65“Ya Tuhan … betapa egois laki-laki ini ….” Mentari melepaskan tangan Samudra di pundaknya, kemudian memutar tubuh dan mengusap kasar wajahnya dengan punggung sedikit membungkuk.Tidak menyangka jika pria yang terlihat tegas dan berpendirian teguh ini ternyata hanya sosok egois yang ingin memiliki segalanya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Padahal, dirinya sudah jelas-jelas mau mengalah, dan mundur agar ia bisa bersatu dengan wanita yang dicintainya. Namun, Samudra tidak mau melepaskannya, tapi juga tidak mau menjauhkan Lucy dari pernikahan mereka.Apa sebenarnya yang diinginkannya? Jangan bilang ia menginginkan mereka berdua.“Apa sebenarnya mau Om?” Akhirnya pertanyaan itu Mentari lontarkan setelah beberapa lama.“Jangan bilang Om mau menjadikanku tameng semata di hadapan keluarga. Bertingkah seolah suami yang bertanggungjawab dan anak yang berbakti. Padahal semua hanya untuk menutupi hubungan dengan kekasih masa lalu.”“Tari, pikiranmu terlalu jauh. Aku tidak sejahat yang ka
66Ketegangan menyelimuti, sebelum Mentari bergegas menghampiri wanita sepuh yang masih menatapnya dan Samudra dengan wajah tak bersahabat. Diraihnya tangan wanita itu lalu diciumnya takzim.“Nenek, kenapa ada di sini?” tanyanya dengan menatap sebentar. Tak berani menantang mata sang mertua yang seakan tengah mengulitinya.Tidak ada jawaban dari mulut wanita sepuh itu. Melainkan tatapan yang terus menghujam tajam berganti-gantian antara dirinya dan Samudra.“Kenapa tidak memberitahu Nenek jika ayahmu sakit?” Kalimat pertanyaan yang akhirnya terlontar dari mulutnya setelah puas memindai anak dan menantunya. Suaranya sangat jelas jika ia menuntut.Mentari menunduk dan memilin jemarinya. Sungguh ia tidak mau merepotkan ibu mertuanya. Apalagi hubungannya dengan Samudra kini sudah di ujung tanduk.“Sam, kenapa tidak memberitahu Ibu?” Nenek Widya yang tidak pernah dijauhi asistennya itu kini mengalihkan pandang terhadap anaknya.“Pak Bumi sampai koma seperti ini, dan di antara kalian tidak
67“Kak Bima?” Kening Mentari berkerut mendapati laki-laki usia tiga puluhan itu berada di sana. Bukan apa-apa, ia tidak pernah mengatakan tempat tinggalnya karena Bima juga tidak pernah bertanya.“Dek Violet, kamu tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan ngos-ngosan begitu tiba di hadapannya. Raut cemas berpendar di sana.Mentari mengerjap dan memicing.“Kak Bi-ma, ke-napa ada di sini?” tanyanya bingung seraya mengedarkan pandangan. Seingatnya ia tudak pernah mengatakan tempat tinggalnya.“Saya mengkhawatirkanmu, Dek. Nomormu tidak aktif dan kamu tak kunjung mengirim e-mail. Padahal kamu sudah berjanji tadi.”Mentari tertegun. Ia baru ingat jika tadi berjanji. Namun, banyak kejadian dialaminya sejak kepulangannya bertemu Bima, membuatnya jangankan teringat janji itu. Dari pertemuan dengan Bastian yang akhirnya memaksanya mengantar hingga dirinya dituduh dan dianiaya Novita. Lalu mendapati ibu tiri keluar dari apartemen Samudra dan terakhir berita sakitnya sang ayah.Belum lagi menyamb
68Plak!Sebuah tamparan Mentari daratkan di pipi Samudra setelah berhasil melepaskan diri. Beberapa saat lamanya ia meronta hingga akhirnya dapat terlepas setelah menggigit lidah sang pria. Tatapan nyalang pun ia hujamkan setelahnya. Lalu dengan dada bergerak cepat, ia memekik.“Aku benci Om Sam!”Setelah sekali lagi tatapan itu terhujam, Mentari pun berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan pria yang masih meringis dan menatapnya nanar. Wanita itu menutup kasar pintu, lalu bersandar di baliknya.Satu lagi luka tergores di hatinya karena perlakuan pria itu. Kali ini karena harga dirinya yang terkoyak. Entah apa yang diinginkannya, bahkan setelah beberapa luka ia goreskan, masih berpikir untuk melecehkannya.Ya, ia anggap itu pelecehan karena dilakukan dengan cara yang tidak baik. Sungguh, ia semakin terluka dan membenci pria itu.Mentari menghabiskan tangisnya setelah beberapa lama. Sebenarnya malas untuk menumpahkan lagi air mata, tapi perlakuan Samudra barusan sanga
69Kediaman keluarga Hanggara.“Apa kamu sudah menjenguk ayahmu, Novita?” tanya Nenek Widya setelah beberapa lama ruang makan mereka hanya dihiasi suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring saja. Ya, keluarga mereka tengah berkumpul untuk makan malam.Keluarga mereka memang termasuk kaku. Setiap berkumpul makan tidak pernah dihiasi obrolan hangat layaknya sebuah keluarga, apalagi canda tawa. Hanya sesekali obrolan terdengar bila berkumpul. Itu pun seputar pekerjaan Benny dan Bastian di kantor.Nenek Widya juga tidak terlalu dekat dengan kedua menantu wanita di rumah itu hingga membuat mereka jarang terbuka satu sama lain.Semua orang kini menghentikan aktivitas mereka saat wanita nomor satu di rumah itu terdengar bertanya. Dan semua mata pun kini tertuju wajah Novita yang selalu berlapis make up meski di rumah sekali pun.“Memangnya ayah kenapa, Nek?” Dengan polosnya Novita balik bertanya. Tak ada raut apa pun di wajahnya selain heran.Nenek Widya mendengkus pelan sembar
71Hari kedua ayahnya di rumah sakit, Mentari seperti biasa duduk di kursi susun empat tak jauh dari ruang ICU. Sejauh ini ayahnya belum ada perkembangan. Masih berbaring seolah tertidur. Padahal secara berkala ia meminta izin untuk masuk sekadar mengajak bicara sang ayah. Berharap pria cinta pertamanya itu segera bangun dan bicara lagi dengannya.Waktu demi waktu menunggu di rumah sakit ia habiskan seperti biasa dengan menguprek ponsel menggores pena. Merangkai kata-kata menjadi untaian kalimat bermakna hasil imajinasi yang akhirnya menjelma menjadi sebuah karya yang selalu dinikmati dan ditunggu pembacanya.Saat konidisi hati dan otak sedang melow seperti ini, ternyata lebih mudah menghayati penokohan yang ia ciptakan sendiri. Terasa lebih masuk hingga ceritanya semakin hidup. Pundi-pundi rupiah yang ia dapatkan dari tulisannya pun semakin banyak. Tabungannya semakin gendut, hingga ia yakin hidup sendiri pun tak akan membuatnya kesulitan.Bukankah ia harus mempersiapkan semuanya? Ka
71“Lihat apa yang dilakukan Mentari, Pa. Ia bahkan tidak mengenal tempat, rumah sakit pun dipakai untuk berselingkuh.” Telunjuk Novita mengerah wajah Mentari yang memucat. Wanita itu tampak berapi-api.“Lihat, Bas. Setelah tidak berhasil merebutmu dariku, ia kini mencari korban lainnya. Atau memang ia mencari korban beberapa pria dalam sekali waktu.” Novita makin menggila. Mulutnya terus menghamburkan kata-kata yang menyudutkan Mentari.Benny, Bastian dan Esther yang datang bersama-sama menyusul Novita, berdiri mematung memindai wajah pucat Mentari dan laki-laki di sampingnya yang kini ikut berdiri. Mata ketiganya hampir tak berkedip memancarkan tatapan penuh selidik dan penuh penilaian.Sementra Mentari hanya bisa terpaku menatap satu per satu keluarga Hanggara yang tengah menilainya bagai seorang maling yang tertangkap basah.Novita beralih ke dekat ibu mertuanya dengan raut penuh kemenangan.“Ma, lihatlah perbuatan menantu kesayangan Nenek itu. Di depan Nenek saja ia terlihat lugu
72Samudra menelan ludahnya sebelum duduk di hadapan wanita sepuh yang sejak kedatangannya memasang wajah tidak bersahabat. Bahkan saat menerima uluran tangannya tadi, sang ibu hanya mengembus napasnya.Pria itu melirik ke arah asisten sang ibu yang berdiri di dekat dinding. Sang ibu yang mengerti jika anaknya tidak nyaman karena di sana ada orang lain, meminta asistennya keluar dengan isyarat mata.Keheningan menyelimuti mereka sepeninggal asisten. Baik Samudra maupun ibunya belum ada yang memulai percakapan.Samudra tahu jika cepat atau lambat sang ibu akan memanggilnya ke sana. Sebenarnya, sang ibu ingin Mentari juga ikut datang, tetapi wanita itu berkeras tetap bertahan di rumah sakit. Mentari memintanya menyampaikan maaf. Dan bersiap menerima keputusan apa pun yang akan diberikan keluarga Hanggara setelah ini.Samudra tidak bisa memaksa. Ia terpaksa datang sendiri. Secepat ini keluarga kakaknya menyampaikan berita kepada ibunya.“Mentari tidak ikut?” tanya sang ibu setelah bebera
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau