Bab 2 Bukan Lagi Nikita Adhitama

Sudut pandang Nikita:

Ada dua hal yang muncul di pikiranku: suamiku sudah siuman dan dia ingin menceraikanku.

"Ini nggak masuk akal," ujarku kepada Randy yang terlihat seperti ingin ditelan oleh bumi. Bahasa tubuhnya jelas menunjukkan rasa bersalah dan iba.

Aku tidak tahan lagi. Pasti ada kesalahapahaman dalam hal ini dan satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semua pertanyaan di kepalaku adalah suamiku, yang aku yakini, masih terbaring di ruang ICU. .

Saat itu juga, aku meminta salah satu sopir perusahaan untuk menyiapkan sebuah mobil untukku. Namun, setelah aku mengeluarkan perintah, tidak ada satu pun yang mulai bertindak seolah-olah semua orang, kecuali aku, sudah tahu tentang keputusan yang diambil Noah untuk menceraikanku.

Aku tidak bisa menahan rasa pahit saat melihat bagaimana orang-orang yang dulunya tunduk di hadapanku tiba-tiba bersikap dingin dan acuh tak acuh. Bagaimana bisa keadaan berbalik dengan begitu cepat?

Aku berbalik dan mulai berjalan kembali ke rumah sakit, tetapi sebelum aku bisa melakukannya, Matthew memanggilku. Ketika aku berbalik untuk bertanya, aku terkejut saat dia membalikkan sebuah kotak dan menumpahkan semua isinya.

Kemarahan menggebu di dalam diriku saat aku tersadar bahwa itu adalah barang-barang kantorku yang dia buang. Pulpen kesukaanku, cangkirku, salah satu cangkir pasangan yang kubeli untuk Noah dan aku, beberapa buku catatan, dan bingkai foto pernikahanku yang sebelumnya ada di mejaku.

Aku berlutut dan mengumpulkan semua barang-barangku, lalu menengadah dan menatap wajah seringai Matthew dengan tajam.

Randy mengambil kotak yang dibuang Matthew dan memberikannya padaku agar aku bisa memasukkan barang-barangku ke dalamnya. Meski cangkir dan kaca bingkai foto sudah hancur, aku tetap membawanya bersamaku.

Aku berterima kasih kepadanya dan berjalan pergi.

Sambil memeluk kotak itu, aku setengah berlari ke arah rumah sakit. Begitu sampai, aku langsung menuju ke ruangan suamiku.

"Pak Noah sudah dipindahkan ke ruang rawat," kata suster di ruang ICU kepadaku tanpa menyadari konflik batin yang kurasakan.

Noah Adhitama sudah tersadar dari komanya dan hal pertama yang dia ingin lakukan adalah menceraikanku. Meski demikian, aku tetap memanjatkan doa syukur atas berita baik ini.

Kemudian, aku menitipkan kotak yang kubawa di pos perawat dan bergegas ke ruangan suamiku. Jantungku terasa berdebar.

Aku terkesiap saat melihatnya berdiri di dekat jendela dan hampir menangis, seakan-akan tidak percaya dengan keajaiban yang telah terjadi. Bagaimana tidak? Tidak ada yang tahu betapa putus asanya aku selama berminggu-minggu ini melihat tidak ada perkembangan yang berarti pada kondisi Noah.

Aku membiarkan diriku tenggelam menatap punggungnya. "Noah," panggilku untuk menarik perhatiannya.

"Aku tahu kamu akan datang," ucapnya tanpa sedikit pun memandang ke arahku.

Tiba-tiba, gejolak kerinduan menyelimuti diriku. Aku ingin melihat wajahnya. Aku mencoba untuk masuk ke ruangan itu, tetapi kakiku seolah-olah menolaknya. Seketika, aku merasa sulit untuk melangkah maju.

"Kamu sudah dapat surat cerai itu, ‘kan?" tanyanya tanpa berpaling. Dia seakan-akan tidak ingin aku melihat wajahnya.

"Kenapa?" tanyaku dengan suara serak.

Untuk beberapa saat, keheningan yang mencekam melanda sampai Noah memecahkannya.

"Kenapa? Jawabannya sederhana. Orang tuaku sudah mati, jadi aku nggak ada alasan harus menahanmu untuk terus di sisiku. Kamu harus tahu, aku menikahimu bukan karena cinta."

Perkataan pahit yang dikatakannya seperti bukan berasal dari Noah yang kukenal. Dia seperti orang yang berbeda sekarang.

Dadaku terasa sesak. "Noah," lirihku, berusaha untuk memohon.

"Orang tuaku bersikeras menikahkanku denganmu setelah mereka melihatmu di ranjangku," ungkitnya.

Ya, aku tahu bahwa pernikahannya denganku selama ini berakar dari desakan orang tuanya. Mereka sudah sering membahasnya sejak pertama mereka membawaku dari panti asuhan.

Mereka membimbingku untuk menjadi istri kecilnya yang sempurna. Aku pun tidak keberatan dengan hal itu. Bagaimanapun juga, aku sudah mencintainya sejak pertama kali kami bertemu.

Namun, perasaanku tidak terbalas. Noah tidak ingin menikahiku. Pada akhirnya, dia memilih untuk pergi dari rumah dan tidak pernah kembali selama bertahun-tahun. Aku sebenarnya tahu bahwa dia memiliki seorang pujaan hati di masa dia menghilang.

Ada seorang wanita yang ingin dia nikahi, tetapi kemudian pertunangan mereka dibatalkan. Aku tidak tahu apa alasannya. Waktu itu, Noah kembali sebagai pria yang berbeda, aku sangat yakin bahwa cinta telah mengubahnya secara drastis.

Butuh waktu baginya sebelum akhirnya dia menerimaku. Kami menjalin kasih secara diam-diam sampai akhirnya semua terbongkar dan orang tuanya mengetahui hubungan kami.

Setelah itu, aku dan Noah menikah. Kukira dia menikahiku atas dasar cinta. Dalam tiga tahun pernikahan kami, aku sama sekali tidak punya firasat bahwa dia hanya berpura-pura.

"Kukira kamu memang menginginkanku .... Kukira kita sama-sama cinta ...."

"Memangnya aku pernah bilang begitu?" tukasnya hingga membuatku terdiam.

Ya, selama tiga tahun kami menikah, tidak sekalipun dia pernah berkata bahwa dia mencintaiku.

Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya aku mendengar tawa sinis Noah. Apa yang dia katakan selanjutnya benar-benar membuat hatiku hancur.

"Aku pura-pura bahagia demi orang tuaku dan sekarang setelah mereka sudah tiada, aku nggak perlu lagi untuk terus berpura-pura. Aku ingin kamu pergi dari hidupku. Mulai hari ini, kita sudah nggak memiliki hubungan apa pun. Aku nggak mencintaimu dan nggak akan pernah bisa mencintai orang kayak kamu."

Aku menggigit bibirku, berusaha menahan air mata ini agar tidak tumpah. "Kamu yakin ini yang kamu mau?" tanyaku.

"Sangat yakin," jawabnya dengan angkuh.

Setelah itu, kami sama-sama diam. Aku tidak berbicara karena ingin memberikan Noah kesempatan untuk mengubah pikirannya seraya aku menimbang-nimbang apakah aku harus memberitahunya tentang bayi yang kukandung.

Pada akhirnya, aku tidak mengungkapkannya dan hanya mengangguk, menyetujui apa yang dia mau. "Oke," kataku.

Lalu, terdengar suara ketukan pintu dan Randy masuk dengan ekspresi khawatir. "Anda memanggil saya, Pak Noah?" tanyanya sebelum mengangguk ke arahku.

"Kasih surat cerai itu ke Nikita dan suruh dia tanda tangan," perintahnya tanpa menoleh sedikit pun.

Aku mengambil surat cerai itu. "Di mana aku harus tanda tangan?" tanyaku kepada Randy dengan nada yang bahkan membuatku terkejut. Meski duniaku serasa hancur, aku masih bisa berbicara dengan tenang.

Randy menunjuk ke bagian yang perlu dibubuhi tanda tangan dan memberikan pena kepadaku.

Aku mengambilnya, menghampiri nakas untuk meletakkan surat cerai itu, lalu menuliskan namaku dengan huruf tebal—Nikita Tanzil.

Aku menatap namaku di surat itu. Satu fakta yang terpampang nyata di depan mata dan ini adalah kenyataan yang harus kuterima mulai sekarang: aku bukan lagi Nikita Adhitama.