pov Reyhanđź’• Aku memang tidak bisa berjanji untuk menyeberangi lautan hanya dengan berenang, tapi aku bisa berjanji untuk selalu mencintaimu.***'Hahaha, rasain Lu. Kapokmu kapan San? Bakal dikeroyok disini. Makanya jangan seenak sendiri. Kalau untuk sekedar bertemu sih boleh. Bukan untuk membawanya pergi ataupun untuk memintaku kembali,' batinku sambil memandang wajah Sandrina yang memucat."Mas, dia kok kesini saat anak-anak datang kemari?" tanya Rengganis kearahku."Iya. Memang aku yang merencanakan hal ini, Nis."Aku lalu menceritakan semua percakapan kami di kantin rumah sakit."Wah, kamu nggak tahu malu ya masih mau mendekati Reyhan setelah apa yang terjadi."Mami terus merepet pada Sandrina yang seolah membeku di depan pintu kamar rawat inap Rengganis."Mi, ada anak-anak. Tolong jangan bicara kasar dan keras. Ganis tahu kalau Mami mungkin gemas dan kesal pada Sandrina, tapi menurut Ganis lebih baik kita bicarakan baik-baik sekarang. Apa Ganis bisa ditinggal sebentar dengan ma
pov Reyhan.đź’• Karena pernikahan itu bukan hanya tentang cinta saja, tapi tentang kesetiaan terhadap pasangan dan tidak peduli pada perubahan fisik apa yang akan terjadi pada pasangan kita.***Jujur saja sekarang aku merasa bahagia walaupun terbersit sedikit rasa ketakutan di hati jika ada salah satu sel kanker yang lolos dari kemoterapi dan suatu saat bisa kembali mengganas."Tapi ingat ya, harus tetap kontrol 3 bulan atau 6 bulan sekali untuk benar-benar memastikan sel kankernya mati dan tidak berkembang lagi. Jangan lupa ya Bu."Aku dan Rengganis mengangguk. Lalu mengucapkan terimakasih sebelum berpamitan dengan dokter Reva."Sayang, kamu dengar sendiri kan tadi apa kata dokter Reva? Kali ini jangan menyepelekan kontrol dan memeriksakan kondisi kamu. Takutnya ada sel kanker yang tidak terkena kemoterapi dan bisa mengganas lagi." Aku menggandeng tangan Rengganis saat menuruni tangga rumah sakit. Rengganis mengangguk dan tersenyum. "Sekarang aku akan lebih memperhatikan kesehatank
đź’• Tuhan, maaf bila saya harus egois, tapi bila memang saya harus berpisah dengan orang yang saya sayangi, tolong tangguhkan lah.***Aku dan Rengganis memasuki pelataran parkiran RSUD Candimulyo dengan hati berdebar. Dan saat terlihat laki-laki dengan seragam polisi di depan UGD, kami langsung berlari ke arahnya.Sekarang masih jam 10 pagi. Dan setelah polisi mengabari kecelakaan yang menimpa papi dan mami, aku langsung bersiap berangkat ke lokasi rumah sakit seperti yang disebutkan oleh polisi."Pak, kami keluarga dari korban kecelakaan keluarga pak Roni, bagaimana keadaan orang tua saya?""Setelah dibawa ke rumah sakit ini dan dipastikan kondisinya, dengan berat hati saya mengatakan bahwa ayah Anda meninggal di lokasi kejadian dan ibu Anda ada di ruang operasi sekarang."Aku terkejut setengah mati. Rengganis segera merengkuh pundakku. "Innalilahi wa innailaihi roji'un, Papi, Mami ...." Aku tidak dapat menahan air mata yang melesak untuk luruh membasahi pipi."Lalu kenapa bisa ter
pov Reyhan🌹Kenapa garam rasanya asin?🌹 Karena yang manis itu cuma kamu.***Bi Ijah terdiam sejenak seraya berpikir. "Sebenarnya kejadian kekerasan yang dialami oleh Nyonya berlangsung sejak sebulan yang lalu."Aku dan Rengganis mendelik. "Kenapa baru jujur sekarang, Bi?"Bi Ijah menghela nafas. "Awalnya saya tidak tahu dengan perbuatan mbak Dila. Lalu saya tahu tentang perbuatan mbak Dila saat saya pamit ke pasar ...,""Ke pasar? Kok bisa ketahuan?""Iya, karena dompet saya tertinggal di rumah, makanya saya kembali ke rumah. Tapi saya terkejut saat melihat mbak Dila telepon seseorang sambil menyuapi Ibu. Terus pas Ibu makannya tersedak dan berhamburan, mbak Dila marah-marah, lalu meminta Ibu untuk makan sendiri."Rengganis memandangku. "Mas, biar Mami di sini saja, agar aku mudah merawat nya."Aku menghela nafas. "Aku kasihan Mami, Mas. Aku tidak percaya lagi untuk menyerahkan Mami agar diasuh oleh orang lain lagi walaupun orang itu tenaga medis," sambung Rengganis lagi.Aku terd
pov Reyhan.🌹Sekuat apapun hati seseorang, jika dihadapkan dengan perpisahan dengan orang yang disayang, mau tak mau akan jatuh air dari matanya.***Aku berlari ke arah Rengganis yang mulai tersungkur ke lantai ruang tengah!"Sayang! Buka mata kamu!" Aku memeluk Rengganis dan meletakkan kepalanya di pangkuanku."Ada apa dengan Rengganis, Rey?" tanya bunda yang keluar dari kamarnya dan mendekati kami.Sementara mami pun dengan susah payah menggunakan tongkat penyangganya mendekati kami."Reyhan juga tidak tahu Bunda. Tadi Rengganis baru saja mengantarkan mami untuk fisioterapi dan tiba-tiba pingsan. Tolong panggilkan kang Asep agar mengantarkan kami ke rumah sakit. Saya curiga kanker serviks nya kambuh lagi."Bunda mengangguk dan segera berlari keluar memanggil kang Asep.***"Dokter Reyhan, dengan berat hati saya sampaikan berdasarkan hasil pemeriksaan darah, CT scan, dan MRI, kanker mbak Rengganis mengamuk lagi dan menyerang rahimnya sehingga harus segera diangkat. Kabar buruk lai
pov Reyhan.🌹Sejak mengenal mu aku harus memutuskan untuk banyak belajar. Belajar mencintaimu dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak.***Erick maju mendekat dan mencengkeram kerah bajuku. Bersiap untuk mendaratkan pukulannya lagi.Namun aku tidak lagi membiarkan diriku menjadi samsak. Aku segera bangkit dan mendaratkan tinjuku pada pipi Erick.Buaaagh!Kena! Erick terpelanting dan nyaris menabrak kaki meja di kamar rawat inap."Ayo berdiri kamu! Kebetulan aku lagi bete banget dan ingin mendapatkan pelampiasan. Untung kamu datang, aku bisa melampiaskan kekesalanku. Ayo kita lanjutkan! Berdiri kamu!"Aku berdiri menghadap Erick dan memasang kuda-kuda. Mengulurkan tangan kananku kearahnya dengan menggerak-gerakkan keempat jariku."Awas kamu Reyhan! Kamu telah membuat Rengganisku menderita!" Erick terpancing dan seketika berdiri menghadapiku. Dia juga memasang kuda-kuda. "Berhenti kalian!"Teriakan Rengganis tidak mampu menghentikan kami untuk saling melampiaskan kekesa
pov ReyhanAku segera beranjak kearah pintu lalu membukanya perlahan. Dan aku terkejut saat mendapati di depanku ada sesosok perempuan yang sangat kukenal. "Kamu?""Ya saya. Dokter kaget?"Susan menyeringai sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada dan langsung masuk ke dalam kamar Rengganis."Kamu sudah bebas dari penjara?" tanyaku lagi."Sudah. Dan saya kesini karena ingin melihat orang yang sudah membuat saya menderita dengan memasukkan saya ke dalam penjara."Kamu kesini hanya untuk mengacau saja? Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi! Kamu pantas mendapatkan hukuman atas semua kesalahan yang telah kamu lakukan!" seruku kesal. Dia benar-benar tidak tahu malu. Setelah dipenjara karena akan menyiram Rengganis dengan air keras, sekarang dia dengan pongahnya berdiri di sini tanpa tahu apa tujuannya."Dokter Reyhan, apa Anda tahu, setelah saya keluar dari penjara, saya kesulitan mencari jodoh dan mencari kerja karena STR saya dicabut." Susan menjeda kalimatnya sambil memandang
pov Reyhan."Waalaikumsalam, Rey, kamu dimana? Rengganis baru saja menghabiskan infus kemonya dan kini tidak sadarkan diri."Aku terbelalak dan terkejut."Astaghfirullah!""Ada apa Rey?" tanya dokter Santosa menatapku dengan pandangan khawatir."Istri saya, Dok. Tidak sadarkan diri pasca kemoterapi hari kedua," tukasku lirih. Hatiku berdentam-dentam hebat.'Ya Allah, mana yang lebih baik, aku melihatnya sekarat tanpa terapi atau aku melihatnya sekarat setelah aku berusaha mengobatinya.'"Rey, sekarang kamu jenguk dulu istrimu. Mumpung tidak ada pasienkan?"Aku memandang ke arah dokter Santosa."Baik Dok, terima kasih. Walaupun istri saya sakit, tapi saya tetap akan melakukan pekerjaan saya dengan profesional.'Akupun berpamitan pada dokter Santosa dan hampir berlari menuju ruangan Rengganis. "Istri dokter Reyhan langsung dipindahkan oleh dokter onkologi ke ICU," tukas seorang perawat yang sedang membersihkan bekas infus dan obat-obatan di kamar Rengganis.Aku tercekat dan segera berg
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah