Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***"Reyhan, selamat atas pernikahannya dan terima kasih atas undangannya. Saya kemari sekaligus menyampaikan rasa kecewa tentang status anak kamu. Saya harap begitu cuti selesai, kamu langsung menuju ke ruangan saya untuk membicarakan kontrak kerja lagi. Apakah harus berhenti ataukah lanjut," kata dokter Wid sambil menjabat tangan mas Reyhan. Suara musik yang mengalun syahdu tidak bisa menghalangi telingaku mendengar perkataan dokter Wid yang pasti kecewa berat pada mas Reyhan, yang selama ini menjadi tangan kanannya.Dokter Wid lalu beralih dari mas Reyhan menuju kearahku lalu menyalamiku yang seolah membeku mendengar kata-kata beliau. Jadi beliau sudah tahu?!Reyhan hanya tersenyum saja melihat dokter Wid yang berlalu dari hadapannya.Sejenak aku terdiam, tapi aku lalu tersadar. "Apa-apaan sih dokter Wid dalam acara resepsi kita masih bisa ngomongin
I fall in love with you because you love me when I can't love myself.***"Sandrina?" gumamnya.Aku juga tidak kalah kagetnya karena aku ingat betul siapa Sandrina itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Gadis ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibu Bian. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan bocah itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Reyhan sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Bian lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Reyhan yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?'Hatiku berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Kugenggam tangan mas Reyhan yang berdiri di sebelahku.Dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas Reyhan. Apakah masih ada namanya di hat
There is only one happiness in this life, to love and be loved by right people.***"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kataku seraya memandang tajam pada Sandrina yang mendelik padaku. Dan kulihat tangannya yang putih terkepal diatas meja."Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Aku tersenyum tapi Sandrina masih terdiam dan tampaknya tidak ingin membalas ucapanku.Tiba-tiba ponsel di cluth merk prad*nya berdering. Dengan tergesa dia meraih ponsel dan memucat saat membaca nama di layarnya."Tunggu saja Ganis. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Bian itu darah daging saya."Sandrina mengacungkan telunjuknya ke arahku. Dan aku menurunkan telunjuknya d
Loving you make me broken, but somehow leaving you can't make me feeling better.***Bayangan Sandrina bertemu dengan Fabian lalu membawa bocah itu pergi dari kehidupan kami tiba-tiba tergambar di pelupuk mata."Mama! Kakak!" Fabian melambaikan tangan pada kami."Sayang!" Aku memberikan kecup jauh untuk balita tampan itu."Mama dimana?" tanya Bian lagi."Bagaimana ini Nis? Kita jemput Fabian di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Sandrina lebih dulu."Reyhan menoleh padaku dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Bian." Aku menarik tangan Reyhan dan kami berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Fabian berlari dan melompat kearahku. "Hap!"Aku menangkap tubuh mungilnya lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Bian sudah makan?" tanyaku sambil mengelus kepalanya perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Aku berjalan mendahului Reyhan dan orang
You'll know if you fall in love when you close your eyes but you can still see him in your mind.*"Ayo Mas. Kita masukMas Reyhan mengangguk dan kamipun perlahan mengetuk pintu ruang direktu"Assalamualaikum, Dok," sapaku membuka pintu ruangan direktur dan langsung disambut oleh dinginnya A"Wa'alaikumsalam. Masuk. Sudah saya tunggu, dokter ReyhanSuara bariton dokter Wid membuatku sedikit grogi padahal bukan aku yang hendak ditinjau tentang kontrak kerjany"Duduk Rey. Kenapa kamu ikut kesini, Nis? Kan hal ini tidak ada kaitannya dengan kamu? Atau anak itu anak kalian sebelum menikahBaru saja duduk di sofa bercorak bunga, tiba-tiba dokter Wid sudah membombardir dengan aneka pertanyaa"Dokter, anak saya tidak ada kaitannya dengan Rengganis, tapi ..."Tapi saya sekarang adalah istri mas Reyhan dan ibu sambung dari Fabian. Jadi ijinkan saya juga ikut duduk di sini untuk membesarkan hati suami sayaAku memotong kata-kata mas Reyhan lalu menggenggam tangannya erat. Teraba semakin dingin
* Kadang mencintai itu ibarat menggenggam pasir pantai dengan telapak tangan. Jika kamu terlalu longgar dalam menggenggamnya, cinta itu akan terlepas terkena hembusan angin. Tapi bila kamu terlalu erat menggenggamnya, cinta itu akan keluar menerobos dari sela-sela jarimu.***"Apa permintaan Papi? Kalau Reyhan bisa mengabulkan, pasti Reyhan akan langsung melakukannya."Papi berdehem. "Jadi permintaan Papi adalah agar kalian benar-benar mengasuh Bian dan calon adik-adiknya dengan baik dan jangan menelantarkan mereka karena alasan pekerjaan."Aku menghembuskan nafas lega. 'Oh, syarat itu. Insyallah bisa. Kukira syarat apa.'"Insyallah Papi. Masak Reyhan sama Rengganis tega menelantarkan anak sendiri. Nanti Reyhan atur waktu lah agar bisa tetap memperhatikan Bian, sekaligus memberikan nafkah untuk keluarga kecil Reyhan."Pandangan papi beralih padaku. "Bagaimana denganmu, Nis? Bisa kah kamu mencintai anak sambung kamu?" tanya papi."Insyallah bisa, Pi. Jangan khawatir."Aku mengulas seny
*Jangan pernah menanyakan seberapa besar rasa cintaku padamu tapi biar hanya Allah yang tahu seberapa sering namamu kusebut dalam doa.***Aku mulai melangkahkan kaki menuju jalan besar. Dan entah baru langkah keberapa saat tiba-tiba terdengar suara klakson yang berbunyi nyaring dan Reyhan yang berteriak dari seberang jalan. "Tttiinnn!""Rengganis! Awas!""Aaarghh!"Aku, Niar, dan ibunya menjerit bersamaan. Dengan sigap, aku menarik Bian ke seberang jalan namun karena terlalu cepat berlari kakiku tersandung batu sehingga jatuh tersungkur dan untung saja kami selamat.Mobil yang nyaris menabrak kami berlalu begitu saja. Inginku memaki tapi segera ingat kalau aku sekarang berhijab dan di dekatku sedang ada anak kecil yang meringkuk terkejut serta ketakutan."Ganis! Kamu tidak apa-apa?" tanya Raihan seraya berlari ke arahku."Mobil tadi sepertinya sengaja hendak menabrakku," tugasku seraya mencoba berdiri dengan dibantu ibu Niar. Sedangkan Reyhan langsung memeluk Bian."Apa kamu sempat
Aku memesan jus mangga tanpa gula dan susu lalu meminumnya perlahan saat sebuah tepukan mendarat di pundakku."Rengganis?"Aku menoleh dan terkejut saat melihat di belakangku ada Erick!"Mas Erick?" tanyaku lirih."Rengganis apa kabar? Kenapa kamu di sini?" tanya mas Erick seraya duduk dihadapanku.Wajahnya terlihat pucat dengan rambut yang berantakan dan agak panjang. 'Kurasa dia kurang terawat,' batinku. 'Ah, tapi Apa urusannya denganku!'"Alhamdulillah, kabarku baik Mas. Aku disini untuk periksa kehamilan ...,"Belum selesai aku bicara mas Erik memotong kalimatku, "Mana Reyhan? Apa dia tidak datang? Apa pernikahan kalian ada masalah?" tanya Mas Erick memandangku serius.Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang seperti sebuah harapan, maksudnya pertanyaannya seperti terkesan mengharap sesuatu yang buruk terjadi dalam hubungan pernikahanku dan Mas Reyhan."Mas Reyhan sedang ke Apotek. Mungkin antriannya banyak sehingga belum menyusul ke sini.""Oh."Hanya itu jawaban mas Erick. "Ka
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah