Jenala mengemudikan SUV-nya dengan rasa sesak sepanjang perjalanan. Dia tak tahu mengapa perempuan dengan mudahnya menghakimi sesama perempuan lainnya.Women support women adalah hal terbullshit yang pernah Jenlala dengar. "Aunty…"Jenala tersentak, dia mengurangi kecepatan kendaraannya. Ya Tuhan, bahkan Jenala tak sadar jika Sera berada di sampingnya. "Aunty, you okay?" Jenaa gelagapan, dia memasang senyum menenangkan pada Sera. "Tentu, kenapa sayang?""Eum…. Sera melihat Aunty berantem bersama Oma dan Aunty Cisa."Jenala tertegun, dia menepikan mobilnya agar lebih fokus pada Sera. "Sayang, maafin Aunty. Tidak seharusnya kamu melihat hal yang seperti itu." Jenala menggigit bibir bawahnya penuh rasa sesal. "Tidak apa-apa, Sera mengerti. Awalnya Sera mau ambil bekal, tapi tidak jadi karena suara teriakan yang keras." Jenala semakin merasa bersalah, dia lepas kendali dan tak memikirkan apapun. Bekal Sera saja dia tinggal begitu saja, yang jelas pada saat itu dia harus pergi dari ha
Jenala resmi memegang perusahaan A&J milik mendiang papanya. Dan dia sangat bersyukur karena Abimana selalu berada disisinya untuk mensuportnya. Perusahaan Alpha memang tidak besar, karyawannya pun hanya dua puluh orang. Tapi jangan remehkan kualitas mereka semua, karena perusahaan ini berfokus pada periklanan. Tak jarang brand-brand besar juga di handle oleh A&J. "Bu Jenala, dua bulan yang lalu kita semua sempat meeting bersama Pak Abimana. Beliau mengatakan jika A&J akan dipindahkan ke pusat kota, karena gedung ini memang sudah habis masa kontraknya." Jenala terdiam, dia menatap sang manajer dan beberapa stafnya penuh pertimbangan. "Saya baru terjun di sini sekitar satu minggu. Tapi belum diinfokan oleh Mas Javier mengenai hal itu. Jika begitu nanti saya make sure kembali, ya." Mereka mengangguk serempak, sejujurnya Jenala ragu untuk pindah. Karena di sini lokasinya sangat strategis. Dan juga ini tempat pertama kali papanya merintis bisnis. "Pak, Ben. Ini kontraknya sisa berapa
Pagi harinya Abimana, Jenala serta Sera bergegas ke lantai bawah. Mereka langsung mengambil duduk di tempat masing-masing. "Ma, Papa tidak sarapan?" Raquel menggeleng. "Papa kamu selesai satu jam yang lalu. Sudah berangkat juga ke kantor, biasalah, seperti kamu tidak mengenalnya saja." Kekeh wanita itu, yang dibalas dengan anggukan singkat dari Abimana. "Aunty, Sera maunya susu coklat." Jenala menoleh pada Sera, lalu melirik segelas susu putih yang ada di sebelah gadis kecil itu. "Sebentar ya, Aunty buatkan dulu." Setelah Jenla berlalu, Abimana mengusap kepala sera penuh kelembutan. "Sayang, untuk kedepannya makan apa yang ada di hadapan Sera saja, ya. Kasihan Aunty Jena, sarapannya jadi terganggu."Sera mengernyit bingung, dia mantap Abimana penuh tanya. "Kenapa? Apakah tidak boleh, Papa?" Abimana membenarkan posisi duduknya. Dia mengusap surai Sera telaten. "Boleh saja sayang, tapi cek dulu keadaan, dan disini posisinya makanan Sera sudah tercukupi. Lalu jika ingin meminta sesu
"KAMU APAKAN CUCU SAYA HAH!" Jenala terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Dia sama sekali tak melawan ketika Raquel meremas bahunya kuat. Yang ada di kepalanya saat ini adalah hanya keadaan sera.Jenala masih ingat tubuh kecil itu tergeletak dengan darah di pelipisnya, belum lagi kening serta kakinya yang lecet akibat gesekan aspal. "Dasar Ibu yang tidak becus!" Cisa menimpali, perempuan itu berdiri di sisi mamanya. Jika saja keadaan normal, mungkin Jenala akan melawan mereka. Tapi saat ini dia kehilangan rasa percaya diri itu, bahkan Jenala berpikir jika dirinya memang tak becus menjadi ibu bagi sera. "Tante, Cisa. Sudah ya, Jena pasti masih shock." Miranda membuka suara, perempuan itu menarik lengan Jenala seraya mendudukkannya di kursi ruang tunggu. "Yang terpenting kita harus berdoa supaya Sera baik-baik, saja." Miranda menepuk pelan punggung tangan Jenala sebagai penyemangat. Sementara Jenala mulai terisak, perasaannya tersayat ketika membayangkan keadaan Sera di dalam s
Belum genap tiga bulan mereka menikah, rumah tangganya tiba-tiba diguncang badai. Ternyata memang benar, tidak baik tinggal bersama mertua dan ipar. Pasti ada saja cekcoknya.Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah, dan jika boleh jujur. Jenala sakit hati karena Abimana tak mendengar dari kedua sisi. "Jenala, kenapa terburu-buru?" Jenala tersentak, dia tak sadar jika ada papa mertuanya yang menghalangi jalannya. "Papa, maaf. Saya mau ke kamar mandi. Kalau begitu saya duluan ya, Pa." Jenala berlari tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit. Sementara Viktor memperhatikan perempuan itu penuh penilaian. Viktor melangkah menuju kamar Sera, dan menemukan Abimana serta Raquel. Sedangkan Sera sudah memejamkan mata dengan boneka beruang yang ada di pelukannya. "Bagaimana keadaannya?" "Sudah lebih baik, Pa. Kakinya terkilir sama luka lecet di kening," jawab Abimana. Jujur saja, Abimana terlihat aneh ketika melihat mamanya yang membuang muka kala tak sengaja bertatapan denga
"Kamu sudah hamil, belum?" Tubuh Jenala menegang, ia menelan ludah susah payah. "Pasti belum, ya? Sudah periksa ke Dokter? Takutnya ada yang salah dengan keseha-" "Mama, Miranda sudah siap." Miranda tersenyum lebar, perempuan itu benar-benar cantik, walau dengan riasan tak berlebihan. Pantas saja dia menjadi salah satu model yang diperhitungkan saat ini. "Hai Jena! Terima kasih sudah datang!" Miranda melangkah menuju Jenala, dan memeluk perempuan itu singkat. Sementara Cisa yang ada di belakang Miranda berdecak malas. Jenala yang melihatnya hanya tersenyum datar, entah mengapa Cisa begitu membencinya sekarang. "Ternyata acaranya sudah mau mulai, ya?" Jenala menoleh ke sumber suara, sepertinya itu para sepupu serta paman, Abimana. Jenara tertegun untuk sejenak melihat paras menawan mereka semua. Ada beberapa yang Jenala kenali, itu pun mereka yang ke acara pernikahannya saja."Iya, Pa. Biar cepat acara makan-makannya. Cisa sudah lapar sekali katanya.""Ih! Miranda! Jangan berboho
Sekitar pukul sembilan pagi, Jenala dikejutkan oleh notifikasi dari Abimana. Ia terkekeh geli kala membacanya. Mas Suami. [ Jena, masih ingat pesan Sera semalam, tidak? Dia ingin membeli ikan hias di depan kantormu. Sekalian Fish Bowlnya. Maaf ya, andai aku tidak sibuk. Pasti aku yang membelikannya. ][ Kamu tahu, aku baru saja membahas perihal kerjasama dengan Dario Grup, yang aku ceritakan beberapa hari yang lalu. Mungkin untuk kedepannya aku juga sangat sibuk, karena akan membangun perhotelan di Kuala Lumpur. ]Jenala tersenyum bangga pada Abimana, ia mulai mengetik untuk membalas pesan sang suami. [ Beres, Mas. Aku juga tidak sibuk pagi ini, karena ada Pak Ben yang handle. Nanti langsung aku bawakan Sera pulang, ya. Sekalian mau ambil flashdisk di rumah. ][ Semoga proyeknya lancar Mas, kalau Mas butuh apapun. Aku akan selalu membantu selama aku mampu.]Mas Suami. [ Thank you istriku.] [ Kamu balik lagi ke kantor? Apa kamu tidak kelelahan? Kalau cape bilang, ya. Kamu bolak b
Setelah Jenala berhasil keluar dari rumah itu, dia bergegas menelpon salah satu pelayan di rumahnya. Jenala memang cukup kenal baik dengan satu orang, mungkin karena mereka seumuran. "Saya minta tolong kali ini, bisa, 'kan?"Jenala memohon penuh iba, mau tak mau perempuan itu mengiyakan. Tak mungkin juga dia menolak permintaan dari istri tuan mudanya.[Baik Bu. Sekarang Ibu Jena langsung ke kantor saja, saya akan membereskan semuanya]"Terima kasih sekali lagi, Rena. Saya akan selalu mengingat jasamu." Jenala membisu sepanjang perjalanan menuju kantor, dia berusaha mengembalikan kewarasannya. Fakta yang dia temukan benar-benar membuatnya tak mampu berkata-kata. Kehidupan tenangnya dulu berubah drastis, dan Jenala merasa hidupnya benar-benar penuh tantangan sekarang. Disaat seperti ini dia sangat membutuhkan keluarganya, andai mereka masih ada. Pasti Jenala tak hilang arah seperti ini. "Ma, Pa, Juwita. Aku merindukan kalian." Malam harinya, Abimana pulang dalam keadaan rumah sudah
Sudah satu bulan lamanya Jenala tinggal di hotel bersama keluarga kecilnya, dan tepat pada pukul delapan malam. Ketika Anak-anaknya tertidur, perempuan itu melenggang santai menuju lantai dua, tempat restoran hotel ini berada. Jenala sendiri tinggal di lantai lima, bersama keluarga kecilnya.“Bu Jenala.” Jenala menoleh ke belakang, melihat Rena, asisten rumah tangannya yang terlihat membawa paper bag. “Lho, kamu habis dari mana? Saya pikir kamu ada di kamar?”Rena tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tapi tadi dihubungi oleh front office, katanya disuruh ambil pesanan Pak Abimana untuk Ibu Jenala.” Rena menyerahkan paper bag berlogo restoran Favorit Jenala. “Terima kasih, ya. Awalnya saya mau ke resto bawah saja.” Rena mengangguk sebagai respon. “Ayo ikut makan, kita bawa ke resto bawah saja bagaimana?” Rena mengangguk kikuk, tak enak juga menolak. “Baik, terserah Ibu saja.” Sementara itu, Abimana yang sedang berada di kantor Jenala dikejutkan oleh kehadiran Miranda serat Marlo. “Kalian ken
Jenala kebingungan ketika sudah membuka mata, ia melihat ke sekeliling ruangan yang ditempati. “Mas?” Panggilnya ketika tak mendapatkan eksistensi Abimana. “Jena, kamu sudah bangun, Sayang?” Abimana keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menggantung sebatas perutnya. “Bagaimana perasaanmu?” lanjut pria itu sembari mengambil duduk di pinggir kasur tempat Jenala berbaring.“Kita di mana, Mas?” Alih-alih menjawab pertanyaan Abimana, ia justru bertanya balik dengan nada serak.“Di hotelku, Sayang. Besok pagi baru kita berangkat ke Den Haag, soal Avahander dia berada di kamar sebelah bersama Sera serta Rena, dan aku membawa Rena untuk membantu kita nanti. Semua perlengkapan kamu juga sudah aku siapkan, kita tinggal berangkat besok pagi.” Jenala tergugu, masih tak mengerti kalimat panjang yang Abimana utarakan. “Sebentar, Mas. Maksudnya kita ke Den Haag untuk apa? Dan juga Avahander masih kecil, tidak mungkin kita membawanya naik pesawat. Kecuali jika dia sudah satu bulan ke atas.”A
“Brisik! Kamu bisa diam tidak?!” Abimana langsung memeluk Jenala yang terus memberontak. Setelah pulang meeting, ia menemukan Avhander dalam keadaan menangis, sementara Jenala ikut menangis sambil memukul crib baby Avhander. Abimana yang panik langsung menelpon dokter keluarganya, dan perkataan sang dokter membuatnya seperti suami terburuk Jenala mengalami baby blues syndrome, biasanya sang ibu akan menangis secara tiba-tiba, serta memiliki kecemasan berlebihan terhadap sesuatu. Abimana tidak pernah menduga jika Jenala akan mengalami ini semua. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjaga perasaan sang istri, tapi ternyata ia gagal. Dan ini sangat menyakitkan untuknya, Abimana telah gagal menjadi suami yang baik bagi Jenala. “Av–avhander ….” Suara lirih Jenala menyentak Abimana. “Iya, Sayang. Avhander sudah tidur. Kamu istirahat, ya? Aku temani.”“Tidak! Mama jahat! Mama hina aku! Padahal aku yang lahirin Avhander! Mama Raquel jahat! Aku mau sama Mama Papaku saja!” Tubuh Jenala bergeta
Jenala tersenyum melihat Abimana yang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Padahal ia sudah mengatakan tak apa-apa, dikarenakan bayi mereka juga lahir dalam keadaan sehat, walau sempat terjadi insiden kecil saat di kamar mandi. Sebenarnya Jenala juga merasa kecewa karena tak bisa melahirkan putra pertamanya ke dunia ini secara normal, tetapi apa mau dikata. Ini juga demi keselamatannya. “Hei, sudah. Aku juga sudah baik-baik saja.” Abimana menggeleng, masih teringat jelas saat dia sampai di kamar mandi dan menemukan Jenala yang sudah pingsan dengan darah menggenang. Sungguh, itu adalah hal mengerikan yang mampu membuat kinerja jantungnya berhenti berdetak, walau sesaat. Belum lagi saat dilarikan ke rumah sakit, dan dokter mengatakan jika Jenala harus dioperasi. Tentu Abimana semakin kalut, apalagi setelah melahirkan Jenala tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam “Sudah, ya. Aku juga baik-baik saja.” Jenala mengulang kembali kalimatnya, jemari lentiknya mengelus lembut surai
Bulan demi bulan telah dilalui, dan dua minggu lagi Jenala akan bertemu dengan buah hatinya, ada perasaan mendebarkan sekaligus melegakan dalam hatinya. Tantenya yang ada di Amsterdam tak henti-hentinya datang silih berganti, untuk menyemangatinya serta memberikan kata-kata penenang. Pun dengan Abimana, pria itu tak mau meninggalkan Jenala barang sedetik saja. Tapi Jenala mengancamnya jika tidak pergi bekerja dia tak mau menemui Abimana. “Mama, Sera sudah belikan barbie untuk adik bayi. Nanti kalau dia keluar Sera ajak main, boleh?” Jenala terkekeh, tapi tak urung mengiyakan. “Boleh, tapi adik bayi mainnya sama robot-robotan.” “Lho, kenapa, Mama? “Karena dia laki-laki, Sayang. Jadi, mainnya juga disesuaikan.” Sera terlihat manggut-manggut, walau sebenarnya dia juga tidak mengerti. “Mama, pipis.” Jenala mengangguk seraya mengacak gemas rambut, Sera. “Oke, Sayang. Hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa panggil, Mama.” Sera tak menjawab, gadis kecil itu sepertinya sedang ingin buru-b
Viktor membaca laporan yang sekretarisnya berikan, sesekali tampak kerutan pada dahi pria itu. “Jason mengajukan kerja sama pada, Javier?”Pria paruh baya itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi statusnya masih digantung oleh Pak Abimana. Sampai sekarang.” Viktor semakin terlihat penasaran, Abimana tak jauh beda ternyata darinya. Tak peduli itu adalah keluarga atau bukan, yang jelas jika tak berkompeten atau tidak memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan perusahaannya akan tetap ditolak. Dimitri—selaku ayahnya. Pernah mengatakan jika berbisnis lebih baik hindari dengan keluarga, karena urusan uang adalah hal sensitif. Dan terbukti, sampai sekarang Viktor tak menjalin kerja sama dengan anggota keluarganya. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Jason anggota keluarganya yang pertama bisa menjalin kerja sama dengan perusahaannya. “Baiklah, laporkan terus jika ada kejanggalan atau hambatan. Dan jangan lupa infokan kepada Rendra untuk selalu memantau orang-orang disekitar
“Mas, berapa hari di Malaysia?” Abimana mengecek ponselnya terlebih dahulu, lalu menatap kembali ke arah Jenala. “Sekitar satu minggu, Sayang. Maaf jika meninggalkanmu selama itu, tapi ini benar-benar tidak bisa diwakilkan.”Jenala mengangguk mengerti, pekerjaan Abimana memang begitu banyak, belum lagi membantu mengurus perusahaan periklanan miliknya. “Aku paham, jangan merasa bersalah seperti itu. Setelah melahirkan aku juga mau kembali ke perusahaan, apakah tidak apa-apa?” Abimana terdiam sejenak, menatap Jenala dalam. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang? Maksud aku, untuk mengurus anak kita menggunakan jasa baby sitter? Dan kamu siap akan impact ke depannya?”Kening Jenala berkerut, menurutnya tidak ada yang salah. “Memangnya kenapa, Mas? Dan dampak yang Mas maksud seperti apa?”Abimana tersenyum lembut, membaringkan tubuhnya pada sisi sang istri. Tangannya terangkat untuk mengelus perut Jenala yang sudah membesar. “Begini, Sayang. Jika setelah kamu memutuskan untuk kembal
Tak terasa kini usia kehamilan Jenala sudah menginjak lima bulan, perempuan itu tersenyum-senyum sendiri ketika mengetahui jika dirinya mengandung seorang putra. Sebenarnya tak masalah, entah lelaki atau perempuan. Yang terpenting sehat. Namun, ketika melihat reaksi Abimana, Jenala sungguh terharu, pria itu bahkan mengambil cuti karena tak bisa jauh dari istrinya. Abimana selalu menanyakan apa yang dia suka serta tak suka. Belum lagi menjauhkan apapun yang membuatnya tak nyaman. Bukankah prianya begitu manis?“Jena!” Jenala tersentak, bahkan rajutan yang ada di tangannya terjatuh seketika.“Maaf, aku ngagetin, ya?”Jenala menoleh ke arah Miranda, lalu menggeleng singkat. “Tidak, aku tadi sedang fokus saja.” Dia menunduk, mengambil benda yang mempunyai pola rajutan garter stitch itu. Jenala kembali mengalihkan atensinya pada Miranda, sebenarnya agak sedikit aneh ketika Miranda bertamu pagi-pagi seperti ini.“Kamu libur hari ini?” Miranda mengangguk kuat, menaruh di atas meja paper ba
“Mama, apakah adik bayinya seperti Sera?” Jenala terkekeh mendengarnya, dia memang sudah pulang satu minggu yang lalu. Dan memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga besarnya. Mereka semua bahkan sampai terbang ke Belanda untuk melihat keadaannya. Sementara keluarga besar Abimana juga tak kalah heboh, walau ada beberapa yang terlihat tak suka, tapi Jenala tak ambil pusing.“Belum tahu, Sayang. Apakah nanti perempuan atau lelaki. Nanti kita cek setelah empat atau lima bulan, oke?” Sera mengangguk kuat, gadis kecil itu mengelus perut rata Jenala, sesekali terkikik atas tingkahnya sendiri. “Oh, iya. Apakah sepupu Sera yang di Jakarta itu akan ke sini lagi, Mama?” Jenala mengacak rambut Sera gemas, gadis kecilnya ini suka sekali bermain dengan keponakannya. Namun, sayang sekali mereka hanya beberapa hari di Belanda. “Nanti kalau libur panjang pasti mereka ke sini lagi, Sayang.’ Sebenarnya Jenala masih merindukan nenek serta paman dan bibinya. Tetapi tidak mungkin, karena mereka ju