Jantung Du Fei berdegup kencang mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.Tak jauh dari tempatnya bersembunyi, seorang pemuda berjalan tergesa-gesa. Langkahnya cepat dan tidak beraturan, seolah sedang melarikan diri dari sesuatu. Sesekali pemuda itu menoleh ke belakang, wajahnya pucat pasi, jelas menunjukkan ketakutan yang luar biasa.'Bukankah itu A Fung?' batin Du Fei, dahinya berkerut dalam. Ia mengenali pemuda tersebut sebagai salah satu murid senior di Bu Tong Pai, dan juga sahabat dekat Lin Mo. Kenyataan ini membuat Du Fei semakin waspada. Kalau A Fung berada di hutan ini, bisa jadi Lin Mo juga berada tak jauh.'Mengapa A Fung berada di tempat seperti ini?' Otak Du Fei bekerja keras, berusaha menerka apa yang sedang terjadi. Ia tak habis pikir mengapa A Fung berlarian seperti dikejar sese
Du Fei merasakan darahnya seolah berhenti mengalir mendengar teriakan A Fung. Menyebabkan Guru Besar tewas dan membunuh Ketua Ma? Apakah ini misi yang diberikan Tetua Lin? Seketika, Du Fei merasa mual. Ia selalu meyakini bahwa Bu Tong Pai memiliki sisi gelap, tapi ini terlalu mengerikan bahkan untuk dibayangkan.Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti tempat itu. Dari celah sempit di antara batang pohon, Du Fei bisa melihat keterkejutan di wajah Tetua Lin dan Tetua Liu mendengar penolakan A Fung yang begitu berani."Kau bicara omong kosong!" sergah Tetua Lin, nada suaranya meninggi. "Guru Besar tewas karena perbuatan asusila Du Fei, bukan karena kesalahanmu.”“Dan misi yang kuberikan kepadamu hanyalah memberikan teh yang telah dicampuri serbuk Lemah Raga kepada Ketua Ma. Teh itu hanya akan membuat fisiknya lemah, sehingga tak bisa menjalankan fungsi sebagai ketua. Serbuk itu tak akan membunuhnya!” dalih Tetua ke-dua Bu Tong Pai lagi.Mendengar namanya disebut, Du Fei merasakan a
Du Fei memutar tubuhnya dengan hati-hati, kembali mengintip dari celah-celah pepohonan. Apa yang ia lihat membuat napasnya tersendat, matanya membelalak tak percaya.Di sana, hanya beberapa langkah dari tempat A Fung berpamitan tadi, tubuh pemuda itu kini tergeletak menelungkup di tanah. Tak bergerak, tak bernyawa. Di punggungnya, sebilah belati menancap dalam, darah merembes membasahi pakaiannya."Kakak Lin, apa yang kau lakukan?" Suara Tetua Liu terdengar panik, terkejut sekaligus tak percaya. Ia tak pernah menyangka saudara seperguruannya akan benar-benar membunuh murid kesayangannya.Du Fei menyaksikan Tetua Lin berjalan mendekati mayat A Fung dengan langkah tenang, seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah hal yang luar biasa. "Dia tidak boleh dibiarkan hidup karena bisa membongkar rahasia kita," jawabnya tanpa ekspresi. Tangannya terulur, mencabut belati yang menancap di punggung A Fung dengan satu tarikan kuat.Du Fei merasakan perutnya bergolak, karena rasa mual dan kemarahan
Dengan langkah berat dan jantung berdebar, Du Fei akhirnya keluar dari persembunyiannya di balik pohon besar. Kemunculannya mengejutkan kedua tetua Bu Tong Pai.Tetua Liu, yang tadinya tampak ragu-ragu, kini menatap Du Fei dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia mendekat ke arah Tetua Lin dan berbisik, namun cukup keras untuk bisa didengar Du Fei"Kakak Lin, putra Pendekar Iblis ini pasti sudah menyaksikan apa yang telah kita lakukan. Bagaimana kalau kubereskan dia?"Du Fei merasakan darahnya membeku mendengar usulan itu. Namun, reaksi Tetua Lin membuatnya lebih waspada lagi. Sebuah senyuman licik tersungging di bibir Tetua Lin. "Aku memiliki ide yang lebih baik," ujarnya, matanya tak lepas dari sosok Du Fei yang berdiri gemetar di hadapan mereka."Apakah kau telah melihat semuanya, Du Fei?" tanya Tetua Lin dengan tatapan menyelidik, seolah berusaha menembus ke dalam pikiran Du Fei.Du Fei menggeleng kuat-kuat, berusaha terlihat meyakinkan. "Aku baru saja datang, tidak melihat apa-
Karena rasa penasaran dan sedikit takut, Du Fei menjauhkan tangannya dari wajah, memperhatikannya dengan seksama di bawah cahaya temaram kamar. Apa yang ia lihat membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.Tangannya berlumuran cairan merah pekat. Darah.Dengan panik, Du Fei mengangkat tangan kirinya, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya semakin terperangah. Di tangan kirinya tergenggam sebilah belati, bilahnya berlumur darah yang mulai mengering. Dan yang lebih mengejutkan lagi, belati tersebut diikatkan dengan tangan kirinya menggunakan kain yang juga bernoda merah."Apa yang terjadi?" Du Fei bergumam, suaranya bergetar penuh kebingungan dan ketakutan. Bagaimana ia bisa berakhir seperti ini? Apa yang telah ia lakukan?Didorong oleh kepanikan, Du Fei memutuskan untuk keluar dari kamar, mencari jawaban atau bantuan. Ia bangkit dari pembaringan dengan tergesa-gesa. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai dan hendak melangkah, sesuatu menghalangi jalannya.Du Fei tersandung, tub
Malam yang kelam di Gunung Wudang seolah berubah menjadi arena perjuangan hidup dan mati. Du Fei, dengan nafas tersengal dan keringat bercucuran, terus memaksa kakinya yang mulai gemetar untuk berlari. Di belakangnya, suara derap langkah para pengejar dari Bu Tong Pai semakin mendekat."Sial!" Du Fei mengumpat lirih, menyadari bahwa jarak antara dirinya dan para pengejar semakin menipis. Ilmu sinkang yang tinggi membuat orang-orang Bu Tong Pai mampu mengejar dengan kecepatan yang menakjubkan.Dengan hanya mengandalkan insting, Du Fei membelokkan arah lari, menerobos masuk ke dalam hutan lebat. Ranting-ranting tajam menyayat kulitnya, dedaunan basah memercik ke wajahnya, namun ia tak peduli. Satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah lepas dari maut. Ia telah difitnah membunuh murid Bu Tong Pai, bila tertangkap hukumannya pasti mati. ‘Aku tak boleh mati sebelum mengungkap kebenaran!” tekad hati Du Fei.Namun, tenaganya yang sudah terkuras habis mulai membuat langkahnya melambat, naf
“Dapatkah Guru menolongnya?”Chang Su menatap muridnya dengan senyum penuh arti. Kerutan di wajahnya yang sudah dimakan usia seolah menari saat ia terkekeh."Apakah kau lupa, Du Fei? Gurumu jelek-jelek begini dikenal sebagai raja racun yang paling ditakuti," pria tua itu membusungkan dada dengan bangga.Mendengar kata-kata gurunya, wajah Du Fei yang tadinya pucat pasi karena kelelahan dan ketakutan, perlahan berubah cerah. Matanya yang redup kini berbinar penuh harapan. "Guru ... apakah itu berarti …?"Chang Su mengangguk mantap. "Ya, Du Fei. Kita akan menolong Ketua Ma bila itu yang kau inginkan."Du Fei nyaris melompat kegirangan, namun ia segera menguasai diri. "Tapi Guru, bukankah Racun Jantung Bayangan itu sangat mematikan? Kudengar terbuat dari Akar Bayangan Maut, Bunga Lung Bai, dan Duri Kalajengking Malam.""Tepat sekali," Chang Su membenarkan. "Racun itu memiliki kekuatan untuk menghancurkan dari dalam secara perlahan. Sangat kejam dan mematikan."Du Fei menelan ludah, "Lalu
"Du Fei!" teriak Chang Su, wajahnya sempat memucat melihat aksi nekat muridnya.Namun, keberanian Du Fei membuahkan hasil. Dengan satu tarikan kuat, ia berhasil mencabut segenggam Janggut Emas. "Aku berhasil, Guru!" seru remaja laki-laki itu penuh kemenangan, lalu dengan hati-hati kembali ke tempat yang aman.Chang Su menghela nafas lega, ada rasa bangga dan sedikit rasa kesal terpancar di wajahnya. "Kau ini ... benar-benar nekat!"Du Fei menanggapinya dengan menggaruk bagian belakang kepala meski tak gatal.Begitu ketiga bahan penawar racun telah terkumpul, Chang Su dan Du Fei bergegas kembali.Saat mereka menuruni gunung, Du Fei merasakan harapan baru tumbuh dalam hatinya. Mungkin, dengan ini, ia bisa membuktikan kesetiaannya pada Bu Tong Pai dan mengungkap kebenaran di balik semua fitnah yang menimpanya.Senja telah turun di lembah Gunung Wudang, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan saat Chang Su dan Du Fei akhirnya tiba di pondok sederhana yang diberikan oleh Da Ye kepa
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram