Sudut pandang Nikita:Noah pasti menganggap bungkamnya aku sebagai tanda bahwa aku mengakui tuduhannya. Merasa sudah berhasil menyudutkanku, dia pun berbicara dengan nada penuh kebencian."Fakta nggak pernah bohong, Nikita. Lagi pula, laporan itu jelas mengatakan bahwa seseorang dengan sengaja menyebabkan kecelakaan itu, seseorang merusak mobil itu.""Bukan aku orangnya!" sangkalku membela diri. Suaraku terdengar kasar karena aku tidak pernah menyangka—bahkan dalam mimpi terliarku, bahwa aku akan menjadi tersangka dalam kecelakaan itu."Kamu punya motif.""Motif apa?""Jangan bilang kamu udah lupa tentang kekasihmu? Bukannya kamu udah rencanain semua ini sama dia supaya kalian bisa warisin harta keluarga kami begitu kami tiada?" ujarnya dengan penuh kebencian. Aku mengerutkan dahiku, mencoba mengingat kapan aku punya kekasih lain."Kamu tahu aku nggak mungkin bisa ngebunuh mereka. Aku sangat sayang sama Maria dan Dion!" Aku berusaha mencari kata yang pas untuk mengekspresikan kedekata
Sudut pandang Nikita:Saat aku tersadar, aku langsung dapat mencium bau antiseptik yang kuat. Aku membuka mata dan melihat langit-langit putih sebelum perhatianku beralih ke dinding putih, pintu, dan selimut yang menutupi sebagian tubuhku.Kini aku tahu di mana aku berada. Saat mencoba mengangkat tubuhku untuk duduk, aku tersadar tanganku dipasangi selang kanula yang terhubung ke infus.Detik berikutnya, pintu ruang rawatku didobrak dari luar. Empat pria asing yang tampan dan tinggi melangkah masuk. Entah mengapa, alih-alih takut, kehadiran mereka justru membuatku merasa aman, nyaman, dan tidak kesepian."Kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu dari mereka. Dia memiliki sepasang mata berwarna hitam dan rambut cokelat, sama sepertiku, tetapi warna cokelat rambutku lebih sedikit pucat.Aku merasa canggung saat ditatap oleh keempat pria itu dan yang bisa kulakukan untuk meresponsnya hanyalah mengangguk.Wajah mereka sangat mirip."Aku Cahya Feri," ujar pria yang menanyakan keadaanku tadi."
Sudut pandang Nikita:Dua hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Sebenarnya, aku sudah bisa pulang di hari saat aku pertama kali bertemu keempat saudaraku, tetapi mereka bersikeras aku harus menginap satu hari lagi.Ketika sudah saatnya aku keluar, aku terkejut karena di luar ruanganku, ada banyak pria berpakaian hitam berdiri tegak."Apa ada pasien VIP yang dirawat di lantai ini?" tanyaku kepada Yeni. Dia tertawa dan berkomentar, "Kakak-kakakmu udah gila."Kemudian, dia memegang pegangan kursi roda untuk mendorongku keluar dari ruang rawatku.Saat tiba di pintu masuk rumah sakit, aku terkesima melihat deretan mobil yang tampak serupa terparkir di luar. Ketika kakak-kakakku melihat kami, mobil pertama melaju sampai berhenti di hadapanku, lalu diikuti oleh mobil-mobil lain setelahnya.Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. "Astaga! Jangan bilang mobil ini untukku?" tanyaku pada keempat pria itu. Aku paham sekarang. Semua mobil ini adalah milik mereka dan par
Sudut pandang Nikita:Aku kira aku sudah berhasil mengatasi mimpi buruk terburukku .... Aku pikir Noah tidak akan pernah bisa menyakitiku lagi setelah apa yang sudah dia lakukan padaku sebelumnya, tetapi pengkhianatan ini adalah hal terburuk yang bisa dia lakukan padaku.Menyadari bahwa dia merancang rencana yang rapi untuk mengeluarkanku dari hidupnya selamanya dan mengarang cerita seolah-olah akulah yang menjadi penyebab atas keretakan rumah tangga kami adalah pukulan yang terberat bagiku.Dia bahkan menuduhku sebagai dalang dari kematian orang tuanya!Tidak ada istri yang setia melayaninya sama sepertiku yang pantas menerima apa yang dia lakukan padaku.Betapa bodohnya aku menolak semua upaya saudara-saudaraku untuk bersatu kembali karena kupikir aku sudah memiliki keluarga bersamanya.Aku hampir tertawa lepas saat menyadari betapa naifnya aku.'Betapa memalukan! Betapa sia-sianya! Aku mencintainya! Aku memercayainya! Namun, apa yang dia balas? Pengkhianatan!'Dadaku serasa tertekan
Sudut pandang Nikita:Tujuh tahun kemudian."Yeni .... Tolong panggil Yeni," kataku pada Fino. Aku mencoba menarik napas untuk menahan rasa sakit di perutku.Waktu sudah menunjukkan tengah malam dan aku sedang merintih kesakitan di atas tempat tidur."Ada apa?" tanya Fino di telepon. Aku bisa mendengar suara selimut yang disibak dari ujung sana. Sepertinya, dia bangun dari tempat tidurnya dengan buru-buru.Tak berselang lama, ada suara langkah kaki di luar kamarku. Pada detik berikutnya, pintu dibuka lebar dan ketiga saudara laki-lakiku berlari masuk."Nikita!" Markuslah yang pertama mendekati tempat tidurku. Tatapannya terarah ke celana piamaku yang basah dan matanya langsung terbelalak."Kayaknya udah waktunya," ujarku dengan napas tersengal-sengal.Mereka menatapku dengan ekspresi ngeri.Markus dengan sigap bertindak. Dia menyelimutiku dengan seprai, lalu menggendongku. Sementara itu, Fino bergegas menahan pintu dan Markus, sembari menggendongku, setengah berlari keluar dari kamar.
Sudut pandang Nikita:"Kamu yakin kita nggak perlu kasih tahu Noah soal bayinya?" tanya Markus."Apa gunanya kasih tahu dia? Lagian, dia mungkin nggak akan tertarik," jawabku dengan datar.Keesokan paginya, bayi kembar tiga itu sudah diantar ke kamar rawatku. Suasana di kamar ini terasa ramai, seolah-olah kami sedang mengadakan pesta. Kakak-kakakku membawa balon, kue, dan petasan pesta yang tidak sempat mereka nyalakan karena mendapat larangan dari Yeni. Aku hampir tertawa saat melihat ekspresi kecewa Romi. Bahkan dengan kacamata yang dia kenakan sekalipun, aku tahu perintah Yeni benar-benar merusak kesenangannya."Jangan paksa Nikita untuk kembali ke pria berengsek itu. Nikita udah milih kita. Jangan sampai dia mengubah pemikirannya lagi," kata Fino mengingatkan Markus."Aku nggak bilang dia harus kembali padanya. Aku cuma ingin bilang kalau Noah mungkin harus tahu kalau dia sudah jadi ayah dari tiga anak yang imut," balas Markus seraya menunjuk ke arah anak-anakku yang tengah tertid
Sudut pandang Nikita:Aku tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, aku seperti sudah punya firasat bahkan sebelum Hilda mengabarkan hal ini padaku. Bella Welas selalu menjadi cinta sejati Noah Adhitama.Aku perlahan memijat dadaku ketika merasakan nyeri dan menghela napas."Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Noah. Apa dia udah gila?" Aku biarkan Hilda terus mengeluh sementara aku mencoba untuk menenangkan diriku."Nggak. Dia cuma sedang jatuh cinta. Noah jatuh cinta padanya sejak dia masih kuliah.""Tapi dia menikah denganmu," balas Hilda."itu karena paksaan dari orang tuanya dan sekarang, orang tuanya sudah tiada. Jadi, udah nggak ada yang bisa nahan dia dan dia nggak perlu berpura-pura lagi. Itulah kenapa dia ceraiin aku dan kembali ke sisi cinta pertamanya." Akhirnya, aku bisa menceritakan apa yang Noah katakan padaku sebelum kami bercerai kepada teman baikku.Aku merasakan air mata jatuh di pipiku. Kini, aku tersadar bahwa ingatan tentang pertemuan terakhir kami dan perkataan
Sudut pandang Nikita:Setelah menyusui dan menyendawakan mereka, Yeni duduk bersamaku untuk beberapa waktu. Kami mengawasi bayi-bayi ketika mereka tertidur."Jadi, apa kamu udah pikirin nama buat si kembar?" tanyanya."Udah. Kakak-kakakku juga membantuku memilih nama. Kami berlima udah setuju dengan namanya," jelasku padanya.Ketika administrator rumah sakit datang, aku memberitahunya bahwa aku akan menamai anak-anak ini Roni, Mori, dan Beni. Mereka memakai Feri sebagai nama belakang mereka dariku. Sekarang, aku adalah Nikita Feri. Nikita Tanzil sudah hilang. Dia adalah sosok masa lalu, seseorang yang sebaiknya aku lupakan.Kami tinggal di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan sebelum Yeni memberikan izin untuk pulang.Semua kakakku sangat perhatian kepada anak-anakku. Mereka bergantian merawat mereka, sampai-sampai tiga pengasuh yang kami sewa hampir tidak melakukan apa-apa.Aku ingin menghubungi agensi untuk mengembalikan para pengasuh itu, tetapi Romi bersikeras agar aku tetap me
Sudut pandang Nikita:Aku merasa bangga pada anakku yang terkecil. Mori yang pertama kali memperkenalkan dirinya pada ayah mereka tanpa ada batasan. Kupikir pertemuan ini akan sulit karena si kembar tiga memiliki kesan yang buruk terhadap Noah. Untungnya anak-anakku cerdas.Ketika Roni dan Beni mengikuti tindakan Mori, hatiku serasa mau meledak. Aku menggigit bibirku dan menundukkan kepalaku untuk melihat ke arah Noah yang juga sedang melihat ke arahku.Dia bersalaman dengan anak-anaknya. Telapak tangannya tampak sangat besar apabila dibandingkan dengan tangan-tangan mereka yang mungil.Mata kami bertatapan sejenak, dan aku bisa melihat emosinya yang campur aduk. Dia berdiri dan mengusap sedikit sudut matanya dengan ujung jari telunjuk. Lalu, dia mengucapkan terima kasih padaku tanpa bersuara.Aku mengangguk, dan air mata jatuh dari kedua pelupuk mataku.Aku merasakan tanganku ditarik lembut. Aku pun berjongkok supaya bisa berhadapan langsung dengan Mori.Tangan mungil Mori bergerak ke
Sudut pandang Noah:Aku memarkir mobilku di depan kediaman Keluarga Feri dan menghela napas. Lalu aku menarik cermin di atas kepalaku untuk mengecek penampilanku.Setelah itu, aku membuka jendela mobilku dan menghirup udara segar untuk menenangkan batinku sambil menunggu adanya aktivitas di dalam rumah tersebut. Aku tidak ingin tampak terlalu antusias meskipun sebenarnya aku sangat menanti-nantikan momen ini.Aku terus menggosokkan kedua tanganku dengan penuh antisipasi ketika aku mendengar suara anak-anak. Jantungku berdebar kencang.Setelah melihat jam, aku menghela napas. Kemudian, aku pun turun dari mobil.Sebelum berjalan menuju rumah di depanku, aku mengambil beberapa kantong dari kursi belakang mobilku.Aku memencet bel dan Markus sendiri yang menyambutku. "Pagi!" sapanya. Dia membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakanku masuk.Aku bisa mendengar suara anak-anak dari pintu masuk tempatku berdiri sekarang. Tampaknya mereka sedang bermain."Maaf kalau agak berantakan. Oh ya, s
Sudut pandang Noah:"Dia itu tunanganmu. Dia berhak menemanimu ke mana pun. Selain itu, dia terkenal. Kenapa kamu mempermalukannya? Media hendak menggoreng berita ini. Untung saja aku turun tangan dan membantunya menghapus skandal besar ini."Dalam hati aku tersenyum sinis, tetapi aku merespons omelan Matthew dengan nada datar."Paman nggak perlu melakukan itu dan nggak perlu memedulikan Bella. Dia yang cari gara-gara, jadi biarkan dia menanggung konsekuensinya sendiri."Dulu aku sudah sering memanjakan Bella. Sekarang, aku sudah tidak bersamanya lagi.Matthew menatapku tidak percaya. "Apa? Dia itu tunanganmu. Segala sesuatu yang menyangkut dirinya akan memengaruhimu juga.""Tidak lagi," jawabku dengan tenang. Aku mengabaikan ekspresi Matthew yang kacau."Maksudmu?"Aku membusungkan dadaku dan menatap wajah Matthew sebelum mengumumkan informasi yang dia belum ketahui. "Apa Bella sudah memberi tahu Paman kalau kami sudah putus?" tanyaku dengan tenang.Ledakan emosi di wajah Matthew begi
Sudut pandang Noah:"Dia sudah move on," kataku pada Bonar. Kami kembali ke Manik Beach Club, sebuah club VIP yang langsung menghadap ke samudera lepas. Aku mulai minum-minum secara berlebihan."Kamu mengharapkan apa sih? Dia 'kan udah kawin lagi. Markus Feri itu pria baik-baik. Dia mau bertanggung jawab atas anak-anakmu dan membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Bodoh sekali Nikita kalau menolak pria sepertinya." Aku menghela napas. Markus adalah pria yang lebih baik dariku, tetapi aku tetap yakin pada diriku sendiri. Andaikan saja Nikita mau memberiku kesempatan, aku akan membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi pria yang terbaik baginya dan si kembar tiga.Bonar menepuk bahuku. "Sudahlah, Bro. Setidaknya kamu masih bisa bersyukur karena dia mau mengenalkanmu pada anak-anaknya." Perkataannya menyadarkanku. Aku teringat kalau Nikita akan mengenalkanku pada anak-anak besok. Seharusnya hari ini, tetapi dia ada urusan mendadak dan harus melakukan rapat darurat.Aku tidak punya
Sudut pandang Nikita:Aku melangkah ke meja kerjaku dan mengambil tiga buah album foto berukuran besar. Kemudian, aku memberikannya pada Noah yang menerimanya tanpa mengatakan apa-apa.Aku memerhatikannya ketika dia membuka album foto paling atas dalam diam. Sepertinya dia keasyikan melihat isinya."Ini album foto bayi mereka dari lahir sampai ulang tahun terakhir mereka," jelasku.Dia mengangguk dengan linglung. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari halaman yang tengah dilihatnya. Tampaknya dia terhanyut dengan apa yang dia lihat sehingga melupakan kehadiranku. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. Aku merasa puas membiarkan Noah menjelajahi seluruh isi album. Sesekali dia akan membelai salah satu halaman album dengan jarinya. Sorot matanya dipenuhi kerinduan.Setiap kali dia membalikkan halaman, aku mendengarnya menghela napas keras. Di lain kesempatan, aku melihatnya tersenyum sedih."Mereka keriput sekali," komentar dia. Dia mendongak dari album foto yang tengah dilihatnya unt
Sudut pandang Nikita:Aku sangat gugup. Jantungku berdebar kencang setiap kali telepon kantor berdering untuk mengumumkan kedatangan tamu.Aku mencoba menyibukkan diri dengan membaca tumpukan proposal di mejaku, tetapi aku tidak dapat berkonsentrasi. Ekspektasiku semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.Setelah mencoba bekerja selama satu jam, aku berhenti berpura-pura. Lalu aku menelepon Marina. "Apakah ada tamu untukku?" tanyaku."Belum ada, Bu?" jawab Marina.Mendengar itu, aku meletakkan kembali teleponku dengan perasaan kecewa. Aku pun menyibukkan diri dengan menelepon anak-anak. Pada saat aku meninggalkan griya tawang pagi ini, mereka masih tidur.Sekolah baru akan dimulai satu minggu lagi, jadi aku membiarkan mereka tidur selama yang mereka inginkan. Saat ini mereka masih berada di jenjang prasekolah. Mereka akan memulai pendidikan formal mereka tahun depan."Ibu nggak cium aku tadi," ujar Mori, anak lelakiku yang termanis.Aku tersenyum. "Sudah dong. Tadi 'kan Mori m
Sudut pandang Nikita:Begitu melihat Noah, Bella semakin histeris. "Noah. Mantan istrimu melukaiku. Dia memelintir tanganku," teriaknya sambil merangkul tangan Noah.Aku menatap keduanya dengan kesal. Noah mengibaskan tangan Bella, dan aku menyeringai melihat ekspresi wajahnya. Air mata yang menggenangi bola matanya telah mengering. Kemudian, aku mengalihkan pandanganku pada Noah, menantangnya untuk membela wanita itu di hadapanku. Kami beradu pandang, dan aku mengerutkan alisku.Bella meratap dengan suara keras, berusaha untuk menarik perhatian Noah. Ratapannya memekakkan telingaku. 'Ini sudah cukup.'Aku memutuskan untuk tidak terlibat dalam urusan mereka. Hubunganku dan Noah sudah berakhir. Aku mengangkat bahu sambil menyeringai, menantangnya untuk memercayai ucapan Bella sebelum aku berbalik untuk keluar. Namun saat ini, kakak-kakakku menerobos masuk. Mereka menatap Bella, Noah, dan aku."Apa kamu terluka?" tanya Cahya, kakak tertuaku. Belum sempat aku menjawab, keempat kakakku
Sudut pandang Nikita:"Eh, ada si pelakor!" cibir Bella ketika melihat ekspresi terkejutku.Aku memutuskan untuk tidak terprovokasi dan mengabaikannya. Namun, saat aku hendak keluar dari toilet, Bella menghalangiku."Heh, jalang! Aku 'kan belum selesai bicara!" ujarnya ke wajahku.Tanpa sengaja aku menghirup napasnya yang berbau tak sedap, dan hampir muntah dibuatnya."Kamu mabuk, ya?" tanyaku khawatir."Sudahlah. Pelakor sepertimu nggak usah deh pura-pura baik!" bentaknya dengan ekspresi marah.Sekarang aku sudah tahu ke mana arah pembicaraannya. Aku pun menggelengkan kepalaku untuk membantah tuduhannya. "Aku nggak pernah merebut tunanganmu."Bella tertawa. Tawa yang terdengar sumbang di telingaku. Aku tahu rasa sakit yang menimpanya dan aku kasihan padanya. Ini semua bukanlah kesalahannya. Waktu itu, Noah yang menceraikanku. Mungkin dia memang penyebabnya, tetapi tetap saja semuanya salah Noah. Bella bukanlah musuhku."Pembohong! Kalau bukan gara-gara kamu, Noah nggak akan putus deng
Sudut pandang Nikita:Aku berjalan secepat mungkin ke dalam toilet hotel untuk bersembunyi.Noah telah berubah. Ini adalah kali ketiga aku berinteraksi dengannya dan aku sempat terhenyak melihat perubahan yang tidak biasa pada dirinya.'Ke mana perginya sosok Noah yang murka dan menuduhku membunuh orang tuanya 5 tahun yang lalu?'Aku mencuci mukaku dengan air dingin untuk membuat diriku kembali fokus."Markus, dia hanya berakting, 'kan?" tanyaku saat aku bertemu dengannya di lift.Aku sedang menuju griya tawangku untuk memeriksa keadaan anak-anak ketika Markus menyusulku.Markus menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tapi tidak mengatakan apa pun sampai kami masuk ke dalam lift pribadi khusus untuk keluarga kami.Lift tersebut menyediakan privasi bagi kami. Markus memang se-paranoid itu. Dia tidak mau orang lain menguping pembicaraan kami secara tidak sengaja untuk melindungi privasi kami."Kelihatannya dia bingung dan syok. Menurutku dia tulus mengasihi si kembar tiga dan ingin masu