Walau hampir setiap hari melihat Zora, tetap saja saat ia berpakaian berbeda rasanya selalu lebih indah. Gaun merah melekat di tubuh mungil dengan balutan blazer kerja yang masih di kenakan. Ia mencatok rambutnya dengan bergelombang membuat pipi yang chuby terlihat lebih imut dengan makeup tipis yang selalu membuatnya segar.Ia perlahan naik ke atas mobil dengan sepasang mata yang sudah tidak bisa melepaskan diri dari lekuk tubuhnya.Pria itu terus tersenyum sepanjang jalan. Sama saja dengan Zora. Yang masih bertanya-tanya akankan benar hari ini adalah hari yang selama ini mereka tunggu?Ketika pasangan ini masuk, sebuah musik romantis mewarnai sore mereka, dan hidangan segera di hidangkan.Zora tertawa, "Ini berlebihan.""Ini momen sakral." Julian menggodanya."Aku menunggu seharian untuk sampai di waktu ini. Kau membuatku menunggu.""Benarkah?" Julian tertawa. "Harusnya aku langsung saja ya?""Iya, tak perlu melakukan hal hal mahal seperti ini."Mereka menyantap makan malam yang ring
Affandra adalah orang yang sibuk, mereka tidak selalu bertemu dan bisa bicara banyak hal, ada kalanya ia tidak muncul sama sekali dalam sebulan, dan tiba-tiba membawakan Zora banyak hal sebagai oleh-oleh. Bahkan Zora belum melihatnya lagi setelah seminggu yang lalu. Zora memasuki gerbang kos dan merasa sedih saat berfikir untuk meninggalkan tempat ini. Semenjak ia keluar dari rumahnya harus terus berpindah-pindah walau ia sudah menyukainya, tapi tak masalah bila benar-benar menikah nanti, ia akan menempati rumahnya sendiri, tidak lagi bergantung pada orang lain. Mungkin Zora harus mencari kos bersama Karina setelah ini.Keesokan malam, Zora masih mengerjakan pekerjaannya sebelum pergi tidur, ketukan pintu terdengar dari luar. Zora segera bangkit dan membukanya.Sebuah senyum lebar menyerobot masuk tepat di depan wajahnya.Zora sengaja menjepit kepalanya kali ini. "Kebiasaan banget ngagetin begitu!""Aduh aduh, tolong!" Affandra berteriak kencang. Membuat Zora panik dan langsung membu
Affandra tersenyum lebar matanya penuh harapan. "Apa akhirnya kau akan putus?"Ia segera meraih kedua tangan Zora. Dan ada sesuatu yang aneh disana. Ia melihat cincin yang baru ia lihat selama ini. Dan seketika wajahnya muram. Dan langsung menatap wanita yang masih diam disana memperhatikan ekspresinya."Aku akan segera menikah." Kalimat itu keluar dari mulutnya tapi seolah olah hatinya juga tidak nyaman mengatakannya."Pergilah mencari wanita yang tulus mencintaimu, untuk apa melakukan hal sia-sia untuk menunggu? Aku akan tetap bersama pilihan hatiku."Affandra masih mematung dan pandangan kembali jatuh pada cincin yang dikenakan Zora. Masih meraih kedua tangan Zora dan memutar-mutar cincin itu dengan seksama, ia juga ingin memberikan hal seperti ini.Affandra hampir tidak mengerti apa yang sedang ia rasakan, ia mencoba untuk tersenyum sambil terus memutar cincin di jari manis Zora. "Aku tidak masalah, aku hanya ingin berada di sekitarmu
Di kediaman Tuan Hermanto, Affandra turun dari kamarnya untuk ikut sarapan bersama keluarganya, kebetulan Kinan, kakak laki-lakinya juga kali ini hadir setelah kepulangannya dari San Fransisco dalam mengurus bisnis. Kinan orang pertama yang melihatnya. "Eh kamu dirumah Ndra?"Kedua orang tua Affandra juga menengok untuk melihat putranya yang kini juga semakin sulit di temui. Wajahnya tersenyum tipis tapi terlihat muram. "Kenapa Lo balik? Ribut sama Zora?" Ledek Kinan."Gak mau bahas." Affandra segera duduk, dan mengambil piring serta menuangkan sajian yang ada kedalam piringnya."Halal, ngejar cewek segitunya amat, udah kaya sinetron aja ngejar-ngejar cinta pertama. Iya gak pah?" Menggoda adiknya adalah favoritnya dari dulu sampai sekarang."Mending lah daripada gunta ganti pacar mulu, ampe pusing papa gak inget mereka semua." Kali ini Tuan Herman membela Affandra."Aku kan setia kaya papa." "Halah wanita itu sama aja Ndra. Kalo
Sejak malam itu, Zora sudah tidak pernah melihat kedatangan Affandra lagi ke tempat kos nya. Ia menghela nafas dan mengingat kembali apa yang terjadi malam itu."Mungkin sudah yang terbaik begini," walaupun Zora tau, ini tidak akan mengubah apapun."Aku sudah membuat janji pada sekertaris ayahmu, untuk bertemu besok siang.""Benarkah?" Degup jantung Zora tiba-tiba menjadi lebih cepat. "Kau yakin?""Kau tidak yakin?" Julian melempar senyum sambil mengendarai mobilnya.Zora masih mematung melihat ke arah kekasihnya menunggu jawaban."Aku harus mencoba untuk tau hasilnya. Aku tidak akan kesana dengan tangan kosong. Aku akan coba menjadi layak di hadapannya. Tenanglah." Julian meremas lembut tangan kekasihnya yang masih tidak percaya hari ini datang juga.Seketika Zora merasa bangga. Apa lagi yang perlu di ragukan? Pria ini bukan cuma baik hati. Tapi juga seorang gentle man. "Aku akan selalu berdoa untukmu."Tuan Arnold segera mendapat kabar keh
"Ayo kita pergi saja." Tuan Faisal lebih tidak terima dengan penghinaan ini."Kau tau, hanya perlu kau pergi untuk membuat Affandra masuk dalam kehidupan Zora. Pikirkanlah baik-baik. Aku akan melepaskan Zora, bila kau setuju untuk aku menarik semua uang itu."Seketika Tuan Faisal ambruk sambil meremas jantungnya."Ayah..ayahh.." Perasaannya sangat hancur, lebih hancur karna ayahnya perlu mendengarkan hal ini."Ada apa dengannya?" Tuan Arnold segera meminta supirnya untuk menyiapkan mobil dan memerintahkan anak buahnya untuk membantu."Tidak perlu aku akan membawa ayahku sendiri." Julian bersikeras untuk membawa ayahnya sendiri dengan mobilnya segera. Ia bergegas mengambil mobil. Dengan ayahnya yang sudah di bopong oleh dua pria besar. Dan membawanya langsung ke rumah sakit."Maafkan aku yah.." ia mengebut dengan cepat. Dan tim medis segera membawanya ke ruang UGD untuk mendapat pertolongan pertama. "Untung saja masih ada cukup w
Julian menemani ayahnya yang belum sadar dengan nafas yang tersenggal. Ingin rasanya marah dan membalas dendam. Hari ini ia mengawali hari dengan optimis, merasa cukup pantas untuk bisa menikahi Zora dengan semua kerja kerasnya. Betapa bodohnya masuk dalam perangkap Rubah Tua yang membuat ayahnya hampir saja mati. Tentu itu harga yang tidak sebanding.Ia tidak bisa menepati janjinya untuk bersama Zora kali ini. Atau perusahaan keluarganya akan segera hancur. Ia meremas pelipis yang sedari tadi tegang. Bagaimanapun sebuah penghinaan berjalan di atas uang orang kaya itu. Tapi ini sangat berat."Aku kira ini adalah kesempatanku. Kenapa ternyata aku sangat bodoh." Julian frustasi mengacak-acak rambutnya.Keluarganya segera datang dengan cemas. Bahkan kali ini Antony membawa Dania. Tapi Julian sudah tidak memikirkan apapun."Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi?"Antony menyambarnya dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya pusing dan memil
"Kamu tuh gak tau malu ya, dateng cuma buat nangis begitu. Harusnya kamu menjauh aja dari Julian, daripada kamu bawa sial.""Ssstt.. jangan ngomong gitu Dania. Zora udah seperti putri ibu sendiri." Ibu Amina masih memeluk dan membelai rambut wanita yang kini masih menangis dalam pelukannya.Mengangkat wajahnya, ia bertanya. "Apa artinya aku harus nyerah Bu?" Tatap nanar Zora pada Ibu Amina.Ibu Amina hanya bisa menghela nafas, "Kamu yang harus bicarakan sama Julian. Ibu berdoa yang terbaik untuk kalian.""Maaf karna aku semua ini terjadi." Zora tidak bisa berhenti menyesal. Melihat Tuan Faisal yang kini terbaring dengan lemah dibantu tabung oksigen untuk bernafas. Ia pun pamit untuk mencari Julian. Dan langsung di ia kan oleh Ibu Amina. Zora melihat ponsel Julian tergeletak begitu saja di atas meja. Dan mulai mencarinya ke segala sisi dari Rumah Sakit.Tergopoh-gopoh, hari sudah mulai malam dan ia masih mencari sosok pria yang m