Bab 4 Tersangka

Sudut pandang Nikita:

Noah pasti menganggap bungkamnya aku sebagai tanda bahwa aku mengakui tuduhannya. Merasa sudah berhasil menyudutkanku, dia pun berbicara dengan nada penuh kebencian.

"Fakta nggak pernah bohong, Nikita. Lagi pula, laporan itu jelas mengatakan bahwa seseorang dengan sengaja menyebabkan kecelakaan itu, seseorang merusak mobil itu."

"Bukan aku orangnya!" sangkalku membela diri. Suaraku terdengar kasar karena aku tidak pernah menyangka—bahkan dalam mimpi terliarku, bahwa aku akan menjadi tersangka dalam kecelakaan itu.

"Kamu punya motif."

"Motif apa?"

"Jangan bilang kamu udah lupa tentang kekasihmu? Bukannya kamu udah rencanain semua ini sama dia supaya kalian bisa warisin harta keluarga kami begitu kami tiada?" ujarnya dengan penuh kebencian. Aku mengerutkan dahiku, mencoba mengingat kapan aku punya kekasih lain.

"Kamu tahu aku nggak mungkin bisa ngebunuh mereka. Aku sangat sayang sama Maria dan Dion!"

Aku berusaha mencari kata yang pas untuk mengekspresikan kedekatanku dengan mereka agar Noah sadar bahwa yang dia tuduhkan sama sekali tidak berdasar. Aku tidak akan pernah bisa membunuh dua orang yang membawaku dari panti asuhan—mereka yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.

"Aku mencintai orang tuamu, aku mencintaimu," kataku dengan nada datar.

Setelah aku meluapkan perasaanku, suasana sunyi yang mencekam menyusul. Noah merespons dengan tawa sinisnya yang memecahkan kesunyian itu.

"Bohong. Semua yang kamu katakan itu bohong. Aku memang bodoh karena pernah percaya sama kamu," gerutu Noah.

"Aku nggak pernah bohong sama kamu, Noah," tegasku.

"Kamu pikir kamu masih bisa bodohin aku? Enyah! Jangan pernah tunjukin dirimu di hadapanku lagi!" teriak Noah sebelum menutup panggilan kami.

Aku menatap layar hitam ponselku dengan ekspresi syok.

'Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa hidupku bisa hancur seketika? Akhir cerita Cinderella nggak seperti ini. Cinderella bisa hidup bahagia dengan pangerannya, Kenapa aku nggak?'

Aku mengangkat kepalaku dan melihat langit sudah mulai gelap. Beberapa saat kemudian, langit mulai meneteskan air matanya.

"Ya Tuhan, dosa apa yang pernah kuperbuat hingga aku harus menerima semua ini?" tanyaku pada langit, air mata tidak dapat lagi tertahan.

Noah menikahiku tiga tahun yang lalu. Aku masih ingat betapa bahagianya diriku saat itu. Aku bak Cinderella yang bersatu dengan pangeran tercintanya. Semua orang menyayangiku, segalanya terasa lengkap.

Namun, sekarang aku merasa seperti sampah yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Mereka bersikap seolah-olah tidak mengenalku. Tidak ada yang datang menolongku saat suamiku memberikan surat pemecatan itu, memecatku dari pekerjaanku, atau memaksaku menandatangani surat perceraian.

Lalu, sekarang! Semua orang seolah-olah bersuka cita atas kejatuhanku.

Aku merasa sangat kesepian dan takut.

Aku tanpa sadar mengusap perutku—ini juga merupakan cara untuk mengingatkan diriku bahwa aku tidak sendiri. Aku punya bayi yang harus kulindungi dengan segala cara.

Aku berlutut dan mulai mengangkat barang-barangku, memilih mengangkut yang penting, lalu meninggalkan sisanya.

"Kalau kamu nggak ambil langsung semuanya, jangan salahkan aku kalau aku membuangnya," kata Diah saat dia menyadari apa yang kulakukan.

"Noah nggak mau melihat ada satu pun barangmu ketika dia kembali dari rumah sakit," tambahnya.

Aku tersenyum pahit setelah mendengarnya. 'Sudah kuduga. Apa lagi yang kuharapkan dari pria yang menceraikan istrinya tanpa berbicara lebih dulu? Kenapa begitu mudah baginya untuk percaya pada bukti yang tidak jelas daripada istrinya?'

"Nggak apa-apa. Kamu bisa buang semuanya. Aku hanya butuh dokumen-dokumenku," ucapku datar.

Aku enggan membawa barang-barang pemberian Noah. Gaun-gaun elegan, perhiasan, dan tas semuanya itu adalah hadiah dari Noah dan aku tidak membutuhkannya lagi.

Diah melihatku dengan heran. "Itu semua hadiah dari Noah. Kamu yakin kamu ingin aku membuangnya?" Aku melihat dia ragu saat bertanya dan suaranya juga terdengar berubah, tetapi aku terlalu lelah untuk menghiraukannya. Yang kuinginkan sekarang adalah pergi dari sini secepatnya.

Aku mengangguk. "Lagian, apa gunanya buatku? Noah membelinya buat istrinya, bukan aku," kataku dengan nada menghina. Diah mengerutkan dahinya setelah mendengar ucapanku.

Lalu, mataku tidak sengaja melihat cincin kawin di jari manisku. Aku melepaskannya sementara Diah memperhatikan. "Aku lupa mengembalikan ini pada Noah," kataku seraya menaruh cincin itu di telapak tangan Diah.

Awalnya, Diah menolak untuk menerimanya, tetapi aku bersikeras. Cincin itu tidak lagi berarti bagiku dan mempertahankannya berarti aku masih berharap Noah akan mengubah pikirannya.

Aku tidak lagi ingin mengharapkan yang bukan-bukan, tidak setelah apa yang sudah dilakukan dan dikatakan Noah kepadaku. Dia percaya bahwa aku yang membunuh orang tuanya dan percaya bahwa akulah dalang dari kecelakaan itu.

Tubuhku mulai gemetar saat aku mencoba untuk menahan isak yang mengguncangku. Aku tidak ingin para pengurus rumah Noah melihatku dalam keadaan ini.

Aku perlahan berjalan ke luar, dadaku sesak dan kepalaku pusing. Sesampainya di pintu gerbang, aku harus berpegangan pada rangkanya untuk menjaga keseimbangan.

"Kamu gapapa, Nikita? Mau kupanggilkan taksi?" Itu suara Diah. Aku tidak tahu dia mengikutiku sampai sini.

Aku menggeleng dan tersenyum sebagai tanda terima kasih. "Aku bisa sendiri. Aku nggak ingin kamu dapat masalah dengan Noah," kataku padanya.

Dia tidak membalas senyumku, tetapi tatapannya seolah-olah menelisik.

Aku melambaikan tangan ke arahnya. "Terima kasih buat kebaikanmu selama aku tinggal di Keluarga Adhitama," ujarku padanya, lalu pergi.

Di luar, hujan turun deras, tetapi aku tidak peduli. Tubuhku seolah-olah sudah mati rasa dengan apa yang terjadi hari ini. Aku membuka mulutku untuk bernapas karena hidungku tersumbat. Perlahan, penglihatanku mulai kabur, keseimbanganku mulai goyah, dan akhirnya, kegelapan menyelimutiku.