Bandung, Letnan Indra dan Aipda Buyung sudah sampai di kepolisian setempat. Mereka berdua langsung menemui Komandan Dani. Polisi yang dulu menangani kasus anak-anak hilang. "Halo Pak, saya Letnan Indra. Senang bertemu Bapak!" kata Letnan Indra. "Oh iya, Letnan Indra. Apa kabar Anda, Pak?" Mereka berdua salaman. "Sudah lama kita tidak bertemu, sehabis pendidikan kita berpencar dan lupa akan teman!" ujar Komandan Dani mengingat masalalu. Letnan Indra tertawa. Dia senang Komandan Dani masih mengingat semuanya. "Oh iya, Pak, kenalkan ... ini Aipda Buyung, bawahan saya." Letnan Indra hampit saja melupakan bawahannya itu. "Buyung!" "Dani, saya senang kalian datang!" Komandan Dani menjabat tangan Aipda Buyung dengan erat. "Terima kasih!" ucap Aipda Buyung penuh senyum. "Mari, ikuti saya," ajak komandan Dani ke ruangannya. "Saya sudah menyiapkan semua yang kalian minta di email kemarin," sambung Komandan Dani. Ketiga polisi itu masuk ke ruangan yang cukup luas. Letnan Indra dan Aipda B
Dina dan Zahra baru saja sampai di depan gang rumah. Keduanya berjalan turun dari angkot, lalu berjalan di gang yang tidak terlalu lebar. Lalu seorang pria berpakaian serba hitam membekap mulut Dina. "Dina? Hei ... mau kalian apakan anak saya?" pekik Zahra. Wanita itu melayangkan tas berisi pakaian ke arah dua laki-laki itu secara bergantian. Dua laki-laki misterius berkacamata yang sedari tadi mengintai kedatangan Dina dan Zahra. Gadis itu memohon pada Zahra agar di bebaskan. Tangannya melambai-lambai dengan suara tak terdengar. Pandangannya kian buram, obat bius itu semakin menguasai dirinya. Satu dari dua laki-laki berpakian hitam itu menangkap tas Zahra. Merebut paksa dan lalu membuangnya. "Lepaskan anak saya, jangan sentuh dia, bajingan!" teriakkan Zahra semakin kencang. "Diam! Saya bilang Diam! Kalau tidak aku akan menyakitimu juga, wanita jalang!" bentak laki-laki itu mengancam Zahra. "TOLOONG ... TOLONG ADA PENCULIK!" Zahra mengabaikan ancaman itu. Dia berteriak minta tol
Mobil mini van berhenti di rumah mewah. Roy dan Tyo sudah menunggu di ruang tamu. Hari ini, Dona ada tugas luar kota. Seminar dari rumah sakitnya. Dua laki-laki berpakaian hitam menyeret Dina yang sudah tersadar, kepala gadis itu ditutupi pembungkus warna hitam. Tangan gadis itu diikat sebelum keluar dari mobil "Ayo cepat jalan!" perintah salah satu laki-laki itu. Kepala Dina masih terasa pusing, dia tidak dapat melihat dengan jelas sedang berada di mana dia sekarang. "Mau dibawa ke mana aku ini?" pikir Dina. Dia hanya mengikuti apa yang dikatakan dua laki-laki di samping kiri dan kanannya. Melalu telinga, Dina mendengar suara pintu terbuka. "Masuk!" Suara bariton terdengar lagi memerintah dirinya. Mau tidak mau gadis itu masuk ke dalam. Salah satu dari dua laki-laki itu tak sabaran melihat gadis itu melangkah sangat pelan. Dia mendorong Dina hingga terjatuh. "Auh!" gadis itu meringis. Dengkuknya beradu keras pada lantai marmer. Tak lama, telinganya mendengar suara tawa terbahak-b
Roy tersenyum, dia melepaskan ikat pinggangnya dan melangkah maju mendekati Dina. Gadis itu bergidik ngeri. Kemudian, Pletar. Satu sabetan dari ikat pinggangnya membuat Dina meringis kesakitan. "Segini belum cukup menyakiti kamu, kan?" tanya Roy. Dia mencambuk lagi punggung Dina dengan ikat pinggangnya. Lagi dan lagi. Bukan hanya bagian pinggang saja Roy mencambuknya, tetapi menjalar ke bagian tubuh Dina lainnya. Kaki dan tangan tidak luput dari incaran pemuda gila itu. "Mampus kau, wanita gila! Rasakan ini, biar hancur tubuh elu itu," pekik Roy bersemangat mencambuki Dina Gadis itu kesakitan, semakin sakit kala Roy mencambuknya semakin kencang. Kulit tangan dan kakinya memerah. Bagian punggungnya memar membiru. Baju yang dikenakan gadis itu sobek. Roy semakin terpacu adrenalinnya untuk menyiksa Dina. Tenaga gadis itu melemah, sudah tak ada tenaga tersisa. Rasa sakit yang dia terima juga tidak bisa lagi dia tahan lebih lama. Pendangan netranya semakin buram, matanya sudah tidak bi
"Gue bukan laki-laki lemah, bocah! Elu akan mati di tangan gue perempuan bodoh!" Tinjunya berayun .... Wush. Dina menunduk, kemudian tangannya menggerakkan tongkat besi panjang ke arah perutnya. Buk. Pengawalnya itu sepertinya sudah terlatih. Dia hanya meringis sebentar, jaraknya kini agak menjauh dari Dina. "Gadis itu, dari mana dia belajar beladiri?" bisik laki-laki bernama Tyan. Gadis itupun berlari, mengarahkan tongkatnya ke Tyan. Laki-laki itu mengerutkan dahi. Lalu ... Tap. Dia berhasil menangkap tongkat itu. "Aaargh!" Tyan berteriak. Dia bergerak memutar, Dina pun ikut berputar. Gadis itu panik, lepas kendali dan pegangannya pun terlepas. Dia terpental dan tubuhnya beradu tiang rak di gudang itu. "Uugh!" Dina mengaduh. Punggungnya terasa sakit dan perih. "Sial!" bisik batinnya. Kemudian dia berdiri, dia di sambut oleh kedatangan Tyan dengan tongkat milik Dina. Duk. Gadis itu terlambat menghindar. Bahu Dina terkena ujung tongkat besi laki-laki itu. Tyan mendorong tong
"G-gadis itu? Jangan-jangan dia?" ujarnya. Dia berdiri kembali, lalu melangkahi kepala itu dan mendekati tempat tubuh Dina tergantung. Namun, lagi-lagi Roy dikagetkan. Tidak ada Dina menggelantung di tempat itu. "D-di mana gadis itu?" Roy kemudian berputar, matanya menjadi sangat liat. Melihat sekelilingnya dengan ketakutan yang besar. "Di mana wanita iblis itu? Dan bagaimana dia membebaskan diri?" bisik batin Roy mulai kuatir. Dia merogoh kantong celananya, tangannya gemeteran saat dia mengambil ponsel di saku celananya itu. Wajahnya terlihat pucat saat tau gadis itu tidak lagi terpasung di tempatnya. "Sial ... kenapa susah banget keluar dari kantong?" bisik Roy. Lalu dia menghidupkan lampu senter dari ponselnya. Bergegas menerangi area sekitar ruangan gudang itu, mencari Dina. "Gue harus cepat menemukan dia, kalau tidak ... dia bisa membunuhku!" ujarnya. Roy melangkah jauh ke dalam, pemuda itu menyoroti tanpa ada yang terlewatkan. "Sial, di mana dia?" bisik batinnya kala lampu se
Roy membuka pintu takut - takut. Ketika Roy membuka pintu, mendadak dia menyerobot masuk. Tyo mengetahui bahwa anaknya sedang dalam bahaya. Ayah dari Roy itu cepat-cepat menodong Dina. "Lepaskan dia sekarang atau aku membunuhmu!" Senapan laras panjang tepat berada di kepala Dina. Gadis itu terkejut, matanya terbeliak melihat senapan Tyo sudah berada di kepalanya. "CEPAT LEPASKAN ANAKKU, IBLIS!" teriak Tyo habis kesabaran. Gadis itu, pelan-pelan menurunkan patahan besi dari leher Roy. Matanya tak lepas menatap tajam ke Tyo, yang menurut orang dia adalah gubernur terbaik yang di miliki Warga Jakarta. Tapi tidak menurut Dina, Tyo justru iblis sebenarnya yang mengendalikan otak Roy untuk terus berbuat jahat dan semena-mena dengan menggunakan jabatannya. Roy bergegas mencengkram pergelangan tangan Dina, kemudian dipelintirnya. "Sekarang, enaknya kita apakan Pah?" tanya Roy. Tersenyum penuh kemenangan. Gadis itu kembali tak berkutik. Namun, tidak semudah itu menaklukan Dina dengan peng
Senyuman gadis itu terlihat meledek. Fisik Roy terlihat lebih lemah di banding dengannya. Keringat di tubuh Roy yang banyak itu membuat dia mudah ditebak. "Kau kelelahan, huh?" tanya Dina dalam bahasa isyarat. "Diam kau, perempuan bisu!" protes Roy. Dia menegapkan tubuhnya lagi. Roy memulai pertarungannya lagi. Dina menghindar kala serangan Roy mendekati wajahnya. Gadis itu seolah bisa membaca serangan Roy. Buk. Pukulan keras membuat perut Roy terasa mual. Apalagi saat tangan Dina berputar di perut pemuda itu, rasanya melilit. Kemudian gadis itu menarik tangannya dan mendorongnya ke depan. Sekali lagi, perut Roy menjadi sasaran empuk pukulan Dina. Pemuda itu mundur tiga langkah, lalu memuntahkan isi perutnya. Napasnya terengah-engah. "Sial! Kenapa gue bisa selengah ini?" pikirnya. Mengelap sisa muntahan yang masih menempel di sekitar bibirnya. Pemuda itu seperti putus asa, tidak ada harapan untuknya menang melawan gadis yang sedang kesetanan untuk membalas dendam. Roy berlari dan
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don