Sudut pandang Noah:"Dia sudah move on," kataku pada Bonar. Kami kembali ke Manik Beach Club, sebuah club VIP yang langsung menghadap ke samudera lepas. Aku mulai minum-minum secara berlebihan."Kamu mengharapkan apa sih? Dia 'kan udah kawin lagi. Markus Feri itu pria baik-baik. Dia mau bertanggung jawab atas anak-anakmu dan membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Bodoh sekali Nikita kalau menolak pria sepertinya." Aku menghela napas. Markus adalah pria yang lebih baik dariku, tetapi aku tetap yakin pada diriku sendiri. Andaikan saja Nikita mau memberiku kesempatan, aku akan membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi pria yang terbaik baginya dan si kembar tiga.Bonar menepuk bahuku. "Sudahlah, Bro. Setidaknya kamu masih bisa bersyukur karena dia mau mengenalkanmu pada anak-anaknya." Perkataannya menyadarkanku. Aku teringat kalau Nikita akan mengenalkanku pada anak-anak besok. Seharusnya hari ini, tetapi dia ada urusan mendadak dan harus melakukan rapat darurat.Aku tidak punya
Sudut pandang Noah:"Dia itu tunanganmu. Dia berhak menemanimu ke mana pun. Selain itu, dia terkenal. Kenapa kamu mempermalukannya? Media hendak menggoreng berita ini. Untung saja aku turun tangan dan membantunya menghapus skandal besar ini."Dalam hati aku tersenyum sinis, tetapi aku merespons omelan Matthew dengan nada datar."Paman nggak perlu melakukan itu dan nggak perlu memedulikan Bella. Dia yang cari gara-gara, jadi biarkan dia menanggung konsekuensinya sendiri."Dulu aku sudah sering memanjakan Bella. Sekarang, aku sudah tidak bersamanya lagi.Matthew menatapku tidak percaya. "Apa? Dia itu tunanganmu. Segala sesuatu yang menyangkut dirinya akan memengaruhimu juga.""Tidak lagi," jawabku dengan tenang. Aku mengabaikan ekspresi Matthew yang kacau."Maksudmu?"Aku membusungkan dadaku dan menatap wajah Matthew sebelum mengumumkan informasi yang dia belum ketahui. "Apa Bella sudah memberi tahu Paman kalau kami sudah putus?" tanyaku dengan tenang.Ledakan emosi di wajah Matthew begi
Sudut pandang Noah:Aku memarkir mobilku di depan kediaman Keluarga Feri dan menghela napas. Lalu aku menarik cermin di atas kepalaku untuk mengecek penampilanku.Setelah itu, aku membuka jendela mobilku dan menghirup udara segar untuk menenangkan batinku sambil menunggu adanya aktivitas di dalam rumah tersebut. Aku tidak ingin tampak terlalu antusias meskipun sebenarnya aku sangat menanti-nantikan momen ini.Aku terus menggosokkan kedua tanganku dengan penuh antisipasi ketika aku mendengar suara anak-anak. Jantungku berdebar kencang.Setelah melihat jam, aku menghela napas. Kemudian, aku pun turun dari mobil.Sebelum berjalan menuju rumah di depanku, aku mengambil beberapa kantong dari kursi belakang mobilku.Aku memencet bel dan Markus sendiri yang menyambutku. "Pagi!" sapanya. Dia membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakanku masuk.Aku bisa mendengar suara anak-anak dari pintu masuk tempatku berdiri sekarang. Tampaknya mereka sedang bermain."Maaf kalau agak berantakan. Oh ya, s
Sudut pandang Nikita:Aku merasa bangga pada anakku yang terkecil. Mori yang pertama kali memperkenalkan dirinya pada ayah mereka tanpa ada batasan. Kupikir pertemuan ini akan sulit karena si kembar tiga memiliki kesan yang buruk terhadap Noah. Untungnya anak-anakku cerdas.Ketika Roni dan Beni mengikuti tindakan Mori, hatiku serasa mau meledak. Aku menggigit bibirku dan menundukkan kepalaku untuk melihat ke arah Noah yang juga sedang melihat ke arahku.Dia bersalaman dengan anak-anaknya. Telapak tangannya tampak sangat besar apabila dibandingkan dengan tangan-tangan mereka yang mungil.Mata kami bertatapan sejenak, dan aku bisa melihat emosinya yang campur aduk. Dia berdiri dan mengusap sedikit sudut matanya dengan ujung jari telunjuk. Lalu, dia mengucapkan terima kasih padaku tanpa bersuara.Aku mengangguk, dan air mata jatuh dari kedua pelupuk mataku.Aku merasakan tanganku ditarik lembut. Aku pun berjongkok supaya bisa berhadapan langsung dengan Mori.Tangan mungil Mori bergerak ke
Sudut pandang Nikita:"Bu Nikita, selamat, ya, kehamilan Anda sudah masuk minggu ke-10."Aku keluar dari ruang pemeriksaan dalam keadaan linglung. Ucapan dokter barusan terus terngiang di kepalaku hingga membuat jantungku berdebar kencang.'Setidaknya masih ada kabar baik di tengah pedih dan pilu ini,' ujarku dalam hati.Aku merasa sangat bahagia, saking bahagianya sampai senyum lebar di wajahku tidak mau lepas. Aku merasa sedikit lega.Dengan semangat yang baru, aku mempercepat langkahku dan masuk ke lift. Begitu pintu lift terbuka, aku keluar dan berjalan melewati pos perawat ke arah ruang ICU."Bu Nikita," sapa seorang suster."Hai. Bagaimana keadaan Noah?" tanyaku pada suster dengan nada lemas."Pak Noah masih belum sadar dari komanya." Ucapan suster itu membuatku kecewa. Aku pun menghampiri tempat tidur suamiku, menarik kursi, dan duduk. Lalu, suster itu keluar dan meninggalkan kami berdua di ruangan itu.Aku menatap wajah pria yang kucintai dan rasa kerinduan yang mendalam mengge
Sudut pandang Nikita:Ada dua hal yang muncul di pikiranku: suamiku sudah siuman dan dia ingin menceraikanku."Ini nggak masuk akal," ujarku kepada Randy yang terlihat seperti ingin ditelan oleh bumi. Bahasa tubuhnya jelas menunjukkan rasa bersalah dan iba.Aku tidak tahan lagi. Pasti ada kesalahapahaman dalam hal ini dan satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semua pertanyaan di kepalaku adalah suamiku, yang aku yakini, masih terbaring di ruang ICU. .Saat itu juga, aku meminta salah satu sopir perusahaan untuk menyiapkan sebuah mobil untukku. Namun, setelah aku mengeluarkan perintah, tidak ada satu pun yang mulai bertindak seolah-olah semua orang, kecuali aku, sudah tahu tentang keputusan yang diambil Noah untuk menceraikanku.Aku tidak bisa menahan rasa pahit saat melihat bagaimana orang-orang yang dulunya tunduk di hadapanku tiba-tiba bersikap dingin dan acuh tak acuh. Bagaimana bisa keadaan berbalik dengan begitu cepat?Aku berbalik dan mulai berjalan kembali ke rumah sakit, tet
Sudut pandang Nikita:Setelah menandatangani surat cerai itu, aku bergegas keluar dari ruangan Noah. Entah mengapa, aku merasakan hawa tidak enak di dalam ruang rawat Noah yang membuatku merasa sesak."Bu Nikita, Anda baik-baik saja?" tanya salah satu suster ketika dia melihatku menyandarkan telapak tangan ke dinding untuk bertumpu dan bernapas dengan berat.Dia menghampiriku dan menggenggam lenganku. "Anda terlihat pucat. Apa saya perlu memanggil dokter untuk Anda?" tanyanya dengan ekspresi khawatir.Aku menggelengkan kepala. Saat itulah aku tersadar aku sedang menangis. "Aku nggak apa-apa. Terima kasih," jawabku kepada suster baik hati itu dan segera menghapus air mata di pipiku.Aku mengernyit. Tiba-tiba, aku merasa sangat mual. "Aku harus pergi," ujarku."Kotakmu," katanya, mengingatkanku.Aku menatap kotak itu dengan jijik dan menggelengkan kepala, dadaku terasa sakit. Kotak itu mewakili kenangan yang menyakitkan hari ini dan aku tidak mau mengambilnya."Bisakah aku meninggalkanny
Sudut pandang Nikita:Noah pasti menganggap bungkamnya aku sebagai tanda bahwa aku mengakui tuduhannya. Merasa sudah berhasil menyudutkanku, dia pun berbicara dengan nada penuh kebencian."Fakta nggak pernah bohong, Nikita. Lagi pula, laporan itu jelas mengatakan bahwa seseorang dengan sengaja menyebabkan kecelakaan itu, seseorang merusak mobil itu.""Bukan aku orangnya!" sangkalku membela diri. Suaraku terdengar kasar karena aku tidak pernah menyangka—bahkan dalam mimpi terliarku, bahwa aku akan menjadi tersangka dalam kecelakaan itu."Kamu punya motif.""Motif apa?""Jangan bilang kamu udah lupa tentang kekasihmu? Bukannya kamu udah rencanain semua ini sama dia supaya kalian bisa warisin harta keluarga kami begitu kami tiada?" ujarnya dengan penuh kebencian. Aku mengerutkan dahiku, mencoba mengingat kapan aku punya kekasih lain."Kamu tahu aku nggak mungkin bisa ngebunuh mereka. Aku sangat sayang sama Maria dan Dion!" Aku berusaha mencari kata yang pas untuk mengekspresikan kedekata
Sudut pandang Nikita:Aku merasa bangga pada anakku yang terkecil. Mori yang pertama kali memperkenalkan dirinya pada ayah mereka tanpa ada batasan. Kupikir pertemuan ini akan sulit karena si kembar tiga memiliki kesan yang buruk terhadap Noah. Untungnya anak-anakku cerdas.Ketika Roni dan Beni mengikuti tindakan Mori, hatiku serasa mau meledak. Aku menggigit bibirku dan menundukkan kepalaku untuk melihat ke arah Noah yang juga sedang melihat ke arahku.Dia bersalaman dengan anak-anaknya. Telapak tangannya tampak sangat besar apabila dibandingkan dengan tangan-tangan mereka yang mungil.Mata kami bertatapan sejenak, dan aku bisa melihat emosinya yang campur aduk. Dia berdiri dan mengusap sedikit sudut matanya dengan ujung jari telunjuk. Lalu, dia mengucapkan terima kasih padaku tanpa bersuara.Aku mengangguk, dan air mata jatuh dari kedua pelupuk mataku.Aku merasakan tanganku ditarik lembut. Aku pun berjongkok supaya bisa berhadapan langsung dengan Mori.Tangan mungil Mori bergerak ke
Sudut pandang Noah:Aku memarkir mobilku di depan kediaman Keluarga Feri dan menghela napas. Lalu aku menarik cermin di atas kepalaku untuk mengecek penampilanku.Setelah itu, aku membuka jendela mobilku dan menghirup udara segar untuk menenangkan batinku sambil menunggu adanya aktivitas di dalam rumah tersebut. Aku tidak ingin tampak terlalu antusias meskipun sebenarnya aku sangat menanti-nantikan momen ini.Aku terus menggosokkan kedua tanganku dengan penuh antisipasi ketika aku mendengar suara anak-anak. Jantungku berdebar kencang.Setelah melihat jam, aku menghela napas. Kemudian, aku pun turun dari mobil.Sebelum berjalan menuju rumah di depanku, aku mengambil beberapa kantong dari kursi belakang mobilku.Aku memencet bel dan Markus sendiri yang menyambutku. "Pagi!" sapanya. Dia membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakanku masuk.Aku bisa mendengar suara anak-anak dari pintu masuk tempatku berdiri sekarang. Tampaknya mereka sedang bermain."Maaf kalau agak berantakan. Oh ya, s
Sudut pandang Noah:"Dia itu tunanganmu. Dia berhak menemanimu ke mana pun. Selain itu, dia terkenal. Kenapa kamu mempermalukannya? Media hendak menggoreng berita ini. Untung saja aku turun tangan dan membantunya menghapus skandal besar ini."Dalam hati aku tersenyum sinis, tetapi aku merespons omelan Matthew dengan nada datar."Paman nggak perlu melakukan itu dan nggak perlu memedulikan Bella. Dia yang cari gara-gara, jadi biarkan dia menanggung konsekuensinya sendiri."Dulu aku sudah sering memanjakan Bella. Sekarang, aku sudah tidak bersamanya lagi.Matthew menatapku tidak percaya. "Apa? Dia itu tunanganmu. Segala sesuatu yang menyangkut dirinya akan memengaruhimu juga.""Tidak lagi," jawabku dengan tenang. Aku mengabaikan ekspresi Matthew yang kacau."Maksudmu?"Aku membusungkan dadaku dan menatap wajah Matthew sebelum mengumumkan informasi yang dia belum ketahui. "Apa Bella sudah memberi tahu Paman kalau kami sudah putus?" tanyaku dengan tenang.Ledakan emosi di wajah Matthew begi
Sudut pandang Noah:"Dia sudah move on," kataku pada Bonar. Kami kembali ke Manik Beach Club, sebuah club VIP yang langsung menghadap ke samudera lepas. Aku mulai minum-minum secara berlebihan."Kamu mengharapkan apa sih? Dia 'kan udah kawin lagi. Markus Feri itu pria baik-baik. Dia mau bertanggung jawab atas anak-anakmu dan membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Bodoh sekali Nikita kalau menolak pria sepertinya." Aku menghela napas. Markus adalah pria yang lebih baik dariku, tetapi aku tetap yakin pada diriku sendiri. Andaikan saja Nikita mau memberiku kesempatan, aku akan membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi pria yang terbaik baginya dan si kembar tiga.Bonar menepuk bahuku. "Sudahlah, Bro. Setidaknya kamu masih bisa bersyukur karena dia mau mengenalkanmu pada anak-anaknya." Perkataannya menyadarkanku. Aku teringat kalau Nikita akan mengenalkanku pada anak-anak besok. Seharusnya hari ini, tetapi dia ada urusan mendadak dan harus melakukan rapat darurat.Aku tidak punya
Sudut pandang Nikita:Aku melangkah ke meja kerjaku dan mengambil tiga buah album foto berukuran besar. Kemudian, aku memberikannya pada Noah yang menerimanya tanpa mengatakan apa-apa.Aku memerhatikannya ketika dia membuka album foto paling atas dalam diam. Sepertinya dia keasyikan melihat isinya."Ini album foto bayi mereka dari lahir sampai ulang tahun terakhir mereka," jelasku.Dia mengangguk dengan linglung. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari halaman yang tengah dilihatnya. Tampaknya dia terhanyut dengan apa yang dia lihat sehingga melupakan kehadiranku. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. Aku merasa puas membiarkan Noah menjelajahi seluruh isi album. Sesekali dia akan membelai salah satu halaman album dengan jarinya. Sorot matanya dipenuhi kerinduan.Setiap kali dia membalikkan halaman, aku mendengarnya menghela napas keras. Di lain kesempatan, aku melihatnya tersenyum sedih."Mereka keriput sekali," komentar dia. Dia mendongak dari album foto yang tengah dilihatnya unt
Sudut pandang Nikita:Aku sangat gugup. Jantungku berdebar kencang setiap kali telepon kantor berdering untuk mengumumkan kedatangan tamu.Aku mencoba menyibukkan diri dengan membaca tumpukan proposal di mejaku, tetapi aku tidak dapat berkonsentrasi. Ekspektasiku semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.Setelah mencoba bekerja selama satu jam, aku berhenti berpura-pura. Lalu aku menelepon Marina. "Apakah ada tamu untukku?" tanyaku."Belum ada, Bu?" jawab Marina.Mendengar itu, aku meletakkan kembali teleponku dengan perasaan kecewa. Aku pun menyibukkan diri dengan menelepon anak-anak. Pada saat aku meninggalkan griya tawang pagi ini, mereka masih tidur.Sekolah baru akan dimulai satu minggu lagi, jadi aku membiarkan mereka tidur selama yang mereka inginkan. Saat ini mereka masih berada di jenjang prasekolah. Mereka akan memulai pendidikan formal mereka tahun depan."Ibu nggak cium aku tadi," ujar Mori, anak lelakiku yang termanis.Aku tersenyum. "Sudah dong. Tadi 'kan Mori m
Sudut pandang Nikita:Begitu melihat Noah, Bella semakin histeris. "Noah. Mantan istrimu melukaiku. Dia memelintir tanganku," teriaknya sambil merangkul tangan Noah.Aku menatap keduanya dengan kesal. Noah mengibaskan tangan Bella, dan aku menyeringai melihat ekspresi wajahnya. Air mata yang menggenangi bola matanya telah mengering. Kemudian, aku mengalihkan pandanganku pada Noah, menantangnya untuk membela wanita itu di hadapanku. Kami beradu pandang, dan aku mengerutkan alisku.Bella meratap dengan suara keras, berusaha untuk menarik perhatian Noah. Ratapannya memekakkan telingaku. 'Ini sudah cukup.'Aku memutuskan untuk tidak terlibat dalam urusan mereka. Hubunganku dan Noah sudah berakhir. Aku mengangkat bahu sambil menyeringai, menantangnya untuk memercayai ucapan Bella sebelum aku berbalik untuk keluar. Namun saat ini, kakak-kakakku menerobos masuk. Mereka menatap Bella, Noah, dan aku."Apa kamu terluka?" tanya Cahya, kakak tertuaku. Belum sempat aku menjawab, keempat kakakku
Sudut pandang Nikita:"Eh, ada si pelakor!" cibir Bella ketika melihat ekspresi terkejutku.Aku memutuskan untuk tidak terprovokasi dan mengabaikannya. Namun, saat aku hendak keluar dari toilet, Bella menghalangiku."Heh, jalang! Aku 'kan belum selesai bicara!" ujarnya ke wajahku.Tanpa sengaja aku menghirup napasnya yang berbau tak sedap, dan hampir muntah dibuatnya."Kamu mabuk, ya?" tanyaku khawatir."Sudahlah. Pelakor sepertimu nggak usah deh pura-pura baik!" bentaknya dengan ekspresi marah.Sekarang aku sudah tahu ke mana arah pembicaraannya. Aku pun menggelengkan kepalaku untuk membantah tuduhannya. "Aku nggak pernah merebut tunanganmu."Bella tertawa. Tawa yang terdengar sumbang di telingaku. Aku tahu rasa sakit yang menimpanya dan aku kasihan padanya. Ini semua bukanlah kesalahannya. Waktu itu, Noah yang menceraikanku. Mungkin dia memang penyebabnya, tetapi tetap saja semuanya salah Noah. Bella bukanlah musuhku."Pembohong! Kalau bukan gara-gara kamu, Noah nggak akan putus deng
Sudut pandang Nikita:Aku berjalan secepat mungkin ke dalam toilet hotel untuk bersembunyi.Noah telah berubah. Ini adalah kali ketiga aku berinteraksi dengannya dan aku sempat terhenyak melihat perubahan yang tidak biasa pada dirinya.'Ke mana perginya sosok Noah yang murka dan menuduhku membunuh orang tuanya 5 tahun yang lalu?'Aku mencuci mukaku dengan air dingin untuk membuat diriku kembali fokus."Markus, dia hanya berakting, 'kan?" tanyaku saat aku bertemu dengannya di lift.Aku sedang menuju griya tawangku untuk memeriksa keadaan anak-anak ketika Markus menyusulku.Markus menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tapi tidak mengatakan apa pun sampai kami masuk ke dalam lift pribadi khusus untuk keluarga kami.Lift tersebut menyediakan privasi bagi kami. Markus memang se-paranoid itu. Dia tidak mau orang lain menguping pembicaraan kami secara tidak sengaja untuk melindungi privasi kami."Kelihatannya dia bingung dan syok. Menurutku dia tulus mengasihi si kembar tiga dan ingin masu