"Hm? Apa kamu tidak jajan?" Fendi yang sedang gosok gigi dengan mata mengantuk, sontak menoleh ke Bora yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua berdiri di depan wastafel dekat cuci piring. "Apa?" tanyaku dengan mulut penuh busa dan sikat gigi di dalam mulut.Bora yang sedang menggosok wajah dan tidak peduli dengan kejorokan Fendi, menegurnya dengan tenang. "Beberapa hari ini aku tidak mimpi Bern, kira-kira kenapa ya?" Fendi menyelesaikan sikat gigi lalu berkumur. "Jangan membelokkan pembicaraan. Jelas-jelas kamu tadi bilang masalah jajan.""Salah dengar.""Kamu berdiri di sampingku dan bicara dengan jelas, mana mungkin aku salah dengar!""Anggap saja tidak pernah bertanya."Kedua mata Fendi menyipit curiga. "Hm? Jangan bilang kamu mau memberikan aku uang untuk jajan. Beli es saja sudah mengomel.""Itu karena kamu minta es krim mahal.""Aku lebih suka es krim merek itu, rasa strawberrynya terasa selain itu-"Bora menghela napas panjang. "Bukan jajan itu yang aku maksud.""Lalu jajan
Tangan Bora mulai pegal karena harus bergerak naik turun, antara takjub dan geli, dia bertanya pada Fendi. "Apakah hanya dengan begini, kamu puas?" Fendi tidak menjawab, dahi berkerut dan napasnya semakin berat. Bora merasa ada yang salah dan menghentikan tangannya. Suara Fendi berubah serak, dia memberikan perintah di telinga Bora. "Lanjutkan, apakah kamu ingin menyiksa aku?" Baru pertama kali Bora menghadapi hal seperti ini, sedikit menakutkan namun juga penasaran. Rasanya pun menggelikan. Fendi berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh Bora dan hanya menyandarkan kepala ke pundak istri kecilnya sementara Bora tidak berani menggerakan tubuh, hanya menggerakan tangannya sementara pergelangan tangannya dipegang Fendi untuk mengajarkan Bora, bagaimana cara bergerak. "Apakah nyaman?" tanya Bora. Fendi mengerutkan kening dan menggeram kecil. "Gerakkan... lebih... cepat..." katanya dengan terengah-engah. Sudah berapa lama tidak melampiaskan hal ini? Tiga bulan? Enam bulan? Atau sa
Tiga hari kemudian, Bora dan Fendi melihat papan pengumuman penerimaan mahasiswa yang masuk ke dalam kategori penerima beasiswa, jarang ada universitas mahal dan juga terkenal, mau membuka jalur beasiswa penuh.Bora membaca di bagian list akhir nama-nama mahasiswa, tidak ada namanya yang muncul. Dia menjadi cemas.Fendi yang berdiri di belakang Bora, melihat di bagian atas pengumuman penerima mahasiswa dan terkejut sambil menepuk kedua bahu anak perempuan di depannya.Bora menoleh ke belakang. "Apa?""Kamu ikut ujian yang diberikan universitas bukan?""Ya." Bora mengangguk singkat."Lihat, nama kamu di paling atas."Bora tidak percaya dengan pendengarannya lalu melihat arah yang ditunjuk Fendi. Benar, namanya ada di nomor satu, bukan paling akhir, "Biasanya peringkat tiga teratas, mendapat beasiswa penuh, kamu mendapatkannya Bora."Bora tidak percaya, dirinya satu tahun tidak sekolah dan mulai melupakan pelajaran, Hanya satu bulan jadwalnya padat untuk belajar sekaligus mencari uang,
Pada kenyataannya Fendi dan Bora memang belum melakukan hubungan suami istri di atas ranjang, tapi kelakuan mereka yang salah tingkah, membuat orang yang bertanya sekaligus melihat, menjadi salah paham.Ditya tidak begitu paham hubungan seperti itu, karena yang ada di otaknya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Dia percaya begitu saja. "Oh."Hendra dan istrinya bukan orang usil, mereka tidak akan ikut campur masalah orang lain. Fendi mengalihkan pembicaraan, dan bicara ke istrinya. "Bora, karena sertifikat sudah ada di tangan kamu- apakah kamu mau pindah rumah?"Bora mengangguk cepat, bahaya jika mereka berdua terus-terusan berada satu kamar. "Ya, aku tidak punya banyak barang, jadi kita bisa pindah secepatnya."Fendi lega mendengarnya, Bora sangat pelit dalam pengeluaran rumah tangga sehingga dia takut kalau sang istri menolak pindah dengan alasan uang. Hendra bertanya ke Fendi. "Beberapa hari ini, aku sudah memikirkannya- apakah kamu tidak ingin bekerja di salah satu firma kenalan
Kedua mata Bora berkedip ketika melihat wanita yang ada di dalam foto duduk di atas paha seorang pria bertubuh gemuk dan tangan wanita itu bersandar di bahu pria itu dengan tubuh melengkung ke belakang.Bora mengalihkan tatapannya ke Fendi dan menatap kasihan suaminya.Fendi menatap bingung Bora karena perubahan sikapnya. "Ada apa?"Bora mengalihkan tatapannya lagi ke profesor, lalu menurunkan tangan Fendi. "Apakah dia selingkuh dengan banyak pria?"Hendra menaikan kedua alis dan berpura-pura tidak paham. "Dia siapa yang kamu maksud?"Bora melirik Fendi sekilas, lalu kembali menatap Hendra. "Rina."Fendi terperangah. "Tunggu! Apa maksud kamu bicara seperti itu? Apakah kamu bekerja sama dengan kakak dan-"Bora menatap Fendi. "Profesor punya rekamannya.""Apa?""Jika kamu tidak percaya, bisa lihat sendiri. Itu bukan jebakan sama sekalu."Fendi bangkit dari kursi dan marah ke Bora. "Apakah kalian sudah menduga akan muncul hal seperti ini? Kakakku jelas menjebak Rina karena tidak suka aku
Fendi pulang bersama Bora dalam keadaan linglung, sudah melihat semua video yang disimpan kakaknya. Dia masih ingat percakapan di dalam kantor."Kamu tahu, kenapa aku mendapatkan video ini?""Apa?""Istri kamu membuat masalah dengan aku. Dia menyerang beberapa dokter hewan di bawah pengawasanku dengan alasan pekerjaannya sebagai hak asasi manusia."Kami bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk menangkap pemburu liar, dan dia menekan aku para dokter hewan dengan menyatakan bahwa pekerjaan kami buat mereka kehilangan mata pencaharian."Aji tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan penjelasan kakaknya. "Kakak, bagaimana bisa dia melakukan itu semua? Apa keuntungannya?""Kenapa kamu bertanya kepadaku? Tanyakan saja ke istri kamu nanti.""Bukti.""Apa?""Berikan aku bukti jika memang Rina yang menyerang, lagi pula dia hanya pekerja biasa. Tidak punya bekingan apa pun di belakangnya."Hendra yang duduk di kursi kerjanya, mendorong map berwarna biru ke arah Fendi yang duduk di seberangnya
Fendi berdiri, lalu membantu Bora berdiri dan mengambil keranjang berisi kucing gembrot yang larinya lincah, sampai membuat mereka berdua berkeringat. "Maaf, saya dan istri tiba-tiba masuk ke dalam rumah kosong, mengejar kucing kami yang sempat kabur."Bora menunduk sambil menutup rapat wajahnya dengan topi baseball. "Benarkah? Kalian tidak sedang melakukan tindakan senonoh kan?"Fendi hampir saja mengeluarkan amarahnya. "Tidak, mana mungkin saya dan istri melakukannya di tempat terbuka? Kami punya rumah. Ini, lihat kucing kami di dalam keranjang."Kucing itu masih menggeram dan berontak di dalam keranjang. Untung saja Fendi sudah menambahkan item tali di keranjang itu. "Apa buktinya kalian berdua suami istri? Bisa perlihatkan ktp?""Ktp kami masih belum diganti statusnya, tapi kami membawa surat nikah. Kebetulan kami sedang mengurus dokumen juga."Bora cepat-cepat mencari buku pernikahan mereka di dalam tas, untuk berjaga-jaga. Setelah ketemu, dia berikan ke Fendi dan Fendi memberi
Aji marah begitu mendengar berita bahwa Bora melakukan kecurangan. "Anak kurang ajar itu- dia bukannya bertobat, malah ingin menghancurkan karier aku?"Yuni berusaha menenangkan Aji. "Jangan seperti itu, Bora masih muda dan tidak paham, harusnya kamu menasehati dia saja."Laras mengangguk setuju. "Anak seperti itu jika kita terlalu keras, maka dia akan semakin keras. Tidak perlu khawatir, dia juga sudah dewasa.""Tapi ada massa berdiri di depan gerbang dan telah menuduh aku melakukan kecurangan."Yuni berpikir lalu memberikan jawaban. "Bagaimana jika kamu mengumumkan, sudah tidak bertanggung jawab pada kehidupan Bora? Toh, kamu juga sudah tanda tangan perpindahan wali ke dokter hewan itu, bukan?"Sebagai Presiden Indonesia, Aji selalu tegas dan dikabarkan tidak mudah terpengaruh oleh lawan politiknya, jika mereka mulai menyerang dirinya. Namun, saat di rumah, Aji lebih mudah terpengaruh istrinya karena sang istri yang mengurus rumah tangga. Intinya, Aji percaya seratus persen pada per