengan konsultan dari Filipina. Jadi Zora bertanggung jawab atas ibunya.Memasuki rumah bes