"Riko ... bangun lu bangsat! Bantuin gue beresin cewek pembunuh ini!" teriak Wanto sudah terdesak. Tubuhnya tak bisa ke mana-mana lagi, terhalang tembok. Gadis itu hanya tersenyum senang melihat ketakutan yang tergambar di raut wajah Wanto. Deg. Deg. Deg. Jantungnya berdegup kencang. Darah berdesir kencang. Ketakutan kian menyelimuti dirinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Wanto tak bekutik sekarang, tubuhnya terhalang tembok. Taka ada jalan untuk kabut. Gadis itu sudah menutup pintu ruang UGD dan menguncinya, lalu melangkah mendekati Wanto yang sudah berkeringat dingin. Tangannya menyambar pisau operasi dari wajah suster yang sudah tak berdaya. Dina tersenyum dingin. Dia menunjukan pisau operasi itu. "Ma ... ti!" ujar Dina. Pemuda itu kemudian menarik salah satu ranjang pasien yang berada di dekatnya. Lalu, "Gue gak akan mati semudah itu, perempuan gila!" serunya mendorong ranjang itu. Duk. Ranjang itu sengaja Wanto tabrakan pada Dina. Gadis itu terpental dan menindih
Dandy gelisah di dalam penjara. Beberapa kali telinganya mendengar berita pembunuhan. Ada lima kali berita pembunuhan yang dia dengar dari teman-teman narapidananya. Berita mengejutkan baginya, sebab, nama-nama yang dia dapati adalah nama-nama temannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, bukti, jejak dan pelaku belum bisa di identifikasi sehingga kasus ini mengantung. Polisi juga belum bisa mengungkap pembunuhan itu dan menangkap pelakunya. Pemuda yang sempat menjadi saksi di persidangan Dina itu kesulitan memejamkan matanya. Pikirannya kacau, batinnya tak tenang. Begitu banyak dugaan yang dia analisa sendiri di dalam pikiran dan hatinya. "Sial! Kenapa gue gak bisa tidur sama sekali?" pikir Dandy. Dia duduk kembali dari rebahannya. "Dan pikiranku selalu ingat kejadian itu!" gumamnya pelan. Dia menarik-narik rambutnya. Rasanya sangat sakit kala ingatannya tak berhenti membuka tabir kejahatannya itu terhadap Dina. "Sebenarnya siapa pembunuh teman-temanku? Kenapa pihak kepolisian belum
Dina tak gentar diancam jurus-jurus silat Riko. Justru perempuan itu melangkah maju, seolah sedang menantang Riko berkelahi. "Gue akan membunuh elu, perempuan sinting!" teriaknya sambil berlari, kemudian dia melompat tinggi. Melakukan tendangan udara dan mengincar wajah Dina. Gadis itu tersenyum, tangannya sudah mempersiapkan diri dengan gunting. Dia menarik tangannya, kemudian menunggu saat yang tepat. Kaki Riko melesat cepat, Dina menggerakan gunting itu ke samping. Dan ... Jleb. Mata gunting di tangan Dina menembus di betis Riko. Pemuda itu terjatuh, darah berceceran di lantai bebarengan dengan tangan Dina mencabut gunting dari betis Riko. "Aaargh!" Pemuda itu mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya. "Bangsat! Cewek gila!" umpat Riko tak tahan rasa sakitnya. Cewek itu cekikikan walau suaranya tak keluar. Memandang senang melihat Riko kesakitan dan menderita. Sama sepertinya memohon dengan perasaan terluka dan menderita. Dina menekan rahang Riko, tangan kanan berayun lal
Laki-laki itu tak menyerah dia bangun kembali. Lagi, gadis itu hanya tersenyum melihat kegigihan Wanto, dan Dina sudah memberi kelongaran buat Wanto lari saat di ruang UGD. "Gue belum menyerah, Iblis sialan!" teriak Wanto. Padahal, lari saja dia terpincang-pincang. Bagaimana caranya dia ingin membunuh Dina yang sudah dikuasai sosok hitam yang lahir dari sisi lain pada diri Dina. Tongkat besi itu berhasil di tangkap Dina, kemudian gadis itu menpelintirnya. Menslending kaki Wanto. Debuk. Tubuh Wanto terjatuh sangat keras. Tulang belulangnya terasa sangat sakit. "Aaarrrgh!" Luka yang baru saja di obati kembali berdarah. Rupanya gadis itu juga mengincar luka Wanto. "Sial, ini benar-benar sakit!" Keluh Wanto kesakitan. Gadis itu sudah berada di hadapan Wanto. Tersenyum, lalu mengangkat tongkat itu setinggi-tingginya. Wanto terlihat panik saat keadaannya sedang terdesak. "Tunggu dulu!" henti pemuda itu. Dian menghentikan laju gerak tangannya. Mata Dina menyipit, tetapi tatapannya teta
"Aaarhk!" Wanto berteriak histeris. Darah menyembur keluar dari leher. Pisau operasi Dina menancap di lehen Wanto. Gadis itu kemudian berdiri dengan tatapan sinis pada Wanto. Tongkat besi di tangannya sengaja Wanto lepaskan untuk menghentikan darah yang mengalir di lubang luka tusuk itu. "Perempuan gila sialan! Gue akan buat perhitungan!" ancam Wanto tetap berdiri walau tenaganya di ambang batas. Tetapi, Buk. Tongkat besi menghantam perut Wanto. Gadis itu benar-benar menggunakan kesempatannya untuk mengalahkan Wanto. Gubrak. Wanto terjatuh. Dina menghampiri Wanto, tongkat besi digenggam erat. Mata Wanto mendapati sorot di mata gadis itu kembali seperti tadi. Penuh kekejaman dan tanpa ada rasa kasihan atau iba sedikitpun. Senyum keputusasaan dari bibir Wanto mrngembang pasrah. Sepertinya, pemuda itu sudah lelah membalas perbuatan Dina yang seolah tiada akhir itu. Dan ... Buk. Buk. Buk. Gadis itu menambahkan luka di setiap tubuhnya. Memukul dan Menendang berkali-kali Wanto yan
Pagi hari, Dina sudah di perbolehkan pulang. Menurut dokter, luka di lidahnya sudah mengering dan sembuh. Dan menurut dokter psikiater bahwa Dina juga sudah mulai normal. Kecemasan dan rasa traumanya berangsur membaik. Zahra membereskan baju-baju Dina. Televisi menyala, sedang menyiarkan berita pembunuhan. Mata Zahra tak sengaja melihat berita itu, satu persatu korban disebutkan. Wanita itu berhenti merapihkan bajunya. Dina menyadari Zahra sedang menonton berita itu. Gadis itu bergegas mematikan televisinya. "Lho, Din, kok dimatiin? Ibukan lagi menontonnya!" Dina hanya tersenyum. "Dina gak mau dengar nama orang-orang yang telah memperkosaku, Bu! Itu semua membuat aku teringat akan kejadian itu, lagipula, bukankah itu bagus pemuda-pemuda brengsek itu telah mati mengenaskan dan mendapatkan karmanya!" kata Dina mengelak. Zahra mengernyitkan dahinya, ucapan Dina ada benarnya. Bisa saja itu memang alasan Dina, tetapi di hatinya gadis itu tidak mau Ibunya tau seluruh korban-korban itu a
Bandung, Letnan Indra dan Aipda Buyung sudah sampai di kepolisian setempat. Mereka berdua langsung menemui Komandan Dani. Polisi yang dulu menangani kasus anak-anak hilang. "Halo Pak, saya Letnan Indra. Senang bertemu Bapak!" kata Letnan Indra. "Oh iya, Letnan Indra. Apa kabar Anda, Pak?" Mereka berdua salaman. "Sudah lama kita tidak bertemu, sehabis pendidikan kita berpencar dan lupa akan teman!" ujar Komandan Dani mengingat masalalu. Letnan Indra tertawa. Dia senang Komandan Dani masih mengingat semuanya. "Oh iya, Pak, kenalkan ... ini Aipda Buyung, bawahan saya." Letnan Indra hampit saja melupakan bawahannya itu. "Buyung!" "Dani, saya senang kalian datang!" Komandan Dani menjabat tangan Aipda Buyung dengan erat. "Terima kasih!" ucap Aipda Buyung penuh senyum. "Mari, ikuti saya," ajak komandan Dani ke ruangannya. "Saya sudah menyiapkan semua yang kalian minta di email kemarin," sambung Komandan Dani. Ketiga polisi itu masuk ke ruangan yang cukup luas. Letnan Indra dan Aipda B
Dina dan Zahra baru saja sampai di depan gang rumah. Keduanya berjalan turun dari angkot, lalu berjalan di gang yang tidak terlalu lebar. Lalu seorang pria berpakaian serba hitam membekap mulut Dina. "Dina? Hei ... mau kalian apakan anak saya?" pekik Zahra. Wanita itu melayangkan tas berisi pakaian ke arah dua laki-laki itu secara bergantian. Dua laki-laki misterius berkacamata yang sedari tadi mengintai kedatangan Dina dan Zahra. Gadis itu memohon pada Zahra agar di bebaskan. Tangannya melambai-lambai dengan suara tak terdengar. Pandangannya kian buram, obat bius itu semakin menguasai dirinya. Satu dari dua laki-laki berpakian hitam itu menangkap tas Zahra. Merebut paksa dan lalu membuangnya. "Lepaskan anak saya, jangan sentuh dia, bajingan!" teriakkan Zahra semakin kencang. "Diam! Saya bilang Diam! Kalau tidak aku akan menyakitimu juga, wanita jalang!" bentak laki-laki itu mengancam Zahra. "TOLOONG ... TOLONG ADA PENCULIK!" Zahra mengabaikan ancaman itu. Dia berteriak minta tol
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don