Sekitar pukul sembilan pagi, Jenala dikejutkan oleh notifikasi dari Abimana. Ia terkekeh geli kala membacanya. Mas Suami. [ Jena, masih ingat pesan Sera semalam, tidak? Dia ingin membeli ikan hias di depan kantormu. Sekalian Fish Bowlnya. Maaf ya, andai aku tidak sibuk. Pasti aku yang membelikannya. ][ Kamu tahu, aku baru saja membahas perihal kerjasama dengan Dario Grup, yang aku ceritakan beberapa hari yang lalu. Mungkin untuk kedepannya aku juga sangat sibuk, karena akan membangun perhotelan di Kuala Lumpur. ]Jenala tersenyum bangga pada Abimana, ia mulai mengetik untuk membalas pesan sang suami. [ Beres, Mas. Aku juga tidak sibuk pagi ini, karena ada Pak Ben yang handle. Nanti langsung aku bawakan Sera pulang, ya. Sekalian mau ambil flashdisk di rumah. ][ Semoga proyeknya lancar Mas, kalau Mas butuh apapun. Aku akan selalu membantu selama aku mampu.]Mas Suami. [ Thank you istriku.] [ Kamu balik lagi ke kantor? Apa kamu tidak kelelahan? Kalau cape bilang, ya. Kamu bolak b
Setelah Jenala berhasil keluar dari rumah itu, dia bergegas menelpon salah satu pelayan di rumahnya. Jenala memang cukup kenal baik dengan satu orang, mungkin karena mereka seumuran. "Saya minta tolong kali ini, bisa, 'kan?"Jenala memohon penuh iba, mau tak mau perempuan itu mengiyakan. Tak mungkin juga dia menolak permintaan dari istri tuan mudanya.[Baik Bu. Sekarang Ibu Jena langsung ke kantor saja, saya akan membereskan semuanya]"Terima kasih sekali lagi, Rena. Saya akan selalu mengingat jasamu." Jenala membisu sepanjang perjalanan menuju kantor, dia berusaha mengembalikan kewarasannya. Fakta yang dia temukan benar-benar membuatnya tak mampu berkata-kata. Kehidupan tenangnya dulu berubah drastis, dan Jenala merasa hidupnya benar-benar penuh tantangan sekarang. Disaat seperti ini dia sangat membutuhkan keluarganya, andai mereka masih ada. Pasti Jenala tak hilang arah seperti ini. "Ma, Pa, Juwita. Aku merindukan kalian." Malam harinya, Abimana pulang dalam keadaan rumah sudah
Abimana, Jenala serta Sera sudah mencoba berbagai macam permainan. Mereka dipaksa oleh gadis kecilnya, dan berakhir perut mereka minta di isi karena sudah terlalu lelah bermain. Mereka memutuskan ke restoran favorite mereka yang ada di sini. Restoran itu menyediakan menu eropa serta asia. "Huh… lelahnya. Mama, Sera mau jus alpukat. Seperti yang Mama buat minggu lalu." "Kamu buat jus alpukat? Kenapa tidak membuatkanku?" Abimana menatap Jenala, yang dibalas kekehan oleh sang empu. "Itu sisa alpukat di kulkas, Mas. Dan aku pikir Mas Javi tidak menyukainya, karena kebanyakan orang-orang di sini memakan alpukat pakai roti." Jenala pernah menawarkan pada rekan kerjanya dulu, tapi mereka malah menertawakannya. Kata mereka sungguh aneh melihat alpukat dibuat jus seperti itu."Aku suka, dulu waktu liburan ke Jakarta sering dibuatin sama Oma." Netra Abimana meredup kala mengingat mendiang neneknya. Jenala yang melihat itu langsung berinisiatif mengelus lembut punggung tangan sang suami. "N
Pagi ini ada pemandangan yang tak biasa. Viktor ikut sarapan dengan keluarganya, Abimana yang sudah mengambil duduk menatap papanya penuh penilaian. "Tumben Papa ikut sarapan? Ada angin apa?" Alih-alih merasa tersinggung, pria itu menatap putra sulungnya dengan smirk khas andalannya. "Ingin saja, apalagi yang memasak menantu Papa." Abimana melayangkan tatapan protes, dia memincing menatap ke arah sang papa. "Jangan main-main, Pa. Jenala istriku!" Uhuk!Raquel yang sedang menyiapkan hidangan di atas meja pura-pura terbatuk keras, agar atensi kedua pria itu mengarah padanya."Posesif," ejek Viktor, sementara Abimana memasang raut datar. Raquel meremas kedua tangannya, lalu menghentakkan kaki menuju dapur. "Hari ini suami saya sarapan di rumah, kamu jangan membuat kesalahan. Berdoa saja supaya masakan kamu bisa diterima di lidahnya."Jenala mengangguk kaku. Lalu mengikuti langkah Raquel menuju meja makan. "Cisa di mana, Ma?" Raquel menatap Abimana sekilas. "Ke rumah Miranda, ada ke
"Tapi apa? Nyatanya dia berbohong. Justru dia yang selalu membuatku merasa kecil dan hilang arah. Rasanya menyakitkan, sungguh. Karena pria itu adalah orang yang aku cintai, tapi dia juga yang menghancurkanku." Perkataan dengan nada datar itu memukul telak Abimana, ia mencoba untuk menyentuh Jenala. Tapi dengan cepat perempuan itu menepisnya. “Sepertinya kita butuh waktu sendiri, Mas. Awal-awal aku begitu yakin denganmu, tapi kenapa makin ke sini kamu terlihat egois.”Abimana menggeleng kuat, dia menarik tangan Jenala dan menggenggamnya erat. “Tidak Jena, jangan katakan hal seperti itu. Aku-” Abimana menelan ludah susah payah. ”Aku tau jika diriku sangat bodoh dan berpikiran sempit saat panik. Aku mohon, jangan pergi!” Jenala membuang pandangan ke arah lain, dia tak tahu harus merespon seperti apa. Hatinya begitu sakit kala mendengar tuduhan Abimana kepadanya. “Aku tidak tau jika Papa alergi, dan Mama hanya mengatakan kalau udangnya dicampur saja dengan bumbu yang lain. Lalu dible
"Mama…. Cisa… tolong…." Jenala berteriak kesakitan kala merasakan perutnya diremas, diiringi oleh aliran darah yang mulai mengalir dari pangkal pahanya."Hiksss… tolong…. Sakit…." Rintihnya pilu.Raquel serta Cisa bergegas masuk ke kamar mereka, tak lama kemudian terdengar teriakan Abimana yang menyerukan nama Jenala. "Ya Tuhan! Jena!" "Astaga!" Para asisten rumah tangga memekik, mereka mulai berkumpul, sementara Abimana terus menepuk pipi Jenala agar perempuan itu tak kehilangan kesadaran. "PANGGIL PAK SAM! CEPAT!" Abimana berteriak keras, dia membopong Jenala menuju mobil. "Astaga! Jenala kenapa Javier?!" Raquel serta Cisa berlari menyusul langkah lebar Abimana. Alih-alih menjawab, Abimana semakin dilanda rasa panik ketika Jenala mulai menutup mata."Jena… jangan tutup mata kamu… tolong… sayang." Tubuh Abimana semakin bergetar kala mulai merasakan darah pada telapak tangannya. "CEPAT! PAK SAM CEPAT KE RUMAH SAKIT TERDEKAT!" Sang supir yang baru datang bergegas menjalankan roda
Abimana mendongak, diiringi air mata yang masih mengalir. "Maaf… maaf Jena, aku tidak bisa menjaga anak kita di dalam sini. Dia pergi sebelum kita mengetahui keberadaannya." Saat itu juga Jenala merasa dunianya runtuh seketika. Jenala menggeleng kuat, bulir air mata mulai berjatuhan membasahi pipi tirusnya. "Bohong…. tidak mungkin…." Jenala menatap ke sembarang arah, dia seperti orang linglung yang sedang mencari sesuatu."Maaf Jena, maaf karena tidak becus menjagamu." Abimana memeluk Jenala erat, pria itu bisa merasakan getaran pada tubuh ringkih sang istri. "Pembunuh! Dia pembunuh, Mas! Adik kamu itu pembunuh! Dia yang mendorongku dari tangga!" Seketika itu pula Abimana melepas pelukannya, dia menatap Jenala dengan bibir terbuka, wajah pria itu pias. Setelahnya menggeleng sedih. "Aku tau jika kamu terpukul, sayang. Tapi jangan seperti ini, ya? Aku akan selalu disampingmu." Abimana kembali memeluk Jenala, pria itu mengeratkan pelukannya walau Jenala memberontak kuat. Perempuan i
Viktor meregangkan otot-ototnya, pria itu merasakan jika tubuhnya tak bertenaga. Suara ketukan membuatnya menoleh. Dia berucap serak seraya memejamkan mata."Masuk." Tak lama kemudian, terlihat eksistensi seorang perempuan yang usianya tak berbeda jauh dari Jenala. "Mengapa bukan Raquel?" tanya Viktor ketika melihat Perempuan itu membawakannya sarapan. "Maaf, Pak. Bu Raquel sedang di rumah sakit, dan beliau belum pulang sampai sekarang." Kening Viktor berkerut. "Siapa yang sakit? Bukankah semalam dia masih di sini?"Perempuan muda itu menunduk. "Semalam Bu Jenala jatuh dari tangga, kurang lebih sekitar pukul sebelas malam. Tepat ketika beliau baru pulang kerja." Raut Viktor tiba-tiba mengeruh, pria itu mencoba mengatur nafasnya secara perlahan. "Tolong ambilkan ponsel saya di atas nakas." Setelah benda pipih itu berada di tangannya, Viktor dengan cepat menghubungi Abimana.[ Halo, Pa. ] Suara Abimana terdengar serak, dan itu sangat mengganggu bagi Viktor. "Kamu baik-baik saja? Pa