66Ketegangan menyelimuti, sebelum Mentari bergegas menghampiri wanita sepuh yang masih menatapnya dan Samudra dengan wajah tak bersahabat. Diraihnya tangan wanita itu lalu diciumnya takzim.“Nenek, kenapa ada di sini?” tanyanya dengan menatap sebentar. Tak berani menantang mata sang mertua yang seakan tengah mengulitinya.Tidak ada jawaban dari mulut wanita sepuh itu. Melainkan tatapan yang terus menghujam tajam berganti-gantian antara dirinya dan Samudra.“Kenapa tidak memberitahu Nenek jika ayahmu sakit?” Kalimat pertanyaan yang akhirnya terlontar dari mulutnya setelah puas memindai anak dan menantunya. Suaranya sangat jelas jika ia menuntut.Mentari menunduk dan memilin jemarinya. Sungguh ia tidak mau merepotkan ibu mertuanya. Apalagi hubungannya dengan Samudra kini sudah di ujung tanduk.“Sam, kenapa tidak memberitahu Ibu?” Nenek Widya yang tidak pernah dijauhi asistennya itu kini mengalihkan pandang terhadap anaknya.“Pak Bumi sampai koma seperti ini, dan di antara kalian tidak
67“Kak Bima?” Kening Mentari berkerut mendapati laki-laki usia tiga puluhan itu berada di sana. Bukan apa-apa, ia tidak pernah mengatakan tempat tinggalnya karena Bima juga tidak pernah bertanya.“Dek Violet, kamu tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan ngos-ngosan begitu tiba di hadapannya. Raut cemas berpendar di sana.Mentari mengerjap dan memicing.“Kak Bi-ma, ke-napa ada di sini?” tanyanya bingung seraya mengedarkan pandangan. Seingatnya ia tudak pernah mengatakan tempat tinggalnya.“Saya mengkhawatirkanmu, Dek. Nomormu tidak aktif dan kamu tak kunjung mengirim e-mail. Padahal kamu sudah berjanji tadi.”Mentari tertegun. Ia baru ingat jika tadi berjanji. Namun, banyak kejadian dialaminya sejak kepulangannya bertemu Bima, membuatnya jangankan teringat janji itu. Dari pertemuan dengan Bastian yang akhirnya memaksanya mengantar hingga dirinya dituduh dan dianiaya Novita. Lalu mendapati ibu tiri keluar dari apartemen Samudra dan terakhir berita sakitnya sang ayah.Belum lagi menyamb
68Plak!Sebuah tamparan Mentari daratkan di pipi Samudra setelah berhasil melepaskan diri. Beberapa saat lamanya ia meronta hingga akhirnya dapat terlepas setelah menggigit lidah sang pria. Tatapan nyalang pun ia hujamkan setelahnya. Lalu dengan dada bergerak cepat, ia memekik.“Aku benci Om Sam!”Setelah sekali lagi tatapan itu terhujam, Mentari pun berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan pria yang masih meringis dan menatapnya nanar. Wanita itu menutup kasar pintu, lalu bersandar di baliknya.Satu lagi luka tergores di hatinya karena perlakuan pria itu. Kali ini karena harga dirinya yang terkoyak. Entah apa yang diinginkannya, bahkan setelah beberapa luka ia goreskan, masih berpikir untuk melecehkannya.Ya, ia anggap itu pelecehan karena dilakukan dengan cara yang tidak baik. Sungguh, ia semakin terluka dan membenci pria itu.Mentari menghabiskan tangisnya setelah beberapa lama. Sebenarnya malas untuk menumpahkan lagi air mata, tapi perlakuan Samudra barusan sanga
69Kediaman keluarga Hanggara.“Apa kamu sudah menjenguk ayahmu, Novita?” tanya Nenek Widya setelah beberapa lama ruang makan mereka hanya dihiasi suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring saja. Ya, keluarga mereka tengah berkumpul untuk makan malam.Keluarga mereka memang termasuk kaku. Setiap berkumpul makan tidak pernah dihiasi obrolan hangat layaknya sebuah keluarga, apalagi canda tawa. Hanya sesekali obrolan terdengar bila berkumpul. Itu pun seputar pekerjaan Benny dan Bastian di kantor.Nenek Widya juga tidak terlalu dekat dengan kedua menantu wanita di rumah itu hingga membuat mereka jarang terbuka satu sama lain.Semua orang kini menghentikan aktivitas mereka saat wanita nomor satu di rumah itu terdengar bertanya. Dan semua mata pun kini tertuju wajah Novita yang selalu berlapis make up meski di rumah sekali pun.“Memangnya ayah kenapa, Nek?” Dengan polosnya Novita balik bertanya. Tak ada raut apa pun di wajahnya selain heran.Nenek Widya mendengkus pelan sembar
71Hari kedua ayahnya di rumah sakit, Mentari seperti biasa duduk di kursi susun empat tak jauh dari ruang ICU. Sejauh ini ayahnya belum ada perkembangan. Masih berbaring seolah tertidur. Padahal secara berkala ia meminta izin untuk masuk sekadar mengajak bicara sang ayah. Berharap pria cinta pertamanya itu segera bangun dan bicara lagi dengannya.Waktu demi waktu menunggu di rumah sakit ia habiskan seperti biasa dengan menguprek ponsel menggores pena. Merangkai kata-kata menjadi untaian kalimat bermakna hasil imajinasi yang akhirnya menjelma menjadi sebuah karya yang selalu dinikmati dan ditunggu pembacanya.Saat konidisi hati dan otak sedang melow seperti ini, ternyata lebih mudah menghayati penokohan yang ia ciptakan sendiri. Terasa lebih masuk hingga ceritanya semakin hidup. Pundi-pundi rupiah yang ia dapatkan dari tulisannya pun semakin banyak. Tabungannya semakin gendut, hingga ia yakin hidup sendiri pun tak akan membuatnya kesulitan.Bukankah ia harus mempersiapkan semuanya? Ka
71“Lihat apa yang dilakukan Mentari, Pa. Ia bahkan tidak mengenal tempat, rumah sakit pun dipakai untuk berselingkuh.” Telunjuk Novita mengerah wajah Mentari yang memucat. Wanita itu tampak berapi-api.“Lihat, Bas. Setelah tidak berhasil merebutmu dariku, ia kini mencari korban lainnya. Atau memang ia mencari korban beberapa pria dalam sekali waktu.” Novita makin menggila. Mulutnya terus menghamburkan kata-kata yang menyudutkan Mentari.Benny, Bastian dan Esther yang datang bersama-sama menyusul Novita, berdiri mematung memindai wajah pucat Mentari dan laki-laki di sampingnya yang kini ikut berdiri. Mata ketiganya hampir tak berkedip memancarkan tatapan penuh selidik dan penuh penilaian.Sementra Mentari hanya bisa terpaku menatap satu per satu keluarga Hanggara yang tengah menilainya bagai seorang maling yang tertangkap basah.Novita beralih ke dekat ibu mertuanya dengan raut penuh kemenangan.“Ma, lihatlah perbuatan menantu kesayangan Nenek itu. Di depan Nenek saja ia terlihat lugu
72Samudra menelan ludahnya sebelum duduk di hadapan wanita sepuh yang sejak kedatangannya memasang wajah tidak bersahabat. Bahkan saat menerima uluran tangannya tadi, sang ibu hanya mengembus napasnya.Pria itu melirik ke arah asisten sang ibu yang berdiri di dekat dinding. Sang ibu yang mengerti jika anaknya tidak nyaman karena di sana ada orang lain, meminta asistennya keluar dengan isyarat mata.Keheningan menyelimuti mereka sepeninggal asisten. Baik Samudra maupun ibunya belum ada yang memulai percakapan.Samudra tahu jika cepat atau lambat sang ibu akan memanggilnya ke sana. Sebenarnya, sang ibu ingin Mentari juga ikut datang, tetapi wanita itu berkeras tetap bertahan di rumah sakit. Mentari memintanya menyampaikan maaf. Dan bersiap menerima keputusan apa pun yang akan diberikan keluarga Hanggara setelah ini.Samudra tidak bisa memaksa. Ia terpaksa datang sendiri. Secepat ini keluarga kakaknya menyampaikan berita kepada ibunya.“Mentari tidak ikut?” tanya sang ibu setelah bebera
73 “Apa yang kamu lakukan di sini?” pekik Samudra setelah sebelumnya melirik ke arah rumah tiga lantai yang tampak sepi terlihat dari depan. Lucy melepaskan tangannya yang dicekal Samudra. Wajahnya memerah, dan bibirnya cemberut. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan, Sam. Kau menyakitiku.” Lucy balas memekik di depan wajah Samudra. Wanita itu mengacungkan pergelangan tangannya yang merah. Tadi, Samudra langsung menarik tangannya dan membawanya ke samping bangunan pos yang tersembunyi jika dilihat dari halaman rumah besar itu. “Maaf Lucy, tapi perbuatan kamu sudah di luar batas.” Samudra mendesis. “Untuk apa kamu datang ke sini? dan mengaku sebagai kekasihku segala?” “Habisnya kamu bohong, Sam.” Lucy semakin cemberut. “Kamu bilang akan selalu mengunjungiku, tapi sejak kemarin kamu tidak datang. Teleponku tidak diangkat, pesan tidak balas. Aku juga sudah ke apartemenmu, tapi di sana tidak ada—” “Apa? Kamu ke apartemenku?” Kedua bola mata Samudra melebar nyaris kelu