129Mentari masih belum mengerti apa yang terjadi saat seseorang masuk dari pintu dengan wajah yang sama merah padam seperti pria yang masih menudingnya.“Ada apa ini?” tanya pria yang baru saja masuk seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Wajah merahnya semakin merengut melihat Mentari yang mulai ketakutan, juga laki-laki tanpa pakaian di sampingnya.Mentari menggelengkan kepala dengan keras. Jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini. Mendapati tubuh sendiri tak berpakaian di atas ranjang bersama laki-laki yang bukan suami adalah ketakutan yang hakiki. Lihatlah bagaimana tatapan Samudra yang seolah ingin menelannya hidup-hidup.“Bastian, Mentari, apa yang kalian lakukan?” Pria yang baru saja masuk dan tidak lain Benny bertanya lagi. Suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.Mentari yang tiba-tiba merasa tertarik ke pusaran hitam dengan tubuh seringan kapas, tak bisa berpikiran apa pun. Ia tak ingin bicara apa pun dengan siapa pun. Saat ini yang ingin dilakukannya adalah m
130Dengan tangan gemetar, Mentari meraih salah satu lembaran foto yang terserak di pangkuannya. Wanita itu menahan napas saat mendekatkan benda itu ke wajahnya. Matanya memicing sebelum akhirnya membola. Lalu diambilnya foto lainnya dan memperlihatkan ekspresi wajah yang sama seperti sebelumnya.Terus dan terus, Mentari memunguti hampir semua foto itu dengan dadanya yang mulai naik turun dengan cepat.Setelahnya wanita itu menggeleng keras. Darahnya terasa mendidih, kepalanya terasa terbakar. Bagaimana tidak, semua foto itu memperlihatkan keintiman dirinya dan Bastian yang sangat natural. Bahkan adegan tadi sore saat mereka berpapasan dan Bastian menahan tangannya juga ada. Tetapi diambil dengan jepretan anggel yang pas, hingga mereka terlihat seperi sedang berpegangan tangan dan saling menatap dalam jrak dekat.Siapa pun yang tidak berada di tempat kejadian memang akan mengira jika ia daan Bastian tengah saling berpegangan tangan dengan mesra.Lalu, ada juga foto ia dan Bastian dudu
131“Mas …?” Bibir Mentari bergetar. Matanya sudah diliputi awan tebal. Tak percaya rasanya jika kalimat barusan terlontar dari mulut pria yang begitu dicintainya. Pria yang ia pikir akan lebih mempercayainya daripada makar yang dibuat orang-orang berhati busuk. Pria yang beberapa saat lalu masih saling melontarkan kemesraan dengannya.Perlahan, kepala wanita itu menggeleng. Napasnya tersengal karena dadanya seolah dihimpit ribuan ton beban hingga terasa sangat sesak. Bulir-bulir bening sudah tak lagi terelakkan meleleh cepat dari sudut matanya. Saling menyusul hingga berjatuhan membasahi selimut yang masih dipegangnya erat.“Mas ….” Kembali ia bersuara. Ingin rasanya bicara panjang lebar untuk menjelaskan jika semua ini hanya fitnah yang ingin menhancurkan pernikahan mereka.Bukankah Samudra sangat tahu bagaimana sifat keluarganya? Bukankah Samudra lebih faham bagaimana watak saudara dan keponakannya itu? Ingin juga Mentari melaporkan bagaimana sikap Bastian belakangan ini padanya ji
132Ruangan kamar yang cukup luas itu terasa dingin dan mencekam. Padahal malam-malam sebelumnya ruangan itu akan terasa hangat, bahkan panas setiap kali mereka menginap di sana. Kini, semua telah berubah dalam hitungan jam saja.Kesunyian terasa menyiksa seiring sikap Samudra yang terlampau dingin. Bahkan dinginnya udara yang terasa hingga menusuk tulang belulang, tidak seberapa dibanding sikap dingin pria itu selepas insiden tadi terhadap Mentari.Entah sudah berapa lama, di ruangan itu tidak ada suara yang terdengar selain isakan sang wanita. Entah sudah berapa lama pula Mentari menangis. Rasa perih tak berperi di hatinya membuat produksi air matanya mendadak melimpah ruah. Padahal, ia sudah lupa kapan terakhir menangis karena belakangan ini Samudra selalu melimpahinya kebahagiaan.Namun, kini cairan itu kembali menemaninya. Dan mungkin akan kembali menjadi teman setianya menjalani kehidupan.Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja statusnya kini menjadi seorang janda. Padahal kemarin ia m
133Sungguh, tiada malam yang lebih panjang dari malam ini. Setelah semua kejadian yang awalnya ia pikir hanya mimpi buruk ini, mata Mentari tak dapat terpejam barang sedetik pun. Wanita itu hanya bisa terdiam sembari memeluk luka hati yang menganga lebar.Luka yang tercipta begitu cepat tanpa ada fisarat atau apa pun sebelumnya. Bahkan sebelum ia tertidur sore tadi, semua masih baik-baik saja. Ia masih merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Suami yang meratukan, mertua yang kasih sayangnya melebihi ibu kandung, dan calon janin yang tengah tumbuh di rahimnya. Semua itu lebih dari cukup menjadikannya wanita paling bahagia.Siapa sangka begitu mudah jalan hidup berbelok. Dalam waktu hitungan jam saja, hidupnya kini seolah jungkir balik. Dari wanita paling bahagia, kini laksana manusia paling malang di dunia.Benarlah ungkapan yang sering Mentari dengar jika takdir adalah misteri. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi bahkan satu detik ke depan. Kemarin, ia masih
134Mentari memejam sebentar sebelum berbalik. Lalu menatap wanita usia awal tiga puluhan yang selama ini setia melayaninya jika sedang bertandang ke rumah itu. Diembuskannya napas kasar untuk menetralkan jantung yang mendadak bertalu.“Mbak, nanti tolong sampaikan sama Tuan mudanya, kalau saya pergi,” ujarnya setelah mengatur napas yang sempat tersengal.“Pergi ke mana, Nona Tari? Kenapa Nona tidak bicara langsung dengan Tuan Samudra?”Mentari menelan ludahnya. Ia bukan tidak tahu jika sikapnya ini seperti seorang pengecut yang lari dari masalah. Namun, baginya saat ini lebih baik menghilang dari mereka semua. Ia tahu siang ini harus kembali berhadapan dengan keluarga Hanggara.Samudra pasti ingin membicarakan perihal perusahaan. Dan ia sama sekali sudah tidak peduli. Baginya, semua itu milik Samudra kini, karena dengan uang dialah perusahaan kembali berjalan. Kalaupun diserahkan padanya, ia tidak akan sanggup mengelolanya sendiri tanpa pria itu. Sama saja dengan kembali menghancurka
135“Ah, sudahlah!” Bastian mengibaskan tangannya seraya ingin berlalu, tetapi Novita tidak membiarkannya begitu saja. Wanita itu gegas menarik tangan Bastian. Bahkan disentakkan hingga tubuh suaminya berbalik dengan kasar.“Kamu tidak akan ke mana-mana sebelum menjelaskan semuanya, Bastian!” Novita menjerit dengan suaranya yang memekkan telinga.“Kenapa kamu harus tidur dengan jalang itu di sini, hah? Apa sebenarnya yang kamu rencakan? Lalu ibuku? Ada hubungan apa dengan semua ini? Kenapa kamu tiba-tiba saja menyebutnya? Kamu bahkan tidak peduli sama sekali dengan nasib ibuku, bukan?” Suara Novita semakin meninggi. Raut frustrasi berbaur dengan kekecewaan yang besar.Wanita itu tidak ingin percaya saat ibu mertuanya memberitahu jika Bastian dan Mentari tertangkap basah tidur bersama.Karenanya wanita itu langsung berlari menuju kamar Samudra yang biasa suami istri itu gunakan jika menginap di sana. Ia berharap jika yang dikatakan Esther hanya bualan semata. Tapi kenyataannya …. bola
138Mentari menarik napas sepanjang mungkin dan membuangnya perlahan sesaat sebelum benar-benar membuka pintu. Ia tahu datang dulu ke sini rentan membuat air matanya kembali tumpah dan luka hatinya semakin menganga. Belum lagi risiko Samudra menyusul. Namun, ia tetap harus ke sini untuk mengambil barang-barangnya.Tidak mungkin pergi tanpa membawa apa-apa. Bagaimana pun ia butuh modal untuk melanjutkan hidup nantinya. Dan karena selama ini ia hanya bisa menulis, akan ia melanjutkan, bahkan lebih menekuni apa yang sudah dirintisnya selama ini. Toh, dari sana pun sebenarya ia sudah mendapat penghasilan yang cukup untuk melanjutkan hidup.Mentari perlu menyalin data-data penting di laptop pemberiaan Samudra yang tidak akan dibawanya ke plashdisk atau sebagian ke memori HP. Meminimalisir membawa barang-barang pemberiaan Samudra adalah salah satu caranya agar nanatinya tidak terlalu mengingat pria itu terus walaupun yakin tidak semudah yang dibayangkan.Kaki sang wanita mulai memasuki unit
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau