"Maaf, aku tidak bisa meneruskannya...."Akhirnya, Kenriki menyerah untuk berusaha mengatasi dirinya saat ingin menceritakan semua yang pernah dialaminya pada Dewa. Keringatnya membanjir. Dan Dewa benar-benar melihat, Kenriki kepayahan. "Tidak apa-apa, seperti yang aku katakan tadi, untuk sekarang langkah awal kita harus mengawasi gerak-gerik Erna, ketika dia mulai melakukan apa yang kamu khawatirkan, barulah kita mulai beraksi, untuk sekarang, kamu tenangkan dulu dirimu, saranku cobalah kau terbuka pada anggota keluarga terdekat, kalau memang keluarga terdekatmu belum tahu kondisimu yang sebenarnya carilah salah satu yang sekiranya kau percaya untuk berbagi, itu sangat penting agar kamu memiliki kekuatan untuk bertahan."Dewa mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara yang serius. Kenriki hanya mengiyakan sebelum akhirnya pria itu pamit untuk pulang setelah mengatakan pada Dewa bahwa nanti jika ia kesulitan untuk berbagi langsung pada pria tersebut, ia akan menulis semuanya lewat
"Apa? Kau ingin obat penenang lagi? Tidak salah? Riki, pemberian obat itu tidak bisa diberikan sembarangan, kalau kau meminta hanya karena aku adalah doktermu, aku tidak bisa memberikannya.""Tapi kenapa? Kenapa tidak boleh? Aku adalah pasienmu, obat itu penting bagiku, kenapa tidak boleh?""Karena, apa yang dilakukan istrimu itu aku mendukungnya, kau sudah saatnya tidak lagi bergantung dengan obat, Riki, harus berubah.""Aku tidak bisa, Dokter. Aku kesulitan tanpa obat itu, di depan orang tuaku, di depan teman kerja, relasi bisnis, aku kesulitan tanpa obat itu, aku mohon, berikan obatnya, aku akan membayar dua kali lipat dari harga biasanya.""Bukan masalah harga, Riki! Ini masalah kamu bisa sembuh atau tidak, kau tidak akan sembuh kalau kau tidak belajar lepas dari obat itu, kau harus berusaha, istrimu mendukungmu, jadi kau harus berterima kasih padanya karena dia tahu obat itu tidak seharusnya kau konsumsi terus menerus!""Jadi, Dokter tidak mau memberikannya?""Maaf, untuk sekaran
"Ada apa, Laura!?" teriak Tante Keisya pada Laura dengan nada khawatir. "Ken, Ma, dia pingsan!" jawab Laura dengan suara yang keras. Apa yang dikatakan Laura membuat sangat ibu mertua terkejut, ia memberikan perintah pada Laura untuk menutupi tubuh Kenriki jika memang anaknya itu sedang tidak berpakaian. Laura melakukan apa yang diperintahkan sang ibu mertua. Mengeluarkan Kenriki dari bak mandi, meskipun wajahnya tidak karuan lantaran sang suami tidak berpakaian sama sekali. Namun, karena Laura khawatir dengan kondisi Kenriki, wanita itu mengacuhkan perasaan salah tingkah itu, sebab, bukan saatnya ia berpikir demikian. Akan tetapi, ketika ia berusaha untuk mengeluarkan Kenriki dari bak mandi untuk memberikan tubuh sang suami pakaian handuk, agar ibu mertua dan tukang kebunnya tidak melihat kondisi Kenriki yang tidak berpakaian, suara Kenriki terdengar dan Laura spontan menatap wajah sang suami yang matanya terbuka setelah tadi tertutup. "Pergi.... "Bibir Kenriki berucap demikia
Mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya, untuk sesaat Kenriki membeku. Ia yang sudah kesulitan mengatasi kondisinya yang sekarang semakin terasa sulit karena apa yang dikatakan oleh ibunya tentang bukti.Apa yang harus ia lakukan untuk membuat ibunya tidak curiga dan percaya kalau ia baik-baik saja?"Ma, Ken baik-baik saja, dia tadi cuma berendam, terlalu lelah, aku yang salah sangka, Mama enggak usah khawatir, aku akan membantunya untuk menyelesaikan mandinya."Mendengar apa yang diucapkan oleh Laura, Tante Keisya mengalihkan pandangannya sesaat pada menantunya tersebut, lalu kembali ke arah Kenriki yang masih menyembunyikan wajahnya di leher sang istri. Tidak peduli saat itu Laura kesulitan untuk mengatasi perasaan akibat ulahnya itu."Riki, kau dengar Mami?" katanya seolah menuntut sang anak untuk membuktikan padanya bahwa anaknya itu baik-baik saja.Perlahan, Kenriki mengangkat wajahnya yang sejak tadi ia sembunyikan di leher sang istri. Berharap, wajahnya tidak begitu kentara de
Ada yang sakit dirasakan Laura ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Kenriki, dan ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa merasakan hal itu segala ketika Kenriki bicara demikian, padahal ia sudah tahu apa yang dilakukan Kenriki bukan atas nama cinta. "Iya, aku tahu. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, kamu bebas melakukan apapun selagi itu bukan bentuk kekerasan, aku enggak masalah ...."Laura merespon apa yang diucapkan oleh Kenriki dan entah kenapa, Kenriki merasa nada suara Laura seperti seseorang yang sedang terluka. Untuk sesaat, ia menatap ke arah sang istri berusaha untuk memastikan bahwa ia memang tidak salah dengar, dan ia melihat wajah itu memang terlihat suram."Apakah kau benar-benar tidak keberatan?" tanyanya sekali lagi."Tidak.""Serius?"Laura mengangguk. Kenriki menghela napas."Keluarlah, aku akan menuntaskan mandiku," katanya pada akhirnya karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat raut wajah Laura tidak suram seperti itu lagi."Kamu enggak mau n
"Mith, aku nanya, lho, siapa yang sakit?" tanya Pasha dan itu membuat lamunannya buyar. "Ah, itu. Bukan Laura, yang sakit itu Lyoudra kakaknya, sakit leukimia, tapi udah sembuh alhamdulillah, makanya aku tahu tentang mereka meskipun kamu enggak cerita." Mitha buru-buru menjelaskan, dan Pasha manggut-manggut. Alhasil, Pasha memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan mereka nanti saat Mitha break, dan Mitha menyetujui. Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka sekarang ada di taman belakang rumah sakit yang tempatnya cukup nyaman jika dibuat untuk bicara.Sebenarnya, Pasha mengajak wanita itu untuk ke kantin agar Mitha bisa sekalian makan, namun Mitha menolak lantaran ia membawa bekal, dan Pasha pun tidak sedang lapar jadilah mereka hanya di taman itu untuk bicara. "Ada apa?" tanya Mitha sambil menatap pemuda itu untuk sesaat."Aku ketemu Laura beberapa hari yang lalu, dan katanya dia udah nikah, tapi kenapa aku ngerasa dia kayak enggak bahagia gitu, ya?" Mitha menghela napas mendeng
"Kamu serius?" tanya Mitha seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Pasha. "Aku dengar begitu."Benarkah? Kenriki terjebak pergaulan bebas di luar negeri, sampai dia menderita sindrom seperti itu?Hati Mitha bicara demikian setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Pasha padanya. "Ada apa? Kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Pasha dan pertanyaan itu membuat Mitha jadi tergagap."Eem, kamu perhatian banget sama Laura, aku sekarang tahu kamu tulus sama dia.""Aku bukan mau mendoakan pernikahan mereka gagal, lho. Aku cuma mau dia bahagia, karena kalau bisa pernikahan itu harus dilakukan sekali dalam seumur hidup.""Iya, semua juga berpikir begitu, tapi terkadang takdir berbeda dengan apa yang kita mau.""Tapi kan manusia bisa berusaha untuk tidak mempermainkan pernikahan?""Iya, seharusnya begitu, kamu ngomong begini emangnya kamu mau bilang pernikahan Laura dengan suaminya itu permainan?""Entahlah.....""Bicara aja! Kamu mau pergi ke laut, tapi kamu masih punya sesuatu yan
"Apa maksudmu dengan pernikahan sandiwara? Laura dan suaminya?""Iya! Mereka menikah bukan karena saling mencintai, tapi karena ingin membuat aku sembuh dari penyakitku ini, kamu kan tau, biaya berobat itu mahal, kami mana punya biaya untuk berobat. Laura menikah dengan Kenriki, karena aku, Sha, jadi sudah saatnya aku membalas kebaikan dia, aku mohon, bantu aku untuk membuat mereka berpisah...."Lyoudra berusaha untuk memasang wajah se-sedih mungkin, agar Pasha percaya bahwa ia sekarang benar-benar peduli dengan Laura. Dan alhasil, Pasha terpengaruh. Raut suram yang ia lihat ketika Laura bertemu dengannya tempo hari adalah bahan pertimbangan Pasha. Laura pasti tidak bahagia dengan pernikahannya sekarang. "Baiklah, aku akan mencoba, tapi ada yang bilang kamu ini suka dengan suami Laura, apakah itu benar? Jangan-jangan, kamu mengatakan hal seperti hanya untuk merebut suami Laura? Mengarang cerita tentang pernikahan palsu mereka?"Mengingat Lyoudra wanita yang penuh racun, Pasha bicara
"Iya, kamu benar, aku juga berharap seperti itu, lagipula apa yang bisa kita takutkan? Anak ini anak kita, dites berapa kali juga tetap saja anak kita."Kenriki menarik napas lega mendengar ucapan sang istri, artinya istrinya tidak lagi merasa tertekan karena situasi yang baru saja mereka alami. Genggaman tangannya di telapak tangan istrinya semakin erat seolah menegaskan, ia tidak akan meninggalkan istrinya apapun keadaannya nanti di masa depan. "Aku tadi sedikit terkejut mendengar kata-kata kamu tadi pada Kak Lyoudra, seperti bukan kamu, tapi aku tahu kamu melakukan itu karena kamu ingin membuat kakakmu sadar sudah terlalu berlebihan pada kita."Kenriki bicara, dan Laura tersenyum tipis mendengarnya."Kamu juga, enggak seperti biasanya, merespon perkataan dia yang tadi, aku cuma mengimbangi, karena kurasa kamu sedang merencanakan sesuatu jadi aku hanya ikut saja meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu rencanakan.""Istri cerdas. Terima kasih, dan semoga saja itu membuat K
Telapak tangan Laura mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh sang kakak, jika tadi ia berniat untuk diam saja tanpa ingin ikut campur apa yang mungkin menjadi rencana Kenriki, sekarang, Laura sudah hilang kesabaran. Mungkin Kenriki yang merespon cemoohan kakaknya itu benar kakaknya memang harus sekali-kali dijawab dengan sombong agar perempuan itu juga bisa menghargai ia dan suaminya mulai sekarang."Untuk Kenriki, aku memang menanggalkan semua perasaan malu atau pasifku selama ini, Kak! Kalau aku tidak berinisiatif untuk menyentuhnya, dengan berbagai cara, aku tidak akan membuat dia bisa disentuh, mungkin selamanya dia tetap menjadi suami tak tersentuh, jadi untuk sebuah hal yang mendesak, aku memang tidak seperti Laura yang biasanya, tapi bukankah itu baik? Aku agresif pada suamiku sendiri!"Kenriki dan juga Lyoudra dibuat kaget ketika tiba-tiba saja, Laura bicara seperti itu pada Lyoudra. Apalagi Lyoudra, ia terlihat tidak hanya kaget, tapi juga merasa marah karena wajahnya jadi
"Kamu serius?" tanya Kenriki saat usai mendengar harapan sang istri.Laura mengangguk, dan Kenriki tersenyum melihat anggukan kepala istrinya."Kau tidak malu kalau ada yang bilang aku aneh karena aku yang seperti itu?" Kembali Kenriki melontarkan pertanyaan, dan Laura memeluk tubuh Kenriki yang masih polos seolah meyakinkan apa yang ia putuskan benar -benar sebuah harapan yang ia inginkan."Tapi, kalau aku ingin kamu seperti itu, aku pasti akan membuat kamu tersiksa, jadi semua aku kembalikan sama kamu, di luar dari pada itu tentu saja kamu yang sehat adalah sebuah harapan untukku, keinginan aku itu hanya sebuah keinginan bahwa aku tidak rela ada perempuan lain yang merebut kamu dariku."Laura bicara sambil memeluk suaminya, dan Kenriki balas memeluk sang istri sambil sesekali mengecup kening istrinya seolah menegaskan bahwa ia senang dengan apa yang diucapkan oleh Laura padanya."Sebenarnya, apa yang kamu harapkan itu pernah aku pikirkan sebelumnya....""Benarkah? Kau juga berharap
Kenriki gugup, hingga hal itu membuat dirinya langsung menangkap tangan istrinya lalu ia membalikkan tubuhnya ke arah sang istri. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya seperti orang bodoh dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal, mereka sudah sering melakukan hal yang sangat intim namun tetap saja Kenriki seperti baru berdekatan dengan sang istri dengan perasaan dan hati yang tidak tenang, disertai debaran jantung yang juga tidak bisa membuat dirinya rileks."Melakukan tugas yang harus aku lakukan...."Laura menjawab dengan wajah yang merona, dan Kenriki geleng-geleng kepala mendengar hal itu. "Tidak perlu memaksakan diri, kamu tertekan dengan situasi sekarang yang tidak memungkinkan kita untuk -""Riki! Laura! Kalian di dalam?"Tiba-tiba saja, suara Tante Keisya terdengar, memotong ucapan Kenriki yang tadi sudah separuh kalimat. "Ya! Ada apa, Mi!" sahut Kenriki dengan suara sedikit terbata lantaran terkejut ibunya tiba-tiba berteriak. "Mami mau nyusul Papi dulu, ada yang harus k
"Soal apa itu?" tanya Kenriki dengan wajah yang terlihat tegang. Tidak ingin melihat istrinya khawatir seperti itu.Mendengar pertanyaan Kenriki, Laura bukannya langsung menjawab, perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah lain menghindari tatapan mata suaminya yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam karena khawatir dengan apa yang diucapkannya tadi."Sayang, kenapa tidak bicara? Kamu khawatir soal apa? Apakah karena obat itu, Erna menekan kamu?" tanya Kenriki lagi dan pertanyaan keduanya kini membuat Laura menatapnya sesaat dengan wajah yang terlihat sedikit salah tingkah. Membuat Kenriki semakin penasaran."Wajahmu merah, apakah yang kau khawatirkan itu bukan hal yang berbahaya tapi.....""Ah! Tidak! Aduh, gimana ya, ngomongnya, aku enggak tahu, apakah aku harus percaya atau tidak, tapi mungkin untuk masalah ini, kita bisa konsultasikan pada Dokter Linda kalau kita sudah punya uang.""Sampai harus konsultasi? Memangnya ada apa? Apa yang dikatakan Erna padamu?" Kenr
"Ya.""Kamu serius?""Serius, tapi, bukannya kamu sekarang enggak suka lagi sama aku? Percuma aja, kan? Lupakan aja.""Aku selalu suka sama kamu, Erna, meskipun kamu tidak menyukaiku karena di hatimu hanya ada Riki, tapi buat aku kamu tetap seseorang yang aku sukai.""Kenapa? Aku sudah banyak membuat kesalahan, aku bikin hidup Kenriki rusak, aku juga membuat perusahaan orang tuanya bangkrut, aku, ah! Kamu akan malu kalau kamu bersama dengan aku.""Asalkan kamu berubah, aku tidak akan malu, kamu sudah menyerahkan obat penawar itu pada Riki, artinya, kamu sudah berubah dan sadar kesalahan, sekarang, tiba waktunya kamu belajar melupakan dia, karena masih ada seseorang yang tulus untuk kamu."Erna bungkam. Perasaan dan hatinya bergejolak, rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, sampai akhirnya...."Kalau begitu, apakah sekarang kita jadian?" tanya Erna sambil berpaling dan menatap wajah Sakti dengan sorot mata penuh arti."Asalkan kamu berjanji untuk merelakan Riki dengan Laura.
Keterkejutan Sakti membuat pria itu mendorong spontan Erna. Dan itu membuat tubuh Erna tersentak ke belakang. Ini membuat Erna memalingkan wajahnya sendiri karena merasa wajahnya memanas, dan ia khawatir wajahnya menjadi merah dan Sakti melihat hal itu.Erna tidak tahu, bahwa, kondisi wajahnya itu juga dialami oleh Sakti. Wajah Sakti juga merah dan saat ini pria itu juga sedang memalingkan wajahnya ke arah samping seperti halnya Erna. Untuk beberapa saat, mereka saling diam, sampai akhirnya, Sakti yang berdehem beberapa kali agar situasi canggung mereka bisa musnah."Kenapa kau melakukan itu?" Cara bicara Sakti berubah kembali menjadi memakai aku dan kamu meskipun tadi sudah tidak lagi walaupun Erna meminta hal itu dilakukannya. Erna berpaling mendengar pertanyaan tersebut, terutama karena Sakti jadi merubah cara bicaranya seperti yang tadi diinginkannya."Ternyata benar...."Jawaban yang diberikan oleh Erna tidak membuat Sakti puas, bahkan bingung apa yang sebenarnya dimaksud oleh
Sebuah mobil nyaris menabrak Erna hingga pemilik mobil itu menghentikan mobilnya secara mendadak. Bunyi decit ban beradu keras dengan aspal jalan terdengar memekakkan telinga tatkala mobil itu berusaha untuk mencegah kecelakaan terjadi. Mobil itu memang tidak menabrak Erna, namun cukup membuat pengemudi mobil shock karena insiden tersebut lalu ia segera keluar dari mobilnya untuk mendamprat Erna, karena berjalan tanpa melihat situasi kondisi.Akan tetapi, ketika ia keluar dan menghampiri Erna yang berdiri mematung seperti orang bodoh di tempatnya, pemilik mobil itu terkejut saat melihat siapa yang baru saja ingin ditabraknya."Erna!" katanya, sambil menarik tangan perempuan itu untuk menyingkir dari depan mobilnya.Erna mengangkat wajahnya, dan menatap pemilik mobil yang tidak lain adalah Sakti itu dengan senyum kecut terukir di bibirnya. "Kenapa enggak ditabrak sekalian? Aku nunggu, lho...."Mendengar apa yang diucapkan oleh Erna, Sakti semakin terkejut karena terlihat sekali Erna
Erna tersenyum kecut mendengar ancaman yang diucapkan oleh Laura padanya. Wajahnya tidak berubah sama sekali ekspresinya, meskipun sebenarnya wanita itu tidak suka mendengar apa yang diucapkan oleh Laura tadi padanya."Jadi, kau tetap kukuh mendukung Riki untuk tidak mau memilih salah satu tawaran yang aku berikan padanya?" tanya Erna beberapa saat kemudian."Ya.""Bagaimana kalau nanti resiko dari apa yang diputuskan Kenriki terjadi padanya, kau tidak bisa puas dengan dia secara batin karena dia sudah hilang keperkasaan, apakah kau akan meninggalkan dia?""Tidak, karena aku mencintai dia dengan tulus tanpa mengharapkan balasan apapun, meskipun keadaan dia tidak lagi sempurna sebagai seorang pria, aku tetap tidak akan meninggalkannya.""Kau bisa bicara seperti itu karena belum merasakan berpuasa tanpa melakukan hubungan intim, Laura, aku yakin setelah itu juga kau tidak akan kuat menjalani semuanya, dan pernikahan kalian akan berantakan hingga membuat Kenriki terpuruk semakin dalam."