Mendengar apa yang diucapkan oleh Kenriki Laura terkejut, hingga ia buru-buru bangkit, dengan wajah yang merah menahan malu."Maaf...."Laura meminta maaf dengan suara tersendat.Kenriki tidak langsung bangkit meskipun istrinya sudah tidak lagi ada di atas tubuhnya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaannya. Rasa membara mampu memusnahkan perasaan traumanya akibat apa yang dilakukan Erna tadi padanya, ada apakah?Melihat sang suami masih terbaring begitu saja di lantai ruang kerjanya, Laura buru-buru ingin membantu, tapi Kenriki mencegah dengan isyarat, hingga wanita itu mengurungkan niatnya untuk mendekati sang suami kembali.Aku tadi sempat terpancing birahi karena sentuhan dia, perasaan itu membuat rasa takutku jadi sedikit hilang, ini baru saja kualami, apakah ini yang dimaksud Dokter Linda? Aku bisa sembuh kalau membiasakan diri bersentuhan dengan Laura?Hati Kenriki bicara demikian lalu perlahan ia bangkit meskipun sekujur tubuhnya masih terasa sangat lemas.Dia tadi memelukku, ak
"Aku ... Tidak menginginkan apapun asalkan kamu bisa melakukannya dengan baik...."Susah payah Laura mengatakan hal yang baginya sangat memalukan itu namun ia terpaksa harus melakukan karena memang hanya dengan cara itulah suaminya mungkin bisa merasa terpancing untuk bisa keluar dari rasa takutnya tersebut."Melakukannya dengan baik? Apakah kau bisa menjelaskan, melakukan dengan baik itu bagaimana? Mampu membuat kamu hamil, atau mampu membuat kamu puas?""Yang mana saja, asalkan kamu bisa melakukan itu dengan baik."Astaga, ada apa dengan wanita ini, kenapa dia semakin berani bicara seperti itu padaku? Apakah dia memang seperti ini atau karena dia cemburu? Hati Kenriki bicara demikian tanpa merespon perkataan Laura yang semakin lama semakin membuatnya tertekan. "Aku akan memikirkannya, kau pulanglah."Alhasil hanya itu yang diucapkan oleh Kenriki sesaat setelah ia tidak bicara sama sekali setelah Laura mengatakan hal itu padanya."Kau enggak bohong, kan?""Aku tidak mungkin melakuk
Setelah perdebatannya dengan sang ibu mertua, Laura minta izin untuk pulang ke rumah. Rumah yang diberikan oleh Kenriki meskipun tidak begitu besar tapi kondisinya jauh lebih baik daripada kondisi rumah mereka yang dulu. Saat Laura baru saja tiba di depan pintu pagar rumahnya, seorang tetangga menghampirinya. Menatap Laura dengan tatapan mata sinis bercampur jijik. "Tidak menyangka ya, wajah polos kamu itu ternyata menipu."Perempuan itu bicara demikian pada Laura, dan Laura tidak habis pikir apa maksud tetangganya sampai bisa bicara demikian padanya."Apa maksud Tante?" "Kamu melakukan pernikahan kontrak dengan orang kaya agar kamu bisa membeli rumah sebagus ini, kamu sadar tidak, tidak ada pernikahan kontrak dalam Islam, itu tidak boleh, kenapa kamu melakukannya?""Saya tidak melakukan pernikahan kontrak, pernikahan saya sah!""Lalu, kenapa tidak hamil juga? Kurasa sejak kalian beli rumah ini untuk orang tua kalian sudah lumayan lama, tapi kamu tidak hamil juga, mandul?"Laura ge
"Maaf, Ma. Aku memang pernah menyukai Pasha, tapi itu dulu, sekarang, aku hanya menganggap dia teman, dan yang bersamaku sekarang-lah yang aku sukai...."Dengan suara terbata, Laura merespon apa yang diucapkan oleh sang ibu. Meskipun ia merasa tidak enak, namun, ia sudah bertekad untuk tidak akan mengalah lagi. Banyak hal yang membuat ia memutuskan untuk tidak mengalah. Terutama kondisi Kenriki selain permintaan suaminya itu sendiri tentunya, dan Laura tahu apa yang ia putuskan pasti akan membuat ibu dan kakaknya akan menyalahkannya. "Jadi, kamu sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada kakakmu?" tanya sang ibu dengan nada suara yang datar. "Enggak semua hal yang diinginkan kakak selalu harus ia dapatkan, kan? Mama dan papa selalu mengajarkan aku untuk menerapkan kata-kata itu, kenapa enggak buat kakak? Apa karena kakak sakit? Kalau aku bilang, aku juga ingin sakit agar dapat perhatian kalian, apakah aku juga akan diperlakukan seperti kakak?"Karena terlalu kecewa,
"Gue susah nangkepnya, udahlah, yang ini aja, jantan sama betina apa bedanya sih? Mau dimakan juga!" semprot Ari, dan itu membuat Dewa geleng-geleng kepala. Ia menerima juga ayam yang diberikan oleh pria itu padanya, lalu setelah itu, ia pamit sebentar untuk ke dalam menyimpan ayam itu di dapur meninggalkan Kenriki yang masih tidak paham siapa Ari sebenarnya."Kenapa melototin gue macam itu?" tanya Ari ketika sadar Kenriki menatapinya terus menerus."Aku hanya penasaran, kenapa kau tadi bisa bicara seperti itu? Apakah kamu kenal aku? Baiklah mungkin kenal karena aku pebisnis, mungkin saja kamu juga seorang pebisnis, tapi aku benar-benar tidak terima dengan apa yang kau katakan tentangku, karena kurasa kau tidak tahu apa-apa tentang aku.""Gue itu tau karena dulu itu lu pernah ... Main sama salah satu-""Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu!" potong Kenriki, cepat. "Tapi kasus lu itu gue tau, tau semua, terus ngapain lu ke sini? Pengen minta Pak Tua bikin berita apa tentang lu?"
"Ya, aku tahu.""Jadi, kau paham masalahnya tidak sesederhana itu?""Aku tahu.""Lalu? Kau masih ingin aku melakukan hal ini?""Hanya itu jalan keluarnya, aku tidak meminta Kakak menulis kebohongan, tapi aku ingin Kakak menulis kebenaran tentang apa yang aku alami saat itu, meskipun ini sulit bagiku.""Ya, aku hargai itu, tapi tetap saja, masalahnya tidak sederhana, karena yang terlibat dalam kasus kamu itu bukan orang-orang yang mudah untuk dihadapi, kau paham itu, kan?""Iya, Kak....""Jadi bagaimana? Kau tetap ingin aku melakukannya?""Maaf, apakah ada cara lain selain melakukan apa yang aku inginkan?"Dewa terdiam, ia berpikir sejenak, berusaha untuk mencari jalan keluar tentang apa yang harusnya dilakukan jika tidak meloloskan permintaan Kenriki tentang keinginannya yang meminta dirinya untuk menulis berita yang dialami Kenriki.Sebenarnya, ia dahulu juga berniat melakukan hal itu, hanya saja itu tidak mudah dilakukan lantaran orang-orang yang terlibat dalam kasus Kenriki bukan or
"Maaf, aku tidak bisa meneruskannya...."Akhirnya, Kenriki menyerah untuk berusaha mengatasi dirinya saat ingin menceritakan semua yang pernah dialaminya pada Dewa. Keringatnya membanjir. Dan Dewa benar-benar melihat, Kenriki kepayahan. "Tidak apa-apa, seperti yang aku katakan tadi, untuk sekarang langkah awal kita harus mengawasi gerak-gerik Erna, ketika dia mulai melakukan apa yang kamu khawatirkan, barulah kita mulai beraksi, untuk sekarang, kamu tenangkan dulu dirimu, saranku cobalah kau terbuka pada anggota keluarga terdekat, kalau memang keluarga terdekatmu belum tahu kondisimu yang sebenarnya carilah salah satu yang sekiranya kau percaya untuk berbagi, itu sangat penting agar kamu memiliki kekuatan untuk bertahan."Dewa mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara yang serius. Kenriki hanya mengiyakan sebelum akhirnya pria itu pamit untuk pulang setelah mengatakan pada Dewa bahwa nanti jika ia kesulitan untuk berbagi langsung pada pria tersebut, ia akan menulis semuanya lewat
"Apa? Kau ingin obat penenang lagi? Tidak salah? Riki, pemberian obat itu tidak bisa diberikan sembarangan, kalau kau meminta hanya karena aku adalah doktermu, aku tidak bisa memberikannya.""Tapi kenapa? Kenapa tidak boleh? Aku adalah pasienmu, obat itu penting bagiku, kenapa tidak boleh?""Karena, apa yang dilakukan istrimu itu aku mendukungnya, kau sudah saatnya tidak lagi bergantung dengan obat, Riki, harus berubah.""Aku tidak bisa, Dokter. Aku kesulitan tanpa obat itu, di depan orang tuaku, di depan teman kerja, relasi bisnis, aku kesulitan tanpa obat itu, aku mohon, berikan obatnya, aku akan membayar dua kali lipat dari harga biasanya.""Bukan masalah harga, Riki! Ini masalah kamu bisa sembuh atau tidak, kau tidak akan sembuh kalau kau tidak belajar lepas dari obat itu, kau harus berusaha, istrimu mendukungmu, jadi kau harus berterima kasih padanya karena dia tahu obat itu tidak seharusnya kau konsumsi terus menerus!""Jadi, Dokter tidak mau memberikannya?""Maaf, untuk sekaran