135“Ah, sudahlah!” Bastian mengibaskan tangannya seraya ingin berlalu, tetapi Novita tidak membiarkannya begitu saja. Wanita itu gegas menarik tangan Bastian. Bahkan disentakkan hingga tubuh suaminya berbalik dengan kasar.“Kamu tidak akan ke mana-mana sebelum menjelaskan semuanya, Bastian!” Novita menjerit dengan suaranya yang memekkan telinga.“Kenapa kamu harus tidur dengan jalang itu di sini, hah? Apa sebenarnya yang kamu rencakan? Lalu ibuku? Ada hubungan apa dengan semua ini? Kenapa kamu tiba-tiba saja menyebutnya? Kamu bahkan tidak peduli sama sekali dengan nasib ibuku, bukan?” Suara Novita semakin meninggi. Raut frustrasi berbaur dengan kekecewaan yang besar.Wanita itu tidak ingin percaya saat ibu mertuanya memberitahu jika Bastian dan Mentari tertangkap basah tidur bersama.Karenanya wanita itu langsung berlari menuju kamar Samudra yang biasa suami istri itu gunakan jika menginap di sana. Ia berharap jika yang dikatakan Esther hanya bualan semata. Tapi kenyataannya …. bola
138Mentari menarik napas sepanjang mungkin dan membuangnya perlahan sesaat sebelum benar-benar membuka pintu. Ia tahu datang dulu ke sini rentan membuat air matanya kembali tumpah dan luka hatinya semakin menganga. Belum lagi risiko Samudra menyusul. Namun, ia tetap harus ke sini untuk mengambil barang-barangnya.Tidak mungkin pergi tanpa membawa apa-apa. Bagaimana pun ia butuh modal untuk melanjutkan hidup nantinya. Dan karena selama ini ia hanya bisa menulis, akan ia melanjutkan, bahkan lebih menekuni apa yang sudah dirintisnya selama ini. Toh, dari sana pun sebenarya ia sudah mendapat penghasilan yang cukup untuk melanjutkan hidup.Mentari perlu menyalin data-data penting di laptop pemberiaan Samudra yang tidak akan dibawanya ke plashdisk atau sebagian ke memori HP. Meminimalisir membawa barang-barang pemberiaan Samudra adalah salah satu caranya agar nanatinya tidak terlalu mengingat pria itu terus walaupun yakin tidak semudah yang dibayangkan.Kaki sang wanita mulai memasuki unit
137“Kau mengerti sekarang, hah?” Suara Bastian serupa desisan. “Kau mengerti kenapa aku begitu ingin menikahi Mentari sejak dulu? Jadi … aku menikahimu dan membuang Mentari itu serupa dengan membuang berlian memungut batu kali.”Diakhiri dorongan cukup kuat di tubuh Novita, Bastian melepaskan jambakan di rambutnya hingga tak ayal tubuh wanita itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai.“Makanya sejak dulu aku bilang kalau hubungan kita lebih baik diam-diam saja. Toh, aku tidak akan membuangmu selama kamu bisa mengikuti aturanku. Kita tetap bisa berhubungan meski aku menikahi Mentari. Tapi dengan bodohnya kamu malah ingin kunikahi dengan resmi hingga hilanglah kesempatanku untuk menikahi perempuan itu.”Tidak ada jawaban dari Novita, dan saat Bastian melirik perempuan yang masih terduduk di lantai itu, matanya memicing. Wanita itu tanpa sedang berikir keras, terlihat dari keningnya yan berkerut.“Bagaimana mungkin Mentari memiliki 40% saham Hanggara Enterprise? Dia tidak punya apa-apa
138“Ya sudah, tolong sampaikan sama ibu sebentar lagi saya ke sana,” jawab Samudra setelah beberapa lama tertegun. Masih belum terpikir olehnya bagaimana menyampaikan kejadian ini terhadap sang ibu. Kesehatan wanita sepuh itu yang menjadi pertimbangan ia tidak langsung mengabarkan ini sejak malam. Terbayang betapa kecewa ibunya itu jika mengetahui ia dan menantu kesayangannya akan segera bercerai. Namun, sang ibu akan lebih kecewa dan terluka jika tahu alasan mereka bercerai.Pelayan yang datang menyampaikan pesan itu mengganguk sebelum meninggalkan Samudra dan pelayan khususnya.Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Samudra tanyakan juga terhadap pelayannya itu, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Pria itu mengerjap lelah sebelum berkata, “saya mau bicara denganmu, tapi nanti setelah menemui ibu dulu.”Setelah mengatakan itu, Samudra memutar snop pintu, membukanya, lalu masuk meninggalkan pelayan yang masih mematung di depan ruangannya. Wajahnya tak ayal memucat mendengar Sam
139Hampir saja Samudra membatalkan pertemuan dengan calon investornya karena terganggu dengan pesan Mentari yang tiba-tiba dihapus itu. Namun, ia harus memakai logikanya. Kelangsungan perusahaan dipertaruhkan jika ia tidak professional karena alasan pribadi.Dengan mengesampingkan rasa penasarannya yang membungbung tinggi karena nomor Mentari tak kunjung aktif, ia tetap meeting dengan calon investor itu. Walaupun kenyataannya, ia tidak bisa seratus persen mengesampingkan prasangka buruknya. Kecurigaan tetap menghantui selama meeting itu. Samudra ingin menanyakan apa maksud Mentari mengiriminya pesan itu. Apa wanita itu sebenarnya memang ada main dengan Bastian? Hanya saja terlalu pintar bersandiwara? Namun, kebusukan pada akhirnya tetap tercium juga. Buktinya Mentari salah mengirim pesan yang seharusnya untuk Bastian malah terkirim padanya.Ya, itu keyakinan Samudra. Buktinya nomornya langsung tidak aktif begitu ia hubungi balik. Itu artinya Mentari ketakutan setelah ketahuan. Karena
140“Bu ….” Samudra duduk di tepi ranjang tak jauh dari sang ibu, lalu berusaha meraih tangannya. Ia menyesalkan ibunya mengetahui perceraiannya dengan Mentari. Dan itu bukan dari mulutnya. Benny memang keterlaluan. Seharusnya menyerahkan masalah ini menjadi urusannya sendiri.“Apa yang sudah kamu lakukan Samudra Hanggara?” Nenek Widya mendesis seraya melepaskan tangannya. Tatapannya masih tajam menyapu wajah Samudra yang sedikit pucat.Samudra menelan ludahnya sebelum bicara.“Apa pun yang Bang Benny katakan, jangan masukkan hati. Ingat kesehatan ibu. Jangan berpikir terlalu berat.”“Apa gunanya Ibu sehat kalau tidak lagi melihat menantu Ibu.” Suara Nenek Widya meninggi. “Kenapa kamu begitu bodoh, Sam? Kenapa kamu lakukan ini?”Bahkan kini suaranya sudah bercampur getaran. Wajah tuanya memerah. Setelahnya, dadanya terlihat sesak, napasnya terdengar berat. Gegas Samudra meraih tangannya lagi dan menggenggamnya erat.“Bu, Ibu percaya padaku, kan? Aku tidak mungkin mengambil keputusan ta
141“Apa maksud kamu, Bastian?” Nenek Widya memekik. Perubahan wajahnya sangat kentara. Pun dengan Samudra yang kedua bola matanya seakan ingin loncat dari rongganya. Detak jantungnya bahkan terasa berhenti. Tubuhnya membeku bagai patung batu.Sementara Bastian menghampiri sang nenek, lalu bersimpuh di samping tempat tidur. Wajahnya menunduk dalam. Dengan tak mempedulikan perubuhan sikap Nenek Widya yang kaget karena ucapannya, laki-laki muda itu bersuara.“Maafkan jika aku membuat keluarga ini malu dan kesal, Nek. Tapi aku bersumpah sangat mencintai Mentari. Dari dulu hingga sekarang cintaku tidak pernah berubah untuknya. Aku tetap mencintainya meskipun ia menikah dengan orang lain,” katanya seraya mengangkat wajah sebentar.“Aku pikir hanya aku saja yang selama ini mendamba. Aku pikir hanya aku yang bertepuk sebelah tangan. Tanpa aku tahu ternyata Mentari juga merasakan hal yang sama. Ternyata selama ini kami sama-sama tersiksa memendam ini sendirian. Makanya aku seperti mimpi saat M
142“Kalau sampai terjadi sesuatu dengan ibuku, aku akan membuaat perhitungan dengan kalian semua.” Samudra menunjuk wajah Benny dan Bastian bergantian. Kemarahan tertahan di dadanya. Sang ibu jatuh pingsan lagi, dan semua itu karena ulah ayah dan anak itu yang dengan tega bicara hal buruk.Samudra tidak habis pikir degan keluarga kakaknya itu. Kenapa mereka bisa memiliki sifat yang begitu buruk padahal sejak kecil orang tua mereka mendidik dengan sangat baik. Kakak dan keponakannya bahkan masuk sekolah kepribadian. Namun, lihatlah kini, mereka seolah menjelma menjadi manusia-manusia tak punya hati.Bukannya ikut menjaga agar kesehatan ibu mereka tetap stabil dengan menutupi rahasia itu, malah dengan sengaja mengumbar di hadapannya.Kini, mereka semua tengah menunggu di luar kamar pribadi Nenek Widya. Sengaja memanggil dokter pribadi. Biarlah menunggu diagnose dokter Rena saja jika harus ke rumah sakit.Samudra berjalan mondar-mandir dengan wajah tegangnya. Tadi ia ingin menemani di d
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau