"Siapa aja kagak masalah si sebenarnya, Ahmad merasa bertanggung jawab karena Mitha celaka sebabnya dia lalai walaupun ini gara-gara Lampir itu, Rei bertanggung jawab karena dia partner Mitha, yang mana dia pasti disorot kalau ada sesuatu yang terjadi sama Mitha."Rick yang menjawab pertanyaan Ahmad, dan Rei setuju dengan apa yang diucapkan oleh Rick. Siapapun itu tidak masalah, namun, apakah Mitha tidak marah jika ia justru tidak mematuhi lagi aturan yang dibuat perempuan itu sebelum menjadi partnernya?Beberapa saat kemudian Rei dan Rick akhirnya masuk ke dalam ruang di mana Mitha dirawat ketika suster sudah memindahkan Mitha dari ruang IGD ke ruang rawat inap. Sementara itu, Ahmad yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Mitha segera melakukan tanggungjawabnya di bagian administrasi. Membiarkan keduanya masuk lebih dulu menengok baru kemudian dirinya.Mitha baru siuman ketika Rei dan Rick sudah beberapa saat di dalam ruangan di mana ia dirawat. Rei mencegah saat Mitha ingin
Ahmad memotong ucapan Mitha yang kukuh mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Dan kini Mitha terdiam mendengar perkataan dokter tersebut."Kagak papa, Mith, kagak perlu banyak mikir, gue ikhlas asal itu buat kebaikan lu, gue hubungi laki lu dulu, ya?" kata Rei setelah Mitha tidak kunjung bicara. "Enggak perlu, kalau nanti setelah rontgen ada sesuatu yang fatal, aku sendiri yang ngomong sama dia, sekarang dia sedang di luar kota, medannya sulit, mengabarkan kondisiku sekarang akan membuat dia tidak bisa bekerja dengan baik, buru-buru pulang juga bukan sesuatu yang baik, lebih baik nanti saja."Mitha tetap mencegah apa yang ingin dilakukan oleh Rei, hingga Rei menatapnya dengan sorot mata yang serius."Lu yakin?""Ya."Rei berpaling pada Ahmad dan juga Rick, namun kedua pria itu juga tidak bisa berbuat banyak, karena memang jika Mitha sudah membuat keputusan, perempuan itu akan sulit merubah keputusannya kembali karena keputusan yang diambil bukan sebuah hasil dari pemikiran yang ter
"Sayang, mungkin wajar kamu khawatir tentang efek obat yang diberikan paksa sama kamu itu, aku juga khawatir, tapi aku sudah meyakinkan hati, apapun yang terjadi, aku tidak pernah menyesal sudah jatuh cinta padamu, pernikahan itu bukan ajang mencari kesempurnaan pasangan, kan? Aku yang pasif begini juga kamu terima dengan baik, jadi kamu enggak perlu khawatir tentang perasaanku yang mungkin bisa berubah karena sesuatu yang tidak nyaman bisa saja terjadi lantaran perbuatan mereka itu padamu.""Aku yang tidak nyaman, bagaimanapun, nafkah batin sama pentingnya dengan nafkah lahir, kalau aku tidak bisa memberikan nafkah batin padamu, sebagai pria aku benar-benar merasa tidak berguna untuk kamu.""Jadi, apakah ada alternatif yang bisa untuk dijadikan pencegahan resiko itu?" tanya Laura sambil menatap wajah Kenriki dengan ekspresi wajah yang sangat serius."Obat penawar itu kurasa solusinya.""Dengan kata lain, apa yang dikatakan Erna itu benar? Hanya dengan menikah dengan dia, kamu bisa me
Kenriki tersentuh mendengar apa yang diucapkan oleh sang istri. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkannya selain menggenggam jemari tangan istrinya dengan erat pertanda ia menyukai apa yang diucapkan oleh wanita itu meskipun hatinya sekarang sangat gelisah. Mereka akhirnya meninggalkan tempat tersebut untuk pulang, karena tanggung jawab Kenriki masih menunggu keesokan harinya, menengok Lyoudra setelah ia sudah diizinkan untuk pulang dari rumah sakit. Sementara itu, Sakti dan Pak Erwin sudah tiba di rumah besar milik Pak Erwin.Sakti dibawa ke lantai atas untuk bertemu dengan Erna. Sebelum masuk ke dalam kamar Erna, Sakti diminta Pak Erwin untuk tidak boleh terlalu mendesak Erna jika sekiranya anaknya itu seperti tertekan. Hanya untuk menghindari Erna mengamuk dan mengancam untuk bunuh diri kembali seperti sebelumnya meskipun penjagaan diperketat setelah insiden tempo hari, namun, tetap saja waspada adalah hal yang ditekankan untuk semua yang berinteraksi dengan Erna oleh Pak Erwin.
"Benar, sudah cukup penderitaan yang kamu berikan pada Kenriki, kau tidak kasihan padanya?""Tidak! Aku tidak mau!" "Erna, kau sendiri yang bilang saat kau melihat Riki pingsan, kau sangat cemas dan khawatir, itu artinya, kau menyesali semua yang pernah kamu lakukan padanya, bukan?""Iya, memang benar, tapi aku enggak mau ngasih obat itu lewat orang lain! Aku mau Riki sendiri yang datang ke sini dan memintanya dariku!""Itu tidak mungkin dilakukannya, dia tidak bisa berdekatan dengan perempuan lain selain istrinya, kau melupakan bahwa dia trauma?""Kalau dia terbiasa denganku, dia tidak akan kesulitan, Pi! Istrinya tiap hari bertemu dengannya, wajar dia tidak ketakutan, aku juga yakin nanti denganku dia juga akan terbiasa!""Kau tidak mau patuh dengan apa yang Papi katakan padamu?""Aku patuh tapi aku ingin dia yang datang sendiri bukan diwakilkan oleh orang lain!""Apakah ada jaminan bahwa lu memberikan obat itu kalau Kenriki yang langsung menemui lu?"Kali ini yang bicara Sakti, da
"Iya, seperti yang saya katakan tadi, ini semua ada risikonya, jadi Anda bisa memilih salah satu dari dua alternatif tersebut dan saya yakin pilihan Anda sebuah pilihan yang sudah dipikirkan dengan baik."Pak Erwin hanya bisa manggut-manggut mendengar apa yang diucapkan oleh dokter yang mengawasi anaknya tersebut. Apa yang harus ia putuskan sekarang? Semua keputusan ada risikonya dan ia harus memutuskan karena jika tidak, akan ada Kenriki atau Erna yang mendapatkan sesuatu yang tidak baik dari masalah yang sekarang membelit mereka."Apa yang akan Om lakukan sekarang? Apakah Om sudah memutuskan dari dua pilihan yang diajukan oleh dokter tadi?"Ketika sang dokter sudah keluar dari kamar di mana Erna berada, Sakti melontarkan pertanyaan itu pada ayah Erna dan ibunya Erna juga menanti jawaban apa yang akan diucapkan oleh suaminya terkait pertanyaan Sakti dan dua pilihan yang diberikan oleh dokter anak mereka."Menuruti apa kata Erna, akan membuat kondisi Kenriki menjadi semakin parah, aku
"Ya, begitu kira-kira, karena Kenriki sedang masa pemulihan, oleh sebab itu ia tidak boleh tertekan dan merasa terancam, kau harus patuh untuk aturan itu Lyoudra, jangan menambah masalah lagi, paham?""Sial, kalau dia merawatku tapi ditempeli Laura buat apa? Aku tidak bisa berduaan juga dengan Kenriki, membosankan banget!"Lyoudra memaki demikian dengan suara yang pelan, ia berpikir suaranya tidak didengar oleh yang lain padahal itu salah, Laura mendengar, tapi pura-pura tak mendengar karena tidak mau membuat situasi kacau, Lyoudra tidak sadar hal itu dan ia mengarahkan pandangannya pada Kenriki yang mengalihkan tatapannya setiap kali sang kakak ipar memandang wajahnya. Membuat Lyoudra semakin sebal karena Kenriki selalu menghindari kontak mata dengannya."Ya, udah. Tapikan Laura itu lagi hamil muda emangnya enggak capek ikut ke rumah sakit terus? Mending di rumah aja, aku juga enggak mungkin gangguin pria yang sudah buat hamil saudaraku sendiri.""Kenriki ke sini saat dia usai kerja,
Bisikan Lyoudra cukup terdengar jelas di telinga Kenriki dan itu membuat sekujur tubuh Kenriki seolah membeku.Gerakan tangannya terhenti seketika, Kenriki ingin menarik tangannya yang mulai membersihkan keringat di wajah sang kakak ipar, tapi melihat gelagat Kenriki yang ingin menarik tangannya, satu tangan Lyoudra di bawah perlahan menyentuh paha Kenriki yang terlapisi celana kain berwarna hitam yang dipakainya untuk bekerja, sentuhan itu tidak diam di tempat. Jemari Lyoudra perlahan melakukan usapan lembut di sana, ini membuat Kenriki bergerak mundur namun posisinya tertahan dengan tiang infus dan peralatan kemoterapi hingga gerakan mundur yang dilakukan oleh Kenriki tidak membuat posisi mereka jadi berjauhan agar jemari tangan sang kakak ipar tidak mengenai pahanya."Jawab, Riki, kau tidak menikmati apa yang dilakukan oleh Laura padamu, bukan?" Kembali Lyoudra berbisik disertai jemari tangannya yang semakin jauh mengelus permukaan celana yang dikenakan Kenriki hingga kini jemari
"Iya, kamu benar, aku juga berharap seperti itu, lagipula apa yang bisa kita takutkan? Anak ini anak kita, dites berapa kali juga tetap saja anak kita."Kenriki menarik napas lega mendengar ucapan sang istri, artinya istrinya tidak lagi merasa tertekan karena situasi yang baru saja mereka alami. Genggaman tangannya di telapak tangan istrinya semakin erat seolah menegaskan, ia tidak akan meninggalkan istrinya apapun keadaannya nanti di masa depan. "Aku tadi sedikit terkejut mendengar kata-kata kamu tadi pada Kak Lyoudra, seperti bukan kamu, tapi aku tahu kamu melakukan itu karena kamu ingin membuat kakakmu sadar sudah terlalu berlebihan pada kita."Kenriki bicara, dan Laura tersenyum tipis mendengarnya."Kamu juga, enggak seperti biasanya, merespon perkataan dia yang tadi, aku cuma mengimbangi, karena kurasa kamu sedang merencanakan sesuatu jadi aku hanya ikut saja meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu rencanakan.""Istri cerdas. Terima kasih, dan semoga saja itu membuat K
Telapak tangan Laura mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh sang kakak, jika tadi ia berniat untuk diam saja tanpa ingin ikut campur apa yang mungkin menjadi rencana Kenriki, sekarang, Laura sudah hilang kesabaran. Mungkin Kenriki yang merespon cemoohan kakaknya itu benar kakaknya memang harus sekali-kali dijawab dengan sombong agar perempuan itu juga bisa menghargai ia dan suaminya mulai sekarang."Untuk Kenriki, aku memang menanggalkan semua perasaan malu atau pasifku selama ini, Kak! Kalau aku tidak berinisiatif untuk menyentuhnya, dengan berbagai cara, aku tidak akan membuat dia bisa disentuh, mungkin selamanya dia tetap menjadi suami tak tersentuh, jadi untuk sebuah hal yang mendesak, aku memang tidak seperti Laura yang biasanya, tapi bukankah itu baik? Aku agresif pada suamiku sendiri!"Kenriki dan juga Lyoudra dibuat kaget ketika tiba-tiba saja, Laura bicara seperti itu pada Lyoudra. Apalagi Lyoudra, ia terlihat tidak hanya kaget, tapi juga merasa marah karena wajahnya jadi
"Kamu serius?" tanya Kenriki saat usai mendengar harapan sang istri.Laura mengangguk, dan Kenriki tersenyum melihat anggukan kepala istrinya."Kau tidak malu kalau ada yang bilang aku aneh karena aku yang seperti itu?" Kembali Kenriki melontarkan pertanyaan, dan Laura memeluk tubuh Kenriki yang masih polos seolah meyakinkan apa yang ia putuskan benar -benar sebuah harapan yang ia inginkan."Tapi, kalau aku ingin kamu seperti itu, aku pasti akan membuat kamu tersiksa, jadi semua aku kembalikan sama kamu, di luar dari pada itu tentu saja kamu yang sehat adalah sebuah harapan untukku, keinginan aku itu hanya sebuah keinginan bahwa aku tidak rela ada perempuan lain yang merebut kamu dariku."Laura bicara sambil memeluk suaminya, dan Kenriki balas memeluk sang istri sambil sesekali mengecup kening istrinya seolah menegaskan bahwa ia senang dengan apa yang diucapkan oleh Laura padanya."Sebenarnya, apa yang kamu harapkan itu pernah aku pikirkan sebelumnya....""Benarkah? Kau juga berharap
Kenriki gugup, hingga hal itu membuat dirinya langsung menangkap tangan istrinya lalu ia membalikkan tubuhnya ke arah sang istri. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya seperti orang bodoh dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal, mereka sudah sering melakukan hal yang sangat intim namun tetap saja Kenriki seperti baru berdekatan dengan sang istri dengan perasaan dan hati yang tidak tenang, disertai debaran jantung yang juga tidak bisa membuat dirinya rileks."Melakukan tugas yang harus aku lakukan...."Laura menjawab dengan wajah yang merona, dan Kenriki geleng-geleng kepala mendengar hal itu. "Tidak perlu memaksakan diri, kamu tertekan dengan situasi sekarang yang tidak memungkinkan kita untuk -""Riki! Laura! Kalian di dalam?"Tiba-tiba saja, suara Tante Keisya terdengar, memotong ucapan Kenriki yang tadi sudah separuh kalimat. "Ya! Ada apa, Mi!" sahut Kenriki dengan suara sedikit terbata lantaran terkejut ibunya tiba-tiba berteriak. "Mami mau nyusul Papi dulu, ada yang harus k
"Soal apa itu?" tanya Kenriki dengan wajah yang terlihat tegang. Tidak ingin melihat istrinya khawatir seperti itu.Mendengar pertanyaan Kenriki, Laura bukannya langsung menjawab, perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah lain menghindari tatapan mata suaminya yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam karena khawatir dengan apa yang diucapkannya tadi."Sayang, kenapa tidak bicara? Kamu khawatir soal apa? Apakah karena obat itu, Erna menekan kamu?" tanya Kenriki lagi dan pertanyaan keduanya kini membuat Laura menatapnya sesaat dengan wajah yang terlihat sedikit salah tingkah. Membuat Kenriki semakin penasaran."Wajahmu merah, apakah yang kau khawatirkan itu bukan hal yang berbahaya tapi.....""Ah! Tidak! Aduh, gimana ya, ngomongnya, aku enggak tahu, apakah aku harus percaya atau tidak, tapi mungkin untuk masalah ini, kita bisa konsultasikan pada Dokter Linda kalau kita sudah punya uang.""Sampai harus konsultasi? Memangnya ada apa? Apa yang dikatakan Erna padamu?" Kenr
"Ya.""Kamu serius?""Serius, tapi, bukannya kamu sekarang enggak suka lagi sama aku? Percuma aja, kan? Lupakan aja.""Aku selalu suka sama kamu, Erna, meskipun kamu tidak menyukaiku karena di hatimu hanya ada Riki, tapi buat aku kamu tetap seseorang yang aku sukai.""Kenapa? Aku sudah banyak membuat kesalahan, aku bikin hidup Kenriki rusak, aku juga membuat perusahaan orang tuanya bangkrut, aku, ah! Kamu akan malu kalau kamu bersama dengan aku.""Asalkan kamu berubah, aku tidak akan malu, kamu sudah menyerahkan obat penawar itu pada Riki, artinya, kamu sudah berubah dan sadar kesalahan, sekarang, tiba waktunya kamu belajar melupakan dia, karena masih ada seseorang yang tulus untuk kamu."Erna bungkam. Perasaan dan hatinya bergejolak, rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, sampai akhirnya...."Kalau begitu, apakah sekarang kita jadian?" tanya Erna sambil berpaling dan menatap wajah Sakti dengan sorot mata penuh arti."Asalkan kamu berjanji untuk merelakan Riki dengan Laura.
Keterkejutan Sakti membuat pria itu mendorong spontan Erna. Dan itu membuat tubuh Erna tersentak ke belakang. Ini membuat Erna memalingkan wajahnya sendiri karena merasa wajahnya memanas, dan ia khawatir wajahnya menjadi merah dan Sakti melihat hal itu.Erna tidak tahu, bahwa, kondisi wajahnya itu juga dialami oleh Sakti. Wajah Sakti juga merah dan saat ini pria itu juga sedang memalingkan wajahnya ke arah samping seperti halnya Erna. Untuk beberapa saat, mereka saling diam, sampai akhirnya, Sakti yang berdehem beberapa kali agar situasi canggung mereka bisa musnah."Kenapa kau melakukan itu?" Cara bicara Sakti berubah kembali menjadi memakai aku dan kamu meskipun tadi sudah tidak lagi walaupun Erna meminta hal itu dilakukannya. Erna berpaling mendengar pertanyaan tersebut, terutama karena Sakti jadi merubah cara bicaranya seperti yang tadi diinginkannya."Ternyata benar...."Jawaban yang diberikan oleh Erna tidak membuat Sakti puas, bahkan bingung apa yang sebenarnya dimaksud oleh
Sebuah mobil nyaris menabrak Erna hingga pemilik mobil itu menghentikan mobilnya secara mendadak. Bunyi decit ban beradu keras dengan aspal jalan terdengar memekakkan telinga tatkala mobil itu berusaha untuk mencegah kecelakaan terjadi. Mobil itu memang tidak menabrak Erna, namun cukup membuat pengemudi mobil shock karena insiden tersebut lalu ia segera keluar dari mobilnya untuk mendamprat Erna, karena berjalan tanpa melihat situasi kondisi.Akan tetapi, ketika ia keluar dan menghampiri Erna yang berdiri mematung seperti orang bodoh di tempatnya, pemilik mobil itu terkejut saat melihat siapa yang baru saja ingin ditabraknya."Erna!" katanya, sambil menarik tangan perempuan itu untuk menyingkir dari depan mobilnya.Erna mengangkat wajahnya, dan menatap pemilik mobil yang tidak lain adalah Sakti itu dengan senyum kecut terukir di bibirnya. "Kenapa enggak ditabrak sekalian? Aku nunggu, lho...."Mendengar apa yang diucapkan oleh Erna, Sakti semakin terkejut karena terlihat sekali Erna
Erna tersenyum kecut mendengar ancaman yang diucapkan oleh Laura padanya. Wajahnya tidak berubah sama sekali ekspresinya, meskipun sebenarnya wanita itu tidak suka mendengar apa yang diucapkan oleh Laura tadi padanya."Jadi, kau tetap kukuh mendukung Riki untuk tidak mau memilih salah satu tawaran yang aku berikan padanya?" tanya Erna beberapa saat kemudian."Ya.""Bagaimana kalau nanti resiko dari apa yang diputuskan Kenriki terjadi padanya, kau tidak bisa puas dengan dia secara batin karena dia sudah hilang keperkasaan, apakah kau akan meninggalkan dia?""Tidak, karena aku mencintai dia dengan tulus tanpa mengharapkan balasan apapun, meskipun keadaan dia tidak lagi sempurna sebagai seorang pria, aku tetap tidak akan meninggalkannya.""Kau bisa bicara seperti itu karena belum merasakan berpuasa tanpa melakukan hubungan intim, Laura, aku yakin setelah itu juga kau tidak akan kuat menjalani semuanya, dan pernikahan kalian akan berantakan hingga membuat Kenriki terpuruk semakin dalam."