STATUS WA ADIK IPARKU 4
Aku tengah mengaduk mie goreng di atas wajan ketika kurasakan sepasang tangan kekar melingkari pinggangku. Aroma sampo dan sabunnya terasa menyegarkan. Kurasakan rambutnya yang basah menggelitik leherku yang terbuka. Di rumah, aku terbiasa memakai gaun rumah yang sedikit terbuka, demi memanjakan matanya."Maafkan Mas semalam."Suaranya terdengar lirih di telinga. Selarik rasa haru menyeruak, dia tak segan meminta maaf karena tahu perbuatannya semalam menyakiti hatiku. Kubiarkan setetes air mataku jatuh. Sejak tadi, sambil mengaduk mie goreng Jawa favoritenya di atas wajan, aku terus berusaha menahan tangis. Tapi satu saja kalimatnya membuat pertahananku jebol.Mas Reno mema-tikan kompor dan memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia mengulurkan tangan, menghapus air mata yang mengembun di sudut mata."Mas hanya kesal karena pulang dalam keadaan rumah kosong. Mas membayangkan seorang anak menyambut setiap kali pulang kerja."Aku memegang tangannya, membiarkannya menangkup pipiku. Air mataku mengalir lagi. Sungguh, bukan hanya dia, akupun begitu. Setiap kali, aku ingin pulang dengan menenteng sesuatu. Membayangkan ada seorang anak menungguku membawakannya oleh-oleh."Aku juga minta maaf. Aku kira Mas pulang besok. Jadi aku memeriksa pembukuan di butik."Mas Reno memelukku."Sudah tak apa. Lain kali, kasih kabar kalau mau pulang malam. Bagaimanapun, aku bertanggung jawab pada dirimu."Seakan langit berubah cerah pagi ini. Padahal jauh di utara, ada awan awan kelabu yang terasa berarak cepat mendekat. Aku tak peduli. Kami menikmati makan pagi dengan suasana romantis. Usai menghabiskan sarapan, Mas Reno bahkan menarikku lagi ke dalam kamar. Kami kembali mema-du cinta ditingkahi suara gerimis yang jatuh di atas daun-daun di halaman samping kamarku.***Rupanya aku tertidur kelelahan. Tapi, lelah yang menyenangkan. Bangun dari kasur, selembar kertas jatuh di atas pangkuanku. Surat dari Mas Reno. Dulu di awal pernikahan kami, dia sering kali menyelipkan pesan pesan romantis seperti ini, menaruhnya di tempat tersembunyi dan aku bagai menemukan harta karun setiap kali berhasil menemukannya.(Mas berangkat ke kantor. Kamu kelelahan hingga Mas nggak tega membangunkan. Jangan ke mana-mana, Mas akan pulang cepat.)Aku tersenyum membacanya, mendekap kertas itu di dada. Mungkin hanya kesalahpahaman yang terjadi semalam. Mungkin, rumah tangga kami sebetulnya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.Aku meraih ponsel. Sudah jam sepuluh pagi. Chat WA beberapa teman masuk, tak terlalu penting karena hanya mengajak ke salon. Aku mengabaikannya untuk kubaca dan kubalas nanti, lalu beralih ke story WA. Lagi-lagi, status WA Riris muncul paling atas. Dia memang hobi sekali membuat status WA. Kadang statusnya terlihat seperti jahitan benang.(Aaahh, ipar kepo. Ngeselin banget sih.)Status WA-nya semalam. Mungkin setelah aku selesai meneleponnya. Statusnya membuatku teringat bahwa aku harus menanyakan dia pada Ibu.(Diam aja kayak gini lama-lama nggak enak loh. Tunggu saja, akan kubuat kau terkejut.)Aku mengerutkan kening, kali ini karena tak mengerti maksud status WA-nya. Seperti sebuah anca-man untuk seseorang. Tapi apa? Dan siapa?Tak ingin pusing, aku mengabaikannya dan memilih bangun dari tempat tidur. Koper Mas Reno belum lagi dibereskan. Kubuka kopernya dan mengeluarkan isinya satu persatu. Baju yang sudah kotor dipisahkannya dalam sebuah kantong plastik. Dua lembar kemeja yang masih terlipat rapi ada di tumpukan paling bawah. Usai mengeluarkan baju kotornya, aku mengangkat bajunya yang masih bersih, bermaksud memindahkannya ke dalam lemari, ketika tiba-tiba sebuah benda yang tak pernah kusangka ada di dalamnya terjatuh.Aku memungut benda itu dengan jantung bergetar. Sebuah alat kontrase-psi. Seketika, duniaku terasa berputar. Mas Reno tak pernah memakai benda ini saat bersamaku. Mana mungkin, padahal kami sedang berjuang untuk punya anak. Tapi benda ini? Dengan siapakah dia memakainya?Aku jatuh terduduk, ku camp-akkan benda itu ke atas lantai. Tangisku akhirnya pecah, kubiarkan air mata membanjir karena menahan tangis itu sungguh sakit sekali.Apa yang kamu lakukan diluar sana Mas? Dan dengan siapa? Apakah akhirnya kau menyerah karena aku tak juga hamil? Lalu, apa arti sikap mesramu tadi pagi?Membayangkan dia memel-uk orang lain, lalu pulang dan memelu-kku, aku bergidik, tiba-tiba saja merasa jiji-k. Aku berdiri, melangkah menuju kamar mandi dan menghidupkan shower. Di bawah kucuran air hangat itu, air mataku kembali meleleh, bersatu bersama air dari shower dan mengalir menuju lubang pembuangan.Sakit. Tapi bukan Andin namanya jika diam saja.***"Oh, semalam Riris pamit ke tempat teman katanya. Ada acara pengajian anak temannya yang meninggal."Suara Ibu di telepon terdengar ringan."Jam berapa dia pulang, Bu?""Emm, sekitar jam sepuluh kayaknya. Ibu nggak lihat jam. Kenapa memangnya, Nak?""Oh, nggak apa-apa. Cuma lain kali kalau Riris pergi sampai malam begitu, kasih tahu Andin ya Bu. Kita bertanggung jawab menjaganya selagi Radit nggak di rumah." Ujarku lembut."Benar juga kamu, Ndin. Kok Ibu nggak kepikiran ya. Soalnya kemarin dia dijemput temannya.""Laki-laki atau perempuan, Bu?""Perempuan kok. Dia pamit sama Ibu."Aku mengakhiri pembicaraan dengan tanda tanya besar di kepala. Apa yang sebenarnya Riris lakukan? Sementara pertanyaan tentang di kemana kan uang dari Radit saja belum terjawab. Dan kini, otakku kembali terbagi dengan alat kontr-asepsi di koper Mas Reno.Aku menghela nafas dalam-dalam, memenuhi paru-paru dengan udara, berharap sesak di dadaku berkurang. Kukembalikan isi koper Mas Reno seperti semula, berpura-pura seolah aku belum sempat merapikannya. Aku akan mencari tahu sendiri nanti.Ponselku berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Tumben, Radit menghubungiku siang seperti ini. Dia bekerja sebagai pelaut di kapal cargo, pulangnya tiga bulan sekali.(Mbak, aku mau minta tolong, maaf sebelumnya.)Adikku itu memang sopan. Ibu mendidik kami dengan baik. Tapi chat WA berikutnya justru membuat dadaku sesak.(Tolong jangan terlalu mengurusi Riris. Semalam dia meneleponku dan menangis, katanya Mbak terlalu mengurusi hidupnya sampai dia merasa risih. Riris kan udah dewasa Mbak, udah punya anak. Biarkan saja dia selama nggak keluar batas.)Aku tertegun. Aku sendiri bahkan belum pernah mengadukan kelakuannya pada Radit, tapi dia lebih dulu melakukannya. Aku menghela nafas, berpikir, apa yang akan dilakukan Radit seandainya dia tahu adiknya bergandengan dengan lelaki lain di jam sepuluh malam?***STATUS WA ADIK IPARKU 5Salah satu hal paling menyedihkan dalam hidupmu, ketika seseorang yang kau sayangi tak lagi percaya dan tak juga bisa dipercaya. Aku menatap WA dari Radit dengan hati nelangsa. Baru saja mendapat hanta-man dari Mas Reno, dan kini pesannya membuat suasana hatiku makin tak menentu. Aku menelan ludah, memutuskan membalasnya sebelum mem-atikan ponsel dan menyimpannya.(Apakah kau lebih percaya pada seseorang yang baru kau kenal, dibanding Kakakmu yang telah bersamamu dua puluh lima tahun lamanya?)Aku dan Radit hanya dua bersaudara. Meski Ayah mendidik kami dengan sikap tegas khas seorang perwira militer sebagaimana profesinya, Ibu melengkapi sifat Ayah dengan kelembutan. Semuanya terasa seimbang. Ibu selalu bisa meredam ama-rah Ayah dan Ayah memberi kami pelajaran bahwa hidup tak selalu indah. Kami tumbuh dengan cinta yang memenuhi setiap ruang dalam rumah dan dalam hati. Semua sempurna, sampai aku menikah dan tak kunjung hamil. Lalu kehadiran Riris di rumah Ibu.
STATUS WA ADIK IPARKU 6Mas Reno langsung masuk ke dalam kamar begitu tiba di rumah. Maghrib masih beberapa menit lagi. Masuk ke kamar, ditariknya koper dan dibukanya. Dia sibuk memisahkan pakaian kotor sementara aku berdiri mematung di belakangnya, menunggu benda si-alan itu keluar dari tempat persembunyiannya. Baju kotor dia pisahkan, lalu paling bawah, kemeja yang masih bersih dibawanya ke dalam lemari. Lama kutunggu, benda itu tak juga jatuh seperti yang terjadi tadi pagi. Tak sabar, aku berpura-pura menabrak Mas Reno, tumpukan baju di tangannya jatuh dan benda itu melayang lalu mendarat di lantai.Dia tertegun, sementara aku melihat perubahan wajahnya yang perlahan memerah. Aku memungut benda itu sebelum dia bereaksi, menatapnya sebentar dengan dada bergemuruh."Dengan siapa Mas memakai benda ini?"Suaraku bergetar. Amarah yang sejak pagi kuredam mendesak hendak keluar. Wajah itu merah padam. Dengan kasar Mas Reno merampas benda itu dari tanganku."Ini bukan punyaku. Mungkin Ard
STATUS WA ADIK IPARKU 7Wajah itu memucat, dan perubahannya tak luput dari pengamatanku. Sedikitpun aku tak berkedip. Dia harus tahu, bahwa tak seorangpun boleh mencurangi Ibu dan adikku. Saat ini Radit mungkin masih percaya padanya. Riris mungkin tak menyangka bahwa hubungan kami sebagai kakak adik sedekat bayi dan ari-ari."Apa maksud, Mbak?"Aku tersenyum, menepuk pipinya yang pucat. Dia berjengit sedikit, mungkin dia mengira aku akan menam-parnya."Kau lebih tahu apa yang kumaksud. Kusarankan agar kau berubah jika masih tetap ingin menjadi adik iparku. Atau sebaiknya kau berhati-hati."Aku mundur, memberi ruang padanya untuk menarik nafas, lalu melangkah ke belakang. "Oh ya, Ris. Tolong bereskan kamarku. Mainan Kayla dan baju-bajumu itu, singkirkan dari sana karena mulai saat ini aku akan menempatinya."Tak kupedulikan wajahnya yang bersungut-sungut. Tepat pada saat itu, Kayla muncul dari kamarnya. Anak kecil itu tampaknya baru bangun tidur, dan dia tersenyum gembira melihatku."
STATUS WA ADIK IPARKU 8Lalu, seperti biasa, wajah itu mulai memerah, matanya mengembun dan dia mulai menangis terisak-isak, tepat saat Ibu keluar dari kamarnya dan melangkah menuju ruang tengah."Loh, ada apa ini?"Riris langsung menggelayut di lengan Ibu. Aku mende-sah, Ibu merasa ketitipan Riris. Radit kerap menelepon Ibu agar menjaga Riris dan Kayla dan juga mendidiknya. Bagian yang pertama dilakukan Ibu dengan baik. Tapi mendidik, sepertinya tak bisa dilakukan Ibu pada adik iparku yang ajaib ini."Mbak Andin menuduh aku, Bu. Katanya aku yang bikin Mas Reno selingkuh."Aku menatapnya taja-m. Padahal aku tidak cerita padanya bahwa Mas Reno selingkuh. Tapi dia tahu seolah-olah memang dialah dalang dari semua ini."Loh, kok kamu tahu? Andin cuma cerita sama Ibu kok?"Ibu menyuarakan isi hatiku. Riris tampak gugup sejenak."Eh, tadi Mas Reno yang cerita.""Riris…" Kali ini Mas Reno yang protes."Sudah… sudah… aku pusing melihat drama kalian berdua." Aku mengalihkan tatapan pada Mas Re
STATUS WA ADIK IPARKU 9PoV RIRIS"Cepat pergi. Besok jangan datang lagi. Aku yang akan mengantar semua kebutuhanmu!"Aku melotot pada lelaki berkaos hitam itu. Dia tertawa kecil, menjawil daguku sesaat."Emang kenapa sih? Biasanya juga santuy. Masa kamu udah mulai takut sama mertuamu. Nenek tua itu mah kecil, sekali senggol aja tumbang.""Ssttt… jangan bicara sembarangan. Sekarang Mbak Andin tinggal disini. Bahaya.""Siapa Andin?""Aduuhh, cerewet banget. Lekas pergi. Nanti Mbak Andin kesini.""Oke… oke… tapi ingat, kau harus menyediakan semua yang kuminta kalau tak mau rahasiamu kubongkar."Kesal, aku mendorongnya. Lelaki itu menerima kresek berisi sembako dari tanganku, dan naik ke motornya. Mata dibalik kaca helmnya mengedip. Astaga, si-al banget aku terlanjur berhubungan dengan lelaki seperti itu."Hey, berhenti!"Seakan jantungku merosot ke dasar perut. Aku melihat Mbak Andin melangkah dengan cepat menuju kami. "Cepat…cepat!" Seruku panik. Si-al, disaat genting seperti ini, mo
STATUS WA ADIK IPARKU 10PoV ANDINMa-buk dan tanpa busana? Astaga Riris. Aku menutup wajah, membayangkan betapa sakitnya hati Radit jika tahu. Meski seorang pelaut, aku yakin adikku bahkan tak sudi menyentuh minuman keras, apalagi wanita yang haram untuknya. Ayah dan Ibu mendidik kami dengan bekal ilmu agama yang cukup. Kututup ponselku yang terhubung dengan alat penyadap suara di tas Riris, menaikkan kembali kaca jendela mobil ketika melihat lelaki itu keluar dari warung bakso dan menaiki motor matic nya. Aku yakin sekali, dia memang lelaki yang kemarin datang ke rumah dan nyaris kutangkap seandainya saja Riris tidak menghalangi. Dan ketika lelaki itu berlalu dengan motornya, aku bergegas mengikuti setelah menoleh sejenak pada Riris yang masih terlihat duduk melamun di dalam warung. Ada seseorang disana yang telah mengambil fotonya, dan juga alat penyadap suara yang kusembunyikan dalam tasnya bekerja dengan baik. Aku menghela nafas dalam. Jika rumah tanggaku hancur, apakah rumah ta
STATUS WA ADIK IPARKU 11Tanpa kuduga, Riris langsung berlutut di hadapanku. Aku mundur sebelum dia sempat memegang lututku. Seperti biasa, air matanya mulai mengalir. Tapi kali ini aku tahu bahwa air mata itu asli, bukan lagi air mata buaya seperti biasanya. Dia menangis karena takut dan bingung."Mbak Andin. Tolong jangan katakan pada Mas Radit. Bagaimana aku nanti? Mbak tahu keluargaku miskin dan mereka kejam. Mereka nggak akan terima aku pulang. Bagaimana Kayla?""Harusnya kau pikirkan itu sebelum bermain api.""Aku… aku cuma ingin tahu seperti apa diskotik itu.""Dan kau juga ingin tahu bagaimana Mas Reno jika kau menyodorkan perempuan lain padanya?"Dia menggeleng-gelengkan kepala, bingung hendak mengatakan apa."Ampuni aku, Mbak. Aku janji nggak akan melakukan hal itu lagi. Jangan bilang Mas Radit.""Apa kau tidur dengan lelaki itu?"Dia diam sejenak."Aku nggak tahu, Mbak. Aku kan mabuk."Ugh, ingin sekali aku menamparnya biar dia sadar. Minum sampai mabuk saja sudah dosa bes
STATUS WA IPARKU 12"Radit…"Dia diam saja. Padahal biasanya, dia akan langsung meraih tanganku, menciumnya lalu mencari Ibu untuk menghambur dalam pelukan Ibu beberapa saat lamanya, sekedar menuntaskan rindu akan aroma Ibu yang lekat dalam hidup kami selama lebih dari dua puluh tahun. Tapi kini dia diam saja, tatapannya tajam menatapku, dan aku sekarang dapat melihat api yang berkobar disana. Aku mendesah dalam hati, tahu bahwa Riris telah melakukan sesuatu. Tidak, bukan aku kalah langkah karena ini bukanlah suatu pertandingan. Aku hanya menjaga hati adikku. Dia baru saja tiba dari perjalanan jauh, wajah lelah dan keringat yang menitik di dahinya saja masih terlihat jelas. Juga ransel besar di punggungnya itu, yang membuatku terenyuh. Aku ingat dengan jelas pesan Ibu padaku beberapa tahun yang lalu, ketika aku mulai beranjak dewasa dan mulai mengenal lawan jenis."Kelak, jika kau menikah, ingat pesan Ibu baik-baik. Jika suamimu baru pulang kerja, apalagi dia baru datang dari perjala
"Selamat Bu Andin. Usia kandungan sudah dua belas minggu ya. Wah, nantinya pasti akan jadi ramai nih. Seru banget."Dokter Budi, dokter Sp.OG langganan ku, memberi selamat. Dia adalah saksi perjuanganku mendapatkan buah hati saat bersama Mas Reno dulu. Dan kini, aku datang bersama Mas Ziyan. Sang dokter tak banyak bertanya. Dia profesional. Kebahagiaan pasiennya adalah fokus dirinya. Di luar itu bukan merupakan urusannya. Prinsip yang sangat kuhargai."Benar Dok. Allah ternyata begitu sayang padaku."Aku datang ke praktek dokter Budi dengan Formasi lengkap. Mas Ziyan, Aksa, dan juga ketiga gadis kecilku yang cantik. Tentu saja kami menjadi perhatian banyak orang. Dengan keempat anak yang masih kecil, dan aku kembali datang untuk periksa kehamilan.Aku hanya tersenyum membalas pandangan heran orang-orang. Tak perlu menjelaskan karena aku tak kenal mereka. Juga, tak perlu menjelaskan, karena ukuran kebahagiaanku dan mereka pasti berbeda.Ya. Aku bahagia, membayangkan masa tua bersamanya
STATUS WA ADIK IPARKU (ekstra part)Sahabat menjadi cinta. Apakah itu mungkin terjadi pada kami?Setahun lagi sudah berlalu. Semuanya baik baik saja. Aku bahagia tinggal bertiga bersama Ibu di rumah peninggalan Ayah. Radit dan Nayla bersikeras membayar harga rumah lamaku dengan Mas Reno untuk mereka tempati bertiga Kayla. Tadinya aku tak mau. Aku mempersilahkan mereka tinggal sampai kapan saja. Tapi Radit tak mau, sebagai lelaki, dia ingin memberi tempat tinggal bagi istrinya dengan cara membeli, bukan menumpang. Aku akhirnya setuju setelah melihat rumahku yang kutinggalkan berdebu. Rumah yang selama lima tahun menjadi istanaku.Aku memang tak pernah datang lagi setelah memindahkan semua barang yang kurasa perlu ke rumah Ibu. Setiap membuka pintunya, semua kenangan bersama Mas Reno Menghantam, membuat dadaku terasa sesak. Terutama ketika Aksa yang mulai pandai bicara ikut ikutan memanggil Radit Papa. Sedih tentu saja, karena aku tak bisa memberikan keluarga yang utuh pada putraku sa
Tak ada yang lebih membahagiakan melihat adikku akhirnya menikah lagi. Radit mengucapkan ijab kabul dengan tenang meski suaranya bergetar. Aku tahu dia mungkin teringat pada Riris dan pernikahan seumur jagungnya yang berakhir tragis. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca. Apalagi setelah ijab kabul selesai, Nayla langsung menggendong Kayla, menciumi nya. Tapi peduli gaunnya yang cantik itu kusut.Keluarga Nayla yang turun temurun merupakan keluarga dokter, menerima kami dengan sangat baik. Mereka tak pernah mempermasalahkan status Radit yang duda beranak satu. Atau Ibu yang hanya hidup dengan pensiunan Ayah dan warung sembako nya. Atau aku yang janda tanpa status, yang saat ini masih menabung untuk membangun kembali butik. Mereka keluarga dokter yang kaya raya tapi bersahaja. Tak sekalipun kudengar kata-kata yang membuat kami berasa berbeda. Adik Nayla yang masih kuliah, seorang gadis cantik dan periang, bahkan langsung akrab dengan Kayla dan Aksa.Aku bahagia, tentu saja. Kebahagiaan orang-o
STATUS WA ADIK IPARKU 46Dia seorang wanita setengah baya berpakaian modis. Dengan setelan blazer putih dan tas branded yang dijinjing oleh kedua tangannya. Rambut pendeknya yang ikal kemerahan disisir dengan rapi, begitu juga make up yang pastinya ditata oleh penata rias profesional. Meski begitu, segala make up itu tampaknya tak mampu menutupi tanda-tanda penuaan di wajahnya. Saat aku tiba, dia tengah diinterogasi polisi. Sikapnya tenang, sama sekali tak gampak gentar meski telah terbukti dia lah penyebab kematian suaminya sendiri."Saya tidak pernah bermaksud membunuh suami saya, Pak. Yang seharusnya mati saat itu Riris, selingkuhnya. Bukan suami saya."Aku berdiri di belakangnya, mendengar dia bicara seperti tanpa merasa bersalah."Bapak bayangkan saja, suami saya memelihara wanita muda, menghamburkan uang untuknya. Siapa istri yang tak akan marah?""Harusnya Riris yang mati saat itu. Tapi tak masalah, toh dia akhirnya menemui ajal dengan cara yang tak kalah tragis. Putri saya Zha
Adek! Adek Aksa!"Suara Kayla yang ceria terdengar dari luar, lalu langkah kaki kecilnya yang melompat-lompat itu mulai mendekat. Tak lama, wajah mungil muncul dari balik pintu."Adek Aksa tidur?"Dia bertanya sambil berbisik. Aku menggelneg sambil tersenyum. "Nggak, kan baru habis mandi. Kayla dari mana?" Aku bertanya sambil menakainkan Aksa kaus kaki, lalu menggendongnya dan berjalan ke depan. Ada Nayla yang tengah mengukur tensi darah Ibu.Ah, kasihan Ibu. Masalah Radit dan Riris yang menguras air mata Ibu baru saja selesai. Baru saja kering mata tua itu, kini, aku hendak menambahinya lagi dengan masalah."Tensi Ibu agak rendah Mbak."Aku mendesah, merasa bersalah karena sudah lama justru Ibu yang mengurusku.Aku memperhatikan mata Radit yang tak lepas dari tangan cekatan Nayla. Setelah menyimpan lagi alat pengukur tensi, Nayla mengusap usap lengan Ibu."Jangan banyak pikiran Bu. Semua akan baik-baik saja."Aku terenyuh. Bagaimana Ibu akan baik-baik saja, jika satu anak menjadi du
STATUS WA ADIK IPARKU 45Bolehkah aku menangis lagi Ya Allah?Ternyata ada hal yang juga sama menyakitkannya dengan dikhianati, yaitu dibohongi. Pemakaman Vira sudah selesai, dan aku sama sekali tak mau menghadirinya. Bukan karena dendam, tapi karena aku tak ingin melihat wajah Mas Reno yang amat berduka. Pantas saja dulu, Mas Reno tampak biasa saja saat Vira dimakamkan. Tentu karena dia tahu yang dimakamkan bukanlah Vira, tapi bayinya. Aku bisa mengerti karena Vira dulunya adalah adik yang sangat dia sayangi. Tapi kebohongan terakhir yang dia lakukan, yaitu menutupi kematian Vira akibatnya sangat fatal. Aku masih bersyukur Vira hanya membakar butikku. Sungguh tak bisa kubayangkan jika dia mencelakai Aksa. Mungkin saja aku bisa menjadi pembunuh."Andin, makan, Nak. Kau butuh tenaga dan juga ASI untuk Aksa."Ibu meletakkan sepiring makanan di depanku. Aku menghapus mataku yang basah, mengusap dada, mencoba menyembuhkan rasa nyeri di dalam hati. Sudah tiga hari Mas Reno di rumah Mama,
Dia lantas menunjuk makam di sebelahnya."Di dalam sini, bayiku terkubur. Aku harus menjadi orang lain gara-gara kalian!""Kau memanipulasi kematianmu. Itu sebuah kejahatan."Vira tersenyum culas. "Itu bukan urusan kalian.""Jelas jadi urusanku karena kau pasti tahu sebabnya sampai butikku terbakar."Gadis itu menelan ludah. Dia mundur hingga kakinya menabrak nisan. Ternyata dia hanya bisa mengubah wajahnya, tapi tidak cara berpikirnya yang ceroboh itu. Mas Reno menatap adik angkatnya itu dengah pandangan sedih."Ayo ikut, kau harus bertanggungjawab atas perbuatanmu."Lalu tiba-tiba, kurasakan benda dingin menempel di kepalaku. Disertai sebuah suara berat."Tidak ada yang boleh membawa Nona Tania pergi."…"Kalian salah. Semua pelaku kejahatan harus berakhir di penjara."Seperti adegan film, dimana kami semua adalah pemerannya. Aku berbalik begitu mendengar suara Zi. Kini di hadapanku, tampak seorang lelaki, mengangkat tangannya setelah menjatuhkan pisaunya ke tanah. Sementara di bel
STATUS WA ADIK IPARKU 44Rumah itu megah sekali, besar dan sangat mewah. Pagarnya saja sepertinya cukup untuk membangun satu rumah sederhana, belum lagi pilar-pilarnya yang tinggi. Jarak antara pagar dan teras cukup jauh sehingga aku tak dapat melihat pintu berukir yang pasti sama mahalnya. Halamannya ditanami rumput Jepang, dengan bunga-bunga yang tak semuanya tumbuh di Indonesia. Dan di sudut halaman, ada kandang berisi burung-burung yang cantik. Begitu mobil kami berhenti di depan pos satpam, seorang lelaki berseragam coklat langsung berlari menghampiri. Dia berdiri di balik pagar mewah itu, menatap dengan curiga. Tubuh tegap dan rambut cepak membuatku menduga bahwa mungkin dia mantan tentara. "Cari siapa?""Apa benar ini rumah Nyonya Arlene?"Lelaki itu menatap Mas Reno cukup lama."Benar. Ada keperluan apa dengan Nyonya?""Kami ingin bertemu putri Nyonya yang baru datang dari luar negeri. Namanya Vira."Wajah itu langsung berubah. Jika dia tadi tampak curiga, kini dia menampilka
Kau bilang waktu itu bahwa kau tak mengenalnya, Ndin.""Zi. Dia ibu kandung Vira. Dia yang membawa jenazah Vira. Aku curiga dia memalsukan kematian Vira. Vira masih hidup!"Di seberang sana, kudengar suara Zi mendesah. Aku tahu dia tak suka mendengarku seperti ini karena akan membuatku berada dalam bahaya. Tapi sungguh aku tak bisa diam saja. Jika Vira masih hidup, maka kemungkinan besar aku tahu siapa yang bertanggung jawab membakar butikku. 'Nikmati saja hidupmu saat ini, kebahagiaan yang kau miliki saat ini. Tunggulah, aku akan membuat kejutan untukmu.'Kata-kata Vira saat aku menemuinya di tahanan waktu itu kembali terngiang. Inikah kejutan yang dia maksud? Atau… ini hanya peringatan dan dia telah menyiapkan kejutan yang lebih besar lagi?"Zi, tolong cari alamat Nyonya Arlene. Ini pasti bukan hal sulit untukmu.""Memang, tapi akan menyulitkan hidupmu. Biar aku bicara dengan Reno. Kau baru saja melahirkan.""Sudah lewat seminggu, Zi. Aku sudah sembuh.""Keras kepala."Aku meringis