* Cintaku padamu seperti ompol. Orang lain hanya bisa melihat celana yang basah, tapi kitalah yang bisa merasakan kehangatan akibat air pipisnya.***Berhasil! Reyhan telah mengangkat mangkok kecil itu dan terkejut saat melihat benda apa yang ditutupi olehnya!Sebuah kotak mungil terbuat dari bahan beludru berwarna biru navy dikeluarkannya dari dalam mangkok."Apa ini?" tanya Reyhan menatapku yang tersenyum penuh cinta padanya."Buka saja. Biar tahu!" sahutku seraya mengedikkan bahu.Alis Reyhan terangkat, tapi tak urung juga dia membuka kotak itu."Ya Tuhan, apa ini Nis?" tanyanya membekap mulutnya sendiri."Jam tanganlah. Masak iya itu bantal guling!" sahutku manyun.Reyhan melepas jam tangan dari kotak dan langsung mencobanya di tangannya.Jam tangan dengan tali warna hitam itu sangat sesuai di pergelangan tangannya."Kamu suka nggak?" tanyaku sambil mengunyah nasi perlahan."Wah, ini lebih dari sekedar suka. Makasih banget Sayang!" serunya seraya meraih punggung tanganku diatas me
*Kamu tahu nggak apa persamaanmu dengan kamera Hp? Sama-sama membuatku ingin tersenyum terus saat memandangimu.***Karena disitu jelas tertulis hasil laboratorium pasien bahwa pasien mengalami B20 , atau pasien mengidap HIV!Haduh!"Kamu adik almarhumah kan?" tanyaku sambil memandang ke arah lelaki muda di depanku. Dia duduk di antara ibunya dan dukun beranak yang menolong persalinan kakaknya.Aku melirik nama yang tertera di depan buku KIA, Lili. Lelaki itu mengangguk pelan. "Kamu tahu nggak apa yang tertulis di buku ini?" tanyaku seraya mengambil pensil di meja periksa dan melingkari tulisan B20 .Lelaki muda yang duduk bersebelahan dengan perempuan berusia lebih dari setengah abad itu berpandangan lalu serempak menggeleng."Astaghfirullahal 'adziim." Aku beristighfar dalam hati. "Kapan almarhumah pulang dari luar kota?" tanyaku penuh selidik."Sekitar sebulan lalu," jawab ibu pasien lirih. "Dan kenapa ibu tidak menyuruh anak ibu untuk kontrol kehamilan pada tenaga medis atau ru
đź’• Kamu tahu nggak kenapa upil rasanya asin? Karena yang manis itu senyuman kamu.***"Nyonya Rengganis yasmin, hasil VCTnya sudah keluar."Aku menuju ke arah petugas lab dan mengambil hasilnya. Saat kubuka perlahan dengan hati berdebar kencang, terlihat hasil tes laboratnya NEGATIF."Alhamdulillah."Berulangkali aku menggumamkan hamdalah karena lega telah mendapat hasil lab seperti yang kuinginkan."Bu, seperti yang telah melakukan tes lab tadi, tesnya bisa diulang 3 bulan lagi apalagi jika ada gejala ya," petugas lab VCT itu menjelaskan padaku dan akupun mengangguk menyetujuinya.***"Bukankah kita harus merayakannya?" tanya Reyhan saat kami pulang bersama dari RSUD.Aku menaikkan alis. "Merayakan dalam bentuk apa?""Wah, pakai nanya lagi. Puasa sebulan itu berat, Nis!" Reyhan tertawa.Aku mencubit lengannya. "Dasar omes kamu. Untung sayang!""Ayo ke hotel?!" ajak Reyhan sambil mengerling nakal.Aku mendengus"Aku masih belum lega kalau belum ngulang tes lab 3 bulan lagi. Gimana kal
Pov. Rayhanđź’• Kamu tahu nggak perbedaan antara tanggal 28 Oktober dengan hari ini?đź’• Kalau tanggal 28 Oktober hari sumpah pemuda, kalau hari ini adalah hari sumpah aku mencintaimu.***Ada yang aneh dari Rengganis. Dia sepertinya banyak pikiran. Awalnya aku kira dia banyak pikiran karena masih terkenang dengan kematian ayahnya. Apalagi saat dia sering bertanya antara kita siapa yang lebih baik meninggal lebih dahulu membuat hatiku bertanya-tanya.Saat keherananku belum terjawab, Rengganisku tampak semakin muram setelah menolong pasien HIV dengan perdarahan dan meninggal di depan matanya. Aku menduga dia masih terbayang-bayang dengan hal itu.Tapi kini aku merasa masalahnya lebih dari sekedar itu. Saat bercint* pada waktu malam hari, dia lebih memilih memakai lampu tidur atau sekalian lampunya dimatikan daripada memakai lampu yang terang benderang seperti biasanya.Dia juga lebih sering haid dari pada biasanya. Aku curiga dia menyembunyikan sesuatu.Seperti malam ini, usai kami mel
đź’• Tuhan, jangan biarkan aku takut akan perpisahan. Tapi ajarkan aku melepaskan dengan penuh keikhlasan. *** Pov. Reyhan Dalam satu tarikan nafas, dokter Reva menjawab, "Telah ditemukan sel CIN di dalam serviks bu Rengganis, dan kankernya sudah sampai stadium lanjut yang harus mendapat penanganan segera!" Ya Allah ... Seolah ada kekuatan dahsyat yang mencabut jantungku sampai benar-benar terlepas dari rongga dada. Tangan Rengganis tampak basah dan gemetar. Dia pasti tampak lebih terpukul daripada aku. "Lalu, apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanya Rengganis. Suaranya terdengar bergetar menahan tangis. "Status penyakitnya sudah masuk stadium 2. Ada beberapa pilihan untuk bu Rengganis." Aku mendengarkan dengan seksama. 'Pasti diantara ketiga cara itu.' "Pertama, operasi histerektomi radikal*. Pilihan ini bisa diambil jika bu Rengganis ikhlas untuk tidak mempunyai anak lagi. Kedua, kemoradiasi. Masalahnya di daerah ini radiasi kanker di ruang onkologi hanya tersedia di rumah sa
đź’• Kemarilah Sayang, mari kita hadapi cobaan yang datang dengan bersama-sama. Karena akan terlalu berat jika kamu yang menghadapi badai ujian ini sendirian.***Pov. Reyhan."Sayang, ada yang perlu aku tunjukkan padamu," kata Rengganis sambil membuka jilbab instannya perlahan dengan sekali tarikan tangan. Dan hatiku semakin mencelos melihat rambut Rengganis yang semula lebat, kini menjadi rontok dan membuat sebagian kulit kepalanya terlihat."Apa aku ... terlihat buruk?" tanya Rengganis. Matanya menampakkan luka yang dalam.Aku yang sempat terkejut sekilas sekarang menguasai diri.Beberapa hari ini memang aku jarang menemaninya dirawat, karena aku merapel dinas UGD untuk menabung libur dan cuti bergantian dengan teman yang lain. Aku hanya menemaninya saat hari pertama melakukan kemoterapi.Dan besok hari terakhirnya melakukan kemoterapi untuk minggu ini. "Sayang, kamu tahu kan dari dulu aku tidak menikahimu karena fisikmu. Aku menikahimu karena sifat penyayang dan periangmu. Jadi sep
pov Reyhanđź’• Aku memang tidak bisa berjanji untuk menyeberangi lautan hanya dengan berenang, tapi aku bisa berjanji untuk selalu mencintaimu.***'Hahaha, rasain Lu. Kapokmu kapan San? Bakal dikeroyok disini. Makanya jangan seenak sendiri. Kalau untuk sekedar bertemu sih boleh. Bukan untuk membawanya pergi ataupun untuk memintaku kembali,' batinku sambil memandang wajah Sandrina yang memucat."Mas, dia kok kesini saat anak-anak datang kemari?" tanya Rengganis kearahku."Iya. Memang aku yang merencanakan hal ini, Nis."Aku lalu menceritakan semua percakapan kami di kantin rumah sakit."Wah, kamu nggak tahu malu ya masih mau mendekati Reyhan setelah apa yang terjadi."Mami terus merepet pada Sandrina yang seolah membeku di depan pintu kamar rawat inap Rengganis."Mi, ada anak-anak. Tolong jangan bicara kasar dan keras. Ganis tahu kalau Mami mungkin gemas dan kesal pada Sandrina, tapi menurut Ganis lebih baik kita bicarakan baik-baik sekarang. Apa Ganis bisa ditinggal sebentar dengan ma
pov Reyhan.đź’• Karena pernikahan itu bukan hanya tentang cinta saja, tapi tentang kesetiaan terhadap pasangan dan tidak peduli pada perubahan fisik apa yang akan terjadi pada pasangan kita.***Jujur saja sekarang aku merasa bahagia walaupun terbersit sedikit rasa ketakutan di hati jika ada salah satu sel kanker yang lolos dari kemoterapi dan suatu saat bisa kembali mengganas."Tapi ingat ya, harus tetap kontrol 3 bulan atau 6 bulan sekali untuk benar-benar memastikan sel kankernya mati dan tidak berkembang lagi. Jangan lupa ya Bu."Aku dan Rengganis mengangguk. Lalu mengucapkan terimakasih sebelum berpamitan dengan dokter Reva."Sayang, kamu dengar sendiri kan tadi apa kata dokter Reva? Kali ini jangan menyepelekan kontrol dan memeriksakan kondisi kamu. Takutnya ada sel kanker yang tidak terkena kemoterapi dan bisa mengganas lagi." Aku menggandeng tangan Rengganis saat menuruni tangga rumah sakit. Rengganis mengangguk dan tersenyum. "Sekarang aku akan lebih memperhatikan kesehatank
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah