STATUS WA ADIK IPARKU 1
(Aku kira, ipar jahat hanya ada di sinetron dan cerita KBM, nyatanya aku mengalaminya sendiri. Kuat Ris, kuat ya kamu)Aku mengerutkan dahi membaca status WA Riris, adik iparku yang lewat dan tak sengaja terbaca. Bukannya apa, aku adalah satu-satunya ipar yang dia punya karena Radit, adik bungsuku menikah dengannya. Radit sedang tugas di pulau lain, meninggalkan Riris bersama Ibu di rumah. Sementara kecamatan tempatku tinggal berjarak satu jam perjalanan dari rumah Ibu.Ah, mungkin ipar yang dia maksud adalah ipar dari keluarganya. Tak ingin berprasangka buruk, aku meneruskan kegiatanku memasukkan makanan yang baru saja selesai kumasak ke dalam kotak-kotak tupperware. Rendang kesukaan Ibu dan puding coklat untuk Kayla, keponakanku, anak Radit dan Riris yang berusia dua tahun. Rencananya, hari ini aku ingin mengunjungi Ibu.(Kalau ada apa-apa itu tanya langsung ke aku. Jangan suka adu domba deh)Statusnya lewat lagi ketika aku membuka WA dan hendak mengabari kedatanganku pada Ibu. Aku ingin bilang supaya Ibu tak perlu masak, tapi status WA Riris membuatku melupakan niatku. Seperti ada yang aneh. Sepertinya dia sengaja agar aku membaca status WA-nya itu. Tiba-tiba saja aku teringat percakapan via WA dengan adikku Radit kemarin.(Dit, kamu sebetulnya kasih uang nggak ke istrimu? Meski semua kebutuhan ambil di warung Ibu, tetap saja kasihan dia kalau nggak pegang uang.)(Loh, ya aku kasih lah Mbak. Tujuh juta setiap bulan. Kenapa memangnya?)(Oh, syukurlah kalau kamu kasih. Mbak cuma takut adik Mbak melalaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga.)Kini, aku benar-benar tertegun di depan meja makan. Tujuh juta setiap bulan, tanpa membayar uang kontrakan, tanpa keluar uang sama sekali karena listrik, beras dan bahkan jajan Kayla Ibu yang menanggung. Tapi kenapa selama ini Riris kerap mengeluh tak punya uang? Status WA nya kadang membuatku tak enak hati. Dia memang eksis di hampir semua media sosial. Dan kebanyakan statusnya hanya berkeluh kesah.(Punya suami tapi nggak pernah punya uang. Itulah aku. Sabar sabar biar subur.)Aku pernah membaca statusnya seperti itu. Saat itu aku mengabaikannya saja. Kupikir memang Radit kurang memberinya nafkah.Aku menghela nafas. Sudahlah, nanti mungkin bisa kutanyakan langsung. Sekarang, aku harus bergegas ke rumah Ibu. Usai memasukkan makanan ke dalam bagasi, aku mengeluarkan mobil sedan matic hadiah Mas Reno. Pernikahanku yang menginjak tahun ke lima memang belum membuahkan seorang anakpun.***Sampai di rumah, aku terkejut melihat warung Ibu kosong melompong. Padahal baru minggu lalu aku memenuhi warung itu dengan uang pribadiku karena kasihan melihat Ibu kehabisan modal. Ibuku memang membuka warung sembako di rumah lama kami. Isinya cukup lengkap. Tapi kini, warung itu terlihat nelangsa sekali."Loh Andin datang kok nggak telepon Ibu dulu?"Ibu datang tergopoh-gopoh dari dapur. Beliu mengelap tangannya dengan baju daster, membuat jejak telapak tangan di dasternya. Sepertinya Ibu sedang mencuci piring ketika aku datang.Aku tersenyum, meraih tangan Ibu yang basah dan menciumnya. Lalu teringat bahwa aku memang belum mengabari Ibu. Aku lupa karena sejak tadi sibuk memikirkan maksud status WA Riris."Andin lupa, Bu. Ini Andin bawakan rendang kesukaan Ibu. Oh ya, Riris dan Kayla mana?"Ibu meraih kantong plastik berisi kotak makanan yang ku sodorkan dengan wajah bahagia. Membaui isinya sebentar dan menarik tanganku ke belakang."Wah kebetulan Ibu belum makan." Ujarnya. "Ada. Riris lagi tidur siang kayaknya. Baru aja kok masuk kamar."Ibu meletakkan kotak makanan dariku di atas meja. Meja tampak berantakan. Ada satu piring bekas makan yang penuh tulang ikan. Nasi berserakan di dekatnya. Di atas meja, semangkok sayur sup yang tinggal sayurnya saja. Masih ada sepotong tulang hingga aku tahu bahwa tadinya itu sup ayam. Sementara ikan ikan di atas meja tersisa kepalanya. Aku meneguk ludah, teringat kata-kata Ibu barusan kalau Ibu belum makan. Jadi, siapa yang baru saja membuat kekacauan di meja ini? Sementara di atas wastafel cuci piring, tumpukan piring kotor yang baru disabuni tampak memenuhi tempat itu.Tanpa banyak bicara, kubantu Ibu membersihkan meja makan, menyingkirkan semua yang kotor, mengelap meja sampai bersih dan meletakkan makanan yang baru saja kubawa di atas meja. Selain rendang, aku juga membawa berbagai sayuran rebus kesukaan Ibu beserta sambal terasi. Kumasukkan puding untuk Kayla ke dalam kulkas, yang lagi-lagi membuatku heran karena kosong. Padahal aku rutin mengisinya seminggu sekali.Setelah meja rapi, aku mengambil piring dan menyendok nasi. Sesungguhnya emosiku mulai naik menyadari seseorang yang tinggal disini telah berubah menjadi parasit yang menggerogoti Ibuku. Namun aku menahannya. Momen pertemuanku dengan Ibu adalah momen yang menyenangkan. Aku tak ingin melihat Ibu bersedih."Ayo Bu, kita makan. Andin sengaja nggak makan di rumah mau nemanin Ibu."Ibu mengangguk, memindahkan sepotong rendang ke piringnya, mengambil sayuran dan juga sambal. Senang sekali rasanya melihat Ibu makan masakanku dengan antusias."Rendangmu sudah mulai sempurna, persis bikinan nenek dulu." Ujar Ibu.Tiba-tiba saja terdengar suara anak kecil menangis dari ruang tengah, dari dalam kamar yang selama ini ditempati Riris dan Kayla."Jangan jajan terus dong, Kay. Mama nggak punya uang. Nanti kita dimarahin loh kalau ngambil jajan di warung Nenek."Terdengar suara Riris memarahi Kayla. Ibu menghentikan suapannya, memandangku. Sementara tangis Kayla makin keras. Bahkan kini anak itu terdengar menjerit seperti kena cubit.Aku meletakkan makanan yang baru separuh kumakan, mencuci tangan dan bergegas menghampiri kamar Riris. Kuketuk pintunya pelan. Suara tangis Kayla seketika berhenti.Pintu terbuka, wajah Riris yang cemberut menyembul dari dalam."Ada apa?" Tanyanya datar. Wajahnya sangat tak enak dilihat. Kuredam emosiku dalam-dalam melihat sikapnya yang sangat tak menghargaiku sebagai kakak iparnya."Mbak bawa puding untuk Kayla. Bawalah Kayla keluar.""Nggak usah!" Sentaknya langsung dengan suara keras, membuatku terkejut."Loh? Kenapa?""Mbak nggak usah munafik deh. Mbak sebetulnya nggak suka kan aku tinggal disini? Sampai tanya-tanya ke Bang Radit segala? Tahu nggak Mbak, gara-gara Mbak tanya ke Bang Radit itu, kami bertengkar."Aku terdiam. Rupanya Radit menegur Riris, padahal aku sudah bilang padanya agar tak usah menegur Riris. Nanti saja kalau dia pulang supaya tidak terjadi salah paham. Tapi kalimat Riris berikutnya justru membuatku makin terkejut."Untung saja aku sadap WA Bang Radit. Kalau nggak entah Mbak ngomongin aku apa di belakangku, menjelek-jelekkan aku, aku nggak bakalan tahu."Akh menyipitkan mata. Adik iparku ini pelan-pelan mulai menunjukkan tajinya."Kamu menyadap WA Radit?""Iya. Aku nggak mau dia melakukan hal-hal aneh di belakangku.""Oke. Karena kamu sudah tahu, kalau begitu sekalian saja aku tanya. Selama ini Radit memberimu nafkah tujuh juta sebulan, sementara untuk kebutuhanmu dan Kayla, semua Ibu yang menanggung. Tapi kenapa kau selalu membuat status di F* dan WA seolah-olah adikku tidak pernah memberimu uang?""Eh…" Dia tampak terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan langsung mengkonfrontasi pernyataannya. Sudah lama aku merasa ada yang janggal dengan adik iparku ini. Sikapnya yang tak pernah menghormatiku dan Ibu, bahkan cenderung memanfaatkan ibuku.Tiba-tiba saja dia menangis, memeluk Kayla yang muncul dari dalam kamar."Tuh lihat Tantemu, Kay. Semua keluarga Papamu itu sama. Cuma pura-pura sayang. Ayo, Nak. Ikut Mama. Kita pergi dari rumah ini."Aku tertegun sejenak, menatap wanita di depanku, adik iparku yang kini mulai kulihat wujud aslinya. Seekor ular berbisa yang sangat pandai bersandiwara.***STATUS WA ADIK IPARKU 2"Ada apa ini?"Aku menghela nafas. Di hadapan Ibu, aku tak bisa bersuara keras. Ibuku adalah wanita yang lembut hati dan pengalah. Itu jugalah yang membuat rumah tangga orang tuaku langgeng hingga dua puluh lima tahun lamanya, sampai Ayah dipanggil Tuhan setahun yang lalu. Tapi sayang, sifat Ibu itu ternyata juga dimanfaatkan oleh adik iparku ini untuk kepentingan pribadinya."Mbak Andin berusaha mengadu domba aku dengan Bang Radit, Bu." Riris menangis, mengadu lebih dulu."Mentang-mentang keluargaku orang susah, Mbak Andin menuduh aku yang bukan-bukan."Playing victim. Jika kita berhadapan dengan musuh yang memang menunjukkan kejahatannya, itu lebih baik bagiku. Berbeda jika seseorang yang pura-pura terzolimi, nyatanya dia menusuk dari belakang.Ibu menghela nafas, menatapku sejenak. "Aku nggak pernah nuduh ya. Aku cuma mau klarifikasi. Aku malu baca status WA-mu itu. Seolah-olah, adikku nggak menafkahi kamu."Riris makin kencang menangis. Mungkin merasa ter
STATUS WA ADIK IPARKU 3Aku menelan ludah membaca statusnya. Ada yang terasa nyeri disini. Hatiku terasa dicubit kuat-kuat. Kenyataan kalau aku belum hamil di usia pernikahan kami yang kelima, kerap membuatku rendah diri. Aku dan Mas Reno sudah memeriksakan diri dan hasilnya kami baik-baik saja. Tapi tuntutan dan cemooh orang sekitar seringkali membuatku harus mengelus dada."Makanya nggak usah terlalu capek, Ndin. Serahkan butik itu pada adikmu. Kamu fokus usaha biar cepat hamil."Itu kata Mama mertuaku, bahkan beliau mengucapkan hal itu di tahun pertama pernikahan. Kalimat pertama yang terus diulangnya hingga aku hafal.Memberikan butik yang kurintis sejak masih gadis pada adikku. Entah adik yang mana yang dimaksud Mama. Apakah Vira adik Mas Reno, atau Radit adikku. Keduanya tidak mungkin kulakukan. Aku merintis butik itu dari nol. Berdua Lila sahabatku, kami memulainya dari hanya bermodal ruko kosong dan stok baju puluhan juta saja. Berjalan dua tahun, ketika butik nyaris kolaps, L
STATUS WA ADIK IPARKU 4Aku tengah mengaduk mie goreng di atas wajan ketika kurasakan sepasang tangan kekar melingkari pinggangku. Aroma sampo dan sabunnya terasa menyegarkan. Kurasakan rambutnya yang basah menggelitik leherku yang terbuka. Di rumah, aku terbiasa memakai gaun rumah yang sedikit terbuka, demi memanjakan matanya. "Maafkan Mas semalam." Suaranya terdengar lirih di telinga. Selarik rasa haru menyeruak, dia tak segan meminta maaf karena tahu perbuatannya semalam menyakiti hatiku. Kubiarkan setetes air mataku jatuh. Sejak tadi, sambil mengaduk mie goreng Jawa favoritenya di atas wajan, aku terus berusaha menahan tangis. Tapi satu saja kalimatnya membuat pertahananku jebol.Mas Reno mema-tikan kompor dan memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia mengulurkan tangan, menghapus air mata yang mengembun di sudut mata."Mas hanya kesal karena pulang dalam keadaan rumah kosong. Mas membayangkan seorang anak menyambut setiap kali pulang kerja."Aku memegang tangannya, mem
STATUS WA ADIK IPARKU 5Salah satu hal paling menyedihkan dalam hidupmu, ketika seseorang yang kau sayangi tak lagi percaya dan tak juga bisa dipercaya. Aku menatap WA dari Radit dengan hati nelangsa. Baru saja mendapat hanta-man dari Mas Reno, dan kini pesannya membuat suasana hatiku makin tak menentu. Aku menelan ludah, memutuskan membalasnya sebelum mem-atikan ponsel dan menyimpannya.(Apakah kau lebih percaya pada seseorang yang baru kau kenal, dibanding Kakakmu yang telah bersamamu dua puluh lima tahun lamanya?)Aku dan Radit hanya dua bersaudara. Meski Ayah mendidik kami dengan sikap tegas khas seorang perwira militer sebagaimana profesinya, Ibu melengkapi sifat Ayah dengan kelembutan. Semuanya terasa seimbang. Ibu selalu bisa meredam ama-rah Ayah dan Ayah memberi kami pelajaran bahwa hidup tak selalu indah. Kami tumbuh dengan cinta yang memenuhi setiap ruang dalam rumah dan dalam hati. Semua sempurna, sampai aku menikah dan tak kunjung hamil. Lalu kehadiran Riris di rumah Ibu.
STATUS WA ADIK IPARKU 6Mas Reno langsung masuk ke dalam kamar begitu tiba di rumah. Maghrib masih beberapa menit lagi. Masuk ke kamar, ditariknya koper dan dibukanya. Dia sibuk memisahkan pakaian kotor sementara aku berdiri mematung di belakangnya, menunggu benda si-alan itu keluar dari tempat persembunyiannya. Baju kotor dia pisahkan, lalu paling bawah, kemeja yang masih bersih dibawanya ke dalam lemari. Lama kutunggu, benda itu tak juga jatuh seperti yang terjadi tadi pagi. Tak sabar, aku berpura-pura menabrak Mas Reno, tumpukan baju di tangannya jatuh dan benda itu melayang lalu mendarat di lantai.Dia tertegun, sementara aku melihat perubahan wajahnya yang perlahan memerah. Aku memungut benda itu sebelum dia bereaksi, menatapnya sebentar dengan dada bergemuruh."Dengan siapa Mas memakai benda ini?"Suaraku bergetar. Amarah yang sejak pagi kuredam mendesak hendak keluar. Wajah itu merah padam. Dengan kasar Mas Reno merampas benda itu dari tanganku."Ini bukan punyaku. Mungkin Ard
STATUS WA ADIK IPARKU 7Wajah itu memucat, dan perubahannya tak luput dari pengamatanku. Sedikitpun aku tak berkedip. Dia harus tahu, bahwa tak seorangpun boleh mencurangi Ibu dan adikku. Saat ini Radit mungkin masih percaya padanya. Riris mungkin tak menyangka bahwa hubungan kami sebagai kakak adik sedekat bayi dan ari-ari."Apa maksud, Mbak?"Aku tersenyum, menepuk pipinya yang pucat. Dia berjengit sedikit, mungkin dia mengira aku akan menam-parnya."Kau lebih tahu apa yang kumaksud. Kusarankan agar kau berubah jika masih tetap ingin menjadi adik iparku. Atau sebaiknya kau berhati-hati."Aku mundur, memberi ruang padanya untuk menarik nafas, lalu melangkah ke belakang. "Oh ya, Ris. Tolong bereskan kamarku. Mainan Kayla dan baju-bajumu itu, singkirkan dari sana karena mulai saat ini aku akan menempatinya."Tak kupedulikan wajahnya yang bersungut-sungut. Tepat pada saat itu, Kayla muncul dari kamarnya. Anak kecil itu tampaknya baru bangun tidur, dan dia tersenyum gembira melihatku."
STATUS WA ADIK IPARKU 8Lalu, seperti biasa, wajah itu mulai memerah, matanya mengembun dan dia mulai menangis terisak-isak, tepat saat Ibu keluar dari kamarnya dan melangkah menuju ruang tengah."Loh, ada apa ini?"Riris langsung menggelayut di lengan Ibu. Aku mende-sah, Ibu merasa ketitipan Riris. Radit kerap menelepon Ibu agar menjaga Riris dan Kayla dan juga mendidiknya. Bagian yang pertama dilakukan Ibu dengan baik. Tapi mendidik, sepertinya tak bisa dilakukan Ibu pada adik iparku yang ajaib ini."Mbak Andin menuduh aku, Bu. Katanya aku yang bikin Mas Reno selingkuh."Aku menatapnya taja-m. Padahal aku tidak cerita padanya bahwa Mas Reno selingkuh. Tapi dia tahu seolah-olah memang dialah dalang dari semua ini."Loh, kok kamu tahu? Andin cuma cerita sama Ibu kok?"Ibu menyuarakan isi hatiku. Riris tampak gugup sejenak."Eh, tadi Mas Reno yang cerita.""Riris…" Kali ini Mas Reno yang protes."Sudah… sudah… aku pusing melihat drama kalian berdua." Aku mengalihkan tatapan pada Mas Re
STATUS WA ADIK IPARKU 9PoV RIRIS"Cepat pergi. Besok jangan datang lagi. Aku yang akan mengantar semua kebutuhanmu!"Aku melotot pada lelaki berkaos hitam itu. Dia tertawa kecil, menjawil daguku sesaat."Emang kenapa sih? Biasanya juga santuy. Masa kamu udah mulai takut sama mertuamu. Nenek tua itu mah kecil, sekali senggol aja tumbang.""Ssttt… jangan bicara sembarangan. Sekarang Mbak Andin tinggal disini. Bahaya.""Siapa Andin?""Aduuhh, cerewet banget. Lekas pergi. Nanti Mbak Andin kesini.""Oke… oke… tapi ingat, kau harus menyediakan semua yang kuminta kalau tak mau rahasiamu kubongkar."Kesal, aku mendorongnya. Lelaki itu menerima kresek berisi sembako dari tanganku, dan naik ke motornya. Mata dibalik kaca helmnya mengedip. Astaga, si-al banget aku terlanjur berhubungan dengan lelaki seperti itu."Hey, berhenti!"Seakan jantungku merosot ke dasar perut. Aku melihat Mbak Andin melangkah dengan cepat menuju kami. "Cepat…cepat!" Seruku panik. Si-al, disaat genting seperti ini, mo
"Selamat Bu Andin. Usia kandungan sudah dua belas minggu ya. Wah, nantinya pasti akan jadi ramai nih. Seru banget."Dokter Budi, dokter Sp.OG langganan ku, memberi selamat. Dia adalah saksi perjuanganku mendapatkan buah hati saat bersama Mas Reno dulu. Dan kini, aku datang bersama Mas Ziyan. Sang dokter tak banyak bertanya. Dia profesional. Kebahagiaan pasiennya adalah fokus dirinya. Di luar itu bukan merupakan urusannya. Prinsip yang sangat kuhargai."Benar Dok. Allah ternyata begitu sayang padaku."Aku datang ke praktek dokter Budi dengan Formasi lengkap. Mas Ziyan, Aksa, dan juga ketiga gadis kecilku yang cantik. Tentu saja kami menjadi perhatian banyak orang. Dengan keempat anak yang masih kecil, dan aku kembali datang untuk periksa kehamilan.Aku hanya tersenyum membalas pandangan heran orang-orang. Tak perlu menjelaskan karena aku tak kenal mereka. Juga, tak perlu menjelaskan, karena ukuran kebahagiaanku dan mereka pasti berbeda.Ya. Aku bahagia, membayangkan masa tua bersamanya
STATUS WA ADIK IPARKU (ekstra part)Sahabat menjadi cinta. Apakah itu mungkin terjadi pada kami?Setahun lagi sudah berlalu. Semuanya baik baik saja. Aku bahagia tinggal bertiga bersama Ibu di rumah peninggalan Ayah. Radit dan Nayla bersikeras membayar harga rumah lamaku dengan Mas Reno untuk mereka tempati bertiga Kayla. Tadinya aku tak mau. Aku mempersilahkan mereka tinggal sampai kapan saja. Tapi Radit tak mau, sebagai lelaki, dia ingin memberi tempat tinggal bagi istrinya dengan cara membeli, bukan menumpang. Aku akhirnya setuju setelah melihat rumahku yang kutinggalkan berdebu. Rumah yang selama lima tahun menjadi istanaku.Aku memang tak pernah datang lagi setelah memindahkan semua barang yang kurasa perlu ke rumah Ibu. Setiap membuka pintunya, semua kenangan bersama Mas Reno Menghantam, membuat dadaku terasa sesak. Terutama ketika Aksa yang mulai pandai bicara ikut ikutan memanggil Radit Papa. Sedih tentu saja, karena aku tak bisa memberikan keluarga yang utuh pada putraku sa
Tak ada yang lebih membahagiakan melihat adikku akhirnya menikah lagi. Radit mengucapkan ijab kabul dengan tenang meski suaranya bergetar. Aku tahu dia mungkin teringat pada Riris dan pernikahan seumur jagungnya yang berakhir tragis. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca. Apalagi setelah ijab kabul selesai, Nayla langsung menggendong Kayla, menciumi nya. Tapi peduli gaunnya yang cantik itu kusut.Keluarga Nayla yang turun temurun merupakan keluarga dokter, menerima kami dengan sangat baik. Mereka tak pernah mempermasalahkan status Radit yang duda beranak satu. Atau Ibu yang hanya hidup dengan pensiunan Ayah dan warung sembako nya. Atau aku yang janda tanpa status, yang saat ini masih menabung untuk membangun kembali butik. Mereka keluarga dokter yang kaya raya tapi bersahaja. Tak sekalipun kudengar kata-kata yang membuat kami berasa berbeda. Adik Nayla yang masih kuliah, seorang gadis cantik dan periang, bahkan langsung akrab dengan Kayla dan Aksa.Aku bahagia, tentu saja. Kebahagiaan orang-o
STATUS WA ADIK IPARKU 46Dia seorang wanita setengah baya berpakaian modis. Dengan setelan blazer putih dan tas branded yang dijinjing oleh kedua tangannya. Rambut pendeknya yang ikal kemerahan disisir dengan rapi, begitu juga make up yang pastinya ditata oleh penata rias profesional. Meski begitu, segala make up itu tampaknya tak mampu menutupi tanda-tanda penuaan di wajahnya. Saat aku tiba, dia tengah diinterogasi polisi. Sikapnya tenang, sama sekali tak gampak gentar meski telah terbukti dia lah penyebab kematian suaminya sendiri."Saya tidak pernah bermaksud membunuh suami saya, Pak. Yang seharusnya mati saat itu Riris, selingkuhnya. Bukan suami saya."Aku berdiri di belakangnya, mendengar dia bicara seperti tanpa merasa bersalah."Bapak bayangkan saja, suami saya memelihara wanita muda, menghamburkan uang untuknya. Siapa istri yang tak akan marah?""Harusnya Riris yang mati saat itu. Tapi tak masalah, toh dia akhirnya menemui ajal dengan cara yang tak kalah tragis. Putri saya Zha
Adek! Adek Aksa!"Suara Kayla yang ceria terdengar dari luar, lalu langkah kaki kecilnya yang melompat-lompat itu mulai mendekat. Tak lama, wajah mungil muncul dari balik pintu."Adek Aksa tidur?"Dia bertanya sambil berbisik. Aku menggelneg sambil tersenyum. "Nggak, kan baru habis mandi. Kayla dari mana?" Aku bertanya sambil menakainkan Aksa kaus kaki, lalu menggendongnya dan berjalan ke depan. Ada Nayla yang tengah mengukur tensi darah Ibu.Ah, kasihan Ibu. Masalah Radit dan Riris yang menguras air mata Ibu baru saja selesai. Baru saja kering mata tua itu, kini, aku hendak menambahinya lagi dengan masalah."Tensi Ibu agak rendah Mbak."Aku mendesah, merasa bersalah karena sudah lama justru Ibu yang mengurusku.Aku memperhatikan mata Radit yang tak lepas dari tangan cekatan Nayla. Setelah menyimpan lagi alat pengukur tensi, Nayla mengusap usap lengan Ibu."Jangan banyak pikiran Bu. Semua akan baik-baik saja."Aku terenyuh. Bagaimana Ibu akan baik-baik saja, jika satu anak menjadi du
STATUS WA ADIK IPARKU 45Bolehkah aku menangis lagi Ya Allah?Ternyata ada hal yang juga sama menyakitkannya dengan dikhianati, yaitu dibohongi. Pemakaman Vira sudah selesai, dan aku sama sekali tak mau menghadirinya. Bukan karena dendam, tapi karena aku tak ingin melihat wajah Mas Reno yang amat berduka. Pantas saja dulu, Mas Reno tampak biasa saja saat Vira dimakamkan. Tentu karena dia tahu yang dimakamkan bukanlah Vira, tapi bayinya. Aku bisa mengerti karena Vira dulunya adalah adik yang sangat dia sayangi. Tapi kebohongan terakhir yang dia lakukan, yaitu menutupi kematian Vira akibatnya sangat fatal. Aku masih bersyukur Vira hanya membakar butikku. Sungguh tak bisa kubayangkan jika dia mencelakai Aksa. Mungkin saja aku bisa menjadi pembunuh."Andin, makan, Nak. Kau butuh tenaga dan juga ASI untuk Aksa."Ibu meletakkan sepiring makanan di depanku. Aku menghapus mataku yang basah, mengusap dada, mencoba menyembuhkan rasa nyeri di dalam hati. Sudah tiga hari Mas Reno di rumah Mama,
Dia lantas menunjuk makam di sebelahnya."Di dalam sini, bayiku terkubur. Aku harus menjadi orang lain gara-gara kalian!""Kau memanipulasi kematianmu. Itu sebuah kejahatan."Vira tersenyum culas. "Itu bukan urusan kalian.""Jelas jadi urusanku karena kau pasti tahu sebabnya sampai butikku terbakar."Gadis itu menelan ludah. Dia mundur hingga kakinya menabrak nisan. Ternyata dia hanya bisa mengubah wajahnya, tapi tidak cara berpikirnya yang ceroboh itu. Mas Reno menatap adik angkatnya itu dengah pandangan sedih."Ayo ikut, kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu."Lalu tiba-tiba, kurasakan benda dingin menempel di kepalaku. Disertai sebuah suara berat."Tidak ada yang boleh membawa Nona Tania pergi."…"Kalian salah. Semua pelaku kejahatan harus berakhir di penjara."Seperti adegan film, dimana kami semua adalah pemerannya. Aku berbalik begitu mendengar suara Zi. Kini di hadapanku, tampak seorang lelaki, mengangkat tangannya setelah menjatuhkan pisaunya ke tanah. Sementara di bel
STATUS WA ADIK IPARKU 44Rumah itu megah sekali, besar dan sangat mewah. Pagarnya saja sepertinya cukup untuk membangun satu rumah sederhana, belum lagi pilar-pilarnya yang tinggi. Jarak antara pagar dan teras cukup jauh sehingga aku tak dapat melihat pintu berukir yang pasti sama mahalnya. Halamannya ditanami rumput Jepang, dengan bunga-bunga yang tak semuanya tumbuh di Indonesia. Dan di sudut halaman, ada kandang berisi burung-burung yang cantik. Begitu mobil kami berhenti di depan pos satpam, seorang lelaki berseragam coklat langsung berlari menghampiri. Dia berdiri di balik pagar mewah itu, menatap dengan curiga. Tubuh tegap dan rambut cepak membuatku menduga bahwa mungkin dia mantan tentara. "Cari siapa?""Apa benar ini rumah Nyonya Arlene?"Lelaki itu menatap Mas Reno cukup lama."Benar. Ada keperluan apa dengan Nyonya?""Kami ingin bertemu putri Nyonya yang baru datang dari luar negeri. Namanya Vira."Wajah itu langsung berubah. Jika dia tadi tampak curiga, kini dia menampilka
Kau bilang waktu itu bahwa kau tak mengenalnya, Ndin.""Zi. Dia ibu kandung Vira. Dia yang membawa jenazah Vira. Aku curiga dia memalsukan kematian Vira. Vira masih hidup!"Di seberang sana, kudengar suara Zi mendesah. Aku tahu dia tak suka mendengarku seperti ini karena akan membuatku berada dalam bahaya. Tapi sungguh aku tak bisa diam saja. Jika Vira masih hidup, maka kemungkinan besar aku tahu siapa yang bertanggung jawab membakar butikku. 'Nikmati saja hidupmu saat ini, kebahagiaan yang kau miliki saat ini. Tunggulah, aku akan membuat kejutan untukmu.'Kata-kata Vira saat aku menemuinya di tahanan waktu itu kembali terngiang. Inikah kejutan yang dia maksud? Atau… ini hanya peringatan dan dia telah menyiapkan kejutan yang lebih besar lagi?"Zi, tolong cari alamat Nyonya Arlene. Ini pasti bukan hal sulit untukmu.""Memang, tapi akan menyulitkan hidupmu. Biar aku bicara dengan Reno. Kau baru saja melahirkan.""Sudah lewat seminggu, Zi. Aku sudah sembuh.""Keras kepala."Aku meringis