Pukul 19.00
"Bu, kata para tetangga, rumah kita ada hantunya ya?" tanya Rafa, mimik wajah bocah itu nampak bergidik ngeri.Saat ini Sinta tengah berada di teras rumah mertuanya untuk membujuk kedua anaknya yang tidak mau pulang ke rumah."Sheila mau menginap di rumah kakek, tidak mau tidur di rumah sebelum ayah pulang dari kota," sahut bocah perempuan berusia 7 tahun itu.Sinta menghela napas mendengar penuturan anak-anaknya tersebut. "Sssttt ... tidak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimana pun, itu rumah kita, tempat tinggal kita. Rafa dan Sheila tidak usah mendengarkan apa kata orang. Apa selama ini ada yang aneh di rumah?" tanya Sinta.Kedua bocah itu sama-sama menggelengkan kepala seraya menatap ibunya."Nah, tidak ada bukan? Buktinya selama ini rumah kita adem ayem dan tidak terjadi apa-apa. Dan satu lagi, ayah semalam pulang loh! Tetapi, pagi tadi sudah berangkat lagi." Sontak ucapan Sinta berhasil membuat kedua anaknya tercengang."Benarkah, Bu? Padahal kemaren sore kami dan Om Ardi teleponan sama ayah, dan ayah bilang akan pulang 2 minggu lagi," sahut Rafa tak percaya."Beneran. Ibu tidak bohong. Ya sudah, ayo masuk, kita pamit sama kakek dan Om Ardi. Besok kalian harus bangun pagi dan berangkat sekolah," titah Sinta.Perempuan itu lantas masuk ke dalam rumah bersama kedua anaknya."Kami pulang dulu ya, Pak.""Ardi biar ikut menginap ke sana kalau kalian tidak berani di rumah," ujar Pak Wito-mertua Sinta."Bapak tidak perlu khawatir, tidak ada apa-apa kok." Sinta meraih tangan lelaki paruh baya itu dan menciumnya dengan takzim, lalu di susul kedua anaknya."Kami pulang ya, Kek. Assalamualaikum," ucap kedua bocah itu dengan serempak."Wa'alaikumsalam."Dengan bermodalkan senter kecil sebagai penerangan, Sinta bersama kedua anaknya berjalan di tengah gelapnya malam. Rumah mertuanya itu tak terlalu jauh. Namun, di desa ini belum ada lampu penerangan di setiap jalan. Hanya ada sorot lampu dari kejauhan yang berada di depan rumah setiap warga."Kenapa ayah tidak bilang ya kalau mau pulang?" Di sepanjang perjalanan, bocah lelaki itu tak berhenti melontarkan pertanyaan demi pertanyaan."Mungkin ayah ingin memberi kejutan untuk kita, Kak," sahut sang adik."Hem ... bisa jadi."Tak butuh waktu lama, Sinta dan kedua anaknya pun tiba di rumah. Rafa dan Sheila segera duduk di depan televisi untuk menonton kartun kesukaan mereka. Sedangkan Sinta mengunci semua pintu dan berlalu menuju kamar. Melepas jaket dan celana panjangnya, lalu menggantinya dengan daster tipis yang panjangnya hanya selutut.Wanita itu berjalan menuju dapur, mengambil kerupuk nasi yang ia goreng pagi tadi dan membawanya ke depan. Menaruh toples kecil tersebut di hadapan anak-anaknya. Kedua bocah itu pun dengan lahap memakannya untuk menemani acara nonton mereka. Sinta juga turut serta menonton acara televisi dan menemani kedua bocah tersebut."Apa malam ini ayah akan pulang lagi, Bu?" Rafa melontarkan pertanyaan dengan mulut yang penuh dengan makanan."Kata ayah sih, iya," jawab Sinta."Ayah jam berapa pulangnya, Bu?" Gadis kecil itu pun ikut bersuara."Kemaren malam ayah sampai rumah sekitar pukul sebelas malam atau mungkin lebih." Sinta tak begitu ingat tepatnya pukul berapa sang suami tiba di rumah."Yaaahhh ..." Sheila mendesah pelan, ia nampak kecewa. "Kalau begitu, Sheila mau begadang nungguin ayah tiba di rumah," lanjutnya."Eits, tidak boleh. Besok hari Senin ada upacara di sekolah. Jadi, sheila harus bangun pagi." Sinta dengan tegas menolak keinginan puterinya itu."Tidak apa-apa Dek. Besok kita harus bangun lebih pagi supaya bisa bertemu dengan ayah." Rafa mencoba menenangkan adiknya yang terlihat masam.Pukul 20.30Sheila dan Rafa sudah bersiap untuk tidur. Sinta meraih selimut dan memberikan kepada kedua anaknya tersebut."Besok jangan lupa ya, Bu. Bangunkan kami lebih awal." Kepala Sheila melongok dari ranjang atas."Sebelum ayah berangkat, kami mau memeluknya. Baru ditinggal satu Minggu saja rasanya sudah kangen berat," sahut Rafa.Sinta pun menyunggingkan senyum. "Iya, ibu akan sampaikan sama ayah untuk menunggu kalian bangun. Sudah, cepat tidur dan jangan lupa berdoa dahulu."Setelah memastikan kedua anaknya tertidur, Sinta pun keluar dari kamar anaknya. Berjalan menuju ruang tamu dan mematikan semua lampu. Dirinya lantas pergi ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Perempuan itu pun sama halnya dengan kedua bocah tadi. Ia juga tak sabar menanti kedatangan Aldo.Tiba-tiba, Sinta merasakan sesuatu yang aneh di dalam perutnya. Perempuan itu pun mengusap perutnya yang ramping. Ia merasa ada sesuatu yang bergerak dan berdenyut. Saat ia hendak bangkit, sesuatu di bagian bawah sana terasa ada yang mengalir.Sinta turun dari ranjang dan berdiri. Saat perempuan itu menengok kebelakang, betapa terkejutnya dia. Ada genangan darah di bekas tempat tidurnya tadi. "Astaga, apa aku tengah datang bulan?" gumamnya pelan.Sinta segera mengecek dengan membuka pakaian dalamnya. "Haahh ..." Sinta bernapas lega. "Ternyata hanya darah haid. Tetapi, kenapa banyak sekali?" ia pun keheranan melihat banyaknya genangan darah yang berwarna merah pekat itu.Sinta lantas membersihkan semuanya dan mengganti seprei dengan yang baru. Tak lupa juga membersihkan tubuhnya dan segera mengganti pakaiannya.........Entah sudah berapa lama Sinta tertidur. Sayup-sayup ia mendengar suara aneh dan juga decap yang begitu menganggu pendengarannya. Awalnya Sinta tak memperdulikan dan berusaha meraih bantal untuk menutup kepalanya.Namun, bukannya berkurang suara itu kian terdengar jelas. Suara decap persis seperti orang yang tengah menikmati kudapan yang lezat dan memakannya dengan rakus. Tak hanya itu Sinta juga merasakan hawa di kamarnya menjadi jauh lebih dingin. Dengan mata yang masih tertutup rapat, tangan Sinta meraih selimut dan meringkuk di dalamnya.Rasa aneh di dalam perutnya kembali dirasa. Kali ini pergerakan itu semakin nyata dan berhasil membuat wanita itu terbangun. Ia terduduk dan memegang perutnya. "Perutku sama sekali tidak sakit. Tetapi, mengapa rasanya aneh sekali? Apa mungkin karena darah haidku keluar terlalu banyak?" Sinta bermonolog sendiri.Sinta terjingkat kala mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Jantungnya berpacu, takut ada orang yang berniat jahat kepada keluarganya. Apalagi sang suami juga tak ada di rumah.Tok!Tok!Tok!Suara gedoran di jendela tak berhenti. Dengan mengumpulkan keberaniannya, wanita itu lantas bersuara, "Siapa itu?!""Ini aku, Dek."Suara itu, Sinta mengenalinya. "Mas Aldo? Itu beneran kamu, Mas?""Iya. Aku ketuk pintu beberapa kali, kamu tidak mendengar," terdengar sahutan dari luar sana........."Jangan sekarang, Mas. Aku baru saja datang bulan," Sinta mendorong tubuh Aldo hingga berguling di samping ranjang. Tak ada jawaban apapun dari lelaki itu."Besok jangan langsung berangkat ya? Anak-anak kangen, ingin bertemu dengan mu, Mas," ucap Sinta. Aldo hanya menganggukkan kepala pelan.******Rasa geli membuat Sinta terusik dari tidurnya. "Apa yang kamu lakukan, Mas! Berhenti! Itu darah! Sangat menjijikan!" Sinta berteriak dan berusaha mendorong kepala Aldo yang berada di bawahnya. Kakinya tak tinggal diam, terus bergerak dan menendang, berharap Aldo mau menyingkir.Terdengar jelas suara decap serta geraman persis yang Sinta dengar saat ia tidur tadi. Sinta pun menjambak rambut Aldo dengan sekuat tenaga. Beberapa kali wanita itu lakukan hingga akhirnya ia berhasil membuat Aldo mendongak menatap dirinya."Aaaaaaaaa ..." Sinta menjerit histeris. Bergerak mundur menjauhi sang suami.Wajah Aldo yang tampan di penuhi darah, mulutnya terbuka lebar dengan gigi taring yang panjang. Lidahnya menjulur menjilati darah haid yang menempel di sekitar mulutnya. Sinta semakin bergidik ngeri kala tangan itu terulur dan mencengkeram kakinya dengan kuat. Menarik dan memaksa kaki itu agar tetap terbuka. Lidah panjang itu bergerak hingga mencapai darah yang mengalir deras."Aaaaaaa ...!!""Lepas! TOLONG!" Teriakan Sinta hanya tertahan di tenggorokan. Sekuat apapun perempuan itu berteriak, yang keluar hanyalah angin dan mulutnya yang nampak bergerak-gerak."Tolooonnggg ...!" Lagi-lagi suara itu tak dapat keluar. Teriakan dan jeritan Sinta tertahan, seperti ada sesuatu yang menghalangi. Ia terus berusaha, akan tetapi tak mampu mendobrak penghalang tersebut.Tangan Aldo yang kekar berubah menjadi lebih besar, hitam dan berbulu. Kukunya panjang dan berserabut seperti akar pohon. Lidah panjangnya masih menjulur dan menjilati darah yang berserakan di atas selimut.Aldo mendongak dan melihat Sinta dengan tatapan tajam. Sontak hal tersebut membuat wanita itu kembali merasakan ketakutan yang luar biasa. Sinta terus bergerak mundur saat tangan besar itu sudah melepaskan kakinya dan beralih meraih kain yang penuh dengan darah.Saat Sinta berhasil menjauh, tangan itu kembali terulur dan berhasil mencengkeram pergelangan kakinya. Bahkan semakin erat karena ada kuku-kuku yang berser
Tangan lelaki itu mulai kelelahan karena lamanya menarik pedal gas. "Perasaan matahari hendak terbit. Kenapa sekarang menjadi gelap lagi? Apa mungkin mau turun hujan?" Ardi bergumam pelan. Motornya pun masih melaju dengan kecepatan sedang.Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang membuat rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan ikut berkibar. Lelaki itu sampai menggigil karena kencangnya angin, sekujur tubuhnya pun mulai merasakan ada titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Awalnya hanya rintik-rintik, lama kelamaan hujan turun semakin lebat sehingga membuat sekujur tubuh lelaki itu basah. Ardi memutuskan menepi dan berhenti di bawah pohon mahoni karena hujan tak kunjung reda. Ardi melirik pohon yang berada di belakangnya ini. Ia nampak heran sebab pepohonan yang berada di sekitarnya sudah gersang serta daunnya pun banyak yang berguguran. Hanya pohon besar ini satu-satunya yang masih rimbun dan daunnya pun masih hijau.Ardi meraih ponsel yang berada di dalam saku cela
Pak Sholeh memutuskan menyuruh anak lelakinya untuk mendatangi seorang Ustadz yang tinggal di kampung ujung."Sepertinya Pak Ustadz di kampung sebelah tidak ada. Maka dari itu Ardi lama, Pak Wito," ujar Pak Sholeh."Mungkin saja Ardi mencari orang ahli agama yang lainnya." Sambung salah seorang bapak-bapak yang tengah memegang tangan Sinta.Wanita itu kini sudah jauh lebih tenang, tidak berteriak-teriak seperti sebelumnya. Hanya saja, Sinta sesekali masih menendang dan jika di lepas akan melukai dirinya sendiri."Seharusnya Ardi akan langsung ke Ustadz yang di kampung ujung. Anak itu juga kenal dengannya," sahut Pak Wito, yang tak lain adalah bapaknya Ardi dan juga Aldo."Lalu ke mana perginya Ardi? Hampir satu jam dia belum tiba juga," pungkas lelaki paruh baya itu, suaranya pun terdengar khawatir."Kita berpikir positif saja Pak. Bisa jadi Ardi kehabisan bensin atau bannya bocor."Beberapa menit kemudian terdengar suara deru motor. Anak lelaki Pak Sholeh sudah tiba bersama seorang U
"Kamu jangan ikut, jaga Sheila dan Rafa. Biar bapak yang ke hutan." Lelaki yang berumur lebih dari 50 tahun itu mencegah saat Sinta ingin ikut ke hutan."Hati-hati, Pak."Pak Wito berjalan dengan tergesa, tak memperdulikan tubuhnya yang mulai kelelahan karena tak terbiasa jalan terlalu jauh. Sudah beberapa ratus meter lelaki itu berjalan. Hingga ada suara deru motor dan seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang dan membuat langkah kaki Pak Wito terhenti. Ia pun menoleh dan mendapati beberapa warga yang menyusul dirinya. "Ayo naik, Pak Wito," ajak salah seorang bapak-bapak yang berkendara sendirian. Sedangkan yang lainnya tetap melajukan kendaraanya menuju hutan.Lelaki paruh baya itu lantas naik dan motor kembali melaju. Tak hanya khawatir, mereka pun di buru oleh waktu karena hari mulai senja. Semburat merah mewarnai langit, cahaya matahari perlahan mulai meredup karena sang Surya sedikit demi sedikit mulai tenggelam."Pegangan Pak Wito," seru bapak yang mengendarai motor
"Selamat pagi Mas Ardi," sapa Syahril, pemuda yang tinggal di seberang rumah Sinta. Pemuda itu tengah berdiri seraya memanaskan sepeda motornya."Mau berangkat sekolah?" Ardi yang tadinya menunduk memandangi ponselnya, kini menoleh ke arah pemuda tersebut seraya menarik sudut bibirnya menciptakan lengkungan tipis."Iya, Mas," jawab pemuda itu singkat.Ardi meraih tongkat kayu yang berada di sampingnya. Lelaki itu segera bangkit dan berjalan dengan tertatih menghampiri Syahril."Mau ke mana, Mas? Hati-hati." Pemuda itu nampak panik, melepaskan setang motor dan berlari menghampiri Ardi yang berjalan dengan bantuan tongkat kayu."Mau nitip ini." Ardi meraih ponselnya yang mati dan menyerahkan kepada pemuda itu."Simpan di konter depan sana ya. Bilang saja punyaku," pungkas Ardi."Baik, Mas."Setelah memastikan pemuda itu pergi, Ardi kembali masuk ke dalam rumah. Usai kejadian tempo hari, salah satu kaki lelaki itu masih terasa kaku dan terkadang dadanya masih berdenyut nyeri. Baru saja i
Perut Sinta yang rata terlihat menonjol dan seperti ada sesuatu di dalamnya, akan tetapi wanita itu tak merasakan apa-apa. Hanya saja, saat telapak tangannya menyentuh permukaan kulit perutnya ada sesuatu yang bergerak-gerak.Benar apa kata Sheila-putrinya itu. Perutnya bergerak saat tangannya menyentuh lagi area perut yang menonjol. Matanya awas menatap tanpa berkedip, sampai-sampai dirinya terkesiap dan reflek memegang dadanya.Seperti ada bayi di dalam perutnya. Namun, anehnya ia tak merasakan apapun dan permukaan kulitnya pun rata hanya terdapat benjolan yang sesekali bergerak berpindah dari sisi kiri ke kanan.Sinta duduk dan menyingkap bajunya sampai memperlihatkan seluruh area perutnya. Ada sedikit rasa takut, akan tetapi ia memberanikan diri untuk tetap mengawasi sesuatu yang bergerak aktif tersebut."Penyakit apa ini? Mengapa aku tak merasakan pergerakan itu? Aku harus periksa ke bidan besok," gumam Sinta lirih. Hampir lima belas menit lamanya perut itu terus bergerak dan per
"Berapa ini, Pak?" tanya Aldo. Tangannya memegang dua ponsel keluaran lama."Katanya suruh bayar 400 dan 300. Itu ponsel masih jaringan 3G, tetapi sudah mendukung aplikasi hijau untuk video call," jelas Pak Imron.Saat ini mereka sudah siap-siap hendak pulang dan salah satu teman sesama pekerja proyek menawarkan ponsel lamanya yang sudah tak dipakai."Saya tidak paham soal ponsel, Pak. Kira-kira masih bagus tidak ya?" Aldo terlihat menimang-nimang dan memikirkannya kembali."Sudah saya cek, semuanya masih normal. Lumayanlah harga segitu, kamu bisa leluasa teleponan dan video call dengan anak istrimu untuk mengobati rasa kangen." Lelaki yang umurnya terpaut beberapa tahun dari Aldo itu mencoba membujuk. Ya, dirinya merasa kasian karena Aldo selalu sungkan kepadanya apabila hendak menelepon anak-anaknya menggunakan aplikasi yang menampilkan wajah dari jarak jauh tersebut."Atau kamu bisa tawar lagi. Siapa tau dia mau memberi potongan. Dan ponsel lamamu bisa dijual nanti," sambung Pak Im
Aldo berjalan mendekat. Namun, Rafa justru mundur hingga kakinya terkena pinggiran kursi."Ada apa, Rafa?" Seperti biasa, suara lelaki berpawakan tinggi itu terdengar lembut."Ba-bapak ... Bapak bukannya ada di dapur bersama ibu?" Bocah itu masih menatap sang bapak dari atas ke bawah. Pakaiannya sama persis, baju Koko berwarna cokelat dengan sarung menempel sebagai bawahan serta sajadah yang bertengger di pundak."Di dapur? Bapak kan baru pulang," jawab Aldo dengan dahi yang berlipat, sebab tak mengerti apa maksud ucapan putera pertamanya itu.Secepat kilat Rafa berlari menuju dapur dengan dada yang bergemuruh hebat. Sungguh, ia tak berhalusinasi dan bapaknya yang baru pulang itu juga nyata.Sesampainya di ambang pintu dapur, Rafa mengedarkan pandangan di setiap sisi ruangan yang berbentuk memanjang ke samping itu.Tak ada bapaknya di sini dan hanya ada Sinta, sang ibu yang tengah berdiri di dekat kompor menyeduh kopi. Terdengar suara denting sendok yang beradu dengan gelas."Bapak tad
Mendengar suara ribut membuat Sinta dan kedua anaknya ketakutan. Mereka tetap berada di sana dan menuruti semua perkataan sang Ustadz."Takut, Bu," cicit kedua anak Sinta.Wanita itu memeluk keduanya dengan erat. Hingga suara-suara itu berhenti dan berganti suara Ardi yang menjerit memanggil nama Aldo."Ayo kita keluar," ajak Sinta. Dirinya gegas beranjak dan menarik tangan kedua bocah itu. Perasaannya tak enak dan memilih keluar menghiraukan larangan Pak Ustadz.Braaakk..Saat Sinta keluar, bersamaan dengan itu pintu kamar sebelah pun dibuka oleh sang Ustadz. Sinta membekap mulut menahan tangis saat menyaksikan sang suami tergeletak tak berdaya di pangkuan Ardi.Sinta dan kedua bocah itu berjalan cepat dan turut bersimpuh mengerumuni Aldo."Mas Aldo kenapa, Di?" Sinta tak mampu membendung lagi, cairan bening tumpah melihat kondisi sang suami."Bapak!" Sheila dan Rafa memeluk badan Aldo yang lemah.Mereka mengangkat dan membaringkan Aldo di sebuah tikar. "Cepet cari bantuan, Di. Bawa
"Allahu Akbar." Pak Ustadz tak berhenti, membuat Sheila merasakan sesuatu yang luar biasa sakit."Bu! Sakit!" teriak Sheila, disertai tangis dan raungan histeris. Kedua tangan dan kakinya dipegang kuat agar tak menyakiti tubuhnya sendiri.Pak Ustadz melangkah maju, menempelkan telapak tangannya ke dahi bocah itu. "Ya Allah, tolong hambamu. Keluarkan sesuatu yang bersarang di dalam tubuh anak ini," ucapnya lirih.Mata Sheila bergerak liar, bola matanya hanya nampak warna putih. Mulutnya menganga dengan napas memburu dan tersengal-sengal, seolah menahan sesuatu yang hendak keluar.Doa-doa terus di lantunkan. Ardi, Sinta dan Rafa pun turut berdoa dalam hati. Berharap Sheila segera sembuh dari penyakit aneh ini.Lewat tengah malam, suara batuk Aldo tak berhenti di kamar sebelah. Sedangkan Sheila tergeletak lemas tak berdaya di pangkuan sang ibu. Sesekali wanita itu mengusap buliran bening yang masih merembes di sekitar dahi."Alhamdulillah, gangguan dari mahluk itu sudah keluar. Insha Alla
Waktu silih berganti. Tak terasa sudah satu bulan lamanya. Awalnya tak ada kejadian yang janggal setelah peristiwa itu. Aldo dan keluarganya menjalani hidup tentram tanpa gangguan.Namun, siapa sangka ternyata semua masih berlanjut. Setelah memasuki minggu pertama, keluarga Aldo sakit secara bergantian.Mereka pikir itu hal yang wajar dan sebuah kebetulan, sebab musim berganti serta cuaca tidak menentu.Ardi dan Rafa baru saja sembuh, kini giliran Sheila mengalami gatal yang luar biasa. Sedangkan Aldo batuk parah hingga mengeluarkan cairan kental berwarna hitam pekat dan bau yang begitu menyeruak di indra penciuman.Uhuuk … uhuuuk ….Aldo yang tengah terbaring di ranjang terbatuk lagi. Wajahnya nampak pucat serta bibir mengering. Sinta meraih segelas air dan membantu sang suami untuk minum."Gimana keadaan Sheila, Dek?"Sinta kembali menaruh gelas ke atas nakas, dan kembali menatap sang suami. "Alhamdulillah dia sudah bisa tidur, Mas."Aldo tak berani untuk sekedar mendekati kedua an
Aldo berjalan cepat, menghampiri ranjang yang berada di sisi kiri. Anak perempuannya masih memejamkan mata. Namun, gerakan liar tangan dan kakinya tak berhenti membuat ranjang itu bergeser sedikit demi sedikit. Tubuh Aldo menahan sisi ranjang dan tangannya memegang tubuh putrinya agar tak terjatuh. "Sheila, bangun," ucap Aldo pelan. Satu tangannya menepuk pelan pipi yang terasa dingin itu. Padahal suhu ruangan di sini sangat panas dan pengap.Kreeettt ... Kreeett ... Kreeettt ...Ranjang masih bergoyang, menimbulkan suara decitan dari kaki ranjang besi yang bergesekan dengan lantai. Nyaring, membuat Ardi yang terbaring di kursi terusik dari tidurnya."Ada apa, Mas?" Ardi bersuara serak, mengucek mata yang terasa masih mengantuk. Lalu berjalan menghampiri Aldo."Sheila kenapa?" tanyanya lagi. Tanpa di suruh tangannya ikut memegangi kaki Sheila."Gak tau, Di. Mas sudah mencoba membangunkan, tetapi Sheila tak kunjung membuka matanya." Aldo panik. Air mukanya berubah cemas takut terjadi
Aldo mengendong tubuh Sinta yang lemas tak berdaya. Sungguh, keadaan wanita itu saat ini sangat kacau. Aroma busuk menyengat membuat Aldo sesekali menahan napas saat bau itu menusuk indera penciumannya."Pelan-pelan Mas Aldo," ucap Pak Ustadz mengingatkan. Lelaki yang memakai baju putih, celana berwarna hitam dan kopyah yang bertengger di kepalanya itu berjalan di depan Aldo sembari menyingkap ranting-ranting kering yang menghalangi jalan."Iya Pak Ustadz," jawab Aldo pelan. Napasnya terasa sesak menahan berat badan Sinta.Aldo berhenti sejenak dan membenarkan posisi sang istri lalu kembali melanjutkan perjalanan mengikuti Pak Ustadz.Aldo memperhatikan jalan setapak dan di depan sana sudah nampak cahaya yang terang. Terus menyusuri jalan hingga mereka berhasil keluar dari dalam hutan."Masih kuat Mas Aldo?" Pak Ustadz menghentikan langkah kakinya. Ia pun mengajak Aldo untuk istirahat sejenak. Aldo menurut dan menidurkan Sinta di sebuah gubuk di tengah ladang.Aldo ngos-ngosan, tubuh
Kabut asap, bau hangus, bangkai, belatung serta darah menjadi hal biasa di dunia alam ghaib inj. Gelap, pengap, anyir menjadi satu.Seorang Wanita dengan perut yang besar, rambutnya berantakan serta gigi-giginya yang mulai menghitam. Di dampingi sesosok mahluk hitam, besar berbulu yang menyeramkan. Matanya pun merah menyala dengan gigi tajam serta kuku yang runcing. Kakinya berserabut bak akar pohon beringin yang menjuntai ke tanah.Pemandangan yang sangat menakutkan. Namun, di mata wanita itu, semuanya indah. Ia merasa tubuhnya yang kini memiliki perut buncit, bertambah cantik dan menawan. Begitupun dengan lelaki yang berada di sampingnya. Di mata Sinta, Virgon amatlah tampan serta singgasana yang luar biasa megah."Kamu mau makan lagi, sayang?" Virgon bertanya lembut. Tangannya masih setia bertengger di bahu Sinta. Senantiasa memeluk wanita itu setiap saat. Tak sedikit pun melepasnya."Aku sudah kenyang, Mas."Sinta selalu di suguhi makanan-makanan menjijikan dan kepuasan setiap saa
"Aduh ..." Pak Wito hampir saja terjatuh karena kakinya tersandung batu. Lelaki itu masih terus berjalan di tengah gelapnya malam mengikuti bayangan tubuh Aldo yang terus berjalan menuju sumur. Hanya ada penerangan lampu dari teras depan rumah, sedangkan di teras bagian samping rumah sampai ke belakang tak ada lampu sama sekali."Tungguin Bapak, Do," Pak Wito mempercepat langkahnya walau dirinya agak kewalahan. Saat dirinya sudah berada di dekat Aldo, tangan yang sudah keriput itu meraih tangan Aldo yang berhenti menunggu dirinya. Ya, Pak Wito takut terjatuh atau pun terpeleset."Tangan mu dingin sekali. Lagian, ke hutan tengah malam, mana gak pakai jaket pula," Pak Wito ikut melangkahkan kakinya saat sang anak berjalan pelan."Sinta di mana, Do?" Pak Wito memindai sekitar.Gelap. Sunyi. Hanya ada suara binatang malam serta suara angin yang berhembus membuat ranting-ranting kayu bergesekan. Mereka berdua sudah sampai di sumur. Aldo terus mengajak Pak Wito untuk berdiri mendekat. N
Suara genteng yang beradu dengan batu kerikil menimbulkan suara yang nyaring. Bahkan beberapa batu itu berukuran cukup besar sehingga beberapa genteng pecah dan terjatuh mengenai lantai rumah."Ayo kita keluar." Ardi melindungi Rafa, sedangkan Aldo memeluk putrinya agar tak terkena pecahan genteng. Mereka berempat berjalan cepat menuju pintu. Suara keributan di luar sana semakin terdengar jelas.Setelah mereka berhasil keluar, Ardi memegangi kedua bocah itu yang kini semakin ketakutan. Membawa mereka menyingkir ke tempat yang lebih aman. Sedang Aldo segera menghampiri beberapa warga yang tiba-tiba melempari rumahnya dengan batu."Tolong bapak-bapak dan ibu-ibu berhenti!" Tak hanya Aldo yang menghentikan. Tetapi beberapa tetangga Aldo pun sedari tadi sudah mencegah perbuatan itu."Kami tidak mau ikut sial karena perbuatan keluargamu!" Teriak salah seorang warga yang kontra dengan masalah yang menimpa keluarga Aldo.Namun, tak sedikit pula tetangganya yang justru peduli dan kasian deng
"Jangan-jangan kamu dan kakakmu juga anaknya genderuwo.""Iya. Serem.""Jadi merinding begini dekat dengan Sheila.""Ngeri, anaknya setan ternyata ...""Jangan dekat-dekat sama Sheila. Kata emakku, bisa-bisa kita juga di culik sama genderuwo itu. Apalagi kalian yang perempuan.""Ihhh ... Takut ...""Kamu pindah ke belakang sana, Sheila. Aku takut kalau duduk sebangku dengan mu lagi. Bisa-bisa aku di culik.""Sheila anak setan ... Sheila anak setan ... " Beberapa temannya menyoraki dan bertepuk tangan."Huuu ... Sheila anak genderuwo."Semua perkataan dari beberapa teman-temannya membuat telinga gadis kecil itu terasa panas. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa iya semua yang dikatakan itu benar?Sheila terus menunduk dan tak kuasa mengangkat kepala. Air matanya seolah berlomba ingin keluar. Namun, Sheila sekuat tenaga menahannya hingga jam pelajaran di mulai.Sheila tak berani keluar kelas karena teman-temannya pasti akan memojokkan dirinya. Gadis kecil itu menyibukkan diri dengan mencor